Anda di halaman 1dari 18

KKN PROFESI ANGKATAN 59

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Makassar, 10 Desember 2017

LAPORAN MINI CASE


BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

Oleh :
Sitti Aisyah Jusmadil
110 2014 0095

Supervisi/Dokter Pembimbing Klinik :


dr. Ida Royani, M.Kes/dr. Erna Mempron

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Tamangapa Raya
Tanggal periksa : 4/12/2017
Waktu : 09.05 WITA
Nama PKM : Puskesmas Tamangapa
No.Register : 01-06-878
dr.Jaga : dr.X

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pusing Berputar
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak kemarin sehari sebelum periksa ke Puskesmas. Pasien
mengeluh lingkungan sekitar seperti berputar. Pusing berputar terjadi tiba-
tiba, tidak dipengaruhi rasa lelah. Pusing berputar dialami jika badan
berubah posisi, ketika akan bangkit dari tempat tidur dan ketika akan berdiri.
Pusing beeputar membaik jika pasien berbaring dan menutup mata. Telinga
berdenging (+) bersifat intermitten, gangguan pendengaran (-), bola mata
berputar (-), infeksi telinga (-), Mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (+).
BAB : biasa, lancar
BAK : warna kuning, lancar
Riwayat penyakit sebelumnya :
- Riwayat penyakit pusing (+) seminggu lalu
- Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Pengobatan
- Riwayat pengobatan (+) Sulfas Ferosus
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat mengonsumsi makanan bergaram (+)
Riwayat Keluarga
- Keluarga dengan penyakit yang sama (-)

B. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis : Sakit ringan / Gizi lebih/ Compos mentis
GCS 15 (E4M6V5)
BB = 59 kg
TB = 146 cm
IMT = 27,67 kg/m2 (Obesitas 1)
Status Vitalis : T = 120/70 mmHg
P = 24 x/menit
N = 80 x/menit
S = 36o C
Kepala : Bentuk = Mesocephal
Ukuran= Normocephal
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterus (-/-)
Hidung : Rhinore(-), Deviasi septum (-)
Telinga : Otore(-)
Bibir : Stomatitis(-), Bibir kering (-)
Mulut : Lidah kotor (-)
Leher : Pembesaran kelenjar(-), Deviasi trakea(-), Massa tumor(-),
DVS (-)
Thorax : I = Normochest, Simetris (kanan=kiri), penggunaan otot
bantu pernapasan(-)
P = Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), Krepitasi (-),vocal
fremitus(kanan=kiri)
P = Sonor (kanan=kiri)
Batas paru hepar = ICS 5 anterior dextra
A= Bunyi pernapasan = vesikuler
Bunyi pernapasan tambahan (-)

Rhonki Wheezing

Jantung : I= Ictus cordis tidak tampak


P = Ictus cordis tidak teraba
P = Pekak relatif
Batas atas kanan = ICS II parasternal dextra
Batas atas kiri = ICS II parasternal sinistra
Batas kanan bawah = ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah = ICS V linea medio clavicularis
A = Bunyi jantung I/II murni reguler, bising jantung (-)
Abdomen : I = Datar, mengikuti gerak napas
A = Peristaltik (+) kesan normal
P = Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba
P = Tympani (+), asites (-)
Ekstremitas : Edema -/-, deformitas -/-, fraktur -/-

C. RESUME
Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan vertigo dialami sejak kemarin
sehari sebelum periksa ke Puskesmas. Pasien mengeluh lingkungan sekitar
seperti berputar. Vertigo terjadi tiba-tiba, tidak dipengaruhi rasa lelah.
Vertigo dialami jika badan berubah posisi, ketika akan bangkit dari tempat
tidur dan ketika akan berdiri. Vertigo membaik jika pasien berbaring dan
menutup mata. Tinitus bersifat intermitten, nausea dan vomiting, serta
dispepsia. Riwayat penyakit sebelumnya pusing seminggu lalu dan riwayat
pengobatan sulfas ferosus. Status Generalis Sakit ringan, Gizi lebih,
Composmentis, BB : 59 kg, TB : 146 cm, IMT = 27,67 kg/m2 (Obesitas 1).
Status Vitalis : tekanan darah : 120/70 mmHg, pernapasan : 24 x/menit, nadi
: 80 x/menit, suhu : 36o C.

D. DIAGNOSIS
Benign Paroxysmal Positional Vertigo

E. DIAGNOSIS BANDING
Neuritis Vestibularis
Hipotensi Postural

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

G. RENCANA TERAPI
1. Ergotamine caffein 1x2 mg/hari
2. Ranitidine 2x150 mg/hari
3. Vitamin B1 3x50 mg/hari
Edukasi :
Saat terjadi serangan vertigo, tetap diam tunggu sampai pusingnya
berkurang atau menghilang untuk mengurangi resiko terjatuh.

H. PROGNOSIS
Qua ed vitam : Bonam
Qua ed sanationem : Bonam
Qua ed funcionam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan
igo yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “diz- ziness” yang
secara definitif merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah pe-
rasaan atau sensasi tubuh yang berputar ter- hadap lingkungan atau
sebaliknya, lingku- ngan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga dirasakan
sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini lebih
jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci yang menandakan adanya
gang- guan sistem vestibuler dan kadang merupak- an gejala kelainan labirin.
Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan siste- mik lain
1-3
(misalnya, obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).
Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan
yang umum terjadi akibat perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh
persepsi posisi terhadap lingkungan. Dizziness sendiri mempunyai empat
subtipe, yaitu vertigo, disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing
1,2
psikofisiologis (lihat tabel di bawah ini).
Light
Vertigo Presinkop Disekuilibrium
headedness
Deskripsi Ilusi gerakan, Sensasi yang akan Tidak seimbang Secara definitif
biasanya terjadi menjelang atau imbalans tidak jelas, sering
perasaan diri kehi- langan disebut de- ngan
berputar kesadaran pusing, giddiness,
terhadap wooziness
lingkungan
sekitar, atau
sebaliknya
Kemaknaan Banyak Penurunan aliran Gangguan Istilah ini
klinis kemungkinan darah serebral yang neurologis, sekarang
penyebab dan berasal dari sistem kelemahan digunakan
memer- lukan kardiova- skuler muskulos- keletal, bergantian
pemeriksaan dan penurunan dengan
lebih lanjut fungsi penglihatan presinkop
B. EPIDEMIOLOGI
Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus,
dan sampai dengan 56,4% pada populasi orang tua.1 Sementara itu, angka
kejadian vertigo pada anak-anak ti- dak diketahui,tetapi dari studi yang
lebih baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar
15% anak paling tidak per- nah merasakan sekali serangan pusing dalam
periode satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai
“paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren (pucat,
mual, fonofobia, dan fotofobia).2

C. PATOFISIOLOGI
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ- organ vestibuler,
visual, ataupun sistem propi- oseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium)
terdiri atas 3 kanalis semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan
akselerasi angular, serta utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan
rangsangan gravitasi dan akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui
nervus vestibu- laris menuju nukleus vestibularis di batang otak, lalu
menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus okulomotorius),
kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis (rang- sangan eksitasi
terhadap otot-otot eksten- sor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Selan- jutnya, serebelum menerima
impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara respons
okulovestibuler dan postur tubuh.
Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refleks okulovestibuler
dan intensitas nistag- mus akibat rangsangan perputaran tubuh dan
rangsangan kalori pada daerah labirin. Refleks okulovestibuler bertanggung
jawab atas fiksasi mata terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan
sedang bergerak. Nistagmus mer- upakan gerakan bola mata yang terlihat
seba- gai respons terhadap rangsangan labirin, serta jalur vestibuler
retrokoklear, ataupun jalur ves tibulokoklear sentral. Vertigo sendiri
mungkin merupakan gangguan yang disebabkan oleh penyakit vestibuler
perifer ataupun disfungsi sentral oleh karenanya secara umum vertigo
dibedakan menjadi vertio perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah
perifer menunjuk- kan bahwa kelainan atau gangguan ini dapat terjadi pada
end-organ (utrikulus maupun ka- nalis semisirkularis) maupun saraf perifer.
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh
kasus vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat
terjadi pada 50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup
bervariasi, di antaranya iskemia atau infark batang otak (penyebab
terbanyak), proses demielinisasi (misalnya, pada sklerosis multipel,
demielinisasi pascainfeksi), tumor pada daerah serebelopontin, neuropati
kranial, tumor daerah batang otak, atau sebab- sebab lain. Perbedaan
gambaran klinis antara vertigo sentral dan perifer adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Perbedaan vertigo vestibuler perifer dan sentral

Vertigo vestibuler Vertigo vestibuler


perifer sentral
Kejadian Episodik, onset mendadak Konstan
Arah nistagmus Satu arah Bervariasi
(spinning)
Aksis nistagmus Horizontal atau rotatorik Horizontal, vertikal, oblik, atau
rotatorik
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler atau setimbang
(equal)
Hilang pendengaran, Bisa terjadi Tidak ada
tinitus
Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi
Gejala neurologis Tidak ada Sering disertai defisit saraf
lainnya kranial serta tanda-tanda
serebelar dan piramidal

Beberapa penyakit ataupun gangguan siste- mik dapat juga


menimbulkan gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, se-
perti antikonvulsan, antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer.
Selain itu, vertigo juga dapat timbul pada gangguan kardio- vaskuler
(hipotensi, presinkop kardiak mau- pun non-kardiak), penyakit infeksi,
penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme), vaskulitis, serta penyakit sistemik
lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis.
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo,
baik perifer maupun sentral, di antaranya adalah neurotransmiter
kolinergik, monoaminergik, glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat
antivertigo bekerja dengan memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter
ini, sehing- ga gejala-gejala vertigo dapat ditekan. Gluta- mat merupakan
neurotransmiter eksitatorik utama dalam serabut saraf vestibuler. Glutamat
ini memengaruhi kompensasi vestibuler melalui reseptor NMDA (N-metil-
D-aspar- tat). Reseptor asetilkolin muskarinik banyak ditemukan di daerah
pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan vertigo dengan
memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan neurotransmiter
histamin banyak ditemukan secara merata di dalam struktur vestibuler
bagian sentral, berlokasi di pre- dan postsinaps pada sel-sel vestibuler.

D. ASPEK KLINIS
Riwayat kesehatan merupakan data awal yang paling penting untuk
menilai keluhan pusing ataupun vertigo. Adanya aura dan gejala-gejala
neurologis perlu diperhatikan, misalnya apakah ada gangguan (hilangnya)
pendengaran, perasaan penuh, perasaan tertekan, ataupun berdenging di
dalam telinga. Jika terdapat keluhan tinitus, apakah hal tersebut terjadi
terus-menerus, intermiten, atau pulsatif. Apakah ada gejala-gejala
gangguan batang otak atau kortikal (misalnya, nyeri kepala, gangguan
visual, kejang, hilang kesadaran).

E. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada
evaluasi neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum,
misalnya dengan melihat modalitas motorik dan sensorik. Penilaian
terhadap fungsi serebelum dilakukan dengan menilai fiksasi gerakan bola
mata; adanya nistagmus (horizontal) menunjukkan adanya gangguan
vestibuler sentral.
Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus
dilakukan untuk menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi,
kolesteatoma, atau fistula perilimfatik. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan tajam pendengaran.
 Tes keseimbangan
Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat maupun di
ruang pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi
tentang keluhan vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah
dilakukan untuk melihat dan menilai gangguan keseimbangan diantaranya
adalah: Tes Romberg. Pada tes ini, penderita berdiri dengan kaki yang satu
di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada di depan jari-jari kaki yang
lain (tandem). Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg ini
selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka
dankemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang sensitif untuk
kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki dalam
keadaan mata tertutup, dianggap normal.
 Tes melangkah di tempat (stepping test)
Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50
langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak diperbolehkan
beranjak dari tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi ada tidaknya
gangguan sistem vestibuler. Bila penderita beranjak lebih dari 1 meter
dari tempat semula atau badannya berputar lebih dari 30 derajat dari
keadaan semula, dapat diperkirakan penderita mengalami gangguan sistem
vestibuler.
 Tes salah tunjuk (past-pointing)
Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan telunjuk
penderita di- perintahkan menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya,
penderita diminta untuk me- nutup mata, mengangkat lengannya tinggi-
tinggi (vertikal) dan kemudian kembali pada posisi semula. Pada gangguan
vestibuler, akan didapatkan salah tunjuk.
 Manuver Nylen-Barany atau Hallpike
Untuk menimbulkan vertigo pada penderita dengan gangguan sistem
vertibuler, dapat di- lakukan manuver Nylen-Barany atau Hallpike. Pada tes
ini, penderita duduk di pinggir ran- jang pemeriksaan, kemudian direbahkan
sam- pai kepala bergantung di pinggir tempat tidur dengan sudut sekitar 30
derajat di bawah ho- rizon, lalu kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemu- dian
diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala
menoleh ke kanan. Penderita harus tetap membuka matanya agar pemeriksa
dapat melihat muncul/tidaknya nistagmus. Kepada penderita ditanyakan
apa- kah merasakan timbulnya gejala vertigo.
 Tes kalori
Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan tidak ada
perforasi membran timpani maupun serumen. Cara melakukan tes ini
adalah dengan memasukkan air bersuhu 30° C sebanyak 1 mL. Tes ini
berguna untuk mengevaluasi nistagmus, keluhan pusing, dan gangguan
fiksasi bola mata.
Pemeriksaan lain dapat juga dilakukan, dan selain pemeriksaan fungsi
vestibuler, perlu dikerjakan pula pemeriksaan penunjang lain jika
diperlukan. Beberapa pemeriksaan penunjang dalam hal ini di antaranya
adalah pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, tes toleransi glukosa,
elektrolit darah, kalsium, fosfor, magnesium) dan pemeriksaan fungsi
tiroid. Pemeriksaan penunjang dengan CT-scan, MRI, atau angiografi
dilakukan untuk menilai struktur organ dan ada tidaknya gangguan aliran
darah, misalnya pada vertigo sentral.

F. MANAJEMEN VERTIGO
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan
ketidaknyamanan akibat gejala yang timbul serta patologi yang
mendasarinya. Pada vertigo, beberapa tindakan spesifik dapat
dianjurkan untuk mengurangi keluhan vertigo. Pada penyakit Meniere,
misalnya, pengurangan asupan garam dan penggunaan diuretik disarankan
untuk mengurangi tekanan endolimfatik. Untuk BPPV (benign paroxysmal
positional vertigo), dapat dicoba dengan “bedside maneuver” yang
disebut dengan “Epley particle repositioning maneuver”, seperti pada
gambar di bawah ini :
Penatalaksanaan Medikamentosa
Secara umum, penatalaksanaan medika- mentosa mempunyai tujuan
utama : (i) mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki proses-proses
kompensasi vestibuler, dan (iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif
ataupun psikoafektif. Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk
penanganan vertigo di antaranya adalah :
a) Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk
penanganan vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin
dan homatropin. Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan
dalam satu sediaan antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai
supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik. Pemberian
antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan
gejala efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala
penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan memori
dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-
gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual,
mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.
b) Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan
antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan
termasuk di antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat,
meklozin, dan pro- metazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan
vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai
efek ter- hadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga
mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion
sickness”. Efek sedasi merupakan efek samping utama dari pemberian
penghambat histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral, dengan
lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, sikl- izin) sampai 12
jam (misalnya, meklozin).
c) Histaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai
antivertigo di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin
sendiri merupakan prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin
diperkirakan berasal dari efek vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada
mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan sistem vestibuler. Pada
pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik, dengan kadar
puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang,
termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.
d) Antidopaminergik
Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan
mual pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar
antidopaminergik merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada
vestibuler tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa
antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem
vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4
sampai 12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai
antiemetik, seperti domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari
antagonis dopamin ini terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen,
serta beberapa keluhan yang berhubungan dengan gejala
ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme, distonia akut,
dan sebagainya.

e) Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan
di tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vesti-
buler diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti
halnya obat-obat sedatif, akan memengaruhi kompensasi ves- tibuler.
Efek farmakologis utama dari benzo- diazepin adalah sedasi, hipnosis,
penurunan kecemasan, relaksasi otot, amnesia antero- grad, serta
antikonvulsan. Beberapa obat go- longan ini yang sering digunakan
adalah lora- zepam, diazepam, dan klonazepam.
f) Antagonis kalsium
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium
di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jum- lah ion
kalsium intrasel. Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai
supresan ves- tibuler. Flunarizin dan sinarizin merupakan penghambat
kanal kalsium yang diindikasi- kan untuk penatalaksanaan vertigo;
kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai
penghambat kanal kalsium, ternyata flunarizin dan sinarizin mempunyai
efek sedatif, antidopaminergik, serta antihis- tamin-1. Flunarizin dan
sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang
panjang, dengan kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat
dalam darah masih dapat terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah
pengobatan dihentikan. Efek samping jangka pendek dari penggunaan
obat ini teru- tama adalah efek sedasi dan peningkatan be- rat badan.
Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala
parkinso- nisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada
populasi lanjut usia.
g) Simpatomimetik
Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan
secara hati-hati karena adanya efek adiksi.
h) Asetilleusin
Obat ini banyak digunakan di Prancis. Meka- nisme kerja obat ini
sebagai antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan
bekerja sebagai prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi
vestibuler aferen, serta diperkirakan mempunyai efek sebagai
“antikalsium” pada neurotransmisi. Beberapa efek samping penggunaan
asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis (terutama pada do- sis tinggi)
dan nyeri di tempat injeksi.
i) Lain-lain
Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai
efek antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (ago- nis
dopaminergik), dan ondansetron.
PEMBAHASAN
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu penyebab
paling sering dari vertigo, suatu gejala yang digambarkan sebagai sensasi kepala
berputar-putar. BPPV menunjukkan adanya suatu keadaan dimana sensasi berputar
tersebut hanya berlangsung selama beberapa menit dan seringkali berhenti dengan
sendirinya. Dari kasus diatas, didapatkan gejala klinik pusing berputar-putar yang
dialami tiba-tiba ketika terjadi perubahan posisi, pasien mengeluh lingkungan
sekitar seperti berputar. Adapun keluhan membaik saat pasien berbaring dan
menutup mata. Gejala klinis yang lain didapatkan berupa tinitus, nausea dan
vomiting juga merupakan tanda-tanda penyerta dari vertigo. Gejala dan tanda
tersebut menunjukkan vertigo vestibular perifer. Adapun vertigo vestibular sentral
dapat menunjukkan tanda-tanda gangguan batang otak, dengan hilangnya
kesadaran tidak terdapat pada pasien ini. Pemeriksaan tambahan pada pasien
dengan keluhan vertigo ini berupa tes keseimbangan, stepping test, manuever
hallpiek dll, akan tetapi pada pasien ini tidak dilakukan dikarenakan dari hasil
anamnesis tersebut sudah dapat ditegakkan diagnosis yang jelas. Pada sebagian
besar pasien dengan keluhan vertigo diberikan pengobatan berupa
antihistaminergik seperti betahistin yang bekerja dalam vasodilatasi aliran darah
pada mikrosirkulasi di daerah telingan tengah dan sistem vestibular.
DAFTAR PUSTAKA

1. Huang Kuo C., Phang L., Chang R. Vertigo. Part 1-Assesement in General Practice.
Australian Family Physician 2008; 37(5):341-7.
2. MacGregro DL. Vertigo. Pediatric in Review 2002:23(1):9-19.
3. Troost BT. Dizziness and Vertigo in Vertebrobasilar Disease. Part I: Pheripheral and
Systemic Causes Dizziness. Stroke 1980:11:301-03.
4. Troost BT. Dizziness and Vertigo in Vertebrobasilar Disease. Part II: Pheripheral
and Systemic Causes Dizziness. Stroke 1980:11:413-15.
5. Mehmet K. Central Vertigo and Dizziness: Epidemiology, Differential Diagnosis,
and Common Causes. The Neurologist: 2008;14(6):355-64.
6. Baloh RW. Vertigo. The Lancet 1998;352:1841-46.
7. Rascol O., Hain TC., Brefel C., et al. Antivertigo Medications and Drugs-Induced
Vertigo. A Pharmacological Review. Drugs 1995;50(5):777-91.
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai