Anda di halaman 1dari 6

Nining Nur Azizah

150722602686
TUGAS KEKERINGAN

Bencana alam secara hidrometeorologi antara lain: bencana kekeringan, topan, angin beliung,
badai petir, tornado, badai akibat kondisi perbedaan tekanan udara regional, dan lain sebagainya.
Salah satu bencana alam secara hidrometeorologi yang paling sering terjadi di Indonesia adalah
bencana kekeringan. Bencana ini berkaitan erat dengan berbagai unsur cuaca yang bersifat
dinamis spesifik dengan kondisi geografi Indonesia.

Tugas: buatlah resume dari jurnal dan buku, mengenai:


1. Definisi mengenai bencana kekeringan
2. Jenis-jenis kekeringan
3. Berbagai metode Identifikasi bencana kekeringan (masing2, minimal 2 metode)
3a. Mengunakan data meteorologi
3b. Menggunakan data penginderaan jauh
3c. Kombinasi data meteorologi dan penginderaan jauh
4. Mitigasi pengurangan risiko bencana
5. Rehabilitasi dan rekonstruksi bencana kekeringan
6. Budaya sadar bencana alam kekeringan
7. Studi kasus kekeringan di daerah/wilayah asal masing-masing berdasarkan data koran/majalah
cetak/online, jurnal, buku, (bukan dari blog)

Jawab

1. Kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau
kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang
diharapkan untuk jangka waktu khusus. Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu
keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan
kekurangan air hujan. Pengertian lain adalah kekurangan dari sejumlah air yang
diperlukan dimana keperluan air ini ditentukan oleh kegiatan ekonomi masyarakat
maupun tingkat sosial ekonominya (Raharjo,2010).

Kekeringan Meteorologi (Meteorology Drought) Didefinisikan sebagai kekurangan


hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Perhitungan tingkat
kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan
(Adidarma,2010).

Kekeringan Pertanian (Agricultural Drought) Kekeringan pertanian ini terjadi setelah


terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Kekeringan ini berhubungan dengan
berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Dicirikan dengan
kekurangan lengas tanah, parameter yang menentukan potensi produksi tanaman
(Adidarma,2010).

2. Dalam (Dewi,2016) mengungkapkan bahwa Wilhite dan Glantz (1985) sendiri


mengklasifikasikan kekeringan ke dalam empat kategori, yaitu:
a) Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya presipitasi hingga
di bawah normal dalam suatu waktu tertentu. Biasanya hal ini digambarkan sebagai
penyebab utama terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi
meteorologis sebagai berikut:
a. kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan di
bawah normal)
b. sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan
jauh di bawah normal)
c. amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal (curah
hujan amat jauh di bawah normal).
b) Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya ketersediaan air di
permukaan maupun di dalam tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air
waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan
berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan
hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan
berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
a. kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5
tahunan
b. sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah
periode 25 tahunan
c. amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh
di bawah periode 50 tahunan
c) Kekeringan pertanian (agricultural drought), kekeringan ini berhubungan dengan
berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian
ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan
berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
a. kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d sedang)
b. sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena
berat)
c. amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
d) Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan kaitan kekeringan
dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap barang-barang bernilai ekonomi.
Biasanya hal ini muncul setelah terjadi kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air
bersih sebagai berikut:

e) Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air
lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna
terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber
air sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas kekeringan akibat ulah manusia
terjadi apabila:
a. Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
b. Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
c. Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara meninjaunya.
Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak mampu lagi
memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman pangan. Ada tiga
faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman, tanah dan air.
3. Banyak metode dan indeks klimatologi yang telah digunakan untuk mengukur tingkat
kekeringan. Indeks yang menjadi acuan untuk mengukur kekeringan di Amerika oleh
pemerintah adalah Palmer Drought Severity Index (PDSI; Palmer, 1965; Alley, 1984),
yang kemudian disempurnakan oleh Wells, dkk (2004) dengan metode yang bernama
Self-Calibrating PDSI (SCPDSI). Namun metode yang paling banyak digunakan di
Indonesia adalah Standardized Precipitation Index (SPI; McKee, dkk., 1993) dan
Standardized Precipitation Evaporation Index (SPEI; Vicente-Serrano, dkk., 2010).
Kedua indeks kekeringan tersebut (SPI dan SPEI) banyak digunakan karena relatif
mudah dan hanya memerlukan data hujan (SPI) dan data hujantemperature (SPEI). Salah
satu kekurangan dari metode-metode tersebut adalah panjang data yang diperlukan untuk
menghitung nilai Cumulative Distribution Frequency (CDF) yaitu minimal 30 tahun
(McKee, dkk., 1993; Wu, dkk., 2005). Metode lainnya adalah Standardized Groundwater
Index (SGI; Bloomfield dan Marchant, 2013) dan Standardized Runoff Index (SRI;
Shukla dan Wood, 2008; Hatmoko, dkk., 2015).
a. Data Meteorologi
Standardized Precipitation Index (SPI; McKee, dkk., 1993) dan Standardized
Precipitation Evaporation Index (SPEI; Vicente-Serrano, dkk., 2010). Kedua
indeks kekeringan tersebut (SPI dan SPEI) banyak digunakan karena relatif
mudah dan hanya memerlukan data hujan (SPI) dan data hujantemperature
(SPEI)
b. Data PJ
Menggunakan analisis Citra Landsat.

Untuk mendeteksi potensi wilayah yang kekeringan, transformasi citra


yang digunakan adalah indeks kebasahan (wetness index), dan indeks kecerahan
(brighnesss index), indeks vegetasi (NDVI), serta komposit RGB 452 untuk
klasifikasi kenampakan fisiografi fisik. Parameter bentuk lahan, isohyet, serta
jenis akuifer merupakan faktor kemampuannya dalam memicu terjadinya
kekeringan. Hal tersebut didasarkan pada lama kemampuan simpanan air yang
tertampung dalam wilayah (Raharjo, 2010)

c. Menggunakan Meteorologi dan PJ (Metode SPI atau SPEI)


Metode ini menggunakan data curah hujan saja bagi metode SPI, namun
SPEI membutuhkan data hujan dan suhu. Kemudian dilakukan perhitungan
indeks lalu hasil tersebut di interpolasi menggunakan SIG atau PJ. Suhu pada
metode SPEI bisa didapat dari citra satelit NOAA. Sehingga metode ini
memperlihatkan salah satu bentuk pemanfaatan data penginderaan jauh dan analisis
menggunakan Sistem Informasi Geografis untuk pemantauan kekeringan.

4. Mitigasi juga berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari


satu bahaya sebelum bahaya tersebut memiliki dampak. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan
yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali dari
yang fisik, seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang
prosedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam
rencana penggunaan lahan. (Coburn et al, 1994). Berdasarkan beberapa konsep mitigasi
bencana di atas, seara umum mitigasi bencana dapat diartikan sebagai serangkaian usaha dan
upaya dalam rangka mencegah kemungkinan terjadinya suatu bencana (resiko) atau mereduksi
dampak yang ditimbulkannya apabila suatu bencana, dengan kondisi tertentu, tidak berhasil
dicegah.
Cara memitigasi bencana kekeringan sebagai seorang geograf dilakukan
monitoring wilayah, setelah diketahui lakukan tindakan apakah berdampak
menimbulkan bencana seperti krisis air bersih atau sampai menimbulkan gagal
panen. Setelah diketahui lakukan tindak darurat dengan menyediakan air bersih
atau bekerjasama denga BPBD agar dilakukan tindak darurat. Jika menimbulkan
gagal panen, system irigasinya harus diperbaiki dan mengatur system pola tanam.
5. Cara memitigasi bencana kekeringan sebagai seorang geograf dilakukan monitoring
wilayah, setelah diketahui lakukan tindakan apakah berdampak menimbulkan bencana
seperti krisis air bersih atau sampai menimbulkan gagal panen. Setelah diketahui lakukan
tindak darurat dengan menyediakan air bersih atau bekerjasama denga BPBD agar
dilakukan tindak darurat. Jika menimbulkan gagal panen, system irigasinya harus
diperbaiki dan mengatur system pola tanam.
6. Budaya sadar terhadap bencana kekeringan hendaknya jangan terlalu boros atau
secukupnya saja jangan berlebihan dalam penggunaan air baik untuk mandi dan kegiatan
MCK.
7. Bedasarkan informasi dari beberapa stasiun televise kompas Tv dalam informasi di salah
satu akun youtube. Telah terjadi kekeringan di Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten
Lamongan pada sawah seluas 4000 hektare, produktivitas padi disana menurun.
Berdasarkan keterangan petani ketika dilakukan wawancara krus yang sebelumnya 2 ton
menjadi hanya panen 1 ton saja.
Di tahun 2018 Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang telah terjadi
kekeringan meteorologis. Berdasarkan data hasil perhitungan indeks kekeringan 1
bulanan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terdapat beberapa
daerah di Jawa Timur yang masuk kelas kering diantaranya adalah Malang, Kota Malang,
Kota Batu, Kota Surabaya, Banyuwangi, Lamongan, Gresik, Bojonegoro, Sidoarjo,
Belitar. Selain itu berdasarkan data perhitungan SPI tiga bulanan pada bulan Juni, Juli
dan Agustus 2018, daerah Jawa Timur yang mengalami kekeringan meteorologis terdapat
di Kabupaten Banyuwangi dan Malang dengan cakupan wilayah yang cukup sempit.
Meski demikian, data tersebut sudah cukup kuat untuk membuktikan bahwa Malang telah
mengalami kekeringan secara meteorologis.

Anda mungkin juga menyukai