Anda di halaman 1dari 120

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka kematian balita (AKABA) merupakan salah satu indikator derajat

kesehatan suatu negara. Tujuan Pembangunan Millenium (Millenuim

Development Goals) 2000-2015 dan sekarang dilanjutkan dengan Sustainable

Development Goals (SDGs) 2015-2030 berkomitmen untuk menurunkan

angka kematian balita 12/1.0000 kelahiran hidup (SDG,s , 2015). Menurut

World Health Organization (WHO) 54% kematian bayi dan anak terkait

dengan gizi kurang dan gizi buruk. Berbagai penelitian telah membuktikan

bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kematian balita dengan

kekurangan gizi. Keadaan gizi yang kurang atau buruk akan menurunkan daya

tahan anak sehingga anak mudah sakit hingga bisa berakibat pada kematian

(Depkes, 2010).

Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan

pembangunan kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya yang

berkualitas (Depkes RI, 2009). Gizi sebagai faktor yang berpengaruh terhadap

tumbuh kembang anak harus memperhatikan kecukupan pangan yang esensial

baik secara kalitas maupun kuantitas (Moersintowati dkk, 2010). Zat gizi

sangat penting bagi kehidupan dan memegang peranan penting bagi

pertumbuhan dan perkembangan otak anak pada masa bawah lima tahun

(Balita). Periode kritis perkembangan otak anak yaitu sejak masa kehamilan

hingga 3 tahun pertama kehidupan. Masa ini disebut juga sebagai windows of
opportunity, yang berdampak buruk bila tidak diperhatikan, tetapi berdampak

baik jika masa tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kekurangan gizi

pada fase pertumbuhan akan menghasilkan manusia dewasa dengan kualitas

SDM rendah. Gizi sebagai faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh

kembang anak harus memperhatikan kecukupan pangan yang esensial baik

secara kalitas maupun kuantitas (Moersintowati dkk, 2010).

Zat gizi sangat penting bagi kehidupan dan memegang peranan penting

bagi pertumbuhan dan perkembangan otak anak pada masa bawah lima tahun

(Balita). Periode kritis perkembangan otak anak yaitu sejak masa kehamilan

hingga 3 tahun pertama kehidupan. Masa ini disebut juga sebagai windows of

opportunity, yang berdampak buruk bila tidak diperhatikan, tetapi berdampak

baik jika masa tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kekurangan gizi

pada fase pertumbuhan akan menghasilkan manusia dewasa dengan kualitas

SDM rendah. Jadi anak usia dini haruslah diberi jatah utama dalam distribusi

makanan keluarga, bukan mendapat sisa-sisa konsumsi keluarga

(Sediaoetama, 2009). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada

masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang

sulit diperbaiki (Hadi, 2005). Dan apabila ketidakcukupan zat gizi tersebut

berlangsung lama maka cadangan jaringan akan digunakan untuk memenuhi

ketidakcukupan itu, kemudian timbul penurunan jaringan yang ditandai

dengan penurunan berat badan, dan akan terjadi perubahan secara anatomi

yang tampak sebagai gizi kurang (Supariasa, dkk, 2002).

Masalah gizi pada hakikataya adalah masalah kesehatan masyarakat,

namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis


dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah

multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan

berbagai sektor yang terkait (Supariasa, 2012).

Status gizi kurang merupakan salah satu masalah malnutrisi yang

membutuhkan perhatian khusus dan perlu penanganan sejak dini. Hal ini

karena kondisi kurang gizi dalam jangka lama dapat mempengaruhi

pertumbuhan balita, gangguan sistem imun, dan risiko terkena penyakit

infeksi meningkat serta risiko terjadinya kematian pada balita (Hong dkk.,

2006). Kekurangan gizi biasanya memberikan dampak yang besar pada anak

pra-sekolah. Jumlah angka kematian untuk anak usia di bawah 5 tahun akibat

kekurangan gizi hampir mencapai 50 %. Hal ini menunjukkan bahwa

malnutrisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi

balita (Whitehead dan Rowland, 2002 dalam Amosu et al, 2011).

Status gizi balita memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan

sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan dating. Satus gizi

berhubungan dengan kecerdasaan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa

usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang diterima. Semakain rendah

asupan zat gizi yang diterima, semakin rendah pula status gizi dan kesehatan

anak. Gizi kurang atau buruk pada masa bayi dan anak-anak terutama pada

umur kurang dari 5 tahun dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan

jasmani dan kesehatan anak (Kemenkes RI, 2012).

Salah satu indikator kesehatan yang dinila keberhasilan pencapaiannya

dalam MDGs adalah status gizi. Status gizi diukur berdasarkan umur (U),
berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dab TB ini

disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat

badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Dinkes Prov. Jateng, 2012).

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan

salah satu faktor risiko terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang

baik bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga

terhadap kemampuan dalam proses pemulihan (Dinkes Prov. Jateng, 2012).

Status gizi baik apabila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang seimbang

dalam jumlah yang cukup. Status gizi kurang apabila terjadi kekurangan

karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Status gizi lebih jika terdapat

ketidakseimbangan antara konsumsi energi dan pengeluaran energi. Asupan

energi yang ber- lebihan dapat menimbulkan overweigth dan obesitas

(Nilsapril, 2008).

Konsumsi gizi yang baik dan cukup seringkali tidak bisa dipenuhi oleh

seorang anak karena faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal

menyangkut keterbatasan ekonomi keluarga sehingga uang yang tersedia tidak

cukup untuk membeli makanan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang

terdapat didalam diri anak yang secara psikologis muncul sebagai problema

makan pada anak.

Data Global Nutrition Report 2014 menyebutkan bahwa Indonesia

termasuk negara yang memiliki masalah gizi yang kompleks. Hal ini
ditunjukan dengan tingginya prevalensi stunting, prevalensi wasting, dan

permasalahan gizi lebih (Kemenkes RI, 2015).

Prevalensi nasional gizi buruk pada balita Indonesia adalah 5,4% dan Gizi

Kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target

Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program

perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Depelovment Goals pada

2015 (18,5%) telah tercapai pada tahun 2007. Namun demikian, sebanyak 19

provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang diatas prevalensi

nasional, kabupaten/kota dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada

balita tertinggi adalah aceh tenggara (48,7%). Sedangkan kabupaten/kota

dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita terendah adalah kota

Tomohon (4,8%). Prevalensi Nasional gizi lebih pada balita adalah 4,3%.

Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi gizi lebih pada balita diatas

prevalensi nasional, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Bangka belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali,

Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi selatan, Maluku dan Papua.

Secara bersama-sama, prevalensi nasional Balita Pendek dan Balita Sangat

Pendek (stunting) adalah 36,8%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi

Balita Pendek dan Balita Sangat Pendek diatas prevalensi nasional, yaitu DI

Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,

Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat (Naurarc, 2012).
Berdasarkan pemantauan status gizi tahun 2016, ditjen. Kesehatan

masyarakat, kemenkes RI, 2017 prevalensi status gizi balita usia 0-59 bulan

diprovinsi Kalimantan Selatan berdasarkan indeks BB/TB atau BB/PB pada

tahun 2015 sangat kurus(3,9%), kurus(10,2%), normal(79,8%), gemuk(6,1%)

dan pada tahun 2016 sangat kurus(2,6%), kurus(8,4%), normal(84,5%),

gemuk(4,5%). Ini menunjukan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi

masalah utama di Kalimantan Selatan dan perlu mendapatkan perhatian serius

untuk mengatasinya dan mencegah meningkatnya kasus kurang gizi tersebut.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013

prevalensi status gizi balita diprovinsi Kalimantan Selatan berdasarkan indeks

BB/TB atau BB/PB WHO NCHS gizi buruk sebesar 19,6% gizi kurang 19,2%

gizi baik 69,2% dan gizi lebih sebesar 3,4%. Dari 33 provinsi di Indonesia,

Provinsi Kalimantan Selatan menduduki peringkat 5 terbanyak prevalensi

status gizi balita. Ini menunjukan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi

masalah utama di Kalimantan Selatan dan perlu mendapatkan perhatian serius

untuk mengatasinya dan mencegah meningkatnya kasus kurang gizi tersebut.

Faktor faktor yang mempengaruhi status gizi ada dua yaitu faktor tidak

langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain adalah

kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan yang mempengaruhi ketersediaan

pangan dan pelayanan kesehatan. Faktor langsung antara lain asupan makanan

dan penyakit infeksi. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi status gizi

seseorang (Supariasa dkk, 2002).


Karakteristik keluarga yang meliputi jumlah anggota keluarga, agama,

pendidikan terakhir, pekerjaan, agama dan suku merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi status gizi. Jumlah anggota keluarga yang banyak akan

membuat pembagian makanan yang dibagi semakin sedikit apalagi dibagi

kebutuhan bagi pertumbuhan dan perkembangan balita sangat besar. Agama

dan suku juga berperan penting. Agama dan suku tertentu biasanya memiliki

kebiasaan makanan yang berbeda yang kemudian dapat mempengaruhi status

gizi. Pendidikan terakhir dan pekerjaan berkaitan dengan pengetahuan orang

tua yang memiliki kontrol dalam memilih makanan yang baik bagi

keluarganya.

Intake gizi yang baik berperan penting di dalam mencapai pertumbuhan

badan yang optimal. Dan pertumbuhan badan yang optimal ini mencakup pula

pertumbuhan otak yang sangat menentukan kecerdasan seseorang. Faktor yang

paling terlihat pada lingkungan masyarakat adalah kurangnya pengetahuan ibu

mengenai gizi-gizi yang harus dipenuhi anak pada masa pertumbuhan. Ibu

biasanya justru membelikan makanan yang enak kepada anaknya tanpa tahu

apakah makanan tersebut mengandung gizi-gizi yang cukup atau tidak, dan

tidak mengimbanginya dengan makanan sehat yang mengandung banyak gizi.

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan karena masuknya bibit

penyakit. Penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain. Penyebab utama

infeksi diantaranya adalah bakteri dan jasad hidup (organism). Kuman-kuman

ini menyebar dengan berbagai cara dan vector (Wardhani, 2018).


Penyakit infeksi dapat dikatakan sebagai pemula terjadinya kurang gizi

sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam

saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit.

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan kurang gizi adalah hubungan sebab

akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi

yang jelek dapat mempermudah infeksi. Penyakit yang umum terkait dengan

masalah gizi antara lain diare, tuberculosis, campak dan batuk (Supariasa

dalam Hakim, 2002:187).

Data World Health Statistics menunjukkan bahwa lebih dari 70%

kematian Khusunya balita disebabkan oleh penyakit infeksi (seperti diare,

pneumonia, campak, malaria) dan malnutrisi. Menurut UNICEF penyakit

infeksi merupakan penyebab kematian utama. Dari 9 juta kematian pada balita

per tahunnya di dunia,lebih dari 2 juta di antaranya meninggal akibat penyakit

ISPA.WHO melaporkan lebih dari 50% kasus penyakit infeksi berada di Asia

Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan, tiga per empat kasus penyakit

infeksi pada balita berada di 15 negara berkembang.

Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan anak di Indonesia.

Terbukti, angka kesakitan dan angka kematian anak akibat penyakit tersebut

masih cukup tinggi. Daya tahan tubuh balita yang masih rendah

mengakibatkan anak mudah sekali terserang berbagai penyakit infeksi

(Meadow R dalam kawengian, dkk. 2015).

Pada ketersediaan pangan, populasi penduduk indonesia yang sekitar 220

juta orang memerlukan kesediaan pangan hewani bermutu tinggi, halal dan
aman dikonsumsi. Rataan konsumsi pangan hewani asal daging, susu dan telur

masyarakat Indonesia adalah 4,1 : 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari(Direktorat

Jendral Peternakan, 2006). Angka- angka tersebut barangkali jauh lebih

rendah dari angka konsumsi standar Wijaya Karya Nasional Pangan dan Gizi

(LIPI, 1989) yaitu sebanyak 6 gram/kapita/hari atau setara dengan 10,3 kg

daging/kapita/tahun, 6,5 kg telur/kapita/tahun, dan 7,2 kg susu/kapita/tahun

(Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Konsumsi pangan asal hewani akan

meningkat sejalan dengan membaiknya keadaan ekonomi masyarakat maupun

meningkatkan kesadaran masyarakat akan gizi baik. Penyediaan makanan

ditingkat keluarga dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan perilaku terutama

ibu tentang gizi dan kesehatan. Pengetahuan ibu yang baik tentang gizi dan

kesehatan diharapkan dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam

menyediakan dan mendistribusikan makanan dalam keluarganya yang dapat

mempengaruhi konsumsi makan sehari harinya dan dampak lebih lanjutnya

adalah pada status gizi (Baliwati, 2004).

Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan

pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan

pengadaan pangan. Pada kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana

kekeringan, perang, kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul

akibat masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan

rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya. Menyadari hal

itu, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin

setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup jumlah

dan mutunya.
Berdasarkan Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Provinsi

Kalimantan Selatan Tahun 2013 skor PPH provinsi Kalimantan Selatan Tahun

2013 mencapai 91,61% yang berarti masih berada di bawah skor maksimal

yaitu 100%.Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling

mempengaruhi secara kompleks. Ditingkat rumah tangga, keadaan gizi

dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga menyediakan pangan di dalam

jumlah dan jenis yang cukup serta pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor

pendidikan, perilaku dan keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu

penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak

yang kurang memadai (Soekirman, 2000).

Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan

pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak

usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan

suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Kekurangan

gizi pada masa ini dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara

fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa

sampai anak menjadi dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat

menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi

keterlambatan perkembangan otak dan dapat pula terjadinya penurunan atau

rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada masa ini juga,

anak masih benar-benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh

ibunya. Pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan

sangatlah penting untuk perkembangan anak (Santoso, 2005).


Informasi di atas menunjukkan bahwa prevalensi status gizi bisa

mengalami penurunan dan kenaikan. Keadaan ini perlu disadari karena

terjadinya masalah gizi sangat terkait dengan berbagai faktor yang

mempengaruhi antara lain adanya penyakit infeksi seperti diare, tuberkulosis

paru, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), demam berdarah dengue (DBD),

malaria, dan lain-lain yang terkait dengan faktor sanitasi lingkungan. Keadaan

sanitasi lingkungan yang kurang baik juga memungkinkan terjadinya berbagai

jenis penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi. Sanitasi

lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban,

jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga.

Semakin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, semakin kecil risiko

anak untuk terkena penyakit kurang gizi.

Sanitasi merupakan bagian penting dalam pengolahan makanan yang harus

dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha

pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor

lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut.

Masalah sanitasi termasuk masalah yang kompleks sehingga senantiasa

berubah dari waktu ke waktu. Kesehatan manusia hanya dapat dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan jika manusia tersebut terpapar terhadap faktor

lingkungan pada tingkat yang tidak dapat ditenggang keberadaannya. (Mulia,

2005). Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan

perilaku manusia (Widyati, 2002). Lingkungan seperti dapur, yang merupakan

tempat pemasakan dan penyimpanan bahan makanan yang sehat akan


mengurangi resiko tercemar nya bahan makanan yang akan dikonsumsi dari

kerusakan.

Kondisi perekonomian merupakan salah satu aspek yang diukur dalam

menentukan keberhasilan suatu negara. Data badan pusat statistik (BPS)

menyebutkan bahwa pada tahun 2006, tingkat ekonomi nasional mengalami

penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 pertumbuhan

ekonomi sebesar 5,7% dan mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi

5,5%. Namun pertumbuhan ekonomi nasional mengalami peningkatan yang

signifikan pada tahun 2007 menjadi 6,3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia

terus mengalami peningkatan pada tahun 2008 yaitu sebesar 6,1% lebih tinggi

dari tahun 2007, dan pada tahun 2009 meningkat sebesar 4,5%, dan meningkat

sebesar 6,1% pada tahun 2010 (Depkes RI, 2010).

Salah satu karakteristik keluarga adalah tingkat pendapatan keluarga.

Keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan

konsumsi pangan dan gizi terutama pada balita rendah dan hal ini

mempengaruhi status gizi pada anak balita (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2012).

Menurut Suhardjo 2007 kurangnya konsumsi pemberian pangan dan

kualitas gizi yang diberikan oleh keluarga mempengaruhi status gizi balita dan

terdapat faktor faktor, antara lain saling berkaitan satu sama lain. Dari faktor

tersebut diantaranya ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, ibu yang 3

pengetahuannya luas, usia ibu dan pekerjaan ibu. Dari semua faktor ini sangat

menentukan keberhasilan pemberian makanan pada bayi dan balita, karena

seorang ibulah yang sangat berperan dalam mengatur konsumsi pemberian


makanan anak. Anak yang diberikan makanan pendamping ASI setelah

berumur 6 bulan umumnya lebih cerdas dan memiliki daya tahan tubuh lebih

kuat, mengurangi resiko terkena alergi akibat makanan. Sedangkan jika

makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini justru dapat meningkatkan

angka kematian bayi, mengganggu sistem pencernaan pada bayi, dan apabila

terlambat memberikan juga akan membuat bayi kekurangan gizi (Kodrat,

2010). Makanan Pendamping ASI (MPASI) perlu diberikan tepat waktu. Bila

terlalu dini, berikut dampak negatifnya karena dapat menyebabkan diare atau

susah BAB, Obesitas, Kram usus, Alergi makanan, konstipasi dan apabila

terlambat anak mengalami Kekurangan nutrisi serta Kemampuan oromotor

kurang terstimulasi (Wawa, 2012).

Sikap atau perilaku merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap

suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat di katakana bahwa kesiapan yang

di maksudkan merupakan kecendrungan potensial untuk bereaksi dengan cara

tertentu apabila individu di hadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki

adanya respon.( Devi,2016).

Salah satu perilaku yang berkaitan dengan kesehatan adalah PHBS. PHBS

adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga

anggota keluarga atau keluarga dapa tmenolong dirinya sendiri di bidang

kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di

masyarakat. ( Naura,2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengetahui

apakah ada hubungan asupan makanan, penyakit infeksi, ketersediaan pangan,


pola asuh ibu, kesehatan lingkungan, tingkat pendapatan, pengetahuan ibu,

serta perilaku hidup bersih dan sehat Lingkungan dengan Status Gizi pada

Anak Balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito

Kuala.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Apakah ada hubungan antara asupan makanan dengan status gizi balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala ?

2. Apakah ada hubungan penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala ?

3. Apakah ada hubungan ketersediaan pangan dengan status gizi balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala ?

4. Apakah ada hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di Desa

Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala ?

5. Apakah ada hubungan kesehatan lingkungan dengan status gizi pada anak

balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito

Kuala ?

6. Apakah ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi

balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito

Kuala ?

7. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Desa

Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala ?


8. Apakah ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status

gizi balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten

Barito Kuala ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita

di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menilai status gizi balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau

Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

b. Untuk menilai asupan makanan balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan

Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

c. Untuk mengidentifikasi penyakit infeksi pada balita di Desa Sinar

Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

d. Untuk menilai ketersediaan pangan keluarga di Desa Sinar Baru,

Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

e. Untuk mendeskripsikan pola asuh balita di Desa Sinar Baru,

Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

f. Untuk mendeskripsikan kesehatan lingkungan keluarga di Desa Sinar

Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

g. Untuk menghitung pendapatan keluarga di Desa Sinar Baru,

Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

h. Untuk menilai pengetahuan Ibu di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau

Bedauh Kabupaten Barito Kuala.


i. Untuk mendeskripsikan perilaku hidup bersih dan sehat di Desa Sinar

Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

j. Untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi dengan status gizi balita

di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito

Kuala.

k. Untuk mengetahui hubungan penyakit infeksi dengan status gizi pada

balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten

Barito Kuala.

l. Untuk mengetahui gambaran ketersediaan pangan dengan status gizi

balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten

Barito Kuala.

m. Untuk mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak

balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten

Barito Kuala.

n. Untuk mengetahui hubungan kesehatan lingkungan keluarga dengan

status gizi pada balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh

Kabupaten Barito Kuala.

o. untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan

status gizi balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh

Kabupaten Barito Kuala.

p. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi pada balita

di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito

Kuala.
q. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat

dengan status gizi di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh

Kabupaten Barito Kuala.

D. Hipotesis

1. Ada hubungan antara asupan makan dengan status gizi balita di Desa Sinar

Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

2. Ada hubungan antara penyakit infeksi terhadap status gizi balita di Desa

Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

3. Ada hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan status gizi balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

4. Ada hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di Desa

Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

5. Ada hubungan kesehatan lingkungan dengan status gizi pada anak balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

6. Ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

7. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi balita di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

8. Ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status gizi di

Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.


E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan menjadi masukkan dan bahan pertimbangan

bagi pemerintah terutama Dinas Kesehatan untuk meningkatkan kegiatan

promosi kesehatan pada status gizi anak balita.

2. Bagi Instansi Kesehatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

menambah pengetahuan mengenai status gizi pada balita bagi instansi

kesehatan khususnya program gizi puskesmas dalam perbaikan gizi

masyarakat.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan

pengetahuan tentang status gizi balita sehingga dapat dijadikan referensi

untuk penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun
atau lebih popular dengan pengertian usia anak dibawah lima tahun (Muaris.
H, 2012). Menurut Sutomo. B. Dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah
istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5
tahun). Saat usia balita , anak masih tergantung penuh kepada orang tua
untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik, namun
kemampuan lain masih terbatas.

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan


yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
badannya. Anak balita ini justu merupakan kelompok umur yang paling
sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf
perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya
(Sediaoetama, 2014).

Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling


tinggi untuk penyakit kurang energi protein (KEP) dan defisiensi vitamin A
serta anemia defesiensi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh
berbagaaai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan laiinnya, karena
tidak dapat datang sendiri ke tempat berkurang yang ditentukan tanpa
diantar, padahal yang mengantar sedang sibuk semua (Sedioetama, 2014).

B. Status Gizi

1. Pengertian Gizi

Pengertian gizi dalam kesehatan reproduksi adalah bagaimana

seoarang individu, mampu untuk mencukupi kebutuhan gizi yang


diperlukan oleh tubuhnya, agar individu tersebut tetap berada dalam

keadaan sehat dan baik secara fisik atau mental. Serta mampu

menjalankan sistem metabolisme dan reproduksi, baik fungsi atau

prosesnya secara alamiah dengan keasan tubuh yang sehat (Marmi,

2013).

2. Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status

keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang

dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis

(pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan,

dan lainnya) (Suyanto, 2009). Status gizi dapat pula diartikan sebagai

gambaran kondisi fisik seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan

energi yang masuk dan yang dikeluarkan oleh tubuh (Marmi, 2013).

a. Energi

Energi merupakan kebutuhan yang terutama apabila tidak

tercapai, diet protein, vitamin, dan mineral tidak dapat dipergunakan

secara efektif dalam berbagai fungsi metabolik. Energi dibutuhkan

untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktifitas otot, fungsi

metaboliknya (menjaga suhu tubuh, menyimpan lemak tubuh).

Sumber energi berasal dari karbohidrat, protein, lemak menghasilkan

kalori masing-masing, sebagai berikut: karbohidrat 4 kkal/g, protein

4 kkal/g dan lemak 9 kkal/g.

Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik, remaja

yang kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan (BB) atau
mungkin obesitas. Asupan energy yang rendah menyebabkan

retardasi pertumbuhan, berat badan (BB) rendah, dan starvasi

(Soetjiningsih, 2004). Starvasi adalah suatu keadaan dimana

terjadinya kekurangan asupan energi dan unsur-unsur nutrisi

essensial yang diperlukan tubuh dalam beberapa hari sehingga

mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan proses metabolisme

didalam tubuh (Syahputra, 2003).

b. Protein

Protein diperlukan untuk sebagian besar proses metabolik,

terutama pertumbuhan, dan maintenen atau merawat jaringan tubuh.

Protein mensuplai sekitar 12%-14% asupan energi selama masa anak

dan remaja. Kebutuhan sehari-hari yang direkomendasikan pada

remaja berkisar antara 44-59 gram, tergantung jenis kelamin dan

umur.

c. Lemak

Lemak berperan penting sebagai komponen struktural dan

fungsional membran sel, yang meliputi berbagai segi dari

metabolisme. Lemak juga sebagai sumber asam lemak esensial yang

diperlukan oleh pertumbuhan, karena merupakan sebagai sumber

suplai energi yang berkadar tinggi dan pengangkut vitamin yang

larut dalam lemak. Lemak esensial juga dibutuhkan oleh tubuh

sekitar 3% dari total energi. Kebutuhan lemak dihitung sekitar 37%

dari asupan energi total remaja, baik laki-laki maupun perempuan.

Asupan lemak yang kurang adekuat, akan terjadi defisiensi asal


lemak esensial dan nutrien yang larut dalam lemak, serta terjadinya

pertumbuhan yang buruk sebaliknya, jika kelebihan asupan akan

berisiko kelebihan berat badan (BB), obesitas, mungkin bisa

meningkatkan penyakit kardiovaskuler nantinya. Sumber lemak yang

dapat dikonsumsi adalah lemak jenuh (mentega), asam lemak tak

jenuh tak tunggal (minyak olive), asam lemak tak jenuh ganda

(minyak kacang kedelai), kolestrol (hati, ginjal, otak, kuning telur,

daging, unggas, ikan, dan keju) (Soetjiningsih, 2004).

d. Karbohidrat

Sumber terbesar energi tubuh adalah karbohidrat yang menjadi

bagian dari bermacam-macam struktur sel dan substan dan

komponen primer diet serat. Karbohidrat disimpan sebagai glikogen

atau diubah menjadi lemak tubuh. Sumber karbohidrat yang baik

adalah karbohidrat simple atau (buah-buahan, sayur-sayuran, susu,

gula, pemanis berkalori lainnya), dan karbohidrat kompleks (produk

padi-padian dan syur-sayuran). Asupan yang tidak adekuat

menyebabkan ketosis. Ketosis adalah suatu keadaan tubuh, yang

terjadi sebagai akibat dari kurangnya kadar karbohidrat dalam tubuh.

Sebaliknya asupan yang berlebihan mengarah pada kelebihan kalori

(Soetjiningsih, 2004).

e. Serat

Fungsi serat pada tubuh adalah untuk melancarkan proses

pengeluaran dari tubuh. Sumber yang baik dari diet adalah, produk

padi-padian, beberapa jenis buah dan sayur, kacang-kacangan kering,


dan biji-bijian. Bila kekerungan asupan serat makan akan

menyebabkan konstipasi, sebaliknya jika kelebihan mungkin

menimbulkan absorbsi mineral berkurang (Soetjiningsih, 2004).

f. Mineral

Kebutuhan mineral seluruhnya meningkat pada masa kerja

tumbuh remaja. Mineral berperan penting pada kesehatan, kalsium,

zat besi, dan seng, khususnya penting pada masa pertumbuhan dan

perkembangan (Soetjiningsih, 2004). 17

g. Vitamin

Vitamin A merupakan nutrien yang larut dalam lemak, esensial

untuk mata, tulang, pertumbuhan, pertumbuhan gigi, diferensial sel,

reproduksi dan integritas sistem imun. Sumber vitamin A yang baik

adalah, karoten (sayur daun hijau tua, buah dan sayur kuning dan

orange), makanan yang diperkaya dengan vitamin A dan susu.

Vitamin C berfungsi dalam pembentukan kolagen tulang dan

gigi, dan melindungi vitamin lain dan mineral dari oksidasi

(antioksidan). Asupan perhari vitamin C yaitu, 50 mg/hari untuk

remaja usia 11-14 tahun pada laki-laki, dan 60 mg/hari untuk usia

15-18 tahun pada perempuan. Sumber vitamin C yaitu, buah-buahan

segar seperti jeruk, tomat, kentang, sayur hijau tua dan strawberi

yang dijus merupakan sumber vitamin C yang sangat baik.

Vitamin E fungsinya sebagai antioksidan. Sumber vitamin E

yang baik dalam diet, minyak dan lemak sayur-sayuran, beberapa


produk sereal, kacang-kacangan dan beberapa ikan laut

(Soetjiningsih, 2004).

3. Klasifikasi dan Indikator Status Gizi


Klasifikasi status gizi anak balita dapat dibedakan menjadi :
a. Gizi Baik
Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai
dengan kebutuhan aktifitas tubuh. Adapun ciri-ciri anak berstatus
gizi baik dan sehat adalah sebagai berikut (Zulaikhah, 2010) :
1) Tumbuh dengan normal
2) Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya
3) Mata bersih dan bersinar
4) Bibir dan lebih tampak segar
5) Nafsu makan baik
6) Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering
7) Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
b. Gizi Kurang
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi
seseorang, status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secar efisien,
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin.
Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak
terpenuhinya asupan makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena
seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih dalam
tubuh (Almatsier, 2005).
Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain
menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi),
terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan,
kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga
kerja,dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan
pengetahuan mengenai gizi (Jalal dan Atmojo, 2005).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak
dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat
terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang
kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi.
Contoh masalah kekurangan gizi antara lain KEP (Kekurangan
Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurang Iodium),
Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 2012).
c. Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang
mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan
jumlah asupan energi yang disimpan dalam beentuk cadangan berupa
lemak.Ada yang menyebutkn bahwa masalah gizi lebih indentik
dengan kegemukan.Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang
sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif,
seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, hipertensi,
gangguan ginjal dam masih banyak lagi (Soerjodibroto, 2004).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas.
Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antar 25,1-27,0
kh/mg2, sedangkan obesitas adalah >27,0 kg/m2. Kegegmukan
(obesitas) dapat terjadi mukai dari masa bayi, anak-anak, sampai usia
dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya
penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi
yang menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan
mengalami kegemukan pula.
Kegemukaan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut
berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara
terhadap akan terus mengalami kegemukan dari masa anak-anak
terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia
remaja dan secara terhadap akan terus mengalami kegemukan sampai
usia dewasa. Kegemukan pada manusi dewasa terjadi karena
seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak
(Suyono, 2012).
4. Kelompok Rentan Masa Gizi
Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Notoatmodjo, 2005) :
a. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun
b. Kelompok dibawah 5 tahun (balita), umur 1-5 tahun
c. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun
d. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun
e. Kelompok ibu hamil dan menyusui
f. Kelompok lansia (lanjut usia)
Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Sediaoetama, 2007) :
a. Bayi (0-1 tahun)
b. Balita (1-5 tahun)
c. Anak sekolah (6-13 tahun)
d. Remaja (14-20 tahun)
e. Ibu hamil dan ibu menyusui
f. Manula (usia lanjut)
Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Rimbawan dan
Baliwati, 2004) :
a. Lokasi tempat tingkat (rawan ekologis/daerah terpencil)
b. Rawan biologis (umur dan jenis kelamin)
c. Bayi dan anak sekolah
d. Wanita hamil dan menyusui
e. Penderita penyakit dan orang yang sedang dalam penyembuhan
5. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data
yang diperoleh dengan mengunakan berbagai macam cara untuk
menemukan suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi
kurang maupun gizi lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2010). Penilaian
status gizi terdiri dari dua jenis yaitu :
a. Penilaian Langsung
1) Antropometri
Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Secara umum digunakan untuk
melihat ketidak seimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air
dalam tubuh.
Pengukuran antropometri memiliki beberapa kelebihan,
yaitu :
a) Prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan dalam jumlah
sampel yang benar
b) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli
c) Alatnya murah, mudah dibawa dan tahan lama
d) Metode ini tepat dan akurat
e) Dapat menggambarkan riwayat gizi dimasa lampau
f) Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang,
kurang dan buruk
g) Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode
tertentu
Disamping itu pengukuran antropometri juga memiliki
kelemahan yaitu :
a) Tidak sensitif
b) Faktor diluar gizi (penyakit, genetik) dapat menurunkan
spesifikasi dan sensitifitas pengukuran.
c) Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat
mempengaruhi presisu dan akrasi serta validasi pengukuran
antropometri.
d) Kesalahan dapat terjadi karena pengukuran, perubahan hasil
pengukuran, baik fisik maupun komposisi jaringan.
e) Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan petugas
yang tidak cukup, kesalahan alat dan kesulitan pengukuran.
Ada 2 jenis ukuran antropometri yaitu ukuran linier dan
ukuran massa jaringan. Ukuran linier adalah yang berhubungan
dengan panjang. Contoh ukuran linier adalah panjang badan,
lingkar dada dan lingkar kepala, ukuran linier yang rendah
biasanya menunjukkan keaddaan gizi yang yang kurang baik
akibat kekurangan energi dan protein yang diderita waktu
lampau (Poltekkes Depkes Malang, 2010).
Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh.
Contoh ukuran massa jaringan adalah berat badan, lingkar
lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit. Apabila ukuran ini
rendah atau kecil, menunjukkan keadaan gizi kurang akibat
kekurangan akibat kekurangan energi dan protein yang diderita
pada waktu pengukuran dilakukan (Poltekkes Depkes Malang,
2010).
b. Penilaian Tidak Langsung
1) Survey Konsumsi Makanan
Survey konsumsi makanan adalah suatu metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan
jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi
makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi
berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu.
Survey ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan
zat gizi (Supariasa, 2012).
Secara umum survey konsumsi makanan dimaksudkan
untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat
kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok,
rumah tangga dan perorangan umum survey konsumsi
makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan
gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada
tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut.
Secara lebih khusus, survey konsumsi digunakan untuk
berbagai macam tujuan yaitu menentukan tingkat kecukupan
konsumsi pangan nasional dan kelompok masyarakat,
menentukan status kesehatan dan gizi keluarga dan individu,
menentukan pedoman kecukupan makanan dan program
pengadaan pangan, sebagai dasar perencanaan dan program
pengembangan gizi, sebagai sarana pendidikan gizi
masyarakat, khususnya golongan yang berisiko tinggi
mengalami kekurangan gizi dan menentukan perundan-
undangan yang berkenan dengan makanan, kesehatan dan gizi
masyarakat (Supariasa, 2012).
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran
konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi,
yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif :
a) Metode Kualitatif
Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk
mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut
jenis makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan
makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan
makanan tersebut. Metode-metode pengukuran konsumsi
mkanan bersifat antara lain :
1) Metode frekuensi makanan (food frequency)
2) Metode dietary history
3) Metode telpon
4) Metode pendaftaran makanan (food list)
b) Metode Kuantitatif
Untuk mengetahui jumlah makanan yang
dikonsumsi dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan
menggunakan daftar komposisi bahan makanan
(DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti
Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar
Konversi Mentah-Masak (DKMM), dan Daftar
Penyerapan Minyak. Metode pengukuran konsumsi
secara kuantitatif antara lain :
- Metode recall 24 jam
- Perkiraan makanan (estimated food records)
- Penimbangan makanan (food weighing)
- Metode food account
- Metode inventaris (inventoru method)
- Pencatatan (Household food record)
6. Jenis dan Parameter Status Gizi
Parameter antropometri adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia. Dalam antropometri gizi, beberapa parameter yang banyak
dikenal, yaitu : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lingkar dada, lingkar kepala, dan jaringan lunak (Poltekkes Depkes
Malang, 2014).
Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa
parameter. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari suatu
pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang
dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi.
Parameter yang berkaitan dengan pengukuran indeks massa
tubuh, terdiri dari :
a. Berat Badan
Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak,
air, dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh
cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Berat badan
adalah salah satu memberikan gambaran massa tubuh. Massa
tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang sangat
mendadak. Berat badan adalah parameter antropometri sangat
labil.
Dengan keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik
dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi
terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2
kemungkinan perkembangan besar badan, yaitu dapat
berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal
(Supriasa, 2012).
Cara mengukur berat badan yaitu letakkan timbangan pada
lantai yang datar, pakaian seminimal meungkin, sepatu atau
sandal harus dilepaskan, periksa timbangan yang akan dipakai,
harus selalu diingat bahwa jarum harus menunjukkan skala 0
(nol), sampel berdiri diatas timbangan. Sampel harus berdiri
tegak dengan pandangan kedepan, lihat angka pada timbangan
yang menunjukkan berat badan dan catat berat badan yang
didapat dengan teliti. Kelebihan parameter berat badan adalah
lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum,
baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan
dapat berkualitas, sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan
kecil, dapat mendeteksi kegemukan, sedangkan kelemahan
parameter berat badan adalah dapat mengakibatkan interprestasi
status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites,
didaerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur
sering sulit ditaksir secara baik karena pencatatan umur yang
belum baik, memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk
anak dibawah usia lima tahun, sering terjadi kesalahan dalam
pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan pada saat
pertimbangan, secara operasional sering mengalami hambatan
karena masalah sosial budaya setempat (Supariasa, 2012).
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang.
Alat yang digunakan dilapangan sebaiknya memenuhi beberapa
persyaratan yaitu mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat
ke tempat yang lainnya, mudah diperoleh dan relatif murah
harganya, ketelitian penimbangan sebaiknya maksimal 0,1 kg,
skala mudah dibaca.
b. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan salah satu parameter yang
penting bagi keadaan yang telalh lalu dan keadaan yang
sekarang. Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran
kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat
badan terhadap tinggi badan (Quick stick), factor umu
dapat dikesampingkan (Supariasa, 2012).
Cara mengukur tinggi badan yaitu tempelkan
mikrotoice dengan paku pada dinding yang harus datar
setinggi 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata,
sepatu atau sandal dilepas, responden harus berdiri tegak
seperti sikap siap dalam baris-berbaris, kaki lurus, tumit,
pantat, punggung, dan kepala bagian belakang harus
menempel pada dinding dan muka menghadap lurus
dengan pandangan ke depan, turunkan mikrotoice sampai
rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus
menempel panda dinding, baca angka pada skala yang
nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoice. Angka
tersebut menunjukkan tinggi responden yang diukur
(Supariasa, 2012).
Keuntungan parameter tinggi badan adalah baik
untuk menilai status gizi masa lalu, ukuran panjang dapat
dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan,
kelemahan parameter tinggi badan adalah tinggi badan
tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun, pengukuran
relatif sulit dilakukan karena harus berdiri tegak, sehingga
diperlukan dua orang untuk melakukannya, ketepatan
umur sulit didapat, Indeks Massa Tubuh (IMT) (Supariasa,
2012).
2.2.7 Indikator Status Gizi

a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan,


termasuk air, lemak, tulang, otot, dan diantara beberapa macam
indeks antropometri, indeks BB/U merupakan indikator yang
paling umum digunakan. Indikator BB/U menunjukkan secara
sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah.
Untuk anak pada umumnya, indeks ini merupakan cara baku
yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Kurang berat
badan tidak hanya menunjukkan konsumsi pangan yang tidak
cukup tetapi juga mencerminkan keadaan sakit yang baru saja
dialami, seperti mencret yang mengakibatkan berkurangnya
berat badan. Pengukuran berat badan menurut umur secara
teratur dan seiring dapat dipergunakan sebagai indikator kurang
gizi. Hasil pengukuran ini dapat menunjukkan keadaan kurang
gizi akut atau gangguan-gangguan yang mengakibatkan laju
pertumbuhan terhambat.

b. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan kurang peka dipengaruhi oleh pangan


dibandingkan dengan berat badan. Oleh karena itu, tinggi badan
menurut umur yang rendah biasanya akibat dari keadaan kurang
gizi yang kronis, tetapi belum pasti memberikan petunjuk bahwa
konsumsi zat gizi pada waktu ini tidak cukup. TB/U lebih
menggambarkan status gizi masa lalu. Keadaan tinggi badan
anak usia sekolah (7 tahun) menggambarkan status gizi pada
masa balita adalah sama dengan seperti pada masa sudah
dibahas sebelumnya menyangkut pengukuran itu sendiri
maupun ketelitian data umur. Masalh-masalah ini akan
berkurang bila dilakukan terhadap anak yang lebih tua dimana
proses pengukuran dapat lebih mudah dilakukan dan
penggunaan selang 11 (range). Umur yang lebih panjang
(setengah tahunan atau tahunan) memperkecil kemungkinan
kesalahan data umur. Indeks TB/U disamping dapat
memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga
lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi (Beaton dan
Bengoa, 2004). Oleh karena itu, indeks TB/U selain digunakan
sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai
indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat.
c. Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Ukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan


BB/TB karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan
lebih sensitive dan spesifik. Berat badan memiliki hubungan
linier dengan berat badan. Dalam keadaan normal akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu.
Pada tahun 1966 Jeliffe memperkenalkan penggunaan indeks
BB/TB untuk identifikasi status gizi, indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menanyakan status gizi saat ini,
terlebih bila data umur akurat sulit diperoleh, oleh karena itu
indeks BB/TB disebut pula indikator status gizi yang
independen terhadap umur. Karena indeks BB/TB dapat
memberikan gambaran tentang proporsi berat badan relatif
terhadap indikator kekurangan, seperti halnya dengan indeks
BB/U.

d. Z-Score

Z-score merupakan indeks antropometri yang digunakan


secara internasional untuk menentukan status gizi dan
pertumbuhan, yang diekspresikan sebagai satuan standar deviasi
(SD) populasi rujukan. Untuk pengukuran z-score pada populasi
yang didistribusinya normal, umumnya digunakan pada
indikator panjang atau tinggi badan anak. Dengan rumus sebagai
berikut :

(nilai yang di amati−referensi median)


Z-Score =
Z−score populasi referensi (SD)
2.2.8 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagimana


terdapat pada label di bawah ini :

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Status Ambang Batas (Z-score)


Gizi
Gizi Buruk < - 3 SD

Berat Badan Menurut - 3 SD sampai dengan – 2


Gizi Kurang
Umur (BB/U) Anak SD
Umur 0-60 Bulan Gizi Baik - 2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih > 2 SD
Panjang Badan Menurut Sangat Pendek < - 3 SD
Umur (PB/U) atau
- 3 SD sampai dengan – 2
Tinggi Badan Menurut Pendek
SD
Umur (TB/U) Anak
Umur 0-60 Bulan Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi > 2 SD
Berat Badan Menurut Sangat Kurus < - 3 SD
Panjang Badan (BB/PB)
- 3 SD sampai dengan – 2
atau Berat Badan Kurus
SD
Menurut Tinggi Badan
(BB/TB) Anak Umur 0- Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
60 Bulan Gemuk > 2 SD
Sangat Kurus < - 3 SD

Indeks Massa Tubuh - 3 SD sampai dengan – 2


Kurus
Menurut Umur (IMT/U) SD
Anam Umur 0-5 tahun Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk > 2 SD
Sangat Kurus < - 3 SD

Indeks Massa Tubuh - 3 SD sampai dengan – 2


Kurus
Menurut Umur (IMT/U) SD
Anam Umur 5-18 tahun Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk - 1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas > 2 SD

Sumber: (WHO-NCHS) 2010.

2.3. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi


2.3.1 Asupan makan
Asupan makanan merupakan faktor utama untuk memenuhi

kebutuhan gizi sebagai sumber tenaga, mempertahankan ketahanan


tubuh dalam menghadapi serangan penyakit dan untuk pertumbuhan

(Departemen FKM UI, 2008).

Manusia membutuhkan 20 energi untuk mempertahankan hidup,

menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Asupan

tersebut diperoleh dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat,

lemak dan protein (Almatsier, 2004).

a. Asupan Energi

Energi dibutuhkan tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh

yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan

energi total. Kebutuhan energi diperlukan untuk metabolisme basal

dan fungsi tubuh seperti mencerna, mengolah dan menyerap

makanan serta untuk bergerak, berjalan, bekerja dan beraktivitas

lainnya (Soekirman, 2000). Proporsi makanan sehat berimbang

terdiri atas 60-65% karbohidrat, 20% lemak dan 15-20% protein

(Irianto, 2007).

b. Asupan Karbohidrat

Sumber energi terbesar tubuh adalah karbohidrat yang menjadi

bagian dari berbagai macam struktur komponen primer.

Karbohidrat disimpan sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak

tubuh. Karbohidrat merupakan senyawa sumber energi utama bagi

tubuh. Karbohidrat menyumbang 80% kalori yang didapat tubuh

(Irianto, 2007). Karbohidrat di dalam tubuh berada dalam

sirkulasi darah sebagai glukosa untuk keperluan energi, sebagian

disimpan sebagai glikogen dalam hati dan jaringan otot dan


sebagian diubah menjadi lemak untuk kemudian disimpan sebagai

cadangan energi di dalam jaringan lemak (Almatsier, 2004).

Tabel Kategori Asupan Karbohidrat dibandingkan dengan AKG

Kategori Ambang batas

Di atas kebutuhan >120%

Normal 90 – 119%

Defisiensi ringan 80 – 89%

Defisiensi sedang 70 – 79%

Defisiensi berat <70%

c. Asupan Lemak

Lemak merupakan garam yang terbentuk dari penyatuan asam

lemak dengan alkohol organik yang disebut gliserol. Kelebihan

makanan dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk lemak terutama

pada jaringan bawah kulit, sekitar otot, jantung, paru-paru, ginjal

dan organ tubuh lainnya (Irianto, 2007). Asupan lemak memiliki

densitas energi lebih tinggi dibandingkan zat gizi makro lain. Satu

gram lemak menyumbang 9 kilokalori. Efek stimulasi makanan

berlemak pada asupan energi karena rasa enak di mulut ketika

mengonsumsi makanan berlemak. Makanan berlemak mengatur

sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan,

menunda dan mencegah pada waktu seseorang mengonsumsi

makanan berlemak (WHO 2000).Manfaat lemak didalam tubuh


antara lain ; sebagai sumber energi yaitu 1gram lemak

menghasilkan 9kalori, melarutkan vitamin sehingga dapat diserap

usus dan memperlama rasa kenyang. Kategori asupan lemak dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kategori Asupan Lemak dibandingkan dengan AKG

Kategori Ambang batas

Di atas kebutuhan >120%

Normal 90 – 119%

Defisiensi ringan 80 – 89%

Defisiensi sedang 70 – 79%

Defisiensi berat <70%

Konsumsi makanan merupakan faktor yang mempengaruhi status gizi


secara langsung. Konsumsi yang kurang dari makanan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas akan memberikan kondisi keadaan gizi yang
kurang .Sebaliknya konsumsi makan yang baik akan memenuhi semua zat-
zat gizi yang diperlukan tubuh sehingga akan mendapatkan kondisi
kesehatanyang sebaik-baiknya.Jadi keadaan gizi masyarakat tergantung
pada tingkat konsumsi.Sedangkan tingkat konsumsi di tentukan oleh
kualitas hidangan.Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi
yang diperlukan tubuh.
2.3.2 Penyakit Infeksi
2.3.7 PengertianPenyakit Infeksi
Penyakit infeksi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh
sebuah agen biologi (seperti virus, bakteria atau parasit), bukan
disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar) atau kimia (seperti
keracunan).
Penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain. Orang yang
sehat harus dihindarkan dari orang-orang yang menderita penyakit dari
golongan ini. Penyebab utama infeksi diantaranya adalah bakteri dan
jasad hidup (organism). Kuman-kuman ini menyebar dengan berbagai
cara dan vector.
Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah,
hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat
dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang
mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang
rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru
berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena
terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife, 1989).

2.3.8 Jenis – Jenis Penyakit Infeksi


1. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan sekelompok
penyakit kompleks dan heterogen yang disebabkan oleh
berbagai penyebab dan dapat mengenai setiap lokasi di
sepanjang saluran nafas (WHO, 1986). ISPA merupakan salah
satu penyebab utama dari tingginya angka kematian dan angka
kesakitan pada balita dan bayi di Indonesia.
Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut
akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan
dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Adapun yang
termasuk ISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis,
bronkhitis akut, brokhiolitis, danpneumonia.
Saluran pernafasan menurut anatominya dapat dibagi
menjadi saluran pernafasan atas, yaitu mulai dari hidung
sampai laring, dan saluran pernafasan bawah, mulai dari laring
sampai alveoli (Nelson, 1983; Said dkk, 1989). Dengan
demikian,infeksi saluran pernafasan akut dapat dibagi
menjadi ISPA atas dan ISPA bawah.Yang dimaksud ISPA
atas ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi
susunan saluran pernafasan di atas laring, sedangkan ISPA
bawah ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi
saluran pernafasan bawah laring (Nelson, 1983).
2. TBC (Tuberculosis)
Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun
dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium
africanum. Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang
menakutkan sampai penderita harus dikucilkan, tetapi
penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau
kematian. Penularan tuberkolosis paru hanya terjadi dari
penderita tuberkulosis terbuka.
3. HIV / AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk
dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-
organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi
patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal.
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan
suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru
yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronis adalah kelainan saluran napas yang ditandai
oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan
anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
5. Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan
air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau
200ml/24jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu
buang air besar encer lebih dari 3 kali/hari. Buang air besar
encer tersebut dapat disertai lendir dan darah.
Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer
atau cair lebih dari tiga kali sehari. Diare akut adalah diare
yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat, dalam
beberapa jam atau hari. Diare akut yaitu diare yang
berlangsung kurang dari 15 hari. Diare kronik adalah diare
yang berlangsung lebih dari 15 hari namun tidak terus
menerus dan dapat disertai penyakit lain. Diare persisten
merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang
menyatakan diare yang berlangsung 15-30 hari dan
berlangsung terus menerus.
6. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk anophelesdengan gambaran
penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia,
pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena
pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan
ginjal.
7. Tetanus
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf
yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh
adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot
umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi
dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan
saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot.
2.3.3 Ketersediaan Pangan
a) Pengertian Ketersediaan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannnya adalah HAK ASASI MANUSIA. Pangan harus
Aman, Bermutu, Bergizi, Beragam dan Tersedia
serta Berimbang sebagai prasyarat utama dalam pembahasan
pangan (sistem pangan), untuk perlindungan kesehatan,
kemakmuran dan kesejahteraan. Pangan sebagai
komoditas dagang yang dalam sistem perdagangan dapat
dijangkau oleh daya beli masyarakat.
Pangan adalah bahan makanan yang berasal dari sumber
hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak di olah.
Pangan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan dan
bahan lainnya. Digunakan melalui proses penyiapan,
pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman dengan
cara yang baik dan benar.
Menurut FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability
Information and Mapping Systems, 2005) Ketahanan Pangan
adalah kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara
fisik, sosial dan ekonomi memilki akses pada pangan yang
cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi
(dietery needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi
kehidupan yang aktif dan sehat. Ketahanan pangan merupakan
suatu system yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi,
dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi
menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh
penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan
keamanannya.
Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia
untuk dikonsumsi masyarakat, yang merupakan produksi
domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih,
industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor.
Perkembangan ketersediaan pangan di indonesia secara
keseleruhan masih di atas yang dianjurkan WNPG, yakni utuk
energi sebesar 2200 kkal/kg/hari dan untuk protein sebesar 57
gr/kap/hari.
Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara
fisik disuatu wilayah dari segala sumber, baik dengan pangan
melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki
oleh itu produksi pangan domestic, perdagangan pangan dan
bantuan pangan. Ketersediaan pangan diktentukan oleh produksi
pangan di wilayah tersebut, perdaga pedagang dan cadangan
pemerintah, dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi
lainnya. Produksi pangan tergantung pada berbagai factor
seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen
produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi
para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Pangan
meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati,
sayur-sayuran, buah-buahan, rempah, gula, dan produksi
hewani. Karena porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal
dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar saparu dari
kebutuhan energy perorang perhari, maka yang digunakan
dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang
berseumber dari produksi pangan pokok serealia, yaitu padi,
jagung, dan umbu-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang
digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada
tingkat provinsi maupun kabupaten.
b) Strategi Untuk Meningkatkan Ketersediaan Pangan
Kebijakan ketersediaan pangan secara maksimaltahun 2005
sampai 2009 diarahkan kepada beberapa hal yaitu: (i)
meningkatkan kualitas sumber daya alam dan lingkungan ; (ii)
mengembangkan infrastruktur pertanian dan pedesaan ; (iii)
meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
pangan dalam negeri; dan (iv) mengembangkan kemampuan
pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
Dibawah ini adalah kegiatan operasional kunci yang dilakukan
untuk menjamin dan meningkatkan ketersediaan pangan adalah:
1) Pengembangan lahan abadi 15 juta Ha lahan sawah
beririgasi dan 15 juta Ha lahan kering .
2) Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan
3) Pelestarian sumber daya air dan pengelolaan daerah aliran
sungai
4) Pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul, dan alat
mesin pertanian
5) Pengaturan pasokan gas untuk memproduksi pupuk
6) Pengembangan skim permodalan bagi petani atau nelayan
7) Peningkatan produksi dan produktivitas ( perbaikan genetic
dan teknologi budaya)
8) Pencapaian swasembada 5 komoditas strategs : padi
(swasembada berkelanjutan), jagung (2008), kedelai (2011),
gula (2009), dan daging (2010).
9) Penyediaan insentif infestasi dibidang pangan termasuk
industry gula, peternakan, dan perikanan
10) Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani atau nelayan
dan kemitraan.
Selain itu juga dilakukan kebijakan lain yaitu :

a. Menata pertanahan dan tata ruang dan wilayah, melalui :


1) Pengembangan revormasi agrarian
2) Penyususnan tata ruang daerah dan wilayah
3) Perbaikan administrasi pertanan dan sertifikasi lahan
4) Pengawasan system perpajakan progresif bagi pelaku
konversi lahan pertanian subur dan yang mentelantarkan
lahan pertanian
b. Mengembangkan cadangan pangan
1) Pengembangan cadangan pangan pemerintah (nasional,
daerah dan desa) sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 2002 tentang Pertahanan Pangan Pasal 5
2) Pengembangan lumbung pangan masyarakat
c. Menjaga stabilitas harga pangan
1) Pemantauan harga pangan pokok secara berkala untuk
mencegah jatuhnya harga gabah atau beras dibawah Harga
Pembelian Pemerintah (HPP)
2) Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyangga
untuk stabilitas harga pangan seperti yang tercantum dalam
Inpres Nomor 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan
; SKB Men Koordinator Bidang Perekonomian dan Mentri
Koordinator BidangKesejahteraan Rakyat No. KEP -
45/M.EKON/08/2005 dan Nomor 34/KEP-
34/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2005 tentang Pedoman
Umum Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah
; Peraturan Pemerintah Perdangan Nomor 22 Tahun 2005
tentang Penggunaan Cadangan Pangan Pemerintah untuk
Pengendalian Harga dan Surat Mentri Pertanian kepada
Gubernur dan Bupati Walikota/Indonesia Nomor
64/PP.310/M/3/2006 tanggal 13 Maret 2006 tentang
pengelolaan cadangan pangan).
d. Meningkatkan aksebilitas rumah tangga terhadap pangan
1) Pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan
2) Peningkatan efektivitas program raskin
e. Melakukan diversifikasi pangan
1) Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan gizi
seimbang (Perpres N0. 22 Tahun 2009)
2) Pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah
(PMTAS)
3) Pengembangan teknologi pangan
4) Devisrifikasi usaha tani dan pengembangan pangan local

c) Cara Mengukur Ketersediaan Pangan


Ketersedian pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003)
dalam Tanziha (2005) dapat diukur melalui tingkat ketidak
cukupan energi yang menunjukan keparahan defisit energi yang
ditunjukaan oleh defisit jumlah kalori pada individu dibawah
energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan ukuran tersebut,
akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya
kurang dari 70% dan disertai penurunan berat badan, dikatakan
rawan pangan tingkat kecukupan energinya kurang 70% dan
tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan
energinya 70 – 80% maka dikatakan tahan pangan. Kemiskinan
identik dengan ketidak tahanan pangan. Sajogyo secara
manomental merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran
setara beras 320 kg/kapasita/tahun di pedesaan 480 kg
diperkotaan. khomsan (1997) dalam Khomsan (2002) mengkaji
indikator kemiskinan, ditemukan bahwa konsumsi daging sapi
<4 kali sebulan dan konsumsi telur <4 kali seminggu dapat
dimasukkan dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai
indikator, seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110
gr/kapita/minggu. Semakin banyak konsumsi ikan asin semakin
besar peluangnya untuk masuk ke dalam ketegori sebagai orang
miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap oleh
masyarakat sebagai komoditas inferor. Padahal dari segi gizi,
ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya
sekitar 35 – 40%.
d) Hubungan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status
Gizi
Hubungan Ketersediaan Pangan dengan Status Gizi dapat
ditunjukkan oleh konsep yang dikeluarkan oleh Unicef
bahwa ketersediaan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga
akan mempengaruhi dikonsumsi makanan semua anggota
keluarga dan selanjutnya status gizi yang baik atau seimbang
dapat diperoleh tubuh untuk tumbuh kembang, aktifitas,
kecerdasan, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan penyakit
dan proses biologis lainnya.
Akibat yang terjadi bila status gizi tidak didukung oleh
ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga adalah “Gizi
Buruk!?” kata peserta pelatihan. Bukan Gizi Buruk, yang
pertama-tama terjadi ketika dirumah tangga tidak ada pangan
atau makanan untuk dimakan adalah KELAPARAN.
Kelaparan adalah Rasa “tidak enak” dan sakit akibat kurang
atau tidak makan, baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja diluar kehendak dan terjadi berulang-ulang, serta
dalam jangka waktu tertentu menyebabkan penurunan berat
badan dan gangguan kesehatan. (E. Kennedy, 2002).
Saat ini di Indonesia terdapat dua kelompok gizi akibat
pengaruh dari pola konsumsi dan ketersediaan pangan yang
ada. Kelompok Gizi pertama adalah Gizi kurang (malnutrisi)
permasalahan yang biasa terjadi adalah Kurang Energi protein
(KEP), Kurang Vitamin A, GAKY dan Anemia, disebabkan
karena mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang kurang,
masalah malnutrisi ini juga bisa disebabkan oleh ketersediaan
pangan yang belum tercapai baik karena faktor distribusi yang
kurang merata, produksi pangan yang menurun maupun
dikarenakan pendapatan masyarakat yang rendah, sehingga
masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya dengan
baik. Pada kelompok gizi kurang ini biasanya didominasi oleh
masyarakat dengan pendapatan golongan menengah ke bawah
dan masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari pusat kota atau
di daerah-daerah terpencil. Kelompok gizi yang kedua adalah
kelompok gizi lebih (Obesitas), masalah Obesitas ini ditandai
dengan pola konsumsi makanan yang kurang seimbang dan
berlebihan. Sebagaian besar masyarakat Indonesia yang
mengalami Gizi lebih ini diderita oleh kelompok masyarakat
dengan pendapatan golongan menengah ke atas. Biasanya pada
kelompok gizi lebih ini diikuti dengan kemunculan penyakit-
penyakit seperti Diabetes, Hipertensi, Kolesterol, dan Jantung
koroner.

Jadi hubungan antara ketersediaan pangan pola konsumsi


terhadap status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya:
1 Jenis dan Banyaknya Pangan yang Diproduksi dan
Tersedia
Jika Produksi pangan meningkat dan masyarakat mampu
menjangkau pangan tersebut maka kebutuhan gizi
masyarakat akan terpenuhi.
2 Tingkat Pendapatan
Jika tingkat pendapatan masyarakat tinggi, maka daya beli
masyarakat juga akan meningkat sehingga kemampuan
pemenuhan kebutuhan pangan juga akan meningkat dan
kebutuhan gizi masyarakat juga akan terpenuhi.
3 Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi mempengaruhi pola konsumsi
masyarakat. Pola konsumsi masyarakat haruslah
mengandung Unsur 3B (Bergizi, Berimbang, Beragam).
Jika pengetahuan tentang gizi masyarakat tinggi, maka
kesadaran akan pentingnya makan makanan bergizi juga
meningkat sehingga kebutuhan gizi masyarakat juga akan
terpenuhi.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan


status gizi masyarakat dalam kaitannya dengan
ketersediaan pangan dan pola konsumsi diantaranya:
a) Memperluas Lahan Pertanian dan sektor sektor lain
yang mampu menunjang produksi pangan Indonesia
(Peternakan, perikanan)
b) Memperbanyak Jumlah Petani, peternak dan tenaga
ahli di bidang pangan dan gizi
c) Memperbaiki Pola konsumsi masyarakat
d) Pemerintah harus mampu menyediakan pangan yang
bergizi dan mudah dijangkau, baik secara fisik
maupun ekonomis
e) Distribusi pangan yang baik
f) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi.
2.3.4 Pola Asuh Ibu
Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga,
jantung dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi
kehidupan seseorang. Apabila jantung berhenti berdenyut maka
orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Dari perumpaan ini
bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh
sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.
Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya.
(Gunarsa, 1993)
A. Pengertian
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang
mempunyai makna menjaga, merawat dan mendidik anak yang
masih kecil. Wagnel dan Funk menyebutkan bahwa mengasuh
itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju
pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan
oleh Webster yang mengatakan bahwa mengasuh itu
membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan
dengan memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya
terhadap mereka yang di asuh (Sunarti, 1989).
Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, menurut
Whiting dan Child dalam proses pengasuhan anak yang harus
diperhatikan adalah orang-orang yang mengasuh dan cara
penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan.
Larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak
beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak
mengandung sifat : pengajaran (instructing), pengganjaran
(rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 1989).
Di negara timur seperti Indonesia, keluarga besar masih
lazim dianut dan peran ibu seringkali di pegang oleh beberapa
orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat atau saudara serta
dapat juga di asuh oleh pembantu (Nadesul, 1995).
B. Perhatian / Dukungan Ibu terhadap Anak dalam Praktek
Pemberian Makanan
Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh.
Semua anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat
tumbuh sesuai dengan apa yang mungkin dicapainya dan
sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Untuk itu perlu
perhatian/dukungan orangtua. Untuk tumbuh dengan baik tidak
cukup dengan memberinya makan, asal memilih menu
makanan dan asal menyuapi anak nasi. Akan tetapi anak
membutuhkan sikap orangtuanya dalam memberi makan.
Semasa bayi, anak hanya menelan apa saja yang diberikan
ibunya. Sekalipun yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang
bergizi. Demikian pula sampai anak sudah mulai disapih. Anak
tidak tahu mana makanan terbaik dan mana makanan yang
boleh dimakan. Anak masih membutuhkan bimbingan seorang
ibu dalam memilih makanan agar pertumbuhan tidak
terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu terhadap anak
meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit (Nadesul,
1995).
Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki
peran ganda dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas
di luar rumah seperti bekerja ataupun melakukan aktivitas lain
dalam kegiatan sosial. Wanita yang bekerja di luar rumah
biasanya dalam hal menyusun menu tidak terlalu
memperhatikan keadaan gizinya, tetapi cenderung menekankan
dalam jumlah atau banyaknya makanan. Sedangkan gizi
mempunyai pengaruh yang cukup atau sangat berperan bagi
pertumbuhan dan perkembangan mental maupun fisik anak.
Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan anak mereka
diawasi oleh anggota keluarga lainnya yang biasanya adalah
nenek, saudara perempuan atau anak yang sudah besar bahkan
orang lain yang diberi tugas untuk mengasuh anaknya (Sunarti,
1989).
C. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping
Pada Anak
Bila ibu dan bayi sehat, ASI hendaknya secepatnya
diberikan karena ASI merupakan makanan terbaik dan dapat
memenuhi kebutuhan gizi selama 3 – 4 bulan pertama. ASI
yang diproduksi pada 1 – 5 hari pertama dinamakan kolostrum,
yaitu cairan kental yang berwarna kekuningan. Kolostrum ini
sangat menguntungkan bayi karena mengandung lebih banyak
antibodi, protein, mineral dan vitamin A. Pemberian ASI tidak
dibatasi dan dapat diberikan setiap saat. Produksi ASI
dirangsang oleh isapan bayi dan keadaan ibu yang tenang.
Disamping itu perlu diperhatikan kesehatan ibu pada
umumnya, status gizi dan perawatan payudara. Pemberian ASI
tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat terutama ASI
eksklusif (As’ad, 2002). ASI eksklusif adalah bayi yang diberi
ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula,
madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI
secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya
selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Setelah
bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan
makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi
berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).
2.3.5 Kesehatan lingkungan
a. Persiapan dan Penyimpanan Makanan
Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu
mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan
sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan pada
anak. Begitu juga dengan si pembuat makanan dan peralatan
yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan
sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan. Hal-
hal yang diperhatikan dalam mempersiapkan dan menyimpan
makanan adalah (Soenardi, 2000) :
1) Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari
pencemaran dari debu dan binatang.
2) Alat makan dan memasak harus bersih.
3) Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan
harus mencuci tangan dengan sabun sebelum memberi
makan.
4) Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri.
b. Perawatan Kesehatan
1) Praktek Kebersihan / Hygiene dan Sanitasi
Lingkungan
Widaninggar (2003) menyatakan kondisi
lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak
merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan
rumah, kebutuhan ruang (bermainanak), pergantian udara,
sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan
sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan
halaman rumah. Kebersihan perorangan maupun
kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi
tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang
kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit
kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan
cacingan.Sedangkan kebersihan lingkungan erat
hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran
pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu
penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh
kembang anak sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu
atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi
anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan.
Menurut Soetjiningsih (1995), keadaan perumahan
yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak
membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan
dan kesehatan penghuninya yaitu ventilasi dan
pencahayaan yang cukup, tidak sesak, cukup leluasa bagi
anak untuk bermain dan bebas polusi.
2) Perawatan Balita dalam Keadaan Sakit
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para
orang tua yaitu dengann cara segera membawa anaknya
yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat
(Soetjiningsih, 1995).
Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap
penyakit seperti flu, diare atau penyakit infeksi lainnya.
Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau
mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa
penyebab seorang anak mudah terserang penyakit adalah :
1 Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit
makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya
tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan
terhadap penyakit.
2 Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu
diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat.
3 Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses
tumbuh kembang anak oleh karena itu perlu
memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi
dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya
dan segera memeriksakan kedokter jika anak
menderita sakit.
Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola
asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak kearah
membaik. Status kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan
untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan
menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan
turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini
meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak
menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap
penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu
penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan
cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan
imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana
anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari
pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak
sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-
lain (Zeitlin et al, 1990).
c. Sanitasi
1) Pengertian sanitasi
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara
memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari
subjeknya, misalnya menyediakan air bersih untuk
keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah
agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).
Sanitasi sering juga disebut dengan sanitasi lingkungan
dan kesehatan lingkungan, sebagai suatu usaha
pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik
manusia yang diperkirakan dapat menimbulkan hal-hal
yang mengganggu perkembangan fisik, kesehatannya
ataupun kelangsungan hidupnya (Adisasmito, 2006).
Menurut UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan
meliputi penyehatan air, dan udara, penanganan limbah
padat, limbah cair, limbah gas, radiasi, dan kebisingan,
pengendalian faktor penyakit, dan penyehatan atau
pengamanan lainnya. Melihat luasnya ruang lingkup
kesehatan lingkungan, sangatlah diperlukan adanya multi
disiplin kerja agar kegiatannya dapat berjalan dengan baik.
Misalnya diperlukan tenaga ahli di bidang air bersih, ahli
kimia, ahli biologi, ahli teknik dan sebagainya (Mukono,
2006).
Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah
pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi
yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak
sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan
(Entjang, 2000). Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan
seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan
meningkatkan kesehatan melalui usaha-usaha
pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi
lingkungan, pemberantasan penyakit menular, pendidikan
kesehatan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
2) Ruang Lingkup Sanitasi Lingkungan
Kesehatan lingkungan merupakan ilmu kesehatan
masyarakat yang menitik beratkan usaha preventif dengan
usaha perbaikan semua faktor lingkungan agar manusia
terhindar dari penyakit dan gangguan kesehatan.
Kesehatan lingkungan adalah karakteristik dari kondisi
lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan. Untuk
itu kesehatan lingkungan merupakan salah satu dari enam
usaha dasar kesehatan masyarakat.
Istilah kesehatan lingkungan seringkali dikaitkan
dengan istilah sanitasi/sanitasi lingkungan yang oleh
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), menyebutkan
pengertian sanitasi lingkungan/kesehatan lingkungan
adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa faktor
lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia,
terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak
perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup
manusia (Kusnoputranto, 1986).
Sedangkan menurut Chandra (2007), sanitasi adalah
bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara
dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan
mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang
berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam
kelangsungan hidup manusia.
Menurut Kusnoputranto (1986) ruang lingkup dari
kesehatan lingkungan meliputi:
1. Penyediaan air minum.
2. Pengolahan air buangan dan pengendalian
pencemaran air.
3. Pengelolaan sampah padat.
4. Pengendalian vektor penyakit.
5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah.
6. Hygiene makanan.
7. Pengendalian pencemaran udara.
8. Pengendalian radiasi.
9. Kesehatan kerja, terutama pengendalian dari bahaya-
bahaya fisik, kimia dan biologis.
10. Pengendalian kebisingan.
11. Perumahan dan pemukiman, terutama aspek
kesehatan masyarakat dari perumahan penduduk,
bangunan-bangunan umum dan institusi.
12. Perencanaan daerah dan perkotaan.
13. Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara,
laut dan darat.
14. Pencegahan kecelakaan.
15. Rekreasi umum dan pariwisata.
16. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan
keadaan epidemi, bencana alam, perpindahan
penduduk dan keadaan darurat.
17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk
menjamin agar lingkungan pada umumnya bebas dari
resiko gangguan kesehatan.
Dari ruang lingkup sanitasi lingkungan di atas
tempat-tempat umum merupakan bagian dari sanitasi
yang perlu mendapat perhatian dalam pengawasannya
(Kusnoputranto, 1986).
3) Sanitasi dasar
Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang
diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang
memenuhi syarat kesehatan yang menitik beratkan pada
pengawasan berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1995).
Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih,
pembuangan kotoran manusia, pengelolaan sampah, dan
pengelolaaan air limbah.
a) Penyediaan air bersih
Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara
lain untuk minum, masak, mandi, mencuci, dan
sebagainya. Menurut perhitungan WHO di negara-
negara maju tiap orang memerlukan air antara 60-120
liter per hari. Sedangkan di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia tiap orang
memerlukan air antara 30-60 liter per hari (Mubarak
dan Chayatin, 2009).
Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat,
penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih
yang terbatas yang memudahkan timbulnya penyakit
di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap
individu per hari berkisar antara 150-200 liter atau 35-
40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan
bergantung pada keadaan iklim, standart kehidupan,
dan kebiasaan masyarakat (Chandra, 2007).
Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia
harus berasal dari sumber yang bersih dan aman.
Batasan-batasan sumber air yang bersih dan aman
tersebut, antara lain (Mubarak dan Chayatin, 2009) :
- Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit.
- Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan
beracun.
- Tidak berasa dan tidak berbau.
- Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan
domestik dan rumah tangga.
- Memenuhi standart minimal yang ditentukan oleh
WHO atau Departemen Kesehatan RI.
Persyaratan tersebut juga tertuang dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990 .
Penyediaan air bersih harus memenuhi dua syarat
yaitu kuantitas dan kualitas ( Depkes RI, 2005).
4) Pembuangan kotoran manusia
Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari
tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses
pencernaan (tractus digestifus). Dalam ilmu kesehatan
lingkungan dari berbagai jenis kotoran manusia, yang
lebih dipentingkan adalah tinja (feces) dan air seni (urine)
karena kedua bahan buangan ini memiliki karakteristik
tersendiri dan dapat menjadi sumber penyebab timbulnya
berbagai macam penyakit saluran pencernaan (Soeparman
dan Suparmin, 2002).
Ditinjau dari sudut kesehatan, kotoran manusia
merupakan masalah yang sangat penting, karena jika
pembuangannya tidak baik maka dapat mencemari
lingkungan dan akan mendatangkan bahaya bagi
kesehatan manusi. Penyebaran penyakit yang bersumber
pada kotoran manusia (feces) dapat melalui berbagai
macam cara. Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Dari skema tersebut tampak jelas bahwa peranan tinja dalam


penyebaran
penyakit sangat besar. Disamping dapat langsung
mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah,
serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagiannagian
tubuh kita dapat terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang
sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab
penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap
pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan
penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit
yang ditularkan lewat tinja. Penyakit-penyakit yang dapat
disebarkan oleh tinja manusia antara lain tipus, disentri, kolera,
bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing
tambang, cacing pita), schistosomiasis, dan sebagainya
(Kusnoputranto, 2000).
Untuk mencegah atau mengurangi kontaminasi tinja terhadap
lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola
dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu
tempat tertentu atau jamban yang sehat. Beberapa penyakit
yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain tipus,
disentri, kolera, bermacam-macam cacing, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003).
5) Pengelolaan sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah
tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah
tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan
dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat
batasan, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak
dipakai, tidak disenangi , atau sesuatu yang dibuang yang
berasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan
sendirinya (Notoatmodjo, 2003).
Cara-cara pengelolaan sampah antara lain sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2003):
a) Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah Pengumpulan
sampah dimulai di tempat sumber dimana sampah tersebut
dihasilkan. Dari lokasi sumbernya sampah tersebut
diangkut dengan alat angkut sampah. Sebelum sampai ke
tempat pembuangan kadang-kadang perlu adanya suatu
tempat penampungan sementara. Dari sini sampah
dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar dan lebih
efisien, misalnya dari gerobak ke truk atau dari gerobak ke
truk pemadat.
b) Pemusnahan dan pengolahan sampah
- Ditaman (Landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan
membuat lubang ditanah kemudian sampah
dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
- Dibakar (Inceneration), yaitu memusnahkan sampah
dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran
(incenerator).
- Dijadikan pupuk (Composting), yaitu pengolahan
sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk
sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan
sampah lain yang dapat membusuk (Mubarak dan
Chayatin, 2009).
c) Pengelolaan air limbah
Menurut Ehless dan Steel, air limbah adalah cairan
buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan
tempat-tempat umum lainnya dan biasanya mengandung
bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan
kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian
lingkungan (Chandra, 2007).
Air limbah sebelum dilepas ke pembuangan akhir
harus menjalani pengelolaan terlebih dahulu, untuk dapat
melaksanakan pengelolaan air limbah yang efektif perlu
rencana pengelolaan yang baik. Sistem pengelolaan air
limbah yang diterapkan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-
sumber air minum.
2. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan.
3. Tidak menimbulkan pencemaran air untuk perikanan,
air sungai, atau tempat-tempat rekreasi serta untuk
keperluan sehari-hari.
4. Tidak dihinggapi oleh lalat, serangga dan tikus dan
tidak menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai
bibit penyakit dan vektor.
5. Tidak terbuka dan harus tertutup jika tidak diolah.
6. Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap.
Beberapa metode sederhana yang dapat digunakan untuk
mengelola air limbah, diantaranya :
1) Pengenceran (disposal by dilution)
Air limbah diencerkan sampai mencapai konsentrasi
yang cukup rendah, kemudian baru dibuang ke badan-
badan air. Tetapi, dengan makin bertambahnya
penduduk, yang berarti makin meningkatnya kegiatan
manusia, maka jumlah air limbah yang harus dibuang
terlalu banyak, dan diperlukan air pengenceran terlalu
banyak pula, maka cara ini tidak dapat dipertahankan
lagi.
Disamping itu, cara ini menimbulkan kerugian lain,
diantaranya : bahaya kontaminasi terhadap badan-
badan air masih tetap ada, pengendapan yang akhirnya
menimbulkan pendangkalan terhadap badan-badan air,
seperti selokan, sungai, danau, dan sebagainya,
sehingga dapat pula menimbulkan banjir.
2) Kolam Oksidasi (Oxidation ponds)
Pada prinsipnya cara pengolahan ini adalah
pemanfaatan sinar matahari, ganggang (algae), bakteri
dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah. Air
limbah dialirkan kedalam kolam berbentuk segi empat
dengan kedalaman antara 1-2 meter. Dinding dan dasar
kolam tidak perlu diberi lapisan apapun. Lokasi kolam
harus jauh dari daerah pemukiman, dan di daerah
terbuka, sehingga memungkinkan sirkulasi angin yang
baik.
3) Irigasi (irrigation)
Air limbah dialirkan ke parit-parit terbuka yang
digali, dan air akan merembes masuk kedalam tanah
melalui dasar dan dinding parit tersebut. Dalam
keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk
pengairan ladang pertanian atau perkebunan dan
sekaligus berfungsi untuk pemupukan. Hal ini terutama
dapat dilakukan untuk air limbah dari rumah tangga,
perusahaan susu sapi, rumah potong hewan, dan lain-
lainya dimana kandungan zat-zat organik dan protein
cukup tinggi yang diperlukan oleh tanam-tanaman.
2.3.6 Tingkat Pendapatan Keluarga
1 Data Ekonomi Keluarga
Data ekonomi keluarga meliputi:
a) Pekerjaan (pekerjaan utama, misalnya pekerjaan pertanian,
dan pekerjaan tambahan, misalnya pekerjaan musiman).
b) Pendapatan keluarga (gaji, upah, imbalan, industri rumah
tangga, pertanian pangan/non pangan, dan hutang).
c) Kekayaan yang terlihat seperti tanah, jumlah ternak, mobil,
motor, dan lain-lain).
d) Pengeluaran/anggaran (pengeluaran untuk makanan, pakaian,
listrik, pendidikan, minyak/bahan bakar, transportasi,
rekreasi, dan lain-lain).
e) Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi
musim.
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2012).

2 Sumber Pendapatan Keluarga


Pendapatan Keluarga adalah jumlah pendapatan tetap dan
sampingan dari kepala keluarga, ibu, dan anggota keluarga lain
dalam 1 bulan dibagi jumlah seluruh anggota keluarga yang
dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan (Ernawati, 2006).
Sumber-sumber pendapatan keluarga didapatkan dari upah,
gaji, imbalan, industri rumah tangga, dan pertanian pangan/non
pangan. kekayaan berbeda dengan Pendapatan, karena kekayaan
menandakan kepemilikan saham asset, sedangkan pendapatan
merupakan aliran daya beli. Kekayaan mewakili kapasitas yang
lebih permanen dalam jangka panjang, sedangkan pendapatan
mewakili kapasitas dalam jangka pendek. Kekayaan dan
pendapatan berkorelasi positif, karena pendapatan yang
disimpan dan / atau diinvestasikan dapat menjadi kekayaan, dan
kekayaan dapat menjadi sumber penghasilan, keluarga dengan
berpenghasilan lebih dapat menambah kekayaan, dan keluarga
dengan kekayaan lebih dapat memperoleh tambahan pendapatan
(Raffalovich, Monnat, & Tsao, 2009).
3 Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Status
Gizi Balita
Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki
posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat
perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah
diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan (Suhardjo,
2002).
Penyebab timbulnya gizi kurang pada balita dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab, diantaranya adalah
penyebab langsung, penyebab tidak langsung, akar masalah dan
pokok masalah. Faktor penyebab langsung yaitu makanan dan
penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Penyebab
tidak langsung diantaranya adalah ketahanan pangan dalam
keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan serta
kesehatan lingkungan (Istiono, Suryadi, Haris, Irnizarifka,
Tahitoe, Hasdianda, Fitria & Sidabutar, 2009).
Status gizi yang buruk mencerminkan ketidak seimbangan
dalam asupan makanan dan / atau penyakit menular. Hal
tersebut dipengaruhi oleh factor lingkungan dan sosial ekonomi,
seperti status ekonomi rumah tangga, pendidikan ibu, kebersihan
rumah tangga, dan akses dalam pelayanan kesehatan
(Pongou,Ezzati, & Salomon, 2006).
Dalam penelitian I. Ozguven, Ersoy, A.Y. Ozguven, &
Erbay (2010) yang berjudul evaluation of nutritional status in
turkish adolescents as related to gender and socioeconomic
status, menyimpulkan bahwa remaja dengan tingkat ekonomi
rendah lebih pendek dan lebih kurus dibandingkan dengan
remaja dari kelompok ekonomi menengah dan tinggi, dan hasil
pengukuran antropometri pada remaja kelompok ekonomi
menengah sama dengan remaja dari kelompok ekonomi tinggi.
Dalam penelitian Shoeps, Abreu, Valenti, Nascimento,
Oliveira, Gallo, Wajnsztejn, & Leone (2011) yang berjudul
Nutritional status of pre school children from low income
families menyimpulkan bahwa anak-anak prasekolah yang
berasal dari keluarga berpenghasilan rendah memiliki prevalensi
tinggi untuk kelebihan berat badan dan obesitas.
2.3.7 Pengetahuan ibu
A. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia,
yang sekedar menjawab pernyataan ‘what’, misalnya apa air, apa
manusia, apa alam, dan sebagainya. Pengetahuan merupakan hasil
dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasaan, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
B. Tingkatan Pengetahuan
Tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya.Tahu merupakan tingkatan
pengetahuan yang paling rendah karena tingkatan ini hanya
mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari
selutruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menerapkan atau menggunakan materi yang sudah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Analisis diartikan suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek kedalam komponen–komponen,
tetapi masih didalam satu struktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi – formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi diartikan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau suatu
obyek berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria–kriteria yang telah ada.
C. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dimiliki
seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam
memberi respon yang datang dari luar. Orang yang
berpendidikan akan berfikir sejauh mana keuntungan yang akan
mungkin mereka peroleh dari gagasan tersebut.
b. Paparan Media Massa
Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronika
berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga
seseorang yang lebih sering terpapan media masa (televisi,
radio, majalah, pamflet) akan memperoleh informasi yang lebih
hanya dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terpapar
informasi media masa.
c. Ekonomi
Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder,
keluarga dengan status ekonomi baik lebih mudah tercukupi
dibandingkan keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini
akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang termasuk
kebutuhan sekunder.
a. Hubungan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam kehidupan
saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang
dapat berinteraksi secara batinnya akan lebih terpapar informasi.
Sementara faktor hubungan sosial juga mempengaruhi
kemampuan individu sebagai komunikasi untuk menerima pesan
menurut model komunikasi media.
b. Pengalaman
Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal bisa
diperoleh dan lingkungan kehidupan dalam proses
perkembangannya.
D. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam memperoleh pengetahuan
dibagi dalam 2 kelompok :
a. Cara Tradisional
Cara ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode
penemuan secara sistemik dan logis. Cara – cara penemuan
pengetahuan pada periode ini antara lain, meliputi :
1) Cara Coba–Salah (Trial and error)
Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam
memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak
berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Pengalaman yang
diperoleh melalui penggunaan metode ini banyak membantu
perkembangan berpikir dan kebudayaan manusia kearah yang
lebih sempurna.
2) Cara Kekuasaan atau Otoritas
Pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau
kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemuka
agama, maupun ahli ilmu pengetahuan. Para pemegang otoritas,
baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama maupun ahli ilmu
pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama
didalam penemuan pengetahuan.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan.Hal ini dilakukan dengan mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapi pada masa lalu.
4) Melalui jalan pikiran
Kebenaran pengetahuan dapat diperoleh manusia dengan
menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun
deduksi yang merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak
langsung melalui pernyataan–pernyataan yang dikemukakan dan
dicari hubungannya sehingga dapat diambil kesimpulan.
b. Cara Modern
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan
dewasa ini lebih sistematis, logis dan murah.Cara ini disebut
metode penelitian ilmiah atau lebih popular (research
methodology). Setelah diadakan penggabungan antara proses
berpikir deduktif–induktif maka lahirlah suatu penelitian yang
dikenal dengan metode penelitian ilmiah.
E. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam tiga kategori,
yaitu :
a. Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% - 100%
dari seluruh pernyataan.
b. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% -
75% dari seluruh pernyataan.
c. Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 40% -
55% dari seluruh pernyataan.
F. Pola Pemberian Makan Balita
1 Pengertian Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang
dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas
suatu keompok masyarakat tertentu. Pemberian makanan balita
adalah segala upaya dan cara ibu untuk memberikan makanan
pada anak balita dengan tujuan supaya kebutuhan makan anak
tercukupi, baik dalam jumlah maupun nilai gizinya (Karyadi,E.
dan Kolopaking, R., 2007).
Pola pemberian makanan balita dapat diartikan sebagai
upaya dan cara yang biasa dipraktekkan ibu untuk memberikan
makanan kepada anak balita mulai dari penyusunan menu,
pengolahan, penyajian dan cara pemberiannya kepada balita
supaya kebutuhan makan anak tercukupi, baik dalam macam,
jumlah maupun nilai gizinya.Pemberian makanan pada anak
bertujuan untuk mencapai tumbuh kembang anak secara
optimal. Pemberian makanan yang baik dan benar dapat
menghasilkan gizi yang baik sehingga meningkatkan
kemampuan untuk mengembangkan seluruh potensi genetik
yang ada secaraoptimal. Menurut Judarwanto (2004) pemberian
makanan pada anak mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. Fungsi fisiologis yaitu memberikan nutrisi sesuai
kebutuhan agar tercapai tumbuh kembang yang optimal.
b. Fungsi psikologis, penting dalam pengembangan
hubungan emosional ibu dan anak sejak awal.
c. Fungsi sosial/edukasi yaitu melatih anak mengenal
makanan, keterampilan makan dan bersosialisasi dengan
lingkungannya.
Pemberian makanan pada anak secara tidak langsung
menjadi alat untuk mendidik anak.Kebiasaan dan kesukaan anak
terhadap makanan mulai dibentuk sejak kecil. Jika anak
diperkenalkan dengan berbagai jenis makanan mulai usia dini,
pola makan dan kebiasaan makan pada usia selanjutnya adalah
makanan beragam. Secara dini anak harus dibiasakan makan
makanan yang sehat dan bergizi seimbang sebagai bekal di
kemudian hari.

Waktu makan yang teratur membuat anak berdisiplin tanpa


paksaan dan hidup teratur. Seperti halnya membiasakan anak
makan dengan cara makan yang benar tanpa harus disuapi,
makan dengan duduk dalam satu meja sejak dini, dan
membiasakan mencuci tangan sebelum makan serta
menggunakan alat makan dengan benar dapat melatih anak
untuk mengerti etika dan juga mengajarkan anak hidup mandiri,
serta mendidik anak hidup bersih danteratur.

2 Tahapan Pemberian Menu Makan


A. Penyusunan Menu
`Pemberian makan pada balita harus disesuaikan dengan
usia dan kebutuhannya. Pengaturan makan dan perencanaan
menu harus selalu dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan
kebutuhan gizi, usia dan keadaan kesehatannya. Pemberian
makan yang teratur berarti memberikan semua zat gizi yang
diperlukan baik untuk energi maupun untuk tumbuh
kembang yang optimal. Jadi apapun makanan yang
diberikan, anak harus memperoleh semua zat yang sesuai
dengan kebutuhannya, agar tubuh bayi dapat tumbuh dan
berkembang. Artinya, selain tubuh bayi menjadi lebih besar,
fungsi – fungsi organ tubuhnya harus berkembang sejalan
dengan bertambahnya usia bayi. Oleh karena itu pengaturan
makanan harus mencakup jenis makanan yang diberikan,
waktu usia makan mulai diberikan, besarnya porsi makanan
setiap kali makan dan frekuensi pemberian makan setiap
harinya. Mulai memasuki usia 1 tahun, orang tua perlu
membuat jadwal harian pola makan anak (food diary)
agaranak terbiasa dengan pola makan yang teratur.
Selain jadwal makan, mencatat jenis makanan, porsi serta
jumlah yang dikonsumsi anak dan jenis makanan apa saja
yang disukai atau tidak disukai anak, bahkan bila ada
makanan yang menyebabkan alergi dapat diketahui dari
food diary ini (Karyadi,E. dan Kolopaking,R., 2007).
Diharapkan kebiasaan makan yang teratur, baik, dan
sehat ini akan terus melekat sepanjang hidup anak dan hal
itu merupakan modal bagi pemeliharaan gizi anak untuk
usia selanjutnya. Pengaturan jenis dan bahan makanan yang
dikonsumsi juga harus diatur dengan baik agar anak tidak
cepat bosan dengan jenis makanan tertentu. Makanan yang
memenuhi menu gizi seimbang untuk anak bila menu
makanan terdiri atas kelompok bahan makanan sumber zat
tenaga, zat pembangun, zat pengatur serta makanan yang
berasal dari susu (Karyadi,E.dan Kolopaking,R.,2007).
Dalam praktek, keanekaragaman bahan makanan itu
dapat diwujudkan dengan menerapkan pola susunan
hidangan ”empat sehat lima sempurna”, yaitu diterapkannya
penggunaan empat kelompok bahan makanan dalam menu
makanan anak sehari-hari yang diperkaya dengan segelas
susu. Komposisi makanan anak mulai usia tahun kedua
dapat digambarkan dalam bentuk ”piramida komposisi
makanan”. Luas bidang pada masing –masing petak
kelompok bahan makanan pada piramida menggambarkan
perbandingan banyaknya porsi kelompok bahan makanan
pada setiap kali pemberian makan. Nasi atau sumber
karbohidrat lain seperti kentang atau roti menempati bidang
yang paling luas pada dasar piramida. Hal ini
menunjukkan bahwa nasi atau penggantinya merupakan
bahan yang porsinya paling besar karena merupakan sumber
energi.Sebaliknya, lemak atau minyak dan gula ditempatkan
pada puncak piramida.Makanan yang mengandung lemak,
minyak, dan makanan manis harus dibatasi sesedikit
mungkin karena kurang baik bagi anak.
Besar porsi makanan setiap kali makan harus
sesuai.Agar kecukupan gizi anak terpenuhi, maka bukan
saja jenis bahan makanan yang diberikan harus beragam,
tetapi juga harus memperhatikan banyaknya makanan yang
dimakan atau besar porsi makanan setiap kali makan.Porsi
makan yang kurang akan menyebabkan anak kekurangan
zat gizi. Sebaliknya porsi makan yang berlebih juga akan
menyebabkan anakmenjadi kelebihan gizi hingga menjadi
kegemukan. Beberapa penelitian menyimpulkan, mereka
yang pada masa kanak-kanak dan remaja telah mengalami
kegemukan (overweight), lebih rentan terhadap penyakit
diabetes atau kencing manis, penyakit kardiovaskuler, dan
penyakit lainnya (Moehyi, 2008).
Tabel 2.1 Contoh Menu Anak Usia 1 – 3 Tahun

Waktu Menu Bahan Ukuran Kalori


Bangun Tidur Susu 1 gelas Susu 150 ml 100
Jam 07.00 Bubur Ayam Beras 20 g 182
(sarapan) Sayur Kacang merah 20 g
Ayam giling 30 g
Tomat 1 buah
Bayam 20 g
Wortel 20 g
Bawang putih 1 siung
Daun seledri ½ sdm
Garam ½ sdm
Air 150 ml
Jus Alpukat Daging alpukat 50 g 196
Jam 10.00 Susu skim 1 sdm
(makanan bubuk 50 g
selingan) Madu 10 g
Krim moka 75 ml
Nasi Tim Air matang 20 g 218
Sayur Daging Beras 25 g
Jam 12.00 Daging sapi 50 g
(makan siang) giling 25 g
Tahu 50 g
Tomat 1 sdt
Jus Pepaya Wortel 100 g 93
Jeruk Mentega 1sdm
Jam 16.00 Papaya 1 sdt
(makanan Nasi Tim Air jeruk 20 g 119
selingan) Brokoli Gula pasir 25 buah
Beras 10 g
Jam 18.00 Brokoli cacah 250 ml
(makan malam) halus 1 sdm
Susu 1 Gelas Teri nasi 150 ml 100
Kaldu ayam
Minyak sayur 1008
Sebelum tidur Susu
Total kalori

Sumber : Karyadi, E. dan Kolopaking, R. (2007).

Tabel 2.2 Contoh Menu Anak Usia 3 – 5 Tahun

Waktu Menu Bahan Ukuran Kalori


Jam 06.00 Susu Susu sapi 150 ml 100
Jam 07.00 Nasi uduk segar 1 mangkok 266
(sarapan) Dadar telur Nasi uduk 1 butir
Jam 10.00 Roti isi Telur 1 porsi 258
kacang 150 gr 400
Jam 12.00 Nasi Beras 1 potong dada
(makan Ayam goreng Ayam 50 gr
siang) Sayur bayam Bayam 30 gr
Jagung 25 g
Tahu tepung Tahu 30 g
Tepung 100 g 95
Jam 16.00 Pisang segar 1 buah pisang 150 g 432
Jam 18.00 Nasi putih Nasi 150 g
(makan 30 g
malam) Tumis jamur Jamur 50 g
Jagung muda 30 g
Nanas potong 1551

Total Kalori
Sumber : Karyadi, E. dan Kolopaking, R. (2007).

a. Pengolahan
Keamanan pangan untuk balita tidak cukup hanya
menjaga kebersihan tetapi juga perlu diperhatikan selama
proses pengolahan. Proses pengolahan pangan memberikan
beberapa keuntungan, misalnya memperbaiki nilai gizi dan
daya cerna, memperbaiki cita rasa maupun aroma, serta
memperpanjang daya simpan (Auliana, 1999).
Bahan makanan yang akan diolah disamping
kebersihannya juga dalam penyiapan seperti dalam
membuat potongan bahan perlu diperhatikan. Hal ini
karena proses mengunyah dan refleks menelan balita belum
sempurna sehingga anak sering tersedak. Penggunaan
bumbu dalam pengolahan juga perlu diperhatikan. Menurut
Uripi, V (2004) pemakaian bumbu yang merangsang perlu
dihindari karena dapat membahayakan saluran pencernaan
dan pada umumnya anak tidak menyukai makanan yang
beraroma tajam. Pengolahan makanan untuk balita adalah
yang menghasilkan tekstur lunak dengan kandungan air
tinggi yaitu direbus, diungkep atau dikukus. Untuk
pengolahan dengan dipanggang atau digoreng yang tidak
menghasilkan tekstur keras dapat dikenalkan tetapi dalam
jumlah yang terbatas.Disamping itu dapat pula dilakukan
pengolahan dengan cara kombinasi misal direbus dahulu
baru kemudian dipanggang atau direbus/diungkep baru
kemudian digoreng.
b. Penyajian
Penyajian makanan salah satu hal yang dapat dapat
menggugah selera makan anak.Penyajian makanan dapat
dibuat menarik baik dari variasi bentuk, warna dan
rasa.Variasi bentuk makanan misalnya dapat dibuat bola-
bola, kotak, atau bentuk bunga. Penggunaan kombinasi
bentuk, warna dan rasa dari makanan yang disajikan
tersebut dapat diterapkan baik dari bahan yang berbeda
maupun yang sama. Disamping itu juga depat menggunakan
alat saji atau alat makan yang lucu sehingga selain anak
tergugah untuk makan, anak tertarik untuk dapat berlatih
makan sendiri.
c. Cara Pemberian Makanan untuk Anak
Anak balita sudah dapat makan seperti anggota keluarga
lainnya dengan frekuensi yang sama yaitu pagi, siang dan
malam serta 2 kali makan selingan yaitu menjelang siang
dan pada sore hari. Meski demikian cara pemberiannya
dengan porsi kecil, teratur dan jangan dipaksa karena dapat
menyebabkan anak menolak makanan. Waktu makan dapat
dijadikan sebagai kesempatan untuk belajar bagi anak
balita, seperti menanamkan kebiasaan makan yang baik,
belajar keterampilan makan dan belajar mengenai makanan.
Orang tua dapat membuat waktu makan sebagai proses
pembelajaran kebiasaan makan yang baik seperti makan
teratur pada jam yang sama setiap harinya, makan di ruang
makan sambil duduk bukan digendongan atau sambil jalan-
jalan. Makan bersama keluarga dapat memberikan
kesempatan bagi balita untuk mengobservasi anggota
keluarga yang lain dalam makan.
Anak dapat belajar cara menggunakan peralatan makan
dan cara memakan makanan tertentu. Anak usia ini mulai
mengetahui cara makan sendiri meskipun masih mengalami
kesulitan untuk mengambil atau menyendok makanan
dengan demikian anak dilatih untuk dapat mengeksplorasi
keterampilan makan tanpa bantuan.Untuk menumbuhkan
keterampilan makan anak secara mandiri anak jangan
dibiasakan untuk selalu disuapi oleh orang tua atau
pengasuhnya.Acara makan bersama juga dapat mengajarkan
balita mengenai makanan. Secara umum anak lebih suka
memakan makanan yang dimakan orang tuanya. Seiring
bertambahnya usia anak balita mulai tertarik dengan
makanan yang dimakan oleh teman-temannya. Dengan
demikian, orang tua sangat berperan dalam memberikan
model atau contoh bagi anak dengan memilih makanan
yang sehat dan bergizi.
3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian Makan
Balita
a. Pengetahuan Ibu tentang Gizi Balita
Pengetahuan gizi merupakan suatu proses belajar
tentang pangan,bagaimana tubuh menggunakan dan
mengapa pangan diperlukan untuk kesehatan.
Pengetahuan pangan dan gizi orang tua terutama ibu
berpengaruh terhadap jenis pangan yang dikonsumsi
sebagai refleksi dari praktek dan perilaku yang berkaitan
dengan gizi (Zulkarnaen,dkk.,2000).
Adanya pengetahuan gizi diharapkan seseorang
dapat mengubah perilaku yang kurang benar sehingga
dapat memilih bahan makanan bergizi serta menyusun
menu seimbang sesuai dengan kebutuhan dan selera serta
akan mengetahui akibat apabila terjadi kurang gizi.
Pengetahuan tentang pangan dan gizi dapat
diperoleh melalui berbagai media baik cetak (majalah,
tabloid) maupun elektronik (radio, televisi, internet)
disamping dari buku-buku.Selain itu juga bisa diperoleh
melalui pelayanan kesehatan seperti posyandu,
puskesmas.
Sumber informasi yang dapat menambah
pengetahuan ibu di luar pendidikan formal yang sering
dipergunakan dan menarik sebagian besar ibu rumah
tangga di pedesaan, sehingga memungkinkan informasi
termasuk pengetahuan pangan, gizi dan kesehatan adalah
media elektronik diantaranya televise dan radio. Namun,
menurut penelitian Zulkarnaen,dkk (2000) untuk ibu-ibu
rumah tangga di desa keberadaan posyandu justru lebih
banyak dimanfaatkan sebagai sumber informasi pangan,
gizi dan kesehatan. Hal ini karena disamping adanya
kegiatankegiatan penyuluhan (penyampaian pesan-pesan
gizi), posyandu juga merupakan tempat pertemuan ibu-
ibu yang memiliki balita sehingga sangat memungkinkan
adanya pertukaran informasi dan pengalaman dalam
mengasuh balitanya.
B. Pendidikan
Menurut UU No.2 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada bab I pasal 1 menyatakan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan pendidikan, pengajaran dan
latihan bagi peranannya di masa yang akandatang.
Berkaitan dengan jenjang atau tingkatan yang ada dalam
pendidikan sekolah, sikap dan kepribadian seseorang akan
berubahsetelah memperoleh pendidikan sesuai dengan
jenjang pendidikan yang berbeda- beda.
Menurut Kusumawati, Yuli (2004) latar belakang
pendidikan seseorang berhubungan dengan tingkat
pengetahuan. Tingkat pendidikan itu sangat
mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah
akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang
berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima
informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut
menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya
seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi
pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima
informasi-informasi gizi.
Pendidikan ibu disamping merupakan modal utama
dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga
berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah
tangga.Wahidah (2005) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan formal ibu rumah tangga berhubungan positif
dengan perbaikan pola konsumsi pangan keluarga dan
pola pemberian makanan pada bayi dan anak. Hal ini
dikarenakan tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi melalui pemilihan bahan pangan.
C. Pendapatan RumahTangga
Pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa
uang maupun barang dari pihak lain maupun hasi sendiri
dengan jalan dinilai dengan uang atas dasar harga saat itu
(Mulyono,dkk 1985). Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik pendapatan per kapita masyarakat Indonesia tahun
2007 naik 17% menjadi US$ 1.946 atau sekitar 17,9 juta
rupiah per tahun (kurs 9.200), berarti pendapatan per kapita
rata – rata masyarakat Indonesia per bulan sekitar 1,46 juta
rupiah.
Struktur pendapatan rumah tangga di pedesaan
bervariasi tergantung pada keragaman sumber daya
pertanian.Variasi itu tidak hanya disebabkan oleh faktor
potensi daerah, tetapi juga karakteristik rumah tangga.Akses
ke daerah perkotaan yang merupakan pusat kegiatan
ekonomi seringkali merupakan faktor dominan terhadap
variasi struktur pendapatan rumah tangga pedesaan.Secara
garis besar ada dua sumber pendapatan rumah tangga
pedesaan yaitu sektor pertanian dan non- pertanian.Struktur
dan besarnya pendapatan dari sektor pertanian berasal dari
usaha tani/ternak dan berburuh tani.Sedangkan dari sektor
nonpertanian berasal dari usaha nonpertanian, profesional,
buruh non pertanian dan pekerjaan lainnya di sektor non
pertanian.
Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik, jumlah
dan jenis makanan cenderung untuk membaik juga.Akan
tetapi mutu makanan tidak selalu membaik jika diterapkan
pada tanaman perdagangan.
Tanaman perdagangan menggantikan produksi
pangan untuk rumah tangga dan pendapatan yang diperoleh
dari tanaman perdagangan itu atau peningkatan pendapatan
yang lain mungkin tidak digunakan untuk membeli pangan
atau bahan-bahan berkualitas gizi tinggi. Pendapatan
keluarga menurut Wahidah (2005) adalah jumlah semua
hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam
bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Pendapatan
keluarga mempunyai peran yang penting terutama dalam
memberikan pengaruh dalam taraf hidup keluarga.
Pengaruh di sini lebih diorientasikan pada
kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan
akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan
akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas
lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dll) yang dapat
mempengaruhi status gizi.
D. Besar Keluarga
Wahidah (2005) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu
banyaknya anggota suatu keluarga akan mempengaruhi
pengeluaran rumah tangga. Termasuk dalam hal ini
akanmempengaruhi konsumsi pangan. Sehingga jumlah
anggota keluarga yang semakin besar akan menyebabkan
pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata
tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan.
Menurut Zulkarnaen,dkk (2000) jumlah anggota rumah
tangga yang sedikit akan lebih mudah meningkatkan
kesejahteraan, pemenuhan pangan dan sandang serta upaya
meningkatkan pendidikannya lebih tinggi. Keluarga miskin
dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk
memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan keluarga
dengan jumlah anak yang sedikit. Jika besar keluarga
bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan
banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang
sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak dari
pada anak yang lebih tua.
E. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau
kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya
sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik,
sosial dan budaya (Suhardjo, 2003). Mengembangkan
kebiasaan makan, berarti mempelajari cara yang berhubungan
dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak
bentuk atau jenis pangan tertentu dimulai dari permulaan
hidupnya dan akan menjadi perilaku yang berakar diantara
kelompok penduduk. Kebiasaan makan adalah suatu gejala
budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku
dari nilai – nilai yang dianut oleh seseorang atau suatu
kelompok masyarakat. Pada masyarakat kota modern dimana
hampir semua orang menghabiskan waktu dari pagi sampai
sore di tempat kerja sudah tentu tidak banyak mempunyai
waktu untuk memasak makanan. Biasanya pada masyarakat
seperti ini akan berkembang kebiasaan makan di restoran
cepat saji dimana nilai gizi yang terkandung dalam makanan
belum tentu sesuai dengan kebutuhan. Hal sebaliknya terjadi
pada masyarakat pedesaan dimana kebiasaan makan keluarga
dari makanan yang diolah dan dimasak sendiri. Kebiasaan
makan seseorang terbentuk dari proses belajar (learning
behavior). Apabila sejak dini orang tua tidak
memperkenalkan atau membiasakan makan dengan benar
maka hal itu akan terbawa hingga anak dewasa. Hal ini
karena bersamaan dengan pangan yang disajikan dan diterima
baik langsung atau tidak langsung, anak-anak menerima
pula informasi yang berkembang menjadi perasaan, sikap dan
tingkah laku serta kebiasaan yang dapat mereka kaitkan
dengan pangan.
F. Penilaian Pola Pemberian Makan
Menurut jurnal tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Status Gizi Anak Usia Prasekolah Di Taman Kanak-
Kanak Nurul Huda Kecamatan Indra Jaya Kabupaten Pidie
Tahun 2012 oleh Junaidi penilaian pola pemberian makan
dapat dilakukan menggunakan rumus:

𝑆𝑝
𝑁 = 𝑆𝑚 × 100 %

Keterangan:

N : nilai pola makan

Sp : skor yang didapat

Sm : skor maksimum

Persentase diinterpretasikan dengan nilai patokan:

a. Kategori baik => 15 mean

b. Kategori kurang baik = 15 mean

G. Perilaku
1 Pengertian
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu
stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan
mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik
disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan
berbagai faktor yang saling berinteraksi (Wawan & Dewi,
2010).
Perilaku manusia pada dasarnya adalah suatu
aktivitas dari pada manusia itu sendiri sehingga perilaku
manusia mempunyai bentangan yang sangat luas
mencangkup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan
lain sebagainya.
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada
kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor
genetik (keturunan) dan lingkungan.
2 Faktor – faktor dibalik Perilaku Manusia
Perilaku manusia cenderung bersifat holistik
(menyeluruh), sebagai arah analisa kita terdapat tiga aspek
yaitu aspek fisiologi, psikologi dan sosial. Perilaku manusia
adalah merupakan refleksi dari pada berbagai gejala
kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan,
emosi, berpikir sikap, motivasi, dan reaksi. Faktor lain yang
berhubungan dengan perilaku adalah pengalaman,
keyakinan, sarana fisik dan sosial. Hal ini dapat di
ilustrasikan sebagai berikut (Notoatmodjo,2003):
3 Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan
suatu respons organisme atau seseorang terhadap
rangsangan (stimulus) dari luar subyek tersebut. Respon ini
terbentuk dua macam yakni (Notoatmodjo,2003):
a. Bentuk Pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi
didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat
terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan
atau sikap batin dan pengetahuan.
b. Bentuk Aktif yaitu apabila perilaku tersebut jelas dapat
diobservasi secara langsung.
4 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu
respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit, penyakit,sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan lingkungan. Respon atau reaksi
manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan
sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata)
sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri dari
empat unsur pokok yakni sakit, penyakit, sistem pelayanan
kesehatan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003) mengemukakan secara lebih
rinci perilaku kesehatan yaitu :
perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit, yaitu
bagaimana manusia berespons, baik secara pasif
mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan rasa
sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun
aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan
penyakit dan sakit tersebut.
2.3.8 PHBS
A. PENGERTIAN
PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar/
menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat, dengan membuka jalan komunikasi, memberikan informasi
dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
perilaku, melalui pendekatan pimpinan (advokasi), bina suasana (social
support) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sehingga dapat
menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara
dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Dinkes, 2006). Sebagai suatu
upaya untuk membantu masyarakat mengenai dan mengatasi masalahnya
sendiri, dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara
hidup sehat dalam rangka menjaga memelihara dan meningkatkan
kesehatannya (Dinkes Lampung, 2003).
B. TUJUAN PHBS
Tujuan PHBS adalah: meningkatkan rumah tangga sehat
diseluruh masyarakat Indonesia, meningkatkan pengetahuan, kesadaran
dan kemauan masyarakat agar hidup sehat, meningkatkan peran aktif
masyarakat termasuk swasta dan dunia usaha, dalam upaya
mewujudkan derajat hidup yang optimal (Dinkes, 2006).

C. MANFAAT PHBS
1. Bagi rumah tangga: semua anggota keluarga menjadi sehat dan
tidak mudah sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas dan
pengeluaran biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk
memenuhi gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk
menambah pendapatan keluarga.
2. Bagi masyarakat: masyarakat mampu mengupayakan
lingkungan yang sehat, masyarakat mampu mencegah dan
menanggulangi masalah-masalah kesehatan dan masyarakat
mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber
Masyarakat (UBKM) seperti Posyandu, tabungan ibu bersalin,
arisan jamban, ambulan desa dan lain-lain (Depkes RI, 2008).
D. SASARAN PHBS
Tatanan Rumah Tangga, sasaran PHBS di rumah tangga adalah seluruh
anggota keluarga secara keseluruhan dan terbagi dalam:

1. Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga yang


akan dirubah perilakunya atau anggota keluarga yang
bermasalah (individu dalam keluarga yang bermasalah).
2. Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi
individu dalam keluarga yang bermasalah misalnya, kepala
keluarga, ibu, orang tua, tokoh keluarga, kader tokoh agama,
tokoh masyarakat, petugas kesehatan, dan lintas sektor terkait,
PKK3.
3. Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi
unsur pembantu dalam menunjang atau mendukung pendanaan,
kebijakan, dan kegiatan untuk tercapainya pelaksanaan PHBS
misalnya, kepala desa, lurah, camat, kepala Puskesmas, guru,
tokoh masyarakat dan lain-lain.
E. INDIKATOR PHBS DIRUMAH TANGGA
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah
tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup
bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan
dimasyarakat.
Indikator PHBS di Rumah Tangga (Dinkes, 2006):
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi ASI Eksklusif
3. Menimbang bayi dan balita setiap bulan
4. Mencuci tangan dengan air dan sabun
5. Menggunakan air bersih
6. Menggunakan jamban sehat
7. Rumah bebas jentik
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah

F. KRITERIA RUMAH SEHAT


Menjaga lingkungan rumah selalu bersih dan sehat berdampak
positif bagi kualitas hidup seluruh anggota keluarga. Sebuah
perubahan kecil akan membawa dampak besar bagi kesehatan
keluarga. Lingkungan sangat erat kaitannya dengan rumah singgahan.
Untuk itu perhatikan tentang rumah sehat dan keluarga. Rumah
sehat akan berpengaruh besar terhadap kesehatan lingkungan
penghuninya. Memiliki rumah sehat tentunya akan memberikan rasa
nyaman bagi penghuninya. Salah satu ciri rumah sehat adalah
memiliki sistem sirkulasi udara dan pencahayaan yang baik. Sistem
sirkulasi udara dapat diciptakan dengan menggunakan lubang angin
atau ventilasi udara.

Ada beberapa hal yang memenuhi syarat untuk rumah sehat,


yakni:
1) Jendela berfungsi dengan baik dengan ukuran yang
memadai. Jendela ada dua sisi yang berbeda, sehingga bisa
menjadi jalannya udara yang baru. Pada setiap rungan
sebaiknya dibuatkan jendela kaca yang berhubungan
dengan ruang luar. Dalam menentukan letak jendela, harus
diperhatikan untuk mengarah ke matahari. Cahaya matahari
yang terlalu panas, gunakan kanopi jendela untuk menaungi
jendela dari cahaya matahari langsung.
2) Ventilasi udara adalah lubang penghawaan pada ruangan
agar sirkulasi udara dalam ruangan menjadi baik. Minimal
ventilasi udara berukuran lebih 10 % dari luas lantai
3) Pencahayaan ruangan dengan standar mata normal bisa
membaca tanpa sinar lampu tambahan
4) Lubang asap dapur lebih besar 10% dari luas tanah lantai.
5) Lingkungan tidak padat penghuni luas lantai rumah per
penghuni lebih besar 10 m2
6) Kandang hewan harus terpisah dengan rumah. Misalkan
anda mempunyai ternak maka kandangnya harus terpisah
dari rumah.
7) Konstruksi rumah, bangunan permanen dengan tembok,
bata plesteran, serta papan kedap air Sanitasi yang benar
Sarana sanitasi yang benar yakni :
a. Sarana air milik sendiri, memenuhi syarat kesehatan
b. Jamban leher angsa atau septic tank
c. Terdapat sarana pembuangan air limbah yakni dapat
diserap dan tidak mencemari sumber air (jarak dengan
sumber air lebih dari 10 m ) dialirkan ke selokan
tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih lanjut.
d. Tempat sampah yang kedap air tertutup
Rumah sehat juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuninya.
Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi
terjadinya penularan berbagai penyakit. Agar tidak terjadi
maka seharusnya perilaku penghuni memperhatikan
beberapa hal :
a. Membersihkan tempat jentik berkembang agar rumah
bebas jentik nyamuk tidak lebih dari 5 %
b. Bersihkan dari hal-hal yang mempengaruhi tikus datang
ke rumah. Pastikan rumah bebas tikus
c. Membersihkan rumah dan halaman rumah setiap hari
d. Memanfaatkan pekarangan, misalnya dengan
menanami bunga, sehingga ada upaya penghijauan
e. Membuang tinja bayi atau balita ke jamban, jangan
meremehkan tinja bayi dan dibuang sembarangan
karena tinja bayi sama halnya dengan tinja orang
dewasa
f. Membung sampah pada tempat sampah, sampah
hendaknya dibuang setiap hari pada sampah besar yang
akan dibawa oleh petugas sampah (Nur Ilmiah)

2.12. Kerangka Teori


Sumber : UNICEF 1990

2.13. Kerangka Konsep


Asupan makanan

Penyakit infeksi

Ketersediaan pangan

Pola asuh ibu

Gizi kurang (status gizi)


Kesehatan lingkungan

Tingkat pendapatan

Pengetahuan ibu

Perilaku hidup bersih dan sehat


2.14. DEFINISI OPERASIONAL
Nama
No. Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel
1. Status Gizi Status gizi Antropometri Timbangan BB/U : Ordinal
yaitu ekspresi dan  Gizi Buruk :
dari keadaan microtoa <-3 SD
keseimbangan  Gizi Kurang :
asupan -3SD sampai
makanan <-2SD
balita dalam  Gizi Baik :
bentuk indeks -2SD sampai
BB/U, TB/U, 2SD
BB/TB.  Gizi Lebih :
>2SD

TB/U :
 Sangat Pendek
: <-3SD
 Pendek : -3SD
sampai -2SD
 Normal : -2SD
sampai 2SD
 Tinggi : >2SD

BB/TB :
 Sangat Kurus :
<-3SD
 Kurus : -3SD
sampai <-2SD
 Normal : -2SD
sampai 2SD
 Gemuk : >2SD

2 Asupan Asupan Recall 24 Form recall Baik : Ordinal


Makanan makanan jam 24 jam 100 % AKG
adalah Sedang :
konsumsi 80-99% AKG
makan balita Kurang :
dalam satu 70-80 % AKG
hari yang Deficit :
meliputi < 70% AKG
asupan zat
gizi energi,
protein,
vitamin A, Fe.
3. Penyakit Merupakan memeriksa Wawancara “Ya” apabila Ordinal
Infeksi penyakit yang catatan di menderita infeksi
disebabkan buku KIA 3 bulan terakhir.
oleh “ Tidak “ apabila
masuknya tidak menderita
bibit penyakit infeksi 3 bulan
pada balita terakhir.
dalam 3 bulan
terakhir.
4. Ketersediaan Kondisi Pencatatan Formulir  Baik : ≥ 100% Ordinal
Pangan terpenuhinya makanan Food AKG
pangan bagi (food Account  Sedang : 80 –
rumah tangga account) 99% AKG
yang  Kurang : 70 –
tercermin dari 80% AKG
ketersediaan  Defisit : < 70%
yang cukup, AKG
baik dalam
jumlah
maupun
mutunya,
aman, merata
dan
terjangkau
yang
dikumpulkan
selama 5 hari.
5. Pola Asuh Suatu Wawancara Kuesioner  Baik = 76- Ordinal
tindakan ibu 100%
dalam
mengasuh dan  Sedang =
merawat 56-75%
balita meliputi
pemberian  Kurang =
makan dan 40-55%
perawatan
kesehatan.
6. Kesehatan Kesehatan Wawancara Kuesioner 1. Baik yaitu Ordinal
Lingkungan lingkungan hasil
adalah kondisi presentase
kesehatan 76%-100%
lingkungan 2. Cukup yaitu
keluarga yang hasil
meliputi presentase
penyediaan air 56%-75%
bersih, 3. Kurang yaitu
pembuangan hasil
kotoran presentase
manusia, <56%
pengelolaan
sampah, dan
pengelolaan
air limbah.
7. Pendapatan Pendapatan wawancara kuesioner a. Pendapatan Nominal
keluarga Keluarga tinggi : ≥ Rp
adalah jumlah 2.454.000.
pendapatan b. Pendapatan
tetap dan rendah : < Rp
sampingan 2.454.000.
dari kepala (UMP Kalsel,
keluarga, ibu, 2018)
dan anggota
keluarga lain
dalam 1
bulan.
8. Tingkat Pengetahuan wawancara kuesioner Kategori: Ordinal
pengetahuan adalah hasil a. Baik: 76-100%
ibu dari b. Cukup: 56-75%
pemahaman c. Kurang: < 55%
ibu tentang
cara
pengolahan
makanan,
sumber zat
gizi, dan cara
pemberian
makanan pada
anak.
9. PHBS PHBS adalah Wawancara Kuesioner Kategori : Nominal
(perilaku perilaku Baik : 41-60
hidup bersih keluarga Sedang : 21-40
dan sehat) dalam Rendah : 15-20
menjalankan
hidup bersih
dan sehat
yang meliputi
10 indikator
PHBS.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah observasional analitik yaitu suatu penelitian
untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel bebas (asupan makanan,
penyakit infeksi, ketersediaan pangan, pola asuh ibu, kesehatan lingkungan,
tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan ibu, dan perilaku hidup bersih dan
sehat) serta variabel terikat (status gizi) melalui observasi. Rancangan yang
digunakan adalah Cross Sectional yaitu variabel bebas dan variabel terikat
diukur secara bersamaan.
3.2 Tempat Dan Waktu
Tempat dilaksanakan penelitian ini yaitu di Desa Sinar Baru, Kecamatan
Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala dan waktu penelitian berlangsung
mulai pada tanggal 05 – 10 November 2018.
3.3. Populasi Dan Sampel
a. Populasi dalam peneltian ini adalah semua keluarga yang mempunyai
balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito
Kuala berjumlah 124 balita.
b. Sampel meliputi sebagian keluarga yang mempunyai balita di Desa Sinar
Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala berjumlah 70
balita. Yang menjadi responden adalah ibu dari balita. Bila dalam satu
keluarga terdapat lebih dari satu balita, maka diambil anak yang termuda.
3.4 Jenis Dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis data
a. Data primer
1) Data tentang status gizi balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau
Bedauh Kabupaten Barito Kuala.
2) Data tentang asupan makanan,penyakit infeksi, ketersediaan pangan,
pola asuh ibu, kesehatan lingkungan, tingkat pendapatan,
pengetahuan ibu, serta PHBS pada balita di Desa Sinar Baru,
Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

b. Data Sekunder
Data yang didapatkan dari puskesmas, kecamatan, dan kantor di Desa
Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala.

2. Cara pengumpulan data


1) Data primer
a. Status gizi dengan pengukuran antropometri.
b. Asupan makanan dikumpulkan dengan cara wawancara recall
24 jam.
c. Penyakit infeksi dikumpulkan dengan cara wawancara dengan
memeriksa catatan balita di buku KIA.
d. Ketersediaan pangan dikumpulkan dengan metode Food
Account .
e. Pola asuh dikumpulkan dengan wawancara menggunakan
kuesioner.
f. Kesehatan lingkungan dikumpulkan dengan wawancara
menggunakan kuesioner.
g. Pendapatan keluarga dikumpulkan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner.
h. Tingkat pengetahuan ibu dikumpulkan dengan wawancara
menggunakan kuesioner.
i. PHBS dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan
kuesioner.

2) Data sekunder
Data sekunder dikumpulkan dengan cara mempelajari
catatan dokumen yang ada di dinas kesehatan, puskesmas,
kecamatan, dan kantor di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau
Bedauh Kabupaten Barito Kuala.
3. Cara Pengolahan Data
1. Pengolahan Data Status Gizi
Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan dimasukkan ke dalam aplikasi program Nutri 2008.
Dikategorikan menjadi :
BB/U : TB/U : BB/TB :
 Gizi Buruk : <-3 SD  Sangat Pendek : <-  Sangat Kurus : <-3SD
 Gizi Kurang : -3SD 3SD  Kurus : -3SD sampai
sampai <-2SD  Pendek : -3SD <-2SD
 Gizi Baik : -2SD sampai -2SD  Normal : -2SD
sampai 2SD  Normal : -2SD sampai 2SD
 Gizi Lebih : >2SD sampai 2SD  Gemuk : >2SD
 Tinggi : >2SD

2. Pengolahan Data Asupan Makanan


a. Mengkonversi data konsumsi yang diperoleh ke dalam
ukuran berat (gram).
b. Memasukkan data konsumsi ke dalam aplikasi Nutri
2008.
c. Mengkatagorikan asupan makanan berdasarkan hasil
yang didapatkan dari pengukuran recall 24 jam.

3. Pengolahan data penyakit infeksi


a. Dengan cara memberikan koesioner kepada responden
b. Memasukkan data ke dalam aplikasi PASW
c. Pengkategorian jawaban kuesioner dengan standar : “Ya” apabila
menderita infeksi 3 bulan terakhir di tahun 2018 , “ Tidak “ apabila
tidak menderita infeksi 3 bulan terakhir di tahun 2018.
4. Pengolahan data ketersedian pangan
Data diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan cara
food account kemudian data bahan makanan tersebut dikonversikan
kedalam energi dan protein. Angka yang diperoleh tersebut
dibandingkan dengan jumlah AKG keluarga dengan kategori :

 Baik : ≥ 100% AKG


 Sedang : 80 – 99% AKG
 Kurang : 70 – 80% AKG
 Defisit : < 70% AKG

5. Pengolahan data pola asuh ibu


1) Pola asuh diolah menggunakan program kompoter analisis
dengan pemberian skor, sebagai berikut :
Jawaban yang benar di beri skor = 1
Jawaban yang tidak tepat di beri skor = 0
jumlah skor
x 100
skor maksimal
2) Nilai skor yang diperoleh dikategorikan menjadi diperoleh
dengan cara pemberian skor yaitu :
a. Baik = 76 – 100 %
a. Sedang = 56 – 75 %
b. Kurang = 40 – 55 %

6. Pengolahan data kesehatan lingkungan


Pengolahan data kesehatan lingkungan yaitu dengan cara
member skor pada hasil wawancara kuesioner.

1. Terdapatnya ventalasi
- Ada : Skor 2
- Tidak : Skor 1

2. Pembagian Ruangan
- Ada : Skor 2

- Tidak : Skor 1

3. Sarana Memperoleh Air Bersih


- PDAM : Skor 4
- Sumur Pompa Tangan : Skor 3
- Sumur Gali : Skor 2
-Sungai : Skor 1

4. Sumber Air Minum Keluarga


- Air Galon Isi Ulang : Skor 4
- Air PDAM : Skor 3
- Air Sumur/Pompa Air : Skor 2
- Air Sungai : Skor 1

5. Pembuangan Sampah
- TPS : Skor 4
- Dibakar : Skor 3
- Selokan : Skor 3
- Sungai : Skor 1

6. Jamban Yang Digunakan


- Jamban Leher Angsa : Skor 3
- Jamban Duduk : Skor 2
- Jamban Cemplung : Skor 1

7. Akhir Pembuangan Tinja


- Septik Tank Cemplung Penampungan Dalam Tanah : Skor
3
- Septik Tank Cemplung Sungai : Skor
2
- Cemplung Sungai : Skor
1

8. Menguras Penampungan Air dalam 1 bulan


- 1 Minggu , 1 kali atau lebih : Skor 4
- 2 Minggu , 1 kali : Skor 3
- 1 Bulan , 1 Kali : Skor 2
- Tidak Sama Sekali : Skor 1

Hasil skor kemudian dihitung dengan rumus :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡


Nilai = x 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖

Kemudian dikategorikan menjadi :


a. Baik : >80%
b. Cukup : 60-80%
c. Kurang : <60%

7. Pengolahan data tingkat pendapatan


Menjumlahkan semua pendapatan keluarga 1 bulan dalam bentuk
rupiah. Kemudian dikategorikan:
Pendapatan timggi : ≥ Rp 2.454.000,-
Pendapatan rendah : < Rp 2.454.000,-
(UMP Kalsel, 2018)

8. Pengolahan data pengetahuan ibu


a. Memberi skor “1” untuk jawaban benar, dan “0” untuk jawaban salah.
b. Menjumlahkan semua jawaban kuesioner.
c. Menghitung nilai pengetahuan dengan rumus, jumlah jawaban benar
dibagi dengan jumlah pertanyaan dalan kuesioner dikali 100%.
d. Mengkategorikan pengetahuan menjadi :
1) Baik: 76-100%
2) Cukup: 56-75%
3) Kurang: < 55%

9. Pengolahan data PHBS


PHBS diolah menggunakan komputer analisis dengan
pemberian skor, sebagai berikut :
Kategori :
Baik : 41-60
Sedang : 21-40
Rendah : 15-20

3.5 Analisis Data


3.5.1 Analisis Data Asupan Makanan
Analisa data bertujuan untuk menyimpulkan parameter
(populasi) berdasarkan statistik sampel atau lebih dikenal dengan
proses generalisasi dan inferensial, analisis data dibantu dengan
panduan program komputer, meliputi :
1. Analisis Univariat
Penelitian yang dilakukan terhadap variable dari hasil
penelitian. Pada umumya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi dan presentasi dari tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan terhadap dua variable yang
diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoadmodjo, 2002).
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel yang
akan diuji hubungannya antara asupan makanan dengan status
gizi, data tersebut kemudian ditabulasikan. Untuk menguji
hipotesis dilakukan uji Spearman dengan menggunakan bantuan
komputer.
3.5.2 Analisis Data Penyakit Infeksi
Analisis data bertujuan untuk menyimpulakn parameter
(populasi) berdasarkan statistic smpel atau lebih dikenal dengan
proses generalisasi dan inferensial, analisis data dibantu dengan
panduan program komputer, meliputi:
1. Analisis Univariat
Penelitian yang dilakukan terhadap variable dari hasil
penelitian. Pada umunya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi variable yang diteliti yaitu balita yang berumur 0- 23
bulan dan presentasi dari tiap variabel.

2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan terhadap dua variable yang
diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2002).
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variable bebas
(Status Gizi) dengan Variabel terikat (Penyakit Infeksi), data
tersebut kemudian ditabulasikan. Untuk menguji hipotesis
dilakukan dengan uji Spearman dengan menggunakan bantuan
kompeter.

3.5.3 Analisis Data Ketersediaan Pangan

1. Analisis Univariat
Data diolah dalam table distribusi frekuensi untuk tiap variable.

a. Status gizi balita

Dengan menggunakan baku standar WHO-NCHS,


berdasarkan 3 indikator pengukuran status gizi balita yaitu
BB/TB, BB/U, TB/U. Dapat dikategorikan sebagai berikut :

 Gizi buruk : < - 3SD


 Gizi kurang : < - 2 SD s/d - 3 SD
 Gizi baik : < - 2 SD s/d + 2 SD
 Gizi lebih : > + 2 SD

Tabel 1.1 Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan


Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Jumlah
No Status Gizi balita (BB/U)
N %

1 Gizi lebih

2 Gizi baik

3 Gizi kurang

4 Gizi buruk

Jumlah

Nilai individu − nilai median


ZscoreTB/U =
nilai median − nilai sp. baku

Dengan beberapa kriteria :

 Gemuk : > 2 SD
 Normal : > -2 SD s/d 2 SD
 Kurus : < -2 SD s/d -3 SD
 Kurus sekali : < -3 SD

Tabel 1.2 Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan


Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Jumlah
No Status Gizi balita (BB/TB)
N %

1 Gemuk
2 Normal

3 Kurus

4 Kurus Sekali

Jumlah

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛


𝑍𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑇𝐵/𝑈 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑝. 𝑏𝑎𝑘𝑢

Dengan beberapa kriteria :

 Normal : -2 SD s/d 2 SD
 Pendek : < -2 SD

Tabel 1.3 Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan


Tinggi Badan Menurut Umur TB/U)

Jumlah
No Status Gizi balita (TB/U)
N %

1 Normal

2 Pendek

Jumlah

1) Ketersediaan Pangan Keluarga

Data diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan cara


food account kemudian data bahan makanan tersebut
dikonversikan kedalam energy dan protein. Angka yang
diperoleh tersebut dibandingkan dengan jumlah AKG keluarga
dengan kategori :
 Baik : ≥ 100% AKG
 Sedang : 80 – 99% AKG
 Kurang : 70 – 80% AKG
 Defisit : < 70% AKG

Tabel 1.4 Distribusi responden berdasarkan ketersediaan


pangan keluarga.

Tingkat Ketersediaan Jumlah


No.
Pangan Keluarga N %

1. Baik

2. Sedang

3. Kurang

4. Defisit

Jumlah

2. Analisis Bivariat
Analisis bivariate dilakukan untuk mencari hubungan
antara variable yang diteliti dengan status gizi balita. Analisis
menggunakan SPSS 18 dengan uji statistic korelasi spearman
dengan tingkat signifikansi 95% (α 0,05).

Untuk menarik kesimpulan dilakuakn uji statistic untuk


mengetahui ada tidaknya hubungan antara variable yang diteliti
dengan menggunakan uji korelasi rank spearman pada tingkat
kepercayaan 95%. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk
mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotetsis
asosiatif bial amsing-masing variable dihubungkan berbentuk
orgdinal, dan sumber data variable tidak harus sama untuk
menganalisa dnegan rumus :

P = 1 - 6Σbi2

n(n2-1)

(Sugiyono, 2009)

Sehingga didapatkan kaidah sebagai berikut :

H0 : Tidak ada hubungan antara variable bebas (Ketersediaan


Pangan) dengan variable perikat (Status Gizi Balita)

Ha : Ada hubungan antara variable bebas (Ketersediaan Pangan)


dengan variable perikat (Status Gizi Balita)

Alpha (α) 5% (0,05)

a. Apabila P > α maka H0 diterima Tidak ada hubungan antara


variable bebas (Ketersediaan Pangan) dengan variable perikat
(Status Gizi Balita)

b. Apabila P ,<α maka H0 ditolak Ada hubungan antara variable


bebas (Ketersediaan Pangan) dengan variable perikat (Status Gizi
Balita)

Berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh maka apabila :

r = 0,00 – 0,25  tidak ada hubungan atau hubungan lemah

r = 0,26 – 0,50  hubungan sedang

r = 0,51 – 0,75  hubungan kuat

r = 0,76 – 1,00  hubungan sangat kuat / sempurna.

(Sabri dan Sutanto, 2007)


3.5.4 Analisis Data Pola asuh Ibu

1. Analisis Univariat
Analisis Univariat adalah analisis yang digunakan untuk
mendriskipsikan variabel yang disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

2. Analisis Univariat
Analisis Bivariat adalah analisis yang digunkan untuk

mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji

statistic yang disesuaikan dengan data yang ada yaitu ordinal.

Variabel yang akan diuji hubungannya adalah pola asuh dengan

status gizi balita di Desa Sinar Baru, Kecamatan Rantau Bedauh

Kabupaten Barito Kuala.

Data tersebut dikumpulkan kemudian ditabulasi, untuk

menguji dilakukan uji kolerasi rank Spearman dengan

menggunakan program statistik dengan bantuan menggunakan

komputer menggunakan derajat tingkat kepercayaan

(alpha=5%).

6 ⅀ 𝑑²
Rumus : rs = 1 - 𝑛 (𝑛2 −1)

Keterangan :

rs = Koefisien Kolerasi Spearman

⅀ d2 = Total Kuadrat selisih antar ranking

n = Jumlah Sampel Penelitian


Syarat uji hubungan kolerasi rank Spearman, yaitu

(Hidayat,2009) :

a. Data yang bertipe ordinal

b. Sumber data antar variabel tidak harus sama

c. Uji ini digunakan untuk menguji hubungan dua variabel

atau lebih.

Cara analisis koefisien korelasi rank Spearman (Wijaya,

2003) :

a. Variabel pertama (misal x) dan variabel yang kedua (misal

y) dirangking.

b. Apabila terdapat nilai pengamatan yang sama,

rangkingnya adalah rata-rata.

c. Menentukan selisih rangking (di) untuk setiap pasang

variabel x dan y.

Berdasarkan nilai kolerasi yang diperoleh, maka (Sabri,

2007) :

a. Apabila r = 1, berarti hubungan atar kedua variabel yang

dianalisis merupakan hubungan linear sempurna, dimana

semakin besar nilai x maka nilai y akan semakin besar pula

b. Apabila r = 0, berarti tidak ada hubungan sama sekali

diantara dua variabel.

c. Apabila r = -1, berarti hubungan antara kedua variabel yang


dianalisis merupakan hubungan linear terbalik sempurna,

dimana maka besar nilai x maka nilai y akan semakin kecil.

Menurut Colton, kekuatan hubungan dua variabel secara

kualitatif dapat dibagi menjadi empat area sebagai berikut :

r = 0,00 – 0,25 = tidak ada hubungan/hubungan sangat

lemah

r = 0,26 – 0,50 = hubungan sedang

r = 0,51 – 0,75 = hubungan kuat

r = 0,76 – 1,00 = hubungan sangat kuat/sempurna

Untuk menarik kesimpulan menggunakan kaidah hipotesa :

Syarat-syaratnya α = 0,05. Ho di tolak jika nilai p < α, dan Hi

diterima jika nilai p > α

Ho : tidak ada hubungan antara pola asuh dengan status gizi

balita

Ha : ada hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita

3.5.5 Analisis Data Kesehatan Lingkungan


1. Analisis Univariat
Data diolah dalam table distribusi frekuensi untuk tiap variable.
a. Data umum keluarga
Umur, suku, agama, dan pekerjaan kepala keluarga yang diperoleh
dengan cara wawancara dengan menggunakan alat ukur kuesioner.
b. Status gizi balita
Dengan menggunakan baku standar WHO-NCHS, berdasarkan 3
indikator pengukuran status gizi balita yaitu BB/TB, BB/U, TB/U.
Dapat dikategorikan sebagai berikut :
1) Gizi buruk : < - 3SD
2) Gizi kurang : < - 2 SD s/d ≥ - 3 SD
3) Gizi baik : < - 2 SD s/d + 2 SD
4) Gizi lebih: > + 2 SD

Tabel 1.1 Distribusi Status Gizi Responden


Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Jumlah
No Status Gizi balita (BB/U)
N %

1 Gizi lebih

2 Gizi baik

3 Gizi kurang

4 Gizi buruk

Jumlah

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
𝑍𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑇𝐵/𝑈 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑠𝑝. 𝑏𝑎𝑘𝑢

Dengan beberapa kriteria :

a. Gemuk : > 2 SD
b. Normal : > -2 SD s/d 2 SD
c. Kurus : < -2 SD s/d -3 SD
d. Kurus sekali : < -3 SD
Tabel 1.2 Distribusi Status Gizi Responden
Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi Badan
(BB/TB)

Status Gizi balita Jumlah


No
(BB/TB) N %

1 Gemuk

2 Normal

3 Kurus/

4 Kurus Sekali

Jumlah

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
𝑍𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑇𝐵/𝑈 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑠𝑝. 𝑏𝑎𝑘𝑢

Dengan beberapa kriteria :

1) Normal : -2 SD s/d 2 SD
2) Pendek : < -2 SD

Tabel 1.3 Distribusi Status Gizi Responden


Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur TB/U)

Status Gizi balita Jumlah


No
(TB/U) N %

1 Normal

2 Pendek

Jumlah
c. Sanitasi
Pengolahan data kesehatan lingkungan yaitu dengan cara
member skor pada hasil wawancara kuesioner.
1. Terdapatnya ventalasi
Ada : Skor 1
Tidak : Skor 0
2. Pembagian Ruangan
Ada : a. Ruang tamu : skor 1

b. Ruang Keluarga : skor 1

c. Ruang Tidur : skor 1

d. Ruang Makan : skor 1

e. Ruang Dapur : skor 1

f. Kamar Mandi : skor 1

g. Jamban/wc : skor 1

h. Gudang : skor 1

Tidak : Skor 0

3. Sarana Memperoleh Air Bersih


PDAM : Skor 4
Sumur Pompa Tangan : Skor 3
Sumur Gali : Skor 2
Sungai : Skor 1

4. Sumber Air Minum Keluarga


Air Galon Isi Ulang : Skor 4
Air PDAM : Skor 3
Air Sumur/Pompa Air : Skor 2
Air Sungai : Skor 1
5. Pembuangan Sampah
TPS : Skor 4
Dibakar : Skor 3
Selokan : Skor 3
Sungai : Skor 1

6. Jamban Yang Digunakan


Jamban Leher Angsa : Skor 3
Jamban Duduk : Skor 2
Jamban Cemplung : Skor 1

7. Akhir Pembuangan Tinja


Septik Tank Cemplung Penampungan Dalam Tanah : Skor
3
Septik Tank Cemplung Sungai : Skor
2
Cemplung Sungai : Skor
1

8. Menguras Penampungan Air dalam 1 bulan


1 Minggu , 1 kali atau lebih : Skor 3
2 Minggu , 1 kali : Skor 2
1 Bulan , 1 Kali : Skor 1
Tidak Sama Sekali : Skor 0

Hasil skor kemudian dihitung dengan rumus :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡


Nilai = x 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖

Kemudian dikategorikan menjadi :


a. Baik : >80%
b. Cukup : 60-80%
c. Kurang : <60%

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara


variable yang diteliti dengan status gizi balita. Analisis menggunakan
SPSS 18 dengan uji statistic korelasi spearman dengan tingkat
signifikansi 95% (α 0,05).

Untuk menarik kesimpulan dilakuakn uji statistik untuk


mengetahui ada tidaknya hubungan antara variable yang diteliti
dengan menggunakan uji korelasi rank spearman pada tingkat
kepercayaan 95%. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk
mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotetsis asosiatif
bila masing-masing variable dihubungkan berbentuk ordinal, dan
sumber data variable tidak harus sama untuk menganalisa dengan
rumus :

P = 1 - 6Σbi2

n(n2-1)

(Sugiyono, 2009)

Sehingga didapatkan kaidah sebagai berikut :

H0 : Tidak ada hubungan sanitasi kesehatan atau kesehatan


lingkungan dengan status gizi balita.

Ha : Ada hubungan sanitasi kesehatan atau kesehatan lingkungan


dengan status gizi balita.

1) Apabila P > α maka H0 diterima.


2) Apabila P ,<α maka H0 ditolak.
Alpha (α) 5% (0,05)
Berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh maka apabila :

r = 0,00 – 0,25  tidak ada hubungan atau hubungan lemah

r = 0,26 – 0,50  hubungan sedang

r = 0,51 – 0,75  hubungan kuat

r = 0,76 – 1,00  hubungan sangat kuat / sempurna.

(Sabri dan Sutanto, 2007)

Anda mungkin juga menyukai