Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

OLEH :
Jordy Oktobiannobel, S.Ked

PEMBIMBING :
dr. Teguh Astanto, M.Si.Med, Sp.B

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2015
Identitas
• Nama : Tn.T
• Umur : 40 tahun
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Wiraswasta
• Alamat : Gedong Tataan
• Status : Sudah Menikah
• Pendidikan terakir : SMA
• No. RM : 05.51.31

Keluhan Utama

Luka lebam dan benjolan pada kepala bagian depan dan belakang 1 jam S.M.R.S

Keluhan Tambahan

Luka lecet pada daerah siku dan lengan kanan, lutut kiri, betis kiri, dan pergelangan kaki kiri,
pusing, mual .

Riwayat perjalanan penyakit:

O.S. Datang dengan keluhan luka lebam dan benjol pada area kepala bagian depan
dan belakang sejak 1 jam S.M.R.S. Keluhan disertai luka lecet pada daerah siku dan lengan
kanan, lutut kiri, betis kiri, dan pergelangan kaki kiri serta pusing dan mual.

O.S. Juga Mengeluh kaki sebelah kirinya tidak dapat digerakkan karena nyeri hebat
terutama pada bagian betis.

Os mengaku sebelumnya ia berada di perjalanan pulang usai mengantar anak nya


sekolah dan di perjalanan ditabrak oleh seseorang menggunakan sepeda motor dari samping.
Os tidak menggunakan helm saat ditabrak Os terlempar terguling dari sepeda motor sekitar 5
meter dan kepala serta tubuhnya membentur aspal. Os menyangkal pingsan dan muntah saat
terjatuh.

Os sebelumnya sudah berobat ke puskesmas terdekat dan lukanya dibersihkan serta


dipasang infus. Os tidak memiliki riwayat alergi dan penyakit seperti hipertensi, kencing
manis, as.urat dll.

Pemeriksaan fisik

• Keadaan Umum : tampak sakit berat

• Kesadaran : Compos Mentis

• Pernafasan : 24x/menit

• Tekanan Darah : 120/80

• Nadi : 68x/menit
• Suhu : 36,5 derajat

• Kulit : Turgor Baik

• Airway : DBN

• Breathing : DBN

• Circulation : DBN

KEPALA DAN MUKA

Bentuk dan ukuran : normocephali

Simetri wajah : simetris

Nyeri tekan sinus : tidak terdapat nyeri tekan

Pertumbuhan rambut : pertumbuhan rambut baik

Pembuluh darah : tidak terdapat pelebaran

Deformitas : Hematom dan Oedem regio occipital dan frontal cranium


Vulnus excoriatum regio frontal cranium

MATA

• Bentuk : eksoftalmus (-)


• Konjungtiva : pucat/hiperemis (-)
• Refleks cahaya : langsung dan tidak +/+
• Sklera : ikterik (-)
• Pupil : bulat, isokhor +/+ Ø 3mm

TELINGA

• Bentuk : normal (eutrofilia)


• Nyeri tarik auricular : -/-
• Liang telinga : lapang
• nyeri tekan tragus : -/-
• Serumen : -/-

DADA (Thoraks : paru dan jantung)

• Paru-paru

• Inspeksi : simetris, massa (-), tertinggal (-), krepitasi (-), retraksi


(-)

• Palpasi : gerak simetris pada kedua hemithoraks, vocal fremitus


+/+ suara kuat, nyeri tekan (-)
• Perkusi : sonor pada kedua hemithoraks, batas paru-hepar pada \
sela iga VI pada linea midclavicula dextra, dengan
peranjakan 2 jari pemeriksa, batas paru-lambung pada
sela iga ke VIII pada linea axilaris anterior

• Auskultasi : suara nafas vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing –

PERUT (ABDOMEN)

• Inspeksi : simetris, datar, distensi (-), jaringan parut (-),


pelebaran vena (-) darm contour (-), darm steifung (-)

• Auskultasi : peristaltik usus (+), normal

• Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, massa (-),
ballottement (-) , defens muskular (-)

• Perkusi : timpani pada lapang perut, nyeri ketok CVA(-)


shifting dullness (-), undulasi (-), pekak hepar (+)

• EKSTREMITAS

Superior : simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas, vulnus


excoriatum regio cubiti et antebrachii dextra

Inferior : simetris, kekuatan otot 5/0 , gerakan terbatas pada


kaki kiri, vulnus excoriatum regio patella et cruris sinistra

• STATUS LOKALIS

• Status Lokalis :

• Cranium

1. Inspeksi :
Hematom + oedem regio occipital et Frontal, vulnus excoriatum regio Frontal

2. Palpasi :
Nyeri tekan regio occipital et frontal

• Ekstreimtas Superior

Inspeksi : vulnus excoriatum regio cubiti et antebrachii dextra

Palpasi : nyeri tekan regio cubiti et antebrachii dextra


Pemeriksaan Penunjang

Rontgen Cruris

Fraktur Os fibulla regio cruris sinistra

Rontgen Cranium

DBN
Rencana Pemeriksaan

Darah Lengkap

DIAGNOSIS KERJA

CKR + Fraktur tertutup os fibulla 1/3 distal regio cruris sinistra + multiple vulnus excoriatum

DIAGNOSA BANDING

• Hemiplegi

PENATALAKSANAAN

Medika mentosa:

• IVFD RL xx gtt/mnt + drip ketorolac


• Inj.cefotaxime 1gr 2x1
• Inj. ATS 1500 IU 1x1 ekstra
• As. Mefenamat 500mg tab 3x1
• Ca Laktat 500mg tab 3x1

Operatif (Rujuk ke RS tipe B)

Open Reduction with Internal Fixation


(Plate and Screw)
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Menurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma yang
mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan
tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari
luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau
tanpa penurunan tingkat kesadaran.

PATOFISIOLOGI

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak
hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung.
Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi
kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses
lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien,
terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah
akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok.
Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang
adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan
metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui
foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik
sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh
darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.

Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap.
Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak.
Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif
dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :

CPP = MAP - ICP

CPP : Cerebral Perfusion Pressure


MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.

GAMBARAN KLINIS

Assesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus
dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak
dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score.
Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah
yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan
respon motor terbaik.

Glasgow Coma Scale (Dewasa)


Respon Mata Terbaik (4)
4. Mata membuka spontan
3. Mata membuka dengan perintah verbal
2. Mata membuka dengan rangsang nyeri
1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)


5. Terorientasi baik
4. Bingung / disorientasi
3. Kata-kata tidak tepat
2. Suara-suara yang tidak bisa dipahami
1. Tidak ada respon verbal

Respon Motorik Terbaik (6)


6. Mematuhi perintah
5. Melokalisasi rasa nyeri
4. Menghindari nyeri
3. Fleksi terhadap nyeri
2. Ekstensi terhadap nyeri
1. Tidak ada respon motorik

Glasgow Coma Scale (Pediatric)


Respon Mata Terbaik (4)
4. Mata membuka spontan
3. Mata membuka dengan perintah verbal
2. Mata membuka dengan rangsang nyeri
1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)


5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan.
4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan
3. Menangis tidak tepat
2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih
1. Tidak ada respon vokal

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang
lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah
pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa
menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-
8. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik .

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi


cedera.
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramter.
* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).
- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b. Keparahan cedera.
* Ringan : skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
* Sedang : GCS 9-13
* Berat : GCS 3-8

DIAGNOSIS

Anamnesis

Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan
kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau
sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke)
karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian
tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:

a. Sifat kecelakaan.

b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.

c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.

d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si
pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya
kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia
retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu
dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung /
disorientasi (kesadaran berubah)

Indikasi Rawat Inap :


1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol,
pasien tidak kooperatif.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit
bila timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama
periode tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel,
atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan.
Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit
atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari
penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama
untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman (4,5).

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Fisik

Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital
dan status kesadaran pasien.
Status fungsi vital
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
• Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera
dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus
berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
• Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot /
hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat
kesadaran.
• Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock,
terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen,
fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya
frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya
dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
Status kesadaran pasien

Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow;
cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh
dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari
waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata,
respon verbal dan respon motorik.

Status neurologis

Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk


mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam
hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan
refleks patologis..
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain
seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu
dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin

Pemeriksaan Penunjang

Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit
neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah
kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau
CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif,
dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap
rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan
fraktur basis kranii dan kejang.

PENANGGULANGAN PERAWATAN

Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan
kesembilan aspek sebagai berikut.
1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya
hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.
2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan.
3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah
secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.
4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.
5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi.
6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk mencegah
keratitis.
7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung
kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi, baru
boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan, yang justru
akan menaikkan tekanan intrakranial.
8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan kenaikan
tekanan darah serta memperberat edem otak.
Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada
hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat
disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi
tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat
menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa,
dan mengundang terjadinya sepsis.

PENATALAKSANAAN

Pedoman resusitasi dan penilaian awal:


1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka cedera orofasial
mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri
oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada
berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan
dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdominal atau
dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan
EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan
larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin)
menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula berikan
diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila
tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
• Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
• Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
• Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
• Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
• Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
• Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.

b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)


• Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
• Konkusi
• Amnesia pasca-trauma
• Muntah
• Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau
rinorea cairan serebrospinal)
• Kejang

c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)


• Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
• Penurunan derajat kesadaran secara progresif
• Tanda neurologist fokal
• Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Pedoman umum penatalaksanaan:
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7
normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur :
- pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet :
cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan
cairan ii tidak menambah edem serebri.
- Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah :
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

PROGNOSIS

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami


penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat
peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah
kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus menerus
dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.
Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama,
yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal.
Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi
mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh,
pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama
lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.

KEGAWATDARURATAN CEDERA KEPALA

KOMOSIO SEREBRI

Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih
dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin mutah, tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat
dalam batang otak.
Pada komosio serebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya
ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul
akibat terhapusnya rekaman kejadian antaranya di daerah lobus temporalis.
Pemeriksaan yang selalu dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori.
Terapinya simptomatis dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang.
EDEMA SEREBRI TRAUMATIK

Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama
pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada
pemeriksaan neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien
mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin
hanya dijumpai tekanan yang agak meingkat.
Pada petinju mungkin terjadi keadaan grogi dengan kesadaran yang menurun ringan,
tampak seperti linglung, gerakan tidak teratur, tidak efisien, kurang cepat, keseimbangan
sedikit terganggu, mungkin hanay mengeluh sedikit nyeri kepala dan pusing. Keadaan
demikian dapat berlangsung sebebntar atau hingga berhari-hari. Pada keadaan ini batang otak
mengalami edema. Setelah membaik, penderita tidak ingat dengan baik apa yang telah
dialaminya.

Pemeriksaan tambahan yang dilakukan yang diperlukan sama dengan komosio


serebri, bila mungkin ditambah dengan CT-Scan kepala. Terapi hanya istirahat dan
simptomatis.

KONTUSIO SEREBRI

Pada kontusio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam


jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi, kontusio terjadi di
daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan
occipital selain ditempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan
pada jalan garis benturan.
Lesi kedua ini disebu lesi kontra benturan (contra-coup). Perdarahan mungkin pula
terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini, dan ada permukaan bagian otak yang menggeser
karena gerakan akibat benturan ini.
Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan
neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan
penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau dijumpai
defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung 6 jam penurunan kesadarannya,
biasanya selalu dijumpai defisit neurologik neurologik yang jelas. Gejala-gejalanya
bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada
perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan
subarakhnoidal atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang
berat dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial.
Tekanan intra kranial yang meninggi menimbulakan gangguan mikrosirkulasi otak
dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang
erakhir dengan kematian bila tidak diputus.
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon, pernapasan biasa atau bersifat
Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi
yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi
pada sendi siku.
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak
teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigidiras deserebrasi dengan keempa
ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan
kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila
medulla oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang
kematian.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan adalah: foto Rontgen polos, bila
mungkin CT-Scan, EEG, pungsi lumbal.
Terapi:
Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk mencegah menigginya
tekanan intra kranial.
a. usahakan jalan napas yang lapang dengan:
- membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan
- melonggarkan pakaian yang ketat
- menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung
- untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan
- bila perlu pasang pipa endotrakeal atau lakukan trakeotomi
- O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi
b. hentikan perdarahan
c. bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi
d. letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak
mengganggu jalan napas
e. berikan profilaksis antibiotik bila ada luka-luka yang berat
f. bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok,
pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga keesokan
harinya.

EPIDURAL HEMATOMA

Pada hematom epidural terjadi perdarahan diantara tengkorak dan duramater akibat robeknya
arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Arteri terletak diantara meningens dan tulang
tengkorak. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat
memancar.
Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom
bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial.
Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar. Pada sisi kontra lateral dari benturan timbul gejala-gejala terganggunya
traktus kortikospinalis, misalnya reflek tendo tinggi, reflek patologis positif dan hemiparese.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontra lateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkanreaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Ciri khas pada epidural hematoma murni adalah terdapatnya interval bebas antara dua
penurunan kesadaran yang disebut lucid interval. Jika epidural hematoma disertai cedera otak
seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur.

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency dalam bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat. Duramater melekat erat pada sutura sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak yang memudahkan terjadinya herniasi trans dan infra tentorial,
sehingga jika penanganan terlambat maka pasien dapat meninggal.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen
kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur yang
terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi
hematoma. Bila memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan.

Penanganan untuk epidural hematoma:


a. Penanganan darurat: dengan trepanasi sederhana (boor hole) atau kraniotomi untuk
mengevakuasi hematoma
b. Indikasi operasi dibidang bedah saraf: untuk life-saving dan untuk functional saving.
Indikasi life-saving adalah jika lesi desak ruang bervolume >5cc (desak ruang thalamus),
>10cc (desak ruang infra tentorial) dan >25cc (desak ruang supra tentorial).
c. Indikasi evakuasi: efek massa yang signifikan yaitu penurunan klinis, efek massa dengan
volume >20cc dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif atau jika
tebal EDH >1cm dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif .

SUBDURAL HEMATOMA

Subdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena
dalam ruang subarakhnoid. Pembesaran hematoma kerana robeknya vena akan memerlukan
waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.
Subdural hematoma dibagi menjadi hematoma subdural akut bila gejala timbul pada hari
pertama sampai ketiga, subakut bila timbula antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan
kronis apabila timbul sesudah minggu ketiga.
Subdural hematoma akut secara klinis sukaar dibedakan dengan epidural hematoma yang
berkembang lambat. Subdural hematoma akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu
proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau
dementia.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Subdural hematoma yang besar memberi gejala seperti hematom epidural. Pada perdarahan
yang ringan memberi gejala permulaan yang ringan dan setelah beberapa waktu secara
perlahan gejala menjadi berat dan sifatnya progresif.
- Nyeri kepala hebat, muntah.
- Gangguan penglihatan karena edem dari papil N II.
- Pada sisi kontralateral hematom terdapat gangguan traktus piramidalis.

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu dengan Rontgen tengkorak AP-
Lateral dengan sisi daerah trauma pada film. Jika memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan
dan EEG. Pada CT-Scan akan terlihat gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika disertai
kontusio serebri akan tampak pula bercak-bercak hiperdens di parenkim otak (salt and
pepper). Pungsi lumbal tidak dilakukan karena tekanan intra kranial yang tinggi dapat
menimbulkan herniasi tentorial.
Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematoma.
Karena subdural hematoma sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan dengan
epidural hematoma, prognosisnya lebih jelek. (5,11)

SUBARAKHNOID HEMATOMA

Perdarahan terjadi di rongga subarachnoid, sering menyertai kontusio serebri. Pada


pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah. Cairan serebrospinal yang berdarah
tersebut dapat merangsang selaput otak sehingga timbul kaku kuduk. Penatalaksanaan seperti
pada kontusio serebri.

KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang.
Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku
tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik


(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga
mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada
sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak,
biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang.
Kerusakan pada lobus frontalis dapat mengakibatkan kelainan yang berhubungan
dengan hal ikhwal tingkah laku (kurang kontrol, agresif, anti-sosial), dementia, gerakan halus
yang kurang lancar, gerakan yang kurang ritmis, dan afasia.

Kerusakan Lobus Parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa
berasal dari daerah ini.
Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan pada lobus parietalis dapat mengakibatkan apraksia, agnosia, disorientasi,
gangguan body image, emiparesis, hemihipestesia dan hemianopsia.

Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan
gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan
akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita
dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak
biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

FRAKTUR

Definisi

Hilangnya kontinuitas tulang

Etiologi

Fraktur dapat disebabkakan berbagai hal :


1. Trauma
2. stress berulang (atlet, penari)
3. kelaianan patalogis (osteoporosis dan riketsia )

Tanda dan gejala

Adanya riwayat trauma


Rasa nyeri dan bengkak pada bagian tulang yang patah
Deformitas (angulasi)
Nyeri tekan
Krepitasi
Gangguan fungsi muskuloskeletal
Putusnya kontinuinitas tulang
Gangguan neurovaskular

Diagnosis

Diagnosis hampir pasti di awali dengan trauma disertai gejala klasik fraktur.

Klasifikasi

1. Komplit dan inkomplit

2. Bentuk garis

3. Pergeseran
4. Tertutup dan terbuka

Prinsip Penanganan Fraktur

1. recognized

2. Reduction

3. Retaining

4. Rehabilitation

Pemeriksaan Penunjang

Rule of two dalam pemeriksaan radiologi


1. Two View
2. Two joints
3. Two limbs
4. Two injures
5. Two occasions

Anda mungkin juga menyukai