Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

1. DEFINISI
Benigna Prostatic hyperplasia adalah keadaan kondisi patologis yang
paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering
ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya. A &
Putri. Y, 2013). BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari
pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana, 2011). Hiperplasia
prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker (Corwin, 2009).
Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel
stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel
stroma dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi atau gangguan
pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya akumulasi sel
(Reohrborn, 2011)
Kesimpulan BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

2. TAHAPAN PERKEMBANGAN PENYAKIT BPH


Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan
De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1) Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml
2) Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3) Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4) Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
3. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan
bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT)
dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi
pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan
terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan
angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar
80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH
menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori
hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi
stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel
stem.
1) Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis
dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel
prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang
dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
2) Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan
antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon
estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-
sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin 14 dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic
Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan
pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat.
Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya
sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian
sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
5) Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel
baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi
apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan
sel stroma maupun sel epitel.

4. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan
gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada
saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2) Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian
atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3) Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis
atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan
pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal.
Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.

5. PATOFISIOLOGI
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka
destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi
urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka
akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala
iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari
urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala
iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan
nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan
refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong,
2005).
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar
dari fungsi ginjal dang status metabolik. Pemeriksaan prostate spesific
antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentu perlunya biopsi atau
sebagai deteksi dini keganasan. Bila niali PSA <4 ng/ml tidak perlu biopsi.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate Spesific Antigen
Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila
PSAD >0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat demikian ula bila PSA >
10 ng/ml.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua efek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernapasan
biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka
fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup
Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt,
trombosit, BUN, Kreatinin serum.
c. Pemeriksaan Radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, UDG
dan sitoskop. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH,
derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat
juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagaln ginjal. Dari pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidonefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO/IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk
melihat/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP
buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya
dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertil. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya
refluks urin. Sedudah kencing adalah menilai residual urin

7. PENATALAKSANAAN
1) Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk
menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat
dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih
(jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien
dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium,
sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011)
dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin.
2) Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut


Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5
alfa reduktase, fitofarmaka.

a. Penghambat adrenergenik alfa


Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah
0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara
selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak
kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang
banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan
kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat
golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal
ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien
mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia
mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing,
sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan
ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik,
antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek
pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan
bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi
dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido,
impoten dan gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka/fitoterapi Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara
lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto,
serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama
1- 2 bulan dapat memperkecil volume prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio
urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran
kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap
pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan
meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
1. Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat
dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan
segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan
kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain,
kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai
bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2. Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk
biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3. Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat
tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun
jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan
lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat
dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
8. Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi
kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.
Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr. Tindakan ini dilaksanakan apabila
pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk
mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain
tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu
tinggal dirumah sakit lebih singkat. Komplikasi TURP adalah rasa
tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus
menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
9. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi
dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan
volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
10. Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada
pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi
invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe
Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD),
Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),
Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis
pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit
besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui
transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang
diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai
antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan
dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan
menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini
efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3.
Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun
efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang
digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai
energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100
derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri,
disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada
uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran
prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga
urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini
ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.

11. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan eliminasi urin
2. Gangguan pola tidur
3. Risiko infeksi
4. Nyeri akut
5. Ansietas
6. Risiko syok
7. Risiko cidera
8. Gangguan rasa nyaman
PATHWAY BPH
Perubahan Keseimbangan antara hormmon testosteron dan estrogen

Testosteron bebas + enzim 5α reduktase

Dehidro Testosteron (DHT)

Diikat reseptor (dalam sitoplasma sel prostat


Proses menua
Mempengaruhi inti sel (RNA)
Interaksi sel epitel dan
Peningkatan sel Ketidakseimbangan stroma
stem Poliferasi sel inflamasi
hormon

Hyperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat

BPH Statis urin

Penyempitan lumen uretraa pars prostatika Media


Penurunan fungsi berkembangnya
ginjal Menghambat aliran urin patogen

hidronefrosis Bendungan vesica urinaria RESIKO INFEKSI

hidroureter Peningkatan tekanan intra vesikal Kontraksi otot


suprapubik
Refluks urin Hiperiritable pada blader
kontraksi tidak
adekuat Tekanan mekanis
Retensi urin total Peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-biuli
Merangsang
Hipertropi otot detrusor, trbekulasi nosiseptor

Terbentuknya selula,sekula & divertikel buli-buli Dihantarkan serabut


tipa Ao & C
LUTS (Lower Urinary Tract Syndrom)
Medulla spinalis
Gejala obstruksi Gejala iritatif
- Intermiten - Urgensi
Talamus Sistem aktivasi Area grisea
- Hesitansi - Frek. BAK
retikular periakueduktus
- Terminal sering (nocturia,
dribbling diurnal uria)
- Pancaran lemah - dysuria Hipotalamus dan sistem limbik
- BAK tdk puas Talamus

GANGGUAN
POLA TIDUR Otak (korteks somatosensorik)
GANGGUAN
ELIMINASI Persepsi nyeri
URIN
Dipasang kateter
NYERI AKUT
Prosedur pembedahan

Kurang terpapar Tindakan infasif Prosedur anestesi Pemasangan plat Kamar operasi
informasi mengenai diatermi
prosedur
pembedahan perdarahan SAB (Sub Suhu ruangan
Arachnoid Block) RISIKO CEDERA rendah
DAFTAR PUSTAKA

1. Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien

Gangguan Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

2. Corwin, EJ 2009, Buku saku patofisiologi, 3 edn, EGC,Jakarta.

3. Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto

4. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

5. Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2,

Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha

Medika

Anda mungkin juga menyukai