Anda di halaman 1dari 36

KKN PROFESI ANGKATAN 59

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Makassar, 3 Desember 2017

LAPORAN P
DIARE AKUT

Oleh :
Sitti Aisyah Jusmadil
110 2014 0095

Supervisi/Dokter Pembimbing Klinik :


dr. Ida Royani, M.Kes/dr. Erna Mempron

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR 2017
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Dg. Mamasa
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Pakksalo
Tanggal periksa : 2 Juni 2018
Waktu : 10.00 WITA
Nama PKM : Puskesmas Pattiro Mampu
No.RM : 03-00-66
Dokter Jaga : dr. Andi Gusnawati Marti

A. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Lesi putih pada kaki dan tangan
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke Puskesmas mengeluh bercak pada dada sejak 2 bulan yang lalu.
Awalnya terdapat bercak kemerahan kecil di daerah dada, semakin lama bercak
putih tersebut semakin meluas dan menyebar ke perut, paha dan bokong sebelah
kiri. Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien
hanya merasa tebal dan kurang rasa pada daerah bercak putih tersebut, tidak
demam dan BAK : warna kuning

Riwayat penyakit sebelumnya :

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma, kencing manis,
darah tinggi di sangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Mengonsumsi susu lactogen dan bubur promina
Riwayat Keluarga :
Pasien menyangkal ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa
Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya alergi obat atau makanan
Riwayat Sosial :
Pasien adalah seorang petani yang bertempat tinggal di lingkungan padat
penduduk, pasien mengaku di tetangganya ada yang mempunyai keluhan yang
sama seperti dirinya. Pasien akrab dengan tetangganya tersebut, setiap hari
kalau pasien ke sawah pasien melewati rumah tetangganya tersebut dan
seringkali pasien mampir ke rumahnya.
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengaku selama ini tidak pernah mengobati penyakitnya.

B. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis : Sakit ringan/ Compos mentis
GCS 15 (E4M6V5)
BB = 58 kg
TB = 160 cm
Status Vitalis : T = 90/80
P = 18x/menit
N = 84x/menit
S = 36°C, axilla
Status dermatologi :
1. Lokasi : Region thoracal
2. Efluoresensi :
1) Pada region pedis tampak patch hipopigmentasi, batas tegas, ukurannya
± 10x15 cm, permukaan halus berkilat, skuama (-), erosi (-).
2) Pada region manus terdapat plaq eritematosa, batas tegas, dengan
ukuran 6x4 cm, permukaan agak kasar, skuama (-), erosi (-).
3) Pada regio femoralis sinistra patch eritematosa, batas tegas, ukuran 5x3
cm, permukaan agak kasar, skuama (-), erosi (-).makula hipopigmentasi
batas tegas, ukuran 7x5 cm, permukaan halus berkilat, skuama (-), erosi
(-).
3. Pemeriksaan :
1) Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari pada
kulit normal.
2) Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari pada
kulit normal
3) emeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan suhu
panas dingin pada tempat lesi.
4) N.Auricularis magnus sinistra mengalami pembesaran, konsistensi
kenyal, nyeri tekan (+)
5) N. Ulnaris sinistra mengalami pembesaran konsistensi kenyal, nyeri
tekan (+)
C. DIAGNOSA BANDING
1. Lepra
2. Vitiligo

3. Tinea korporis

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan bakterioskopis BTA
2) Tes sensitivitas kulit
3) Lepromin tes
E. DIAGNOSA
Morbus Hansen Multibasilar
F. PENATALAKSANAAN
1) Non medikamentosa
a. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi
pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus
rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
b. Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati rasa,
oleh karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar tidak
memungkinkan terjadinya infeksi lain
2) Medikamentosa

MDT MH multibasiler WHO selama 1 tahun yang terdiri dari:

1. Rifampisin 600 mg 1x1 / bulan


2. Metilprednisolon 3x1 / bulan
3. Lamprene (klofazimin) 300 mg 1x1/bulan kemudian dilanjutkan dengan 50
mg 1x1 / hari
4. CTM 3x1
G. PROGNOSIS
1. Qua ed vitam : Bonam
2. Qua ed sanationem : Bonam
3. Qua ed funcionam : Malam
H. RENCANA TERAPI
Rujuk ke Spesialis Kulit dan Kelamin
I. RESUME
Pasien datang ke Puskesmas mengeluh bercak pada dada sejak 2 bulan yang lalu.
Awalnya terdapat bercak kemerahan kecil di daerah dada, semakin lama bercak
putih tersebut semakin meluas dan menyebar ke perut, paha dan bokong sebelah
kiri. Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien
hanya merasa tebal dan kurang rasa pada daerah bercak putih tersebut, tidak
demam dan BAK : warna kuning
Pasien adalah seorang petani yang bertempat tinggal di lingkungan padat
penduduk, pasien mengaku di tetangganya ada yang mempunyai keluhan yang
sama seperti dirinya. Pasien akrab dengan tetangganya tersebut, setiap hari kalau
pasien ke sawah pasien melewati rumah tetangganya tersebut dan seringkali
pasien mampir ke rumahnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah


penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

B. ETIOLOGI

Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk
batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 – 0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga tidak
mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya berkelompok dan ada pula yang
tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu
dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Masa belah diri kuman kusta
ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu
12-21 hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2–5 tahun.

Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.
Kusta yang merupakan penyakit menahun ini dalam jangka panjang dapat
menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat
aerob yang tidak membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan
baik, segera setelah diwarnai mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam
atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil “cepat asam” (Brooks, 453:2005).
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk
batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar
morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium
lainnya (Isselbacher, 808:1999). Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat
dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah – pecah ( fragmented ),
bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh ,
diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya
biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya
terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata.
Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus
atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented
atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok – kelompok. Kelompok
kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan kelompok besar
adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana
beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih
dari 500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).

C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006
didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita.
Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan
jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India
merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan
jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan
jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu
dengan 9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006
tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan
Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001
didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe
multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat
karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang
sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena
faktor etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik
Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada
etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula dengan
kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta
dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006). Sudah diketahui
bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini
terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial
ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta
imor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial
ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus
kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi
(Depkes RI, 8:2006).
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena
pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian
penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit
kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada
saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur.
Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia
muda dan produktif (Depkes RI, 8:2006).
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian
besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian
kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor
biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki lebih banyak
terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN TERJADINYA PENYAKIT
KUSTA
A. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan
pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI,
9:2006).
B. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu
kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati
menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran
napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman
yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
C. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat
juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup)
keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum
diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara
teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan
penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO
tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
D. Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum
dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI,
10:2006).
E. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan
penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk
kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem
kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan,
serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik
mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI,
10:2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian
kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat
sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI,
10:2006).
E. PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.
Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell
receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC
sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan
dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui
CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu
differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae
akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya
lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan
mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan
radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan
akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini
akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi
dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13
akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009). Signal I tanpa adanya signal II
akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara
lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita
akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan
Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum
tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik
merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di
tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ
yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus
terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya
peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul
kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC
akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh
DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer
dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR
2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy
(Wahyuni, 8:2009).
F. PATOGENESIS KERUSAKAN SARAF PADA PASIEN KUSTA
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein
laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan
lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+
akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan
makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid
I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself
sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC
non professional (Wahyuni, 8:2009).
G. PATOGENESIS REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit
kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi
penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi
kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity
Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem
imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading
reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (
peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap
terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (
penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi
(Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya
hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum
lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan
berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada
pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan
melisis sel (Wahyuni, 8:2009).
H. GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam
hal ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,
rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap
kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan
bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih
tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul
nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak
normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai
bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor
tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada
hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi
atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove
anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung
jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada
N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal
jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari
atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai
bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan
kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,
claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N.
Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan
cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi
kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer


mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang
dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian
– bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan
menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan


keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis. Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous
yang titandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif
tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent.
Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak
adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang
tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small
satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi
kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Pada reaksi kusta tipe
II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi
kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Fenomena lucio
berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri.
Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil
histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi
endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri


tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama
satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi
demam, limfadenopati, dan athralgia.

I. PEMERIKSAAN PASIEN
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit
juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan
dengan menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas
untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan air panas dan es, pensil
tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah
lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya
mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk
menentukannya.

Cara pemeriksaan saraf tepi

Aurukularis magnus. Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal


mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga
acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di
atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan,
maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau
kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan (Daili,
21:2003). N. Ulnaris. Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan
sebaiknya diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain
meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada
penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk
melihat adanya perbeedaan atau tidak (Daili, 22:2003). N. Paroneus lateralis.
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).

Tes Fungsi Saraf


Tes Sensoris. Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan
dingin.

Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk


memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien
yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu
petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan
kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain
diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak
pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).

Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien
harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili,
22:2003).

Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata
pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut
ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada
kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu,
maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu (Daili, 22:2003).

Tes Otonom. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada


penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

Tes dengan pensil tinta. Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah
lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
Tes pilokarpin. Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik
dengan pilokarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

Tes Motoris (Voluntary muscle test)

Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:

Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah
jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk
merapatkan jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya,
taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk
menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut
perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.

Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak
ke atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan
atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.

Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna


pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan
gerakan tersebut.

Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan


gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan
gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan
gerakan tersebut.

J. PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena
pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

K. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
L. PEMERIKSAAN SEROLOGIS
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik,
didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
M. PEMERIKSAAN LEPROMIN
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (
reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif
bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD)
pada tuberkolosis.
N. DIAGNOSIS
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang
lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi


b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.

3. Ditemukan kuman tahan asam


Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya
dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.
O. DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis
versikolor, Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma
annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,
psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi
saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang
ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada
beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik
dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia
pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit
terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil
metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk
intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada
beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon
transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme
tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk
dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia,
adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada
detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah
yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas
jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan
tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang
– kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal
dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak
segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya
sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa.
Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah
depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan
stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas
tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang
menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya
adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu
Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan
fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan
faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita
dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang
diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak
berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus,
fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda,
papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik
akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous
skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang
papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta
karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain,
dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai
warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru,
berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor,
selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2
tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai
dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar,
berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner.
Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan,
kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak
dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di
bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat,
lentikulerdan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang
umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering
polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul,
nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang
hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan
saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan
gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi
setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri
pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan, maldigestion,
diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6, gejala klinis termasuk seboroik dermatitis,
cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis
menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi
temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi
kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami
sensorimotor poly neuropathy dan demensia.
P. PENGOBATAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif
dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik,
skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari
NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,
nyeri
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas
Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita
kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin
untuk penderita kusta tipe PB I.
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan
tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen
seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-
hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “
yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-
obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi
ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat
penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,
pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam
(4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal
pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis
diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
Q. KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma
dan infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan
non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder.
R. PROGNOSIS
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit
adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan
dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum
adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi
PEMBAHASAN
Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun akibat
bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf
tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya. Penyakit kusta adalah
penyakit kronis yang dapat menimbulkan masalah kecacatan. Dari kasus, didapat
gejala klinis rasa kebas, lesi putih pada bagian tubuh serta tidak ditemukan demam.
Adanya riwayat di lingkungan sekitar mengalami penyakit yang sama. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan BTA (+) sehingga dapat di diagnosa morbus hansen. Pada
kasus ini telah didapatkan kecacatan pada ekstremitas atas dan bawah.
Pengobatan yang diberikan pada kasus tersebut masih belum sesuai dengan
teori yang ada pada literatur oleh karena Puskesmas merupakan layanan primer .
sehingga dibutuhkan untuk di rujuk ke Spesialis Kulit dan kelamin.
DOKUMENTASI
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi . Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed. 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2006.
2. Lab/SMF. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah. Denpasar : 2000.
3. Lab/SMF. Atlas Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Penyakit Kulit dan
Kelamin edisi 2. Fakultas Kedokteran Unair/RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya:2009.
4. Gunawan SG, Setiabudi R, Nafrialdi (editors). Farmakologi dan therapy edisi
5, FKUI, Jakarta.2007
5. Djuanda Adhi . Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed. 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2006.
6. Lab/SMF. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah. Denpasar : 2000.
7. Lab/SMF. Atlas Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Penyakit Kulit dan
Kelamin edisi 2. Fakultas Kedokteran Unair/RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya:2009.
8. Gunawan SG, Setiabudi R, Nafrialdi (editors). Farmakologi dan therapy edisi
5, FKUI, Jakarta.2007
9. Mukhlis. (2010). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Proses
Penyembuhan pada Penderita Kusta di Kabupaten Bengkalis Riau.
Universitas Sumatera Utara: Medan.
10. Niven, S. (2011). Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates: Jakarta.
11. Nursalam. (2013). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
12. Perry & Potter . (2006) .Fundamental Keperawatan . Edisi 4, EGC: Jakarta
Potter &
13. Patricia, A. (2010) .Buku Anjar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses
dan Praktek . EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai