Anda di halaman 1dari 32

REFERAT September, 2017

PPOK (Penyakit Paru Obtruktif Kronik)

Disusun Oleh:

Musyarafa
N 111 17 058

Pembimbing Klinik
dr. Andi Wahyudi Pabbabari, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK
DIBAGIAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang


ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan
behubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/ berbahaya. Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau
Chronic Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk
mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa
terhambatnya arus udara pernapasan. Masalah yang menyebabkan
terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan
maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah
Bronkitis Kronik (masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah
dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok
ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan Bronkiektasis.1
PPOK merupakan salah satu penyakit yang memilki beban kesehatan
tertinggi. World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-
communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat
besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi
setelah penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes. GOLD Report 2014
menjelaskan bahwa biaya untuk kesehatan yang diakibatkan PPOK adalah
56% dari total biaya yang harus dibayar untuk penyakit respirasi. Biaya yang
paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit ini.2
Kematian menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh
PPOK, namun diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur
beban sosial. Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life
Year (DALY), yaitu hasil dari penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL)
dan Years Lived with Disability (YLD). Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menempati peringkat

2
ketujuh, dimana sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini menempati urutan
keduabelas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(GOLD) tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
sebagai penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati,
ditandai adanya hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat
progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis
saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu.
Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada
seorang pasien.1 Hambatan aliran napas kronik pada PPOK merupakan
gabungan dari penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan
kontribusi yang berbeda antar pasien ke pasien. PPOK merupakan sebuah
kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis
kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan
napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada
saluran napas dan rusaknya parenkim paru.3. Penyakit paru kronik ini ditandai

3
dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak
sepehunnya reversibel dan bersifat progresif.

2. Prevalensi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay,
Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi
PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan
8,5% pada perempuan.5 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-
laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).6
Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat keempat
setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit serebrovascular. WHO
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan
meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan
meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian
akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga.4

3. Etiologi dan Faktor risiko


Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari
eksaserbasi PPOK. Namun polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal,
infeksi nonpulmonal dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut.
Terdapat bukti yang menunjukan bahwa setidaknya 80% dari PPOK
eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebabkan oleh
bakteri, 30% oleh virus, 5-10% oleh bakteri atipikal. Meskipun ada data
epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan pulusi yang berkaitan dengan

4
peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit,
mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Emboli pulmonal juga
dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut. Emboli pulmonal sevesar 8,9%
menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi PPOK.4
PPOK disebabkaan oleh iritasi yang berlebihan dan partikel-partikel yang
bersifat mengiritasi saluran pernafasan. Setiap partikel bergantung pada ukuran
dan komponen yang dapat memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan
hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari partikel yang terinhalasi oleh
individual tersebut.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih
penting dari faktor-faktor lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering
dijimpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi
utama dari prtotase serin.7
Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-
partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya 4 :
 Asap rokok Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk
mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas
yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk
menderita PPOK bergantung pada “dosis merokoknya”, seperti umur
orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan
berapa lama orang tersebut merokok.

Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat


mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan oleh
partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan
paru-paru “terbakar”.
Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko
kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-
paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga
dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)

5
 Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,
kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil
energi untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga
lainnya. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika
dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang
kendaraan bermotor. IAP diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan
anak-anak setiap tahunnya.
 Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.
 Infeksi saluran nafas berulang.

 Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa
ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan
oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK
dibandingkan perokok pria.
 Status sosio ekonomi dan status nutrisi
 Asma
 Usia

4. Patogenesis
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas,
parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan akrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel
radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti
Leukotrien B4, IL8, TNF yang mapu merusak struktur paru dan atau
mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain

6
yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan
stres oksidatif.10
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas
besar(central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru
dan vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel
radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus
membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan
hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas.
Proses repair ini akan menghasilkan structural remodeling dari dinding saluran
napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat
yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran
pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada
emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus
ringan namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi
destruksi pulmonary capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh
penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah
PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali terjadi adalah penebalan intima
diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-
sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan
kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.11
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan
sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2
mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.10

7
Gambar 2 Kelainan Paru pada penderita
PPOK6

5. Gambaran klinis
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu sesak napas dan
batuk. Adapun gejala yang terlihat seperti :
1. Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula
ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas
bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
2. Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu
pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila
eksaserbasi.
3. Sesak napas (wheezing)
Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini
menunjukan komponen reversibel penyakitnya.Bronkospasme bukan

8
satun-satunya penyebab wheezing. Wheezing pada PPOK terjadi saat
pengerahan tenaga (exertion) mungkin karena udara lewat saluran
napas yang sempit oleh radang atau sikatrik.
4. Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari
saluran napas yang radang dan khasnya “blood streaked purulen
sputum”.
5. Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.11

6. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease
(GOLD) 2010, PPOK dibagi atas 4 derajat yaitu :
 Stage I: Mild
a. Terdapat hambatan aliran udara ringan:- FEV1/FVC < 0.70 - FEV1
> 80% predicted
b. Terkadang terdapat batuk kronis dan produksi sputum
c. Pasien biasanya belum menyadari keabnormalan fungsi parunya
 Stage II: Moderate
a. Hambatan aliran udara sedang- FEV1/FVC < 0.70 - 50% < FEV1 <
80% predicted
b. Nafas memendek atau sesak nafas saat beraktifitas
c. Pada stage ini, pasien mulai mencari pengoba tan karena gejala
gangguan respirasi yang lama atau adanya eksaserbasi penyakitnya
 Stage III: Severe
a. Hambatan udara lebih buruk dibanding stage II - FEV1/FVC < 0.70
- 30% < FEV1 < 50% predicted
b. Sesak nafas semakin mengganggu aktifitas
c. Eksaserbasi berulang dan berefek pada kualitas hidup penderita
 Stage IV: Very Severe

9
a. Hambatan udara sangat buruk - FEV1/FVC < 0.70 - FEV1 < 30%
predicted atau - FEV1 < 50% predicted + chronic respiratory failure
b. Sangat mengganggu aktfitas sehari-hari sehingga menurunkan
kualitas hidup
c. Eksaserbasi dapat mengancam jiwa.8

7. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflamasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambar Klinis
a. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat keja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed – lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero – posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga

10
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater

Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita


kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing
Pursed - lips breathing : Adalah sikap seseorang yang bernapas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal
paru, sianosis sentral dan perifer
c. Palpasi : pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
d. Perkusi : pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
e. Auskultasi :
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
 Faal paru
- Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1
pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

11
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
- Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
 Darah rutin : Hb, Ht, leukosit
 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi, Hiperlusen, Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum /
tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
 Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
- Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

12
 Uji provokasi bronkus : Untuk menilai derajat hipereaktiviti
bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti
bronkus derajat ringan.
 Uji coba kortikosteroid : Menilai perbaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
 Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Radiologi
- CT Scan resolusi tinggi : Mendeteksi emfisema dini dan
menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos.
 Elektrokardiografi : Mengetahui komplikasi pada jantung yang
ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan
 Bakteriologi : Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan
Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut
pada penderita PPOK di Indonesia.10

8. Penatalaksanaan
a. Tujuan pentalaksanaan :
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hudip penderita

13
b. Penatalaksanaan secara umum
 Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat hidup
asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya.. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan
pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.

9. Penatalaksanaan
Medikamentosa
a) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit . Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :

14
 Golongan antikolinergik : Digunakan pada derajat ringan sampai
berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi
lendir (ipratropium bromid, oksitroprium bromid maksimal 4 kali
perhari ).
 Golongan agonis beta – 2 : Bentuk inhaler digunakan untuk
mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat (fenopterol,
salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol)
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 : Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
 Golongan xantin : Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang,terutama pada derajat sedang dan
berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi ekserbasi
akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.( fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin,
formoterol, salmeterol).
b) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metil prednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pasca bronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg
c) Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
 Lini I : amoksisilin, makrolid

15
 Lini II :amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid Komplikasi.
d) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.12

Terapi Oksigen

pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen

 Mengurangi sesak
 Memperbaiki aktivitas
 Mengurangi hipertensi pulmonal
 Mengurangi vasokonstriksi
 Mengurangi hematocrit
 Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
 Meningkatkan kualitas hidup

Indikasi

 Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%


 Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain.12

Terapi Non Farmakologi

16
Rehabilitasi PPOK tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan
toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita
yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:

 Simptom pernapasan berat


 Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
 Kualitas hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial
dan latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti
sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :

 Peningkatan VO2 max


 Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobic
 Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
 Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

a) Endurance exercise : Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot


pernapasan. Latihan ini di programkan bagi penderita PPOK yang
mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat
menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi
maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan
mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita
yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan
ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa
dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu
bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila

17
ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot
pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi
dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang
diutamakan. Endurance exercise
b) Latihan Pernapasan : Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan
mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma
dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot
abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan
memperkuat otot ekstrimitas
c) Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita
PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen
tidak sebesar pada orang sehat.
d) Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya
kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan
toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen
di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.

Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan


fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan
activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang
lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler.12

10. Prognosis
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain.13
Dalam menentukan prognosis PPOK ini, dapat digunakan BODE index untuk
menentukan kemungkinan mortalitas dan morbiditas pasien. BODE ini adalah
singkatan dari: 14
 Body mass index
 Obstruction [FEV1]

18
 Dyspnea [modified Medical Research Council dyspnea scale]
 Exercise capacity
Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut ini:
 Body Mass Index
- Lebih dari 21 = 0 poin
- Kurang dari 21 = 1 poin
 Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1
- >65% = 0 poin
- 50-64% = 1 poin
- 36-49% = 2 poin
- <35% = 3 poin
 Dyspnea scale [MMRC]
- MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
- MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0
poin
- MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti
karena kehabisan napas = 1 poin
- MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa
menit = 2 poin
- MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus
menerus dalam pekerjaan sehari-hari = 3 poin
 Exercise, dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6
menit
- 350 meter = 0 poin
- 250 – 349 meter = 1 poin
- 150-249 meter = 2 poin
- < 149 meter = 3 poin
Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun pasien sebagai
berikut:
 0-2 points = 80%
 3-4 points = 67%

19
 5-6 points = 57%
 7-10 points = 18%
11. Komplikasi
 Gagal Napas Kronik
Ditandai dengan hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan PCO2
>60 mmHg dan pH normal
 Gagal Napas akut pada Gagal Napas Kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa adanya sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
 Infeksi Berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi
berulang, pada kondisi kronik ini imunitas menjadi kebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
 Kor Pulmonale
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50%, dapat disertai
gagal jantung kanan.11

20
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. Bs
Umur : 62 tahun
Pekerjaan :
Alamat : Jl. Kalora No.6
Pendidikan :
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 10 Agustus 2017
Ruangan : AMC kls 1

II. Anamnesis
a. Keluhan utama: Sesak Nafas
b. Riwayat penyakit sekarang: Pasien masuk RS dengan keluhan sesak
nafas yang sudah dialami sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan batuk berlendir berwarna kuning pucat yang
dialami sudah sejak lama ± 2 bulan. Namun 2 hari sebelum masuk rumah
sakit batuk yang dialami pasien semakin memburuk, nyeri dada (+).
Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati, mual disangkal, muntah bila
batuk, BAK lancar seperti biasa, BAB tidak lancar sudah 5 hari pasien
mengeluhkan belum BAB.
c. Riwayat penyakit terdahulu: Pasien pernah dirawat di RSU Anutapura
pada tahun 2015 dengan keluhan nyeri ulu hati dan masuk kembali
dengan keluhan sesak pada Agustus 2017. Riwayat merokok. Riwayat
diabetes mellitus. Riwayat minum alkohol disangkal. Riwayat hipertensi
disangkal
d. Riwayat penyakit dalam keluarga: tidak ada keluarga yang menderita
penyakit yang sama dengan pasien
III. Pemeriksaan Fisik

21
Keadaan umum
SP: SS/CM/GK
BB:45 kg
TB: 160 cm
IMT: 17,57 kg/m2
Vital sign
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 60x/menit
Pernapasan : 40x/menit
Suhu : 36,50C

Kepala
Wajah : Simetris bilateral
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal

Mata
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
Pupil : Isokor
Mulut : Tidak sianosis

Leher
Kelenjar GB : Tidak ada pembesaran
Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : Tidak ada peningkatan
Massa lain : Tidak ada

Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi interkosta tidak ada

22
Palpasi : Ekspansi paru normal, vocal fremitus paru kanan dan kiri
sama
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Rh +/+, Wh -/+
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat SIC V Linea mid clavicula sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba SIC V Linea mid clavicula sinistra
Perkusi
Batas atas : SIC II linea midclavicula sinistra
Batas kanan : SIC IV linea midclavicula dextra
Batas kiri : SIC V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I/II murni reguler, murmur (-)

Perut
Inspeksi : Kesan flat
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Timpani keempat kuadran (+)
Palpasi : nyeti tekan (+) pada epigastrik

Anggota gerak
Atas : Akral hangat, tidak ada edema
Bawah : Akral hangat, tidak ada edema
Pemeriksaan Khusus:

e. Resume: Pasien laki-laki usia 62 tahun masuk RS dengan keluhan sesak


nafas yang sudah dialami sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan batuk berlendir berwarna kuning pucat yang
dialami sudah sejak lama ± 2 bulan. Namun 2 hari sebelum masuk rumah
sakit batuk yang dialami pasien semakin memburuk, pasien mengeluhkan
nyeri dada. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati, muntah bila batuk,

23
BAK lancar seperti biasa, BAB tidak lancar sudah 5 hari pasien
mengeluhkan belum BAB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 150/90
mmHg, N 60x/menit, P 40x/menit, S 36,50C. Konjungtiva anemis -/-,
pemeriksaan Auskultasi abdomen ditemukan peristlatik kesan normal,
pada perkusi didapatkan timpani di 4 kuadran abdomen, dan palpasi di
dapatkan nyeri tekan pada regio epigastrik.

IV. Diagnosis Kerja : susp. Bronchitis kronis

V. Diagnosis Banding : PPOK

TB Paru
VI. Usulan Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap
- Foto thorax
- Sputum BTA
- EKG
VII. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
- Istirahat yang cukup
- Diet rendah gula
Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Combivent nebuleizer
- Ambroxol 30 mg 3x1
- Ranitidine injeksi 25mg/ml
- Retaphyl SR 300 mg
VIII. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Lab:
Darah lengkap: RBC : 3,8 106/mm3
HGB : 11,9 g/dl
HCT : 32,8 %

24
PLT : 180 103/mm3
WBC : 5,4 103/mm3
MCV : 85,6 fl
MCH : 31,1 pg
GDS : 163 mg/dl
Radiologi :
EKG :

IX. Diagnosis Akhir


PPOK
X. Prognosis
Dubia ad bonam (tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid,
penyakit komorbid lain)

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki usia 62 tahun masuk RS dengan keluhan sesak nafas yang
sudah dialami sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluhkan batuk berlendir berwarna kuning pucat yang dialami sudah sejak
lama ± 2 bulan. Namun 2 hari sebelum masuk rumah sakit batuk yang dialami
pasien semakin memburuk, pasien mengeluhkan nyeri dada. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati, muntah bila batuk, BAK lancar seperti biasa, BAB
tidak lancar sudah 5 hari pasien mengeluhkan belum BAB. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan TD 150/90 mmHg, N 60x/menit, P 40x/menit, S 36,50C.
Konjungtiva anemis -/-, pemeriksaan Auskultasi abdomen ditemukan peristlatik
kesan normal, pada perkusi didapatkan timpani di 4 kuadran abdomen, dan
palpasi di dapatkan nyeri tekan pada regio epigastrik.

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis untuk pasien ini


mengarah ke diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Berdasarkan
teori PPOK pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, Sebagian besar penderita yang
datang berobat sudah pada drajat 2 dengan keluhan pemendekan dalam bernafas
terus-menerus, kadang-kadang bertambah sesak apabila bergerak. Di samping
keluhan sesak nafas ada pula keluhan seperti batuk batuk kronis dan sputum
yang produktif , kurang nafsu makan sehingga menimbulkan penurunan berat
badan. Untuk pemeriksaan fisik biasanya didapatkan laju napas > 20 x/menit, bila
sesak napas berat dapat ditemukan sianosis, dan retraksi intercostal. Ventilasi,
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Pemeriksaan Foto Toraks,


dijumpai kelainan: paru hiperinflasi, hiperlusen, diafragma mendatar, corakan
bronkovaskuler meningkat, bulla, jantung pendulum pada Uji Spirometri, yang
merupakan diagnosis pasti, dijumpai VEP1 < KVP < 70% pada Uji bronkodilator

26
(saat diagnosis ditegakkan) : VEP1 paska bronkodilator < 80%. Menurut Teori,
paru mengalami hiperinflasi dari kebanyakan kasus PPOK berhubungan
dengan terjebaknya udara akibat saluran pernapasan yang mengalami
penyempitan pada keadaan ini terjadi peningkatan diameter anteroposterior.
Peningkatan diameter ini berkaitan dengan penyakit PPOK. Terdapat pula bullae
gambaran bullae suatu kantong berdinding tipis yang berisi udara. Bllae biasanya
terletak didekat pleura atau di perifer paru. Berbentuk bulat dan berdinding tipis.
Pemeriksaan EKG kelainan dini yang didapatkan rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah di V1 rasio R/S kurang dari 1.

Dan untuk penatalaksanaannya menurut derajat PPOK

DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN


Semua  Hindari faktor pencetus
derajat  Vaksinasi influenza
Derajat I VEP1 / KVP < 70 % a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,
(PPOK VEP1  80% antikolinergik kerja pendek) bila perlu
Ringan) Prediksi b. Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 50%  VEP1  80% dengan bronkodilator: inhalasi bila
sedang) Prediksi dengan atau a. Antikolinergik uji steroid
tanpa gejala kerja lama sebagai positif
terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat III VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 30%  VEP1  50% dengan 1 atau lebih inhalasi bila
Berat) prediksi bronkodilator: uji steroid

27
Dengan atau tanpa a. Antikolinergik positif atau
gejala kerja lama sebagai eksaserbasi
terapi berulang
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat IV VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau
(PPOK VEP1 < 30% prediksi lebih bronkodilator:
sangat atau gagal nafas atau a. Antikolinergik kerja lama sebagai
berat) gagal jantung kanan terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang bila
gagal nafas
pertimbangkan terapi bedah

Menurut teori gejala yang paling sering dikeluhkan pasien PPOK adalah
batuk kronik yang disertai dengan dahak, sesak napas dan demam. Untuk faktor
resikonya adalah rokok. komponen-komponen asap rokok ini merangsang
perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia
ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan

28
pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan.8,9,12

29
BAB V

PENUTUP

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan


aliran udara disaluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya.Bronkitis kronik adalah Kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya. Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai
kerusakan dinding alveoli.
Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering
berhubungan erat dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di
daerah perkotaan, insiden PPOM 1 ½ kali lebih banyak daripada pedesaan.
Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak,
kelak pada masa tua timbul emfisema.
Faktor risiko penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah hal-hal yang
berhubungan dan atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya
PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut
meliputi kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan
dan tempat kerja,hipereaktiviti bronkus dan riwayat infeksi saluran napas
bawah berulang.
Gejala klinis dari PPOK adalah sesak napas,batuk kronis, sesak
napas (wheezing), batuk darah,anoreksia dan berat badan menurun.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Konsensus PPOK. 2008. Tersedia di :


http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-ppok
2. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al.
Global strategy for the diagnosis, management, and prevention
of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD executive
summary. Am J Respir Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65.
3. WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010
: Description of the global burden of NCDs, their risk factors and
determinants. 2011.
4. Soeroto A, Suryadinata H. Penyakit Paru Obtruktif Kronik. Ina J chest crit
and emery med.2014;83-86
5. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Obstruksi
Saluran Pernafasan Akut. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI,
2009.
6. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, et al. International
variation in the prevalence of PPOK (The BOLD Study): a population-based
prevalence study. The Lancet. 2007;370(9589):741-50.
7. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013
8. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis. Management and Prevention.
USA: 2007. From : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
9. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2010. p. 16-19. [serial online]
2007. [Cited] 23 Agustus 2017. Didapat dari :
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=1116
10. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2009.
11. Andika. PPOK dan Nutrisi, PPOK dan Antibiotik,PPOK Eksaserbasi Akut:
2009 Tersedia di : hhtp://www.andikap.wordpress.com/PPOK-eksaserbasi-
akut
12. Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:. p. 1-18.

31
13. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI, 2009. p. 105-8
14. Mosenifar Z. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Didapat dari :
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview#showall.

32

Anda mungkin juga menyukai