Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PENGOLAHAN LUMPUR

STABILISASI KAPUR LUMPUR LIMBAH DOMESTIK

Disusun Oleh:
Retno Wulan 21080115120001
Ichsan Hadyan 21080115120005
Umul Mufidah 21080115130084

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:

1. Apa tujuan dari pengolahan lumpur melalui stabilisasi kapur?


2. Bagaimana karakteristik limbah domestik dan unit apa yang menghasilkan lumpur?
3. Bagaimana proses stabilisasi lumpur dari limbah domestik dengan penambahan
kapur tersebut?
4. Apa kekurangan dan kelebihan dari stabilisasi kapur?

1.3. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui tujuan dari pengolahan lumpur melalui stabilisasi kapur.
2. Mengetahui karakteristik limbah domestik dan unit penghasil lumpur.
3. Mengetahui proses pengolahan stabilisasi lumpur dari limbah domestik dengan
penambahan kapur.
4. Megetahui kekurangan dan kelebihan dari stabilisasi kapur.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Stabilisasi Kimia

Dalam proses stabilisasi lumpur, kapur ditambahkan ke dalam lumpur yang tidak
diolah untuk menghentikan atau menghambat reaksi mikroba yang dapat menyebabkan bau.
Proses ini juga dapat menghilangkan virus, bakteri dan mikroorganisme lain yang ada dalam
lumpur. Kapur mentah dan kapur terhidrasi adalah senyawa alkalin yang digunakan dalam
stabilisasi kimia. Senyawa lainnya yang dapat digunakan meliputi debu semen kiln, debu
kapur kilo, dan fly ash (Metcalf & Eddy, 2003).

Penambahan jumlah kapur yang cukup kedalam lumpur yang tidak diolah dapat
meningkatkan pH hingga 12 atau lebih tinggi. PH yang tinggi secara substansial menghambat
reaksi mikroba yang mengarah pada produksi bau dan daya tarik vektor. Jika pH
dipertahankan pada tingkat ini, lumpur tidak akan membusuk, menciptakan bau, atau
menimbulkan bahaya kesehatan (Davis, 2011).

2.2. Aplikasi proses stabilisasi Kimia

Menurut Metcalf & Eddy (2003), terdapat tiga metode yang sering digunakan dalam
proses stabilisasi kimia yaitu:

1. Lime Pretreatment

Penambahan kapur ke lumpur cair disebut pretreatment. Metode ini digunakan untuk
aplikasi langsung lumpur cair atau sebagai pengkondisi sebelum dewatering. Lime
pretreatment membutuhkan lebih banyak kapur per satuan berat lumpur yang diproses
daripada yang diperlukan untuk pengeringan. Ini karena bahan kimia yang dibutuhkan dari
cairan membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai pH yang diperlukan untuk
disposisi ke lingkungan.

2. Lime Posttreatment

Penambahan kapur dengan lumpur yang dikeringkan di dalam pug mill, paddle mixer,
atau screw conveyor disebut posttreatment. Pencampuran yang sangat baik diperlukan untuk
memastikan kontak antara partikel lumpur dan kapur dan untuk menghindari kantong bahan
yang dapat dipadamkan. Ketika tercampur dengan baik, produk stabil adalah campuran rapuh
yang dapat disimpan untuk waktu lama.
3. Advanced Alkaline Stabilitazion Technologies

Stabilisasi alkali menggunakan bahan selain kapur digunakan di beberapa plant


pengolahan lumpur. Sebagian besar teknologi tersebut memanfaatkan bahan aditif, seperti
debu semen kiln, atau fly ash, yang merupakan modifikasi dari stabilisasi kapur kering
konvensional. Modifikasi yang paling umum yaitu melalui penambahan bahan kimia lainnya,
dosis kimia yang lebih tinggi, dan pengeringan tambahan. Proses-proses ini mengubah
karakteristik bahan sesuai dengan proses, dapat meningkatkan stabilitas produk, mengurangi
potensi bau, dan meningkatan kualitas produk. Untuk memanfaatkan teknologi ini, perlu
dilakukan proses pengeringan lumpur terlebih dahulu.

2.3. Studi Kasus Stabilisasi Kapur

2.3.1 Karakteristik Air Limbah Domestik

2.3.2 Analisis Lumpur

Lumpur yang dihasilkan dari pengolahan limbah domestik ini berasal dari beberapa
unit proses pengolahan yang memiliki karakteristik berdasarkan dari unit pengolahan
tersebut.

2.3.3 Kuantitas Produksi

2.3.4 Analisa Pengolahan Lumpur

Proses stabilisasi lumpur di plant terbagi menjadi dua proses utama yaitu stabilisasi
lumpur dan pengolahan emisi. Skema proses ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Gambar Skema Proses Pengolahan Lumpur dengan Stabilisasi menggunakan Kapur

Lumpur limbah cair domestik yang telah melalui dewatering (Domestic Dewatered
Sewage Slude/DDSS), diangkut oleh truk kemudian masuk ke dalam hooper (1) dengan
kapasitas penyimpanan 40 ton. DDSS kemudian diangkut dengan conveyor ke premixer (3),
dimana DDSS dan kapur mentah akan dilakukan pencampuran awal secara bertahap. DDSS
dan kapur kemudian dicampur dalam plug-reaktor yang dilengkapi dengan moving screw.
Produk yang terstabilisasi diangkut ke unit maturasi (6) dan sebagian kecil diresirkulasi
(hingga 30%) ke unit premier (3). Baghouse filter (7) berfungsi untuk mengumpulakan
partikel udara proses stabilisasi. Sedangkan scrubber (9) bertujuan untuk mengurangi
konsentrasi amonia sehingga kurang dari 30 mg NH3/N m3.

Setelah dilakukan proses stabilisasi dengan penambahan kapur, karakteristik lumpur


mengalami penurunan kandungan air akhir hingga 10-12%, kandungan organik dalam lumpur
distabilisasi dengan kapur berkisar antara 4 dan 9% d, dan kandungan amonia menurun ke
tingkat 0,05 ± 0,02% d. Tingkat amonia jauh lebih rendah daripada dalam lumpur yang
dikeringkan karena pelepasan gas amonia dari nitrogen yang mengandung unsur-unsur
lumpur di bawah kondisi dasar akibat campuran reaktan dalam reaktor. Kandungan
komponen minor, khususnya logam dan non-logam, yang biasanya dipengaruhi oleh
pembuangan limbah industri, mirip dengan yang dilaporkan dalam literatur.
Tabel Karakteristik Lumpur Setelah Stabilisasi dengan Penambahan Kapur

Sumber: Valderrama, 2013

Proses stabilisasi menggunakan kapur, memiliki beberapa keunggulan yaitu:

 Sejalan dengan kebijakan EPA mengenai kebijakan penggunaan kembali. Produk proses
ini memenuhi biosolid kelas A, sehingga dapat digunakan untuk berbagai penggunaan dan
dapat dijual.
 Teknologi sederhana tetapi perlu keterampilan khusus dalam pengoperasianya.
 Mudah untuk dibangun
 Membutuhkan luas lahan yang kecil.
 Operasi fleksibel, mudah dimulai dan diberhentikan.

Sedangkan kekurangan dari stabilisasi menggunakan kapur yaitu:

 Ada potensi untuk generasi bau baik di situs pemrosesan maupun penggunaan akhir.
 Ada potensi produksi debu.
 Ada potensi pertumbuhan kembali patogen jika pH turun di bawah 9,5 sementara bahan
disimpan sebelum digunakan.
 Kandungan nitrogen dalam produk akhir lebih rendah dari beberapa produk biosolids
lainnya. Selama pemrosesan, nitrogen diubah menjadi amonia, yang hilang ke atmosfer
melalui penguapan. Selain itu, fosfor yang tersedia dapat direduksi melalui pembentukan
kalsium fosfat.
 Ada biaya yang terkait dengan proses kepemilikan (Kelas A stabilisasi.)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Stabilisasi kapur adalah suatu pengolahan lumpur dengan menambahkan kapur yang
bertujuan untuk menghentikan atau menghambat reaksi mikroba yang dapat
menyebabkan bau.
2. Lumpur yang dihasilkan dalam proses pengolahan limbah domestik berasal dari
primary treatment meliputi grit removal, dan sedimentasi; secondary treatment
meliputi segala jenis pengolahan secara biologi; serta proses backwash.
3. Proses stabilisasi kapur pada lumpur limbah domestik dilakukan dengan
menyampurkan lumpur yang telah dilakukan proses dewatering ke dalam mixer
reactor untuk dicampur dengan kapur murni. Dalam proses stabilisasi tersebut
dilakukan sistem pengelolaan udara guna mengurangi emisi yang dihasilkan dari
proses stabilisasi.
4. Kelebihan dari proses stabilisasi kapur yaitu dapat dilakukan pemanfaatan hasil,
kecilnya kebutuhan lahan, dan mudah dalam pengoperasian. Sedangkan
kekurangannya yaitu dapat menghasilkan bau jika pH turun dan menghasilkan amonia
dalam proses akhir.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, Mackenzie, L. 2011. Water and Wastewater Engineering : Design Principles


and Practice. McGraw-Hill International edition

Metcalf and Eddy. 1981. Waste Water Engineering Collection and Pumping Waste Water.
New York : Mc.Graw-Hill Book Co.

Valderrama, Cesar, Ricard Granados, dan Jose Luis Cortina. 2013. Stabilisation of
Dewatering Domestic Sewage Sludge by Lime as Raw Material for The Cement
Industry: Understanding Process and Reactor Performance.

Anda mungkin juga menyukai