Anda di halaman 1dari 6

Staphylococcal Skin Infection

Epidemiologi
 Diklasifikasikan menjadi 2 grup : Coagulase-negative Staphylococci (S. epidermidis) dan
coagulase-positive Staphylococci (S. aureus)
 S. aureus berkolonisasi secara permanen di anterior nares.
 Predisposisi dari kolonisasai S. aureus : dermatitis atopic, DM (insulin dependent), dialysis,
penggunaan obat IV, disfungsi liver, dan HIV
 S. aureus merupakan pathogen yang agresif dan paling sering menyebabkan primary pioderma
dan STI, maupun menjadi penyebab infeksi sekunder pada penyakit kulit yang lain
 Pada pioderma/STI S. aureus dapat menyerang aliran darah  produksi bacteremia 
metastatic infection seperti osteomyelitis dan acute infective endocarditis
 Some strains of S. aureus also produce exotoxins, which can cause constellations of
cutaneous and systemic symptoms such as staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS)
and staphylococcal toxic shock syn- drome (TSS).
 cara penularan : kontak langsung dari tangan

Etiologi dan Patogenesis


 Kolonisasi S. aureus dapat terjadi transient atau prolong carrier
 Host factor yang berperan dalam pathogenesis staphylococcal infection : immunosuppression,
glucocorticoid therapy, and atopy
 Preexisting tissue injury or inflammation (surgical wound, burn, trauma, dermatitis,
retained foreign body) is of major importance in the pathogenesis of staphylococcal
disease.
 Some strains produce one or more exoproteins, including the staphylococcal enterotoxins
(SEA, SEB, SECn, SED, SEE, SEG, SEH, and SEI), and the exfoliative toxins (ETA and
ETB), TSS toxin-1 (TSST-1), and leukocidin.
TSST-1 & staphylococcal enterotoxin disebut juga pyrogenic toxin superantigens

Molekul ini akan binding secara langsung pada antigen presenting tanpa antigen peocessing

Menghasilkan molekul HLA-DR (major histocompatibility complex II)

Nonspesifik T-sel mengaktifkan :

1. sitokin, terutama IL2, interferon-Gama; tumor nekrosis factor-Beta dari


Tcells; IL1 & tumor nekrosis factor-Alfa dari makrofag.
2. Limfosit expressing specific T cell-receptor variable region of the  -chain 
aktivasi sel B  meningkatnya IgE/autoantibodi

PIODERMA

 Merupakan infeksi pada epidermis dimulai dari bagian bawah stratum korneum atau pada
folikel rambut
 Etiologi : paling sering adalah Staphylococcus aureus, dan penyebab kedua tersering
Streptokokus β-hemolitik grup A antara lain S. pyogenes
 Klasifikasi : pioderma primer (terjadi akibat invasi bakteri pathogen pada kulit normal) &
pioderma sekunder (terjadi akibat invasi pada kulit yang telah rusak sebelumnya);
 2 bentuk pioderma:
1. pioderma superfisialis, lesi terbatas pada epidermis (impetigo, ektima, folikulitis,
furunkel, karbunkel)
2. pioderma profunda, mengenai epidermis dan dermis (erysipelas, selulitis, flegmon,
abses, hidradenitis)

Impetigo
1. Impetigo Nonbulosa :
 Merupakan 70% dari kasus pioderma, bisa mengenai anak-anak dan 
dewasa.
 Faktor predisposisi pada penyakit ini adalah lingkungan yang panas, 
kelembaban yang tinggi,
higiene yang buruk dan trauma pada kulit.
 Predileksi pada muka, biasanya sekitar hidung atau ekstremitas setelah trauma. Hidung
merupakan karier dari kuman penyebab dan bisa masuk melalui gigitan serangga, jamur, herpes
simpleks, varisela 
atau luka-luka yang abrasif.
 Lesi awal berupa macula atau papul eritematosa yang kemudian berkembang menjadi vesikel
atau pustul yang kemudian 
pecah meninggalkan krusta menyerupai madu, biasanya daerah
sekitarnya meninggalkan eritema ringan. Tidak terdapat gejala konstitusi, tetapi kadang-kadang
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional.
 Etiologi : Staphylococcus aureus.
Intact skin is usually resistant to colonization or impetiginization, possibly due to absence of bro-
nectin receptors for teichoic acid moieties on S. aureus and group A Streptococcus. Production of
bacteriocins, produced by certain S. aureus strains and highly bactericidal to group A
Streptococcus, may be responsible for the isolation of only S. aureus from some lesions initially
caused by Streptococci.
 Diagnosis banding, yaitu dermatitis seboroik, dermatitis kontak alergi, herpes simpleks, dan
gigitan serangga. 

2. Impetigo Bulosa :
 Gejala klinis biasanya terdapat pada anak-anak dari usia bayi baru 
lahir sampai balita.
 Bula biasanya timbul pada kulit normal, yang awalnya vesikel berisi cairan 
kuning jernih yang
kemudian cepat menjadi kuning keruh dan kental. 
Bula ini dibatasi dengan atau tanpa halo yang
eritematosa. Bula sangat superfisial dan dalam waktu kurang dari dua hari memecah
meninggalkan krusta yang berwarna kuning kecokelatan. Tanda Nikolsky tidak ditemukan.
 Diagnosis banding, yaitu dermatitis kontak, gigitan serangga, atau dermatitis herpetiformis.

 Prognosis pada kasus-kasus yang tidak diobati dapat berkembang menjadi selulitis, limfangitis,
dan bakteriemia. 

 Predileksi : intertriginous, dada dan punggung
 Etiologi : Streptokokus grup A dan Staphylococcus aureus
 Gram stain : Gram-positive cocci
 Histopatologi : vesikel pada subkorneal/ granular, kadang2 terdapat akantolitik sel, spongiosis,
edema papilari dermis, campuran inflitrat limfosit dan neutrophil di pembuluh darah.
Ektima
 Ektima adalah suatu pioderma kulit dengan krusta yang tebal menutupi daerah tepi atau ulserasi,
biasanya sebagai komplikasi dari impetigo.
 Penyebabnya biasanya Staphylococcus aureus dan-atau Streptococcus β-haemolyticus.
 Predileksinya pada ekstremitas bawah pada anak-anak dan jika pada dewasa atau orang tdengan
diabetes melitus, dan higiene yang buruk.
 Manifestasi klinis : ulkus yang teras nyeri, berbentuk ireguler, umumnya tertutup krusta tebal,
adherent, dari materi purulent yang diproduksi ulkus. Apabila krusta diangkat, dapat terlihat
ulkus berbetuk punched out, dengan tepi ulkus mengalami indurasi dan berwarna keunguan.
Dasar ulkus terdapat pada dermis, dengan ukuran 0,5-1 cm dan apabila tidak diobati dapat
mencapai 2-3 cm
 Lesi sulit sembuh dan membutuhkan selama beberapa minggu.
Folikulitis
 Furunkel adalah peradangan dari folikel rambut yang lebih dalam berupa nodul dan biasanya
berakhir dengan pembentukan abses.
 Furunkel biasanya terdapat pada daerah yang tertutup sering mengalami gesekan seperti leher,
muka, ketiak, dan bokong biasanya merupakan komplikasi dari kelainan kulit sebelumnya seperti
dermatitis atopi, skabies, luka karena garukan.
 Faktor predisposisi terjadinya furunkulosis, seperti obesitas, diskrasia darah, terganggunya fungsi
netrofil pada orang-orang yang sedang pada pengobatan steroid dan sitostatika juga pada
penderita diabetes melitus. 

 Gejala klinis furunkel biasanya dimulai dengan nodul folikulo-sentrik yang keras berwarna merah
pada daerah yang berambut yang kemudian membesar, terasa sakit dan pada akhirnya
mengalami fluktuasi dalam beberapa hari, bila pecah akan mengeluarkan pus dan jaringan-
jaringan nekrosis. Rasa nyeri dan merah ini biasanya disertai dengan pembengkakan.
 Diagnosis banding, yaitu akne kistik, kerion, dan hidradenitis supurativa. 

Karbunkel
 Gejala klinis karbunkel adalah merupakan beberapa furunkel yang bersatu biasanya terdapat
pada belakang leher, bokong dan ekstremitas.
 Gejala peradangan lebih hebat, sangat nyeri biasanya terdapat demam dan malaise dan pasien
dapat tampak sakit.
 Pada daerah yang terkena terdapat eritem indurasi dan pustula yang multipel.
 Penatalaksanaan topikal berupa kompres hangat dan topikal antibiotik (mupirosin), sedangkan
pengobatan antibiotik sistemik, berupa dikloksasilin, siprofloksasin, trimetropim, atau golongan
sefalosporin

Erisipelas
 Merupakan infeksi bakteri akut yang mengenai dermis bagian atas dan system limfa
 Lesi berupa plak eritematosa berwarna merah cerah yang tampak mengkilap, dengan batas
tegas, yang timbul secara tiba-tiba. Pada perabaan, lesi teraba hangat dan pasien mengeluh
nyeri. Bentuk lesi ireguler, pada permukaan lesi terdapat vesikel, bula atau area nekrosis
 Predileksi : ekstrimitas bawah dan daerah wajah
 Manifestasi klinik : demam, menggigil, malaise, mual, limfadenopati
Selulitis: infiltrat eritematosa difus.

Flegmon: selulitis dengan supurasi.

Abses kelenjar keringat: tidak nyeri, bersama miliaria, nodus eritematosa bentuk kubah.

Hidradenitis: nodus, abses, fistel di daerah ketiak atau perineum.
Ulkus piogenik: ulkus dengan pus.

Pemeriksaan Penunjang
 Pewarnaan gram
 Kultur dan resistensi specimen lesi/aspirat
 Kultur dan resistensi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein
 Biopsl bila lesi tidak spesifik

Penatalaksanaan
Terapi topical
 Jika banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan asam salisilat 0.1 %, 3 kali sehari selama
0,5-1 jam
 Jika lesi tertutup pus atau krusta : salep/krim asam fusidat 2% atau mupirosin 2%, 2-3 kali sehari
selama 7-10 hari
Terapi sistemik (diberikan sekurang-kurangnya 7 hari)
Terapi Sistemik Lini Pertama:
 Kloksasilin/dikloksasilin: dewasa 4x250- 500 mg/hari per oral; anak-anak 25-50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4 dosis
 Amoksisilin-asam klavulanat: dewasa 3x250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis 

 Sefaleksin: 25-50 mg/kgBB/hari terbag dalam 4 dosis
Terapi Sistemik Lini kedua:
 Azitromisin 1x500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1x250 mg (hari 2-5)
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis
 Eritromisin: dewasa 4x250-500 mg/hari; anak-anak 20-50 mg/ kgBB/ hari terbagi 4 dosis
Penyebabnya MRSA:
 Trimetoprim-sulfometoxazol 160/800 mg, 2 kali sehari.
 Doksisiklin, minosiklin 2x100 mg, tidak direkomendasikan untuk anak, usia 
8 tahun.
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis 

Tindakan : insisi dan drainase
TUBERKULOSIS KUTIS

 Merupakan infeksi kronis pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis atau
Mycobacterium atipik
 Etiologi : Mycobacterium tuberculosis
 Merupakan bakteri aerob, berbentuk batang yang tidak motil
 Memiliki dinding yang tebal, sehingga dapat mempertahankan zat warna pertama
(karbol fusin)
 Pathogenesis :
 imunitas yang berperan adalah limfosit T helper (Th) 1, dipengaruhi imunitas
seluler
 Terjadi penyebaran M. tuberculosis per kontinuitatum dari organ di bawah kulit,
paling sering KGB, tulang, dan sendi  produksi berbagai interleukin 
diferensiasi makrofag menjadi sel epiteloid dan giant cells membentuk
granuloma kaseosa  nekrosis kaseosa terbentuk di dermis dan pada pus dapat
ditemukan basil

Skrofuloderma
 Epidemiologi : ditemukan pada semua usia, terutama pada anak dan pubertas; TB kutis yang
paling sering
 Predileksi : tempat yang banyak kelenjar getah bening (leher, ketiak, lipat paha)
 Mulai sebagai limfadenitis, mula-mula beberapa kelenjar, kemudian makin 
banyak dan
berkonfluensi 

 Terdapat periadenitis, menyebabkan perlekatan dengan jaringan 
sekitarnya 

 Bentuk lesi : awalnya berupa nodul subkutan yang teraba keras, berbatas tegas, dapat digerakan,
dan asimtomatik (soliter/multiple)  membesar dan menjadi lunak  beberapa bulan
kemudian, pecah membentuk ulkus (tersusun linear/serpiginosa, tepi yang mengalami
inversi, berwarna kebiruan, dinding bergaung, dasar berupa jaringan granulasi) dan sinus
 reaksi inflamasi menyebabkan terbentuknya abses dingin yang tidak teras nyeri 
membentuk plak berwarna keunguan yang mengalami ulserasi  fistula yang mengeluarkan
kaseosa  terjadi involusi spontan  jaringan parut/keloid, retraksi dan atrofi kulit
 Gejala : nodul maupun abses tidak terasa nyeri
 Dapat bersifat multibasiler/pausibasiler

Tuberkulosis kutis verukosa


 Merupakan infeksi M. tuberculosis, yang terjadi akibat inokulasi langsung ke kulit pada
orang-orang dengan imunitas tinggi.
 Predileksi: tungkai bawah dan kaki, bokong, tempat yang sering terkena trauma.
 Bentuk Lesi : biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran serpiginosa. 

 Terdiri atas ”wart like” papul/plak dengan halo violaseous di atas kulit 
eritematosa. Pada
bagian yang cekung terdapat sikatriks. Lesi biasanya soliter dan bersifat serpigioasa, serta tidak
melibatkan kelenjar regioner.

Lupus Vulgaris
 Merupakan bentuk kronis progresif dari TBC kulit yang terjadi pada orang-orang yang
mempunyai imunitas sedang dengan tingkat sensitifitas tuberkulin yang tinggi , infeksi
disebarkan secara limfogen atau penjalaran langsung dari focus tuberkulosis
 Epidemiologi : terutama ditemukan pada wanita dua sampai tiga kali lebih banyak dibandingkan
pria
 Predileksi : muka, cuping telinga, kulit kepala berambut, badan, ekstrimitas, bokong
 Bentuk lesi : awalnya LV berupa makula atau papula cokelat kemerahan yang lembut dan rapuh
dengan permukaan yang halus atau hiperkeratotik. Pada pemeriksaan diaskopi infiltrat tersebut
tampak seperti “apple jelly color.” Selain itu dapat ditemukan pula lesi berupa ulkus, bentuk
hipertrofik berupa nodul yang lembut, atau plak dengan permukaan hiperkeratotik. Kelainan
pada mukosa dapat ditemukan berupa papula abu-abu atau merah muda yang kecil, lembut,
atau ulkus serta masa granulasi yang mudah rapuh. 


Pemeriksaan Penunjang
Utama :
1. Pemeriksaan histopatologi jaringan kulit
2. Pemeriksaan bakteriologik : pewarnaan Ziehl Nielsen, kulltur dan PCR dari dasar ulkus atau
jaringan kulit
Tambahan :
1. Pemeriksaan darah tepi dan LED yang meningkat
2. Tes tuberculin : PPD-5TU hasil positif jika indurasi ≥ 10 mm, terutama untuk pasien dengan
multibasiler. Pada pasien dengan imunokompromi, indurasi dikatakan positif jika ≥ 5 mm.
Skrofuloderma
1. Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat 

2. Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat 

3. Pemeriksaan bekteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih 
kurang delapan
minggu) 

4. Histopatologis bagian tengah lesi tampak nekrosis masif dan gambaran tepi 
abses/dermis
terdiri atas granuloma tuberkuloid 

Tuberkulosis kutis verukosa 

1. Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat 

2. Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat 

3. Pemeriksaan bakteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih 
kurang delapan
minggu) 

4. Histopatologis: hiperplasia pseudoepiteliomatosa, dengan infiltrat inflamasi 
neutrofil dan
limfosit serta sel datia Langhans
Lupus vulgaris 

1. Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat 

2. Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat 

3. Pemeriksaan bekteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih 
kurang delapan
minggu) 

4. Histopatologis: granuloma tuberkuloid berupa sel epiteloid, sel datia Langhans, 
dan sebukan
limfosit. Dijumpai juga BTA. 

Diagnosis
Kriteria absolut : hasil kultur M. tuberculosis yang positif, salah satunya apus jaringan
Kriteria relatif :
1. Anamnesis dan pemfis yang menunjang
2. Adanya infeksi TB aktif di organ lain
3. Ditemukan BTA pada lesi
4. Hasil pemeriksaan histopatologis yang sesuai
5. Uji tuberculin postif
6. Respons yang baik terhadap OAT

Penatalaksanaan
 Topikal: pada bentuk ulkus: kompres dengan larutan antiseptik (povidon iodin 1%)
 Sistemik
: Fase intensif atau bakterisidal dan fase lanjutan

Anda mungkin juga menyukai