Anda di halaman 1dari 23

DIABETES MELITUS

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Farmakoterapi dan Terminologi Medik

Dosen Pengampu : Dr. Maria Caecilia Nanny Setiawati Hadirahardja, M.Sc., Apt

Disusun oleh :
Muhammad Fikri Mukhlis (1061811066)
Rekha Eviana Windari (1061811090)
Tri Nur Azizah (1061811106)
Tri Puji Wahyuningsih (1061811107)
Yunia Pratiwi (1061811114)
Zulfa Nurani Iftitah (1061811115)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2018

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) adalah salah satu penyakit degeneratif yang terus

bertambah jumlahnya. Prevalensi DM yang meningkat disebabkan oleh perubahan


gaya hidup dan pola makan masyarakat. DM timbul akibat terjadinya defisiensi

hormon insulin yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi.


Diabetes melitus adalah suatu gangguan tubuh berupa kenaikan kadar

glukosa di dalam darah (hiperglikemia). Keadaan ini seringkali disertai dengan

gejala-gejala kehausan yang sangat, selalu ingin kencing, penurunan berat badan

dan dapat mengalami koma sampai kematian bila tidak segera diobati. Namun

lebih sering para penderita diabetes ini tidak disertai dengan gejala yang berat,

bahkan pada beberapa orang justru tidak terlihat gejalanya sama sekali. Kadar

gula dalam darah yang tinggi dan abnormalitas biokimiawi lainnya ini sebagai

akibat dari berkurangnya produksi atau sensitivitas insulin, suatu hormon yang

berperan untuk mengatur metabolisme glukosa, lemak dan asam amino. Dalam

jangka panjang, keadaan ini dapat mengakibatkan resiko ganguan lebih lanjut

pada retina, ginjal dan kerusakan saraf perifer (Hasdianah, 2012:2-3).


Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom gangguan metabolisme dan

ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi absolut atau relatif

dari sekresi insulin dan atau gangguan kerja insulin (Meydani, 2011). Jumlah

insulin yang dihasilkan pankreas kurang atau bahkan kadang–kadang lebih tetapi

kurang efektif sehingga timbul Diabetes (Waspadji, 2006). Menurut kriteria

diagnositik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2006,

seseorang didiagnosa menderita Diabetes Melitus jika mempunyai kadar glukosa

darah sewaktu lebih besar dari 200 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa lebih

besar dari 126 mg/dl.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kumpulan genjala yang ditandai oleh

adanya kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) yang disebabkan oleh

kekurangan hormon pengaturan kadar gula darah (insulin), baik secara mutlak,

yaitu memang kadarnya berkurang atau dapat juga jumlah insulinnya sendiri

mencukupi tetapi kerja insulin yang kurang baik dalam mengatur kadar gula darah

agar menjadi selalu normal seperti pada orang normal yang tidak menyandang

diabetes melitus (Waspadji, 2005:5).


Kriteria diagnosis DM menurut WHO dan Perkeni adalah:
1. Gejala klasik DM + kadar gula darah sewaktu >200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala klasik DM + kadar gula darah puasa >126 mg/dL (7,0 mmol/L)
3. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L) (Purnamasari

dan Porwantoro, 2011).


2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
a. Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes tergantung insulin umumnya menyerang anak-anak, tetapi

IDDM dapat juga terjadi di antara orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan

defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis sel-β berat.

Hilangnya fungsi sel- β mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin

kimia, atau umumnya, melalui kerja antibodi autoimun yang ditunjukan untuk
melawan sel- β. Akibat dari dekstruksi sel- β, pankreas gagal berespons

terhadap masuknya glukosa, dan diabetes Tipe I menunjukkan gejala klasik

defisiensi insulin yaitu: Polidipsia adalah rasa haus terus menerus, polifagia

adalah rasa lapar yang tinggi timbul sebagai akibat dari hilangnya kalori, dan

poliuria adalah buang air kecil secara berlebihan . Diabetes melitus Tipe I

memerlukan insulin eksogen untuk menghindari hiperglikemia dan

ketoasidosis yang mengancam kehidupan ( Mycek et al., 2001).


Diabetes melitus Tipe I harus tergantung pada insulin eksogen

(suntikan) untuk mengontrol hiperglikemia, memelihara kadar hemoglobin

glikosit (HbA1c) yang dapat diterima, HbA1c merupakan hasil dari reaksi non

enzimatik lambat antara glukosa dengan hemoglobin, dan mencegah

ketoasidosis. Tingkat pembentukan HbA1c sebanding dengan konsentrasi gula

darah rata-rata pada beberapa bulan sebelumnya, sehingga HbA1c memberikan

suatu ukuran bagaimana berhasilnya pengobatan dalam menormalkan glukosa

darah pada diabetes melitus. Tujuan pemberian insulin pada diabetes melitus

Tipe I adalah untuk memelihara konsentrasi gula darah mendekati kadar

normal dan mencegah besarnya peningkatan kadar glukosa darah yang dapat

menyokong timbulnya komplikasi jangka panjang (Mycek et al,. 2001).


Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena

kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun.

Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya

virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya (Depkes RI,

2005).
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien diabetes tipe 2 memiliki gabungan resistensi insulin dan

disfungsi sel β, tetapi tidak memerlukan insulin untuk mempertahankan

hidupnya, meskipun insulin diperlukan untuk mengendalikan hiperglikemia

pada beberapa pasien. Sel β pada diabetes tipe 2 mengalami disfungsi karena

gagal menyekresi insulin dalam jumlah cukup untuk mengkoreksi ancaman

hiperglikemia (Champe dkk, 2010 : 417). Diabetes melitus tipe 2 disebut juga

NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) yaitu diabetes melitus

yang tidak tergantung insulin. Diabetes jenis ini bertanggung jawab atas

sekitar 85% pasien diabetik dan paling sering terjadi disemua usia. Penyakit

ini paling banyak terjadi pada pasien berumur 40-80 tahun (Gaw dkk, 2011 :

60)
Pada orang gemuk, resiko diabetes jenis 2 mencapai 80% terutama

berhubungan dengan kekurangan reseptor insulin yang disebabkan karena

pada orang gemuk mula-mula sekresi insulin dipertinggi dan menyebabkan

regulasi menurun dari reseptor insulin dan dengan demikian mengakibatkan

kepekaan jaringan perifer terhadap insulin menurun. Pada penyakit yang

berkembang kadar insulin plasma menurun dari nilai normal dan pada saat

yang sama kadar glukosa darah menaik dengan jelas (Mutschler, 1991:341).

c. Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes ini didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang pertama

kali diakui selama kehamilan. Diabetes Mellitus Gestasional

(GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau

intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya

berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil


diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah

trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat

pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk

terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain

malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan

meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Kontrol metabolisme yang ketat

dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.


d. Diabetes melitus tipe khusus lain
Diabetes tipe khusus lain merujuk pada berbagai penyebab spesifik

lain untuk peningkatan kadar glukosa darah antara lain:


1. Kelainan genetik dalam sel beta
2. Kelainan genetik pada kerja insulin.
3. Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.
4. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel beta.
5. Infeksi (Price A.S and Wilson L.M., 2006).
2.3 Etiologi
Penyebab diabetes mellitus dapat diakibatkan oleh beberapa faktor :
a. Faktor reaksi autoimun yang dapat menyebabkan DM tipe I.
b. Faktor genetik
c. Faktor lingkungan (kurangnya olah raga dan pola makan yang rendah

serat) (Depkes RI, 2005)


d. Penyebab lain adalah menurunnya kepekaan reseptor insulin (resistensi

insulin) yang diakibatkan oleh makan terlalu banyak dan kegemukan

(overweight), gangguan jantung, dan obat-obatan (Tjay, 2007: 738).

2.4 Patofisiologi
Diabetes mellitus adalah suatu gangguan metabolisme lemak, karbohidrat,

protein yang dihasilkan dari kerusakan sekresi insulin karena disfungsi pankreas,

ataupun sensitivitas dari kerja insulin karena terjadinya disfungsi insulin absolute

yaitu sel β-pankreas masih mampu meproduksi insulin namun insulin tidak dapat

aktif.
2.4.1 Patogenesis
Karbohidrat yang masuk dalam makanan diubah menjadi glukosa dan

glukosa beredar ke seluruh pembuluh darah untuk dimanfaatkan sebagai

sumber energi. Pada saat jumlah glukosa dalam pembuluh darah naik sampai

titik puncak, pankreas mengeluarkan insulin. Insulin membawa glukosa ke

dalam sel-sel yang membutuhkan, sehingga jumlahnya dalam pembuluh

darah menjadi berkurang. Bila insulin kurang atau tidak ada, maka glukosa

dalam darah akan tetap tinggi dan mengganggu sistem metabolisme. Pada

kondisi ini bila konsumsi glukosa berlebih maka akan memperparah kondisi

diabetes mellitus yang terjadi.

2.5 Gambaran Klinis


Diabetes melitus (DM) dapat mempunyai gambaran klinis yang sangat

bervariasi dari yang tidak bergejala sama sekali dan baru diketahui pada saat

pemeriksaan general check up sampai yang mempunyai spesifik DM. Gejala

spesifik DM adalah banyak kencing (poliuria), haus dan bayak minum

(polidipsia), banyak makan (polifagia) tetapi badan lemah dan berat badan turun

dratis dalam waktu singkat. Ada pula yang datang pertama kali dengan keluhan

dan gejala akibat DM seperti gatal, mata kabur, kesemutan, keputihan atau luka

yang sukar sembuh. Ada pula yang datang karena komplikasi akut kesadaran

menurun sampai tidak sadar penuh atau koma yaitu pada ketoasidosis diabetik

yang mungkin dapat mengakibatkan kematian (Waspadji, 2005:6-7).


2.6 Diagnosis
Berdasarkan ADA 2011, beberapa parameter pemeriksaan yang

dikategorikan penderita diabetes, meliputi :


a. Kadar gula darah puasa (Fasting Plasma Glucose/FPG), pemeriksaan ini

lebih mudah dilakukan dan lebih mudah diterima pasien. Pasien akan
puasa, yang mana tidak ada asupan kalori selama 8 jam terakhir. Hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga dapat digunakan

sebagai patokan diagnosis DM.


b. Kadar gula darah 2 jam setelah makan (postprandial) pada Tes Toleransi

Glukosa Oral (Oral Glucose Tolerance Test/OGTT), yaitu pengukuran

kadar gula darah 2 jam setelah mengkonsumsi glukosa standar (WHO).

Hasil pemeriksaan kadar gula darah 2jam pp ≥ 200 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM.


c. Pasien dengan gejala klasik, seperti hiperglikemia, menunjukkan kadar

gula darah sewaktu (random plasma glucose) dengan hasil ≥200 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Pengukuran gula darah

sewaktu dilakukan seketika waktu itu, tanpa ada puasa.


d. Pengukuran HbA1c, yaitu kriteria terbaru menurut ADA 2012, dilakukan

pemeriksaan HbA1c yang dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandarisasi dengan baik dengan nilai ≥ 6,5%. HbA1c mencerminkan

rata-rata kadar glukosa darah selama kira-kira 120 hari (2-3 bulan)

sebelumnya. Pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja dan tidak

membutuhkan persiapan khusus, seperi puasa. Kelebihan tersebut yang

membuat pemeriksaan HbA1c lebih dipilih untuk menilai kontrol glikemik

pada pasien DM (Association Diabetes American, 2011).

2.7 Sasaran, Tujuan, Strategi Terapi Diabetes Melitus


2.7.1 Sasaran
Sasaran terapi yang paling utama pada diabetes mellitus adalah upaya

pengendalian atau mengendalikan kadar glukosa darah dengan menjaga kadar

dalam kisaran normal.

2.7.2 Tujuan
Tujuan penatalaksanaan diabetes adalah untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas diabetes mellitus, yang secara spesifik ditujukan untuk:


a. Meningkatkan kualitas hidup pasien
b. Menjaga agar kadar glukosa plasma dalam keadaan kisaran normal

tanpa menyebabkan hipoglikemia. Kontrol yang baik dari glukosa

plasma membantu melindungi terhadap komplikasi jangka panjang

dari diabetes.
c. Menghindarkan gejala DM
d. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi

diabetes.
2.7.3 Strategi
a. Memberikan terapi insulin
b. Merangsang peningkatan sekresi insulin
c. Meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin
d. Menghambat absorbsi glukosa dalam darah dan mengendalikan

terjadinya hiperglikemia
2.8 Terapi Diabetes Melitus
2.8.1 Algoritma Terapi

Algoritma terapi untuk Diabetes Melitus mengacu pada Dipiro, et al.,

2015 menyatakan bahwa pasien dengan kadar gula darah sewaktu ≥260 mg/dL

disarankan menggunakan insulin dalam terapinya, dapat juga menggunakan

kombinasi OHO untuk mencapai target terapi (Gula darah sewaktu <110-130

mg/dL). Pasien dengan kadar gula darah sewaktu ≥210 mg/dL disarankan untuk

mendapatkan kombinasi dua antidiabetik oral (metformin-sulfonilurea atau plihan

kombinasi OHO lainnya) untuk mencapai target terapinya.


Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro et.,al, 2005)

2.8.2 Terapi Farmakologi


2.8.2.1 Terapi Insulin
Insulin adalah polipeptida dengan BM kira-kira 60000. Polipeptida ini

terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai. Insulin dihasilkan oleh sel-sel

β pankreas pulau Langerhans, sedangkan sel α memproduksi glukagon, sel D

(delta, memproduksi somatosi), dan sel FF (PP, memproduksi polipeptida

pangkreas). Insulin disintesa sebagai prohormon yaitu suatu polipeptida rantai

tunggal yang mengandung 86 asam amino. Pemecahan proinsulin dan ikatan


silang menghasilkan hormon insulin dengan 2-rantai 51-peptida dan residu C-

peptida yang mengandung 31 asam amino (Agoes dkk, 1994:160).


Insulin merangsang penyimpanan glukosa di hati dalam bentuk glikogen

dan di jaringan adipose dalam bentuk trigliserida serta penyimpanan asam amino

di otot sebagai protein, insulin juga mendorong penggunaan glukosa di otot untuk

digunakan sebagai energi. Insulin menghambat pemecahan trigliserida, glikogen,

dan protein, serta pengubahan asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis)

(Davis dan Granner, 2012 : 1658).


Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak,

sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka

penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar

metabolism karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Namun ada

beberapa penderita DM tipe II membutuhkan terapi insulin dengan kombinasi

obat hipoglikemik oral. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah

membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Selain dalam bentuk obat

suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa (insulin pump) atau jet

injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit.
Penggolongan sediaan insulin berdasarkan masa kerjanya (durasinya) dan data

farmakokinetiknya :
Tabel 1. Farmakokinetik dari beberapa sediaan insulin berdasarkan

Pharmacotherapy APathophsyologic Approach 7th edition (DiPiro, 2008)

2.8.2.2 Terapi Obat Hipotensi Oral (OHO)

Obat hipotensi oral dibagi menjadi 5 golongan yakni golongan : (1)

pemacu sekresiinsulin, (2) peningkat sensitivitas terhadap insulin , (3)

penghambat alfa glukosidas, (4) penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)

dan (5) penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2) (PERKENI, 2015)

1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

a. Sulfonilurea

Golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita diabetes

dewasa dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami

ketoasidosis sebelumnya (Depkes RI, 2005). Mekanisme aksi sulfonilurea adalah

meningkatkan sekresi insulin endogen dengan cara berikatan dengan reseptor

sulfonilurea spesifik pada sel β pankreas. Sulfonilurea yaitu mampu menurunkan

kadar HbA1C sekitar 0,8 %.Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea antara

lain gliburid (glibenklamid), glipizid, glikazid, glimepirid, dan glikuidon.Efek

samping golongan sulfonilurea adalah hipoglikemia, ruam, diare, muntah.

Penggunaan glibenklamid dan glimepirid pada pasien yang berusia tua dan pasien

dengan komplikasi neuropati atau nefropati memiliki risiko besar mengalami

hipoglikemia (Audehm, 2014 dan Harper, 2013).Absorpsi senyawa-senyawa

sulfonilurea melalui usus cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah

diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian

terikat pada protein plasma terutama albumin (70-90%) (Depkes RI, 2005).

Obat Hipoglikemik Oral Golongan Sulfonilurea


Obat Keterangan
Hipoglikemik Oral
Gliburid Memiliki efek hipoglikemik poten sehingga pasien perlu diingatkan untuk
(Glibenklamid) melakukan jadwal makan yang ketat. Gliburida dimetabolisme dalam hati,
hanya 25% metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi
melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburida efektif dengan
pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan mempunyai efek terhadap
agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada
beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal. (Handoko dan
Suharto, 1995; Soegondo, 1995).
Glipizid Mempunyai masa kerja yang lebih lama dibandingkan dengan glibenklamid
tetapi lebih pendek dari pada klorpropamid. Kekuatan hipoglikemiknya
jauh lebih besar dibandingkan dengan tolbutamida. Mempunyai efek
menekan produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor insulin.
Glipizida diabsorpsi lengkap sesudah pemberian per oral dan dengan cepat
dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif. Metabolit dan
kira-kira 10% glipizida utuh diekskresikan melalui ginjal (Handoko dan
Suharto, 1995; Soegondo, 1995).
Glikazid Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek anti agregasi trombosit
yang lebih poten. Dapat diberikan pada penderita gangguan fungsi hati dan
ginjal yang ringan (Soegondo, 1995).
Glimepirid Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan waktu kerja yang lama,
sehingga umum diberikan dengan cara pemberian dosis tunggal. Untuk
pasien yang berisiko tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan
gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat
ini. Dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang
menimbulkan efek hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 1995).
Glikuidon Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan serangan
hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui empedu dan
usus, maka dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan
ginjal yang agak berat (Soegondo, 1995).
Untuk menghindari resiko hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai

keadaan seperti orang tua, gangguan ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit

kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang

(Depkes RI, 2006).

b. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea.

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat)

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2015).

Repaglinida merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik

ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per oral, dan

diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang mungkin terjadi adalah

keluhan saluran cerna (Soegondo, 1995). Nateglinida merupakan turunan

fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinida. Diabsorpsi cepat setelah

pemberian per oral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang

dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas

(ISPA) (Soegondo, 1995).

2. Meningkatkan sensitivitas terhadap reseptor insulin

a. Tiazolidindion.

Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator

activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada sel lemak dan sel vaskular.

Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas insulin pada

otot, liver, dan jaringan lemak (Triplitt, 2005). Thiazolidindione adalah obat

golongan baru yang mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga

bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi

insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi. Kegiatan farmakologisnya luas dan

berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan

bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan

glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Kegiatan farmakologi

lainnya antara laindapat menurunkan kadar trigliserida atau asam lemak bebas dan
mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk

meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Tjay dan Raharja, 2007).

Tiazolidindion mampu menurunkan nilai HbA1C sekitar 0,8 %. Efek

samping yang utama dari thiazolidindione adalah udem, terutama pada pasien

hipertensi dan congestive cardiac failure (Walker dan Edward, 2003).

Thiazolidindione dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas

I - IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan

faal hati. Pasien yang menggunakan obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati

secara berkala. Thiazolidindione tidak digunakan sebagai obat tunggal (Depkes

RI, 2006).

3. Menghambat gluconeogenesis
a. Biguanid

Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi

glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam

hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer (Tjay dan Rahardja,

2007). Contoh obat golongan ini yaitu metformin. Metformin tidak meningkatkan

berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan (Schteingart, 2005). Efek

samping metformin adalah gangguan gastrointestinal seperti diare dan kram perut.

Selain itu, metformin juga menyebabkan mual sehingga diberikan pada saat

makan atau sesudah makan (Harper 2013 dan Nathan, 2009). Metformin mampu

menurunkan nilai HbA1C sekitar 1,0-1,5%. Metformin dikontraindikasikan pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit

serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung (Depkes RI, 2006).

4. Penghambat absorbsi glukosa: penghambatan alfa glucosidase

Golongan ini dapat mengurangi absorpsi glukosa di usus halus. Reaksi

penguraian di-polisakarida menjadi monosakarida dihambat, pada glukosa

dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih

rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar glukosa darah dihindarkan

(Tjay dan Rahardja, 2007). Contoh obatnya yaitu akarbose. Akarbose mampu

menurunkan nilai HbA1C sebesar 0,6 %. Efek samping yang sering terjadi adalah

kembung dan flatulens (Perkeni, 2011).

5.Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)

Sel L di mukosa usus menghasilkan hormon peptida GLP-1 (glucagon like

peptide-1), perangsang kuat pelepasan insulin dan menghambat sekresi glukagon

(PERKENI, 2011). Mekanisme aksi golongan obat ini adalah menghambat enzim

DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV) sehingga meningkatkan GIP (glucose-

dependent insulinotropic polypeptide) dan GLP-1 (glucagon like peptide-1)

dalam bentuk aktif dalam sirkulasi darah yang pada akhirnya akan memperbaiki

sekresi insulin. Contoh obat golongan ini adalah linagliptin dan sitagliptin. Obat

tersebut mampu menurunkan nilai HbA1C sebesar 0,7 %. Meningkatkan kontrol

postprandial dan jarang terjadi pankreatitis. Apabila pasien memiliki gangguan


ginjal dengan nilai GFR < 60 ml/min/1,73 m2 maka dosis sitagliptin harus

dikurangi, kecuali linagliptin (Audehm, 2014 dan Harper, 2013).

2.8.3 Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan antara lain:
a. Menjaga berat badan.
Kegemukan dan obesitas sangat terkait dengan perkembangan penyakit

diabetes dan dapat mempersulit proses terapi. Untuk itu, pada penderita

diabetes dianjurkan untuk menjaga berat badan karena pengurangan berat

badan merupakan strategi terapi yang penting terutama pada penderita

diabetes melitus.
b. Menghindari stress.
Pada penderita diabetes sebaiknya disarankan untuk menghindari

stress karena stress dapat memicu terjadinya peningkatan gula darah yang

dapat membahayakan kondisi pasien.


c. Menghindari konsumsi alkohol.
Alkohol banyak mengandung karbohidrat dimana dapat meningkatkan

kadar gula darah sehingga pada penderita diabetes melitus disarankan untuk

tidak mengonsumsi alkohol karena dapat memperburuk kondisi penderita.


d. Olahraga secara teratur.
Olahraga yang dapat dilakukan salah satunya adaah latihan aerobik.

Latihan aerobik dapat mengontrol kadar gula darah pada sebagian pasien dan

mengurangi terjadinya resiko penyakit jantung. Selain itu, latihan aerobik

dapat memelihara berat badan dan meningkatkan kulaitas hidup pasien

(American Diabetes Association, 2006).

2.9 Off-Label
Metformin
PCOS (Polycystic Ovary Syndrome). (Vytek, W. M. D., 2015)
BAB III
ANALISA KASUS DAN PENYELESAIAN

3.1 Kasus
Tn. S berusia 56 tahun datang ke klinik dengan keluhan susah tidur, Pasien juga

mengeluhkan demam dan kesemutan. Keadaan ini dialami sejak 3 hari yang lalu

dan semakin memburuk tadi malam. Sebelumnya, pasien memiliki riwayat

Diabetes Melitus Tipe 2. Kadar Gula darah 300 mg/dL.


R/ Glimepiride 4mg 30
S1-0-0
Metformin 90
S 3x1
Paracetamol 21
S 3x1
Ketoprofen 7
S 1x1
Mecobalamin. 30
S 1x1
Alprazolam 5
S 0-0-1
3.2 SOAP

SUBJECT OBJECT ASSESMENT PLAN

Mual, muntah, Diabetes Glimepirid 4 mg 1x1 Non Farmakologi


rasa nyeri perut Melitus Tipe 2 tablet, sebagai anti
KGD : 300 1. Menjaga berat
seperti ditusuk diabetik oral untuk
mg/dL badan, menghindari
jarum. menurunkan kadar gula
Suhu : 38°C
darah. stress, menghindari
Metformin 500 mg 3x1
konsumsi alkohol,
tablet sebagai
antidiabetik oral untuk dan olahraga secara
menurunkan kadar gula teratur.
darah.
Paracetamol 500 mg 3x1 Farmakologi
tablet sebagai antipiretik Terapi tepat
untuk menurunkan
obat (Dipiro, et al.,
demam.
Ketoprofen 50 mg 1x1 2015) karena sasaran
kapsul untuk meredakan
terapi dalam
nyeri.
Mecobalamin 500 mg pengobatan Diabetes
1x1
tablet untuk meredakan Melitus adalah upaya
kesemutan. pengendalian atau

mengendalikan kadar

glukosa darah

dengan
meningkatkan

sekresi insulin serta

mengurangi gejala

klinis yang timbul.

3.3 Informasi Obat

No. Nama Obat Indikasi Mekanisme Efek samping


1. Glimepirid DM Meningkatkan sekresi Hipoglikemik,
insulin endogen dengan peningkatan berat
cara berikatan dengan
badan, mual,
reseptor sulfonilurea
spesifik pada sel β muntah, diare,

pankreas. konstipasi, gangguan

fungsi hati.
2. Metformin DM Meningkatkan Anoreksia, mual,

kepekaan reseptor muntah, diare, nyeri

insulin. perut.
3. Paracetamol Antipiretik Bekerja pada pusat Reaksi alergi, ruam

pengatur suihu di kulit berupa eritema

hipotalamus untuk atau urtikaria,

menurunkan suhu kelainan darah,

tubuh. hipotensi, kerusakan

hati.
4. Ketoprofen NSAID Menghambat sintesis Perdarahan dan

prostaglandin dengan ulserasi saluran


hambatan pada enzim cerna, sakit kepala,

siklooksigenase. vertigo.
Waktu paruh : 1,5 – 4

jam (Katzung, 2006)

5. Mecobalamin Vitamin Vitamin B12 yang aktif Kehilangan selera

secara neurologis makan, eksim, mual,

bekerja dengan reaski alergi,

memperbaiki jaringan muntah, gatal, diare.

saraf yang rusak.


Waktu paruh :

3.4 KIE

1. Penggunaan Paracetamol dan Alprazolam (pada malam hari) bila perlu, dan

dihentikan apabila keluhan sudah berhenti.


2. Metformin diminum tiga kali sehari sebelum makan.
3. Glimepirid diminum satu kali pada pagi hari sesudah sarapan atau pada suapan

pertama.
4. Ketoprofen diminum satu kali sehari saat makan pada malam hari.
5. Mecobalamin diminum satu kali sehari sebelum atau sesudah makan pada malam

hari sebelum tidur.


6. Menjaga berat badan, menghindari stress, menghindari konsumsi alkohol, dan

olahraga secara teratur.


7. Pasien disarankan membawa permen apabila sewaktu waktu lemas karena

hipoglikemi dan obat antidiabetik sebaiknya tidak dikonsumsi apabila pasien tidak

mau makan.

3.5 Interaksi Obat

 Glimepirid vs Ketoprofen
Meningkatkan efek Glimepirid sehingga dikhawatirkan hipoglikemi.
(www.medscape.com)
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2011. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care, Volume 34, Suplemen 1. USA : American Diabetes
Association
Audehm, D. R., Arthur, I., Barlow, J., Kennedy, M., Kilov, G., Leow, S., Manski,
J. A., Michaelides, C., Rasalam, R., Sharma, A. 2014. General Practice
Management of Type 2 Diabetes. The Royal Australian College of General
Practitioners and Diabetes Australian. 63-66.
Champe, P.C., Harvey, R.A.,dan Ferrier, D.R. 2010. Biokimia Ulasan Bergambar
(Lippincott’s Illustrated Reviews : Biochemistry). Diterjemahkan oleh
Novrianti, A., Nuryanto, I., Resmisari, T. Ed 3. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
Davis, S.N., Granner, D.K. 2012. Insulin, Senyawa Hipoglikemia Oral, dan
Farmakologi Endokrin Pankreas. In Gilman, G.A., Hardman, J.G., Limbird,
L.E. (Vol 4.). Dasar Farmakologi Terapi (Goodman dan Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics). Diterjemahkan Oleh Tim Alih
Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta:
DEPKES RI
___________________. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat
Bebas Terbatas, Direktorat Bina Farmasis Komunitas dan Klinik Direktorat
Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.
Gaw, A., Murphy, M.J., Cowan, R.A., Reilly, D., Stewart, M.J., Shepherd, J. 2011.
Biokimia Klinis Teks Bergambar (Clinical Biochemistry : An Illustrated
Colour Text). Diterjemahkan oleh Mahode, A.A., Yesdelita, N. Ed 4. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
Harper, M., Clement, M., Goldenberg, R., Hanna, A., Main A., Retnakaran, R.,
Sherifali RN, D., Woo, V., Yale, J.F. 2013. Pharmacologic Management of
Type 2 Diabetes, Volume 37 : S61-S68. Retrieved from
www.canadianjournalofdiabetes.com
Hasdianah, H.R. 2012. Mengenal Diabetes Melitus Pada Orang Dewasa Dan
Anak – Anak Dengan Solusi Herbal. Yogyakarta : Nusa Medika.
Meydani, P. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Upaya Pencegahan
Komplikasi DM Oleh Pasien DM Di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam
RSUP DR. M. Djamit Padang.Penelitian Keperawatan Medika Bedah.
Padang
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat Edisi Lima. Bandung : ITB.
Mycek, M., Harvey, R.A., dan Champe C.C.2001. Farmakologi Ulasan
Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika.

Nathan, D. M., Buse, J.B., Davidson, M.B., Ferrannini, E., Holman, R.R.,
Sherwin, R., Zinman, B. (2009). Medical Management of Hyperglycemia in
Type 2 Diabetes: A Consensus Algorithm for the Initiation and Adjustment of
Therapy. Diabetes Care, Volume 32 (1) : 193–203.
http://doi.org/10.2337/dc08-9025.
Perkeni (Persatuan Endokrinologi Indonesia). 2011. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: PERKENI
___________________.2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.

Price, A.S and Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC

Purnamasari, E., Poerwantoro, B. 2011. Diabetes Millitus Dengan Penyakit


Kronis. Majalah Ksehatan Pharrma Medika. Vol 3 (1) : 276-281
Schcingart, D., E., 2005. Pankkreas: Metabolism Glukosa Dan Diabetes Mellitus
Dalam Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Peenyakit. Volume 2 Edisi
1. Jakarta: EGC. Hal 1261-4
Soegondo, S.2009.Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus
Tipe 2. Dalam : Sudoyo A. W., dkk, editor, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
Edisi 5. Jakarta: Penerbit FK UI.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi Keenam. Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo.
Waspadji, Sarwono. 2005. Pertanyaan Pasien dan Jawabannya Tentang Diabetes.
Jakarta : Balai Penerbit Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai