Anda di halaman 1dari 7

Manajemen Kalazion - Tatalaksana Bedah Versus Aplikasi

Triamsinolon

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan lamanya pengobatan dan
efisiensi terapi terapan dalam dua kelompok pasien dengan kalazion yang menjalani
prosedur pembedahan atau mendapat aplikasi triamsinolon. Penelitian kami melibatkan
30 pasien dengan kalazion yang bertahan selama sekitar satu bulan. Semuanya resisten
terhadap terapi antimikroba topikal. Pasien-pasien ini dibagi dalam dua kelompok. 15
pasien menjalani prosedur bedah, termasuk insisi, kuret dan eksisi kapsul kalazion,
sementara 15 pasien lainnya menjalani aplikasi triamsinolon langsung (dosis 2-4 mg).
Pasien dipantau sehari setelah terapi, dua minggu setelah terapi dan satu bulan setelah
terapi. Kami menemukan bahwa pengobatan kalazion dengan aplikasi triamsinolon
secara langsung dalam lesi akan lebih nyaman bagi pasien, membutuhkan waktu lebih
sedikit untuk mengobati dan tidak memerlukan terapi antimikroba topikal tambahan.
Kata kunci: kalazion, perawatan bedah, aplikasi triamsinolon, lama terapi

Pendahuluan
Kalazion atau kista meibomian adalah lipogranuloma inflamasi kronis yang
disebabkan oleh penyumbatan lubang kelenjar dan stagnasi sekresi sebasea di tarsus
kelopak mata. Kalazion dapat mempengaruhi segala usia, muncul lebih sering pada orang
dewasa, dapat dalam bentuk tunggal atau multipel, serta pembentukan klinis berulang.
Beberapa kalazion lebih umum pada kelopak mata atas1, yang dapat dijelaskan karena
lebih banyaknya distribusi anatomi kelenjar di kelopak mata atas. Kalazion memiliki
ukuran yang bervariasi, kadang-kadang bahkan tidak terlihat, tetapi teraba seperti tahanan
di tarsus. Eversi kelopak mata biasanya menunjukkan kalazion yang mengalami inflamasi
sepanjang konjungtiva tarsal, yang selanjutnya dapat menjadi granuloma putih yang
berpotensi pecah. Kalazion biasanya menyebabkan gejala lokal seperti iritasi, peradangan
dan perusakan kosmetik. Lesi yang lebih besar dapat menginduksi ptosis mekanik dan
menyebabkan penglihatan kabur akibat astigmatisme yang diinduksi2 karena menekan
kornea, dan jarang kalazion dapat menyebabkan konjungtivitis atau selulitis3.
Kalazion jarang hilang secara spontan (25-50%)4,5, dan terutama memerlukan
perawatan yang mencakup kebersihan kelopak mata, pijatan, kompres hangat, tetes
antibiotik dan terkadang tetrasiklin sistemik per oral (pasien dengan acne rosacea atau
dermatitis seboroik). Sebagian kalazion kecil dapat menghilang secara spontan,
sementara sebagian lain terapeutik untuk pengobatan konservatif, tetapi pendekatan
bedah merupakan satu-satunya metode pengobatan yang bereaksi baik terhadap kalazion
dengan presentasi lebih tinggi. Perawatan bedah termasuk suntikan steroid, CO2,
perawatan laser, eksisi lesi, dan kuretase atau eksisi total. Keberhasilan pendekatan bedah
konvensional kalazion berkisar antara 60-89%, sedangkan pengobatan konservatif
berhasil dalam 25-77%. 6,7,8
Analisis patologi kalazion mengkonfirmasi perubahan inflamasi
lipogranulomatosa kronik8, mungkin sebagai akibat iritasi kronis dengan mikroorganisme
virulen rendah. Secara histologis, kalazion digambarkan sebagai granuloma epiteloid,
terdiri terutama dari histiosit sensitif kortikosteroid, sel granulosit mononuklear, limfosit,
sel plasma, sel polimorfonuklear dan eosinofil.9
Pada dasarnya penting untuk membedakan kalazion dan lesi ganas seperti
karsinoma sel sebasea yang memiliki presentasi klinis yang sangat mirip, tapi untungnya
sangat jarang terjadi. Usia rata-rata pasien dengan karsinoma kelenjar sebasea adalah
antara 57 dan 68 tahun12. Oleh karena itu, wajib untuk melakukan verifikasi histologis
jaringan yang direseksi pada pasien ini

Pasien dan metode


Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Mata, Rumah Sakit Klinik Osijek,
Europska avenija 14–16, 31000 Osijek, Kroasia. Semua subjek yang termasuk dalam
penelitian ini adalah pasien dengan presentasi klinis kalazion yang dirujuk untuk
pemeriksaan oftalmologi oleh dokter keluarga mereka. Semua pasien mulai dengan terapi
konservatif (tetes antibiotik lokal, pijat, hangat, perban kering) di bawah rekomendasinya.
Penelitian ini melibatkan 30 pasien dengan kalazion primer yang dibagi menjadi dua
kelompok, dipilih secara acak. Kelompok pertama pasien (N = 15) diterapi dengan injeksi
intralesi triamsinolon asetonid (TA) (0,1 hingga 0,2 mL (40 mg / mL) dan kelompok
kedua pasien (N = 15) dioperasi (insisi, kuretase) (IC).
Setiap pasien menjalani pemeriksaan ophthalmological secara rutin dengan
penilaian ukuran lesi. Penelitian ini melibatkan pasien dengan kalazion primer> 2 mm.
Kami memperkirakan ukuran kalazion sebelum dan sesudah prosedur, waktu
resolusi, kekambuhan dan komplikasi pengobatan (perubahan pigmen kulit, atrofi kulit,
piodermisasi dan hematoma pasca bedah). Sukses didefinisikan sebagai setidaknya 80%
penurunan ukuran lesi tanpa kekambuhan. Jika lesi tidak hilang atau jika ukuran
diameternya berkurang < 1 mm pada kunjungan berikutnya, prosedur yang sama yang
dilakukan diawal diulangi.
Untuk penilaian rasa sakit pada pasien selama dan setelah perawatan, kami
menggunakan 11-point Numerical Rating Scale versi sederhana13, pasien melaporkan
tingkat rasa sakit yang mereka rasakan selama operasi (Goawalla menggunakan skala
yang sama dalam studinya) . Pasien diminta untuk menilai keseluruhan pengalaman rasa
sakit mereka pada skala 0 hingga 10, 0 berarti - Saya tidak merasakan apa pun selama
operasi, dan 10 berarti - saya merasakan rasa sakit terburuk yang saya derita sejauh ini
dalam hidup.
Untuk menilai kepuasan pasien dengan pilihan pengobatan yang dipilih, dinilai
menggunakan skala kepuasan Likert. Skala ini memiliki lima tingkat kepuasan, di mana
satu (1) berarti - saya sangat tidak puas dan lima (5) berarti - saya sangat puas.
Kriteria eksklusi adalah: kalazion yang terinfeksi akut dengan selulitis preseptal,
kalazion rekuren, kalazion yang sangat kecil (2 mm), dan pasien di bawah 18 tahun.
Teknik injeksi Triamsinolon asetonid (TA): Triamsinolon asetonid dapat
diterapkan dalam kalazion secara transkutan atau melalui konjungtiva. Dalam studi ini,
Triamsinolon asetonid (TA) diaplikasikan secara transkutan setelah pemberian anestesi
lokal (salep EMLA 5%) di tempat injeksi dengan tujuan untuk menghindari rasa sakit.
Jarum ukuran dua puluh delapan (28) pada spet insulin 1-ml digunakan untuk
menyuntikkan 0,2 mL Triamsinolon asetonid (TA) 40 mg / mL. Setelah pemberian obat,
tidak ada terapi antibiotik lokal atau oklusi mata yang diterapkan. Pasien diinstruksikan
untuk menerapkan pijatan lembut di atas kalazion selama 5 menit tiga kali sehari selama
5 hari.
Perawatan bedah termasuk aplikasi lokal lignocaine 2% dengan adrenalin 1:10
000 secara transkutan, eversi dari kelopak mata dengan penjepit kista, sayatan vertikal
konjungtiva tarsal dan kuretase dari isi kista. Setelah prosedur pembedahan, diberi salep
antibiotik dan oklusi tekan okular. Pasien diobservasi di klinik sampai perdarahan
berhenti dan mendapat salep Kloramfenikol empat kali sehari untuk 1 minggu untuk
dioleskan di mata.
Pasien ditindaklanjuti 7 hari setelah operasi karena evaluasi kemungkinan
komplikasi lokal dan 3 minggu setelah operasi untuk menilai kalazion.

Statistik
Data yang dikumpulkan diringkas dalam tabel Microsoft Excel dan statistik
deskriptif dianalisis oleh perangkat lunak SPSS 16.0 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA).
Untuk membandingkan antara kelompok, Mann-Whitney U-test digunakan dan tingkat
signifikansi ditetapkan pada p <0,05. Nilai-nilai disajikan sebagai median dengan
rentang.

Hasil
Resolusi Kalazion
Hasil penelitian kami menunjukkan keefektifan yang sama dari kedua pendekatan
terapi. Pada kelompok pasien pertama (triamsinolon asetonid addministration-TA), ada
pengurangan lesi pada 13 pasien (86%), sedangkan pengurangan lesi pada kelompok
kedua pasien terlihat pada 12 pasien (80%). Dua pasien mengalami deposit kuning dan
tiga pasien mengalami hematoma di tempat injeksi transkutan dari triamsinolon asetonid
(TA). Tiga pasien mengalami hematoma palpebral setelah prosedur pembedahan. Tidak
ada komplikasi serius yang diperhatikan, seperti peningkatan tekanan intraokular yang
berkepanjangan (semua pasien dalam kelompok pertama (TA) menjalani pengukuran
tekanan intraokular menggunakan tonometri Goldmann sebelum aplikasi triamsinolon
asetonid dan pada beberapa kontrol di kemudian hari, atrofi orbital lemak, depigmentasi
kulit, oklusi vaskular atau kehilangan penglihatan pada kelompok pertama pasien yang
mendapat triamsinolon asetonid.
Gambar 1. Laporan nyeri (A) dan kepuasan (B) pengobatan dalam skala masing-masing
0 – 10 dan 1 – 5. IC – Tatalaksana bedah, TA – Tatalaksana triamsinolon asetonid,
p<0.0001.

Nyeri selama pengobatan


Ada perbedaan yang signifikan dalam sensasi nyeri antara kelompok pasien yang
diamati. Skor nyeri tertinggi pada kelompok I / C dengan skor median 6 (5,7). Pada
kelompok triamsinolon asetonid (TA), pasien tidak merasakan nyeri sama sekali dan skor
median adalah 0 (0,0).

Pendekatan terapeutik dan kepuasan pasien


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapat Triamsinolon
asetonid (TA) lebih puas daripada pasien yang menjalani insisi dan kuretase klasik isi
glandula (kelompok I / C). Median pada kelompok pertama adalah 4 (4,4) dan pada
kelompok kedua 3 (2,4). Namun, pasien yang menjalani kuretase juga puas dengan hasil
klinis tetapi sebagian besar tidak puas dengan rasa sakit yang mereka derita selama dan
setelah operasi, sehingga ketidaknyamanan karena oklusi kompresi mata setelah
tatalaksana.

Diskusi
Kalazion adalah patologi mata yang paling umum yang memerlukan intervensi
bedah. Prosedur bedah konvensional termasuk sayatan konjungtiva tarsal dan kuretase
dari isi glandula yang terinflamasi. Dalam banyak kasus, prosedur ini berjalan tanpa
komplikasi.
Sebuah survei dari dokter mata Kanada telah menyarankan operasi kalazion
seharusnya tidak diremehkan dan harus diperlakukan sama seperti operasi mata lainnya14.
Di banyak institusi dilakukan sebagai one-stop procedure pada hari kunjungan pertama
pasien. Kita percaya bahwa pendekatan ini tidak tepat karena pasien tidak siap secara
mental untuk intervensi bedah. Baru-baru ini, pilihan untuk pengobatan kalazion
sederhana dan sangat efektif adalah suntikan steroid intralesi. Injeksi intralesi steroid
untuk pengobatan kalazion pertama kali dijelaskan oleh Leinfelder di 1964.15 Sejak itu,
banyak penelitian yang menyatakan keampuhannya injeksi kortikosteroid intralesi dan
telah ditunjukkan keefektifan yang sama dari kedua metode pengobatan kalazion9,16,17.
Hasil penelitian Goawalla tahun 2007 menunjukkan bahwa satu injeksi
transkonjungtiva 0,2 mL TA 40mg/ mL diikuti dengan pijatan jari berulang di rumah,
memiliki kemanjuran yang sebanding dengan insisi dan kuretase dalam pengobatan
kalazion, dengan kepuasan pasien yang sama, mengurangi rasa sakit dan
ketidaknyamanan pasien1. Pasien yang diobati dengan aplikasi intralesi triamsinolon
asetonid (TA) memiliki kunjungan yang lebih sedikit ke dokter spesialis mata, tidak
memerlukan terapi antibiotik dan analgesik, tidak membutuhkan oklusi kompresif selama
24 jam pada mata, seperti pada pasien yang menjalani kuretase klasik kalazion. Meskipun
kedua metode ini sama efektifnya, dapat disimpulkan bahwa masing-masing memiliki
indikasi masing-masing. Terapi steroid adalah yang paling efektif ketika kalazion belum
memiliki infeksi sekunder. Dalam hal ini, prosedur bedah memiliki keuntungan.
Keuntungan dari aplikasi triamsinolon ketika tempat kalazion dekat dengan sistem
drainase lakrimal dengan tujuan untuk menghindari kemungkinan kerusakan akibat
pembedahan. Metode pilihan ketika mengobati kalazion pada anak-anak dan pasien yang
lebih muda adalah aplikasi triamsinolon asetonid (TA), karena pasien-pasien ini mungkin
memiliki keengganan psikologis yang substansial terhadap pembedahan (yang
melibatkan suntikan anestetik plus prosedur bedah) dibandingkan dengan suntikan saja.
Penatalaksanaan bedah (insisi, kuretase) memiliki keuntungan ketika mengobati
lesi yang terinfeksi, pasien yang tidak respon terhadap 2 atau 3 suntikan triamsinolon
asetonid (TA), kalazion dekat dengan sistem drainase lakrimal, pasien yang menderita
glaukoma dan pasien dengan lesi suspek adenokarsinoma yang perlu reseksi bahan untuk
verifikasi histopatologi. Tidak ada komplikasi saat melakukan salah satu dari dua metode
pengobatan kalazion ini. Saat melakukan operasi insisi dan kuretase, penting untuk
menindaklanjuti pasien untuk mendeteksi pembentukan bekas luka di tempat sayatan,
yang dapat menyebabkan gejala iritasi lokal. Efek samping yang paling umum dari
aplikasi intralesi dari triamsinolon asetonid (TA) adalah depigmentasi lokal pada kulit,
jarang muncul ketika obat diaplikasikan secara transkonjungtiva. Secara umum,
pendekatan konjungtiva meminimalkan risiko penetrasi yang tidak disengaja. Ho18
mendokumentasikan bahwa dua dari 48 pasien yang menjalani injeksi intralesi
triamsinolon asetonid subkutan mmengaruhi depigmentasi kulit lokal, sementara dalam
penelitian Goawalla, tidak ada dari 56 pasien yang menjalani prosedur ini yang
mengalami efek buruk ini. Dalam penelitian kami, dua pasien mengalami depigmentasi
kulit lokal. Satu penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah bahwa meskipun suntikan
secara intralesi, kadang-kadang sebagian kecil dari triamsinolon asetonid (TA) terendap
oleh jarum di jalan masuk atau keluar dari tempat suntikan. Penjelasan lain adalah
konsentrasi obat yang digunakan dalam pengobatan, meskipun konsentrasi triamsinolon
asetonid (TA) yang digunakan dalam penelitian Ho adalah 10 mg / mL, sementara dalam
penelitian kami menggunakan pengenceran 40 mg / mL. Rata-rata waktu resolusi
kalazion setelah satu injeksi triamsinolon asetonid (TA) adalah dua setengah minggu,
yang berkorelasi dengan studi Simon dkk.19

Kesimpulan
Kesimpulannya, kita dapat mengatakan bahwa kedua metode sama efektif dalam
pengobatan kalazion. Penerapan triamsinolon asetonid (TA) intralesi memiliki
keuntungan untuk anak-anak, pasien memiliki reaksi alergi lokal atau sistemik anestesi,
juga ketika memiliki kalazion dekat dengan sistem drainase lakrimal. Meskipun efek
samping yang serius dari pengobatan ini jarang terjadi (pecahnya bola mata, kehilangan
penglihatan karena embolisme mikro ), pendekatan terapi ini tidak diterima secara luas
oleh dokter mata, mungkin karena ketakutan, karena sayatan dan drainase tidak memiliki
efek samping potensial yang begitu serius.

Anda mungkin juga menyukai