Anda di halaman 1dari 8

International Journal of Mechanical Engineering and Technology (IJMET)

Volume 9, Issue 7, July 2018, pp. 1022–1029, Article ID: IJMET_09_07_109


Available online at http://www.iaeme.com/ijmet/issues.asp?JType=IJMET&VType=9&IType=7 ISSN
Print: 0976-6340 and ISSN Online: 0976-6359

© IAEME Publication Scopus Indexed

IMPLEMENTATION AND IMPLICATIONS OF


AGRARIAN REFORM IN INDONESIA
B. F. Sihombing
Universitas Pancasila, Faculty of Law,
Jl. Srenseng Sawah, Jagakarsa, South Jakarta 12640, Indonesia

IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA

1. BF Sihombing
Universitas Pancasila, Fakultas Hukum,
Jl. Srenseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640, Indonesia

2. ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang reforma agraria di Indonesia, dan meneliti
dalam a secara komprehensif berkaitan dengan kebijakan yang dilaksanakan oleh tujuh
Presiden
Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Soekarno, Soeharto, B. J Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo B. Yudhoyono, dan Joko Widodo dan
implikasinya bagi kesejahteraan rakyat yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan ekonomi
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, UU Agraria No. 5
tahun 1960, dan berbagai peraturan terkait. Penelitian ini menggunakan
data normatif dan kualitatif serta sifat deskriptif dari penelitian ini. Itu
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia harus mampu
bertindak tegas, konsisten, dan berkesinambungan untuk mengatasi kesenjangan di bidang
hukum, sosial, aspek ekonomi, politik dan keamanan melalui kebijakan reformasi agraria.
Agraris reformasi adalah gerakan sosial, integrasi pemerintah dan masyarakat dalam rangka
melaksanakan reformasi pertanahan. Redistribusi tanah sebagai reformasi agraria strategis
inti pada agenda untuk pemerintah Indonesia bagi mayoritas rakyat Indonesia adalah
tergantung pada lahan pertanian.
Kata kunci: Pembaruan Agraria, Indonesia, Pasal 33 UUD 1945, Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Kutip artikel ini: BF Sihombing, Implementasi, dan Implikasi Agraria Reformasi di Indonesia,
Jurnal Internasional Teknik Mesin dan Teknologi, 9 (7), 2018, pp. 1022–1029.
http://www.iaeme.com/IJMET/issues.asp?JType=IJMET&VType=9&IType=7

1022
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
Implementation and Implications of Agrarian Reform in Indonesia

3. 1. PERKENALAN
Dalam sebuah artikel di New York Times, Jon Gertner mengutip Joseph Eugene Stiglitz,
seorang
Ekonom, penulis, dan Nobel Award dalam Ekonomi (2001) yang menyatakan bahwa untuk
mengukur kemajuan bangsa-bangsa di abad ke-21 adalah ukuran ekonomi dan itu harus diatur
untuk mewakili keadaan individu saat ini sehingga setiap negara dapat menerapkan indikator
lain untuk menangkap apa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan
(http://www.nytimes.com , 2010). Apalagi menurut Adam Smith, ekonomi keberlanjutan
pembangunan membutuhkan spesialisasi atau pembagian kerja sehingga produktivitas kerja
meningkat. Spesialisasi dalam proses produksi akan mampu

meningkatkan produksi akan dapat meningkatkan keterampilan tenaga kerja, dapat mendorong
penemuan baru alat atau mesin dan pada akhirnya dapat mempercepat dan meningkatkan
produksi.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dan terkenal karena tanahnya yang kaya dan sumber
daya yang melimpah, karena posisi strategisnya sebagai negara tropis. Sebagai konsekuensi,
Indonesia hanya memiliki dua iklim yang membuat kondisi cuaca stabil sehingga pertanian
sektor mampu berkembang. Oleh karena itu, bonus geografis ini membuat pertanian dan
perkebunan sangat cocok di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mengkaji secara mendalam tentang reforma agraria di Indonesia yaitu
berkaitan dengan bagaimana dan apa kebijakan tentang Pembaruan Agraria dan implikasinya
oleh ketujuh
Presiden Indonesia, secara berurutan mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko
Widodo dan itu terkait dengan penataan kembali kontrol, kepemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria untuk mencapai kepastian dan perlindungan hukum dan
keadilan dan kemakmuran untuk semua orang Indonesia, penelitian ini menggunakan
pendekatan hukum, ekonomi, sosial dan aspek lingkungan di Indonesia. Selanjutnya, referensi
sumber kebijaksanaan setiap Presiden Republik Indonesia dalam melaksanakan kebijakan
Reforma Agraria adalah Pasal
33 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pasal 33 adalah politik utama dan
referensi ekonomi untuk administrasi ekonomi di Indonesia (Sihombing, 2016). Demikian,
pengelolaan sumber daya alam adalah kewenangan pemerintah dan pemerintah melarang
kepemilikan sumber daya alam di tangan seseorang. Dengan kata lain, monopoli tidak dapat
dibenarkan, meskipun sebenarnya itu terjadi dan telah lama dipegang adalah masalah
mengendalikan sumber daya alam di tangan orang atau seseorang dan banyak lagi kompleks
kekalahan lingkungan dan hak-hak masyarakat saat ini. Jadi itu sangat, sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
"Ayat (1) berbunyi;
Perekonomian terstruktur sebagai upaya bersama berdasarkan prinsip kekeluargaan, ayat (2);
Cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang mempengaruhi

1023
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
B. F. Sihombing

mata pencaharian rakyat dikendalikan oleh Negara, ayat (3) menyatakan; Bumi, air dan sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya dikendalikan oleh
Negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, ayat (4), ekonomi Nasional diselenggarakan
berdasarkan demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi yang adil, berkelanjutan, ramah lingkungan, keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, ayat (5); Ketentuan lebih lanjut mengenai
implementasi pasal ini adalah
diatur oleh hukum ".
Sebagai contoh, beberapa catatan yang berkaitan dengan kesetaraan ekonomi dan
ketidaksetaraan tidak berlangsung pembangunan ekonomi, khususnya di bidang agraris di
Indonesia pada era tujuh tahun
Presiden Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Joko Widodo adalah masalah agraria yang terus terjadi dan sampai saat ini merupakan masalah
serius, konflik agraria yang datang dan pergi tanpa pengawasan, manajemen dan resolusi hak
dan terus menjadi akar masalah yang memiliki implikasi negatif terhadap hukum, sosial,
ekonomi, politik, dan keamanan di Indonesia. Beragam rangkaian acara itu
terkait dengan konflik agraria di Indonesia adalah sebagai berikut: pengerukan dan kerusakan
alam eksploitasi sumber daya dalam hal ini tanpa melihat keberlangsungan nasib dan sifat
manusia dan lingkungan. Pembukaan lahan yang masif mempengaruhi (hutan dan binatang),
hutan berkurang dan habitat satwa liar semakin menyempit dan diperas, belum lagi

BF Sihombing

kurangnya pengawasan dan tata kelola yang mengabaikan pentingnya fungsi lingkungan dan
manfaat untuk makhluk hidup.
Menurut Forum Lingkungan Indonesia (WALHI) tentang peristiwa dan fakta yang terjadi
sepanjang 2014, yang masih kental dengan warna gelap karena konflik sumber daya alam dan
agraris juga tidak menemukan solusinya (Lingkungan Indonesia Forum / WALHI, 2015).
Kemudian bencana ekologi yang menandakan kondisi tersebut kehancuran dan degradasi
lingkungan terus tidak terkendali dan krisis, dan bagaimana perjuangan komunitas orang-orang
dari satu ujung daerah pedesaan ke sudut-sudut kota
untuk mempertahankan wilayah kehidupan mereka berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
mereka sebagai bentuk kelangsungan hidupnya di tengah-tengah negara yang tak habis-
habisnya memberikan perlindungan dan pengakuan atas hak-hak rakyatnya (Lisdiyono, 2017).
Selanjutnya, menurut Forum Indonesia untuk Lingkungan, bencana ekologi yang mengklaim
jumlah kematian tertinggi berada di Central
Jawa sebanyak 152, Jawa Barat 82, Sulawesi Utara 57, Jawa Timur 36, Papua 33, DKI Jakarta
25, Kalimantan Barat 22 dan Sumatra Utara 19 orang. Dari total kematian karena tanah longsor
bencana itu berjumlah 336 orang, termasuk karena penambangan. Tanah longsor dan korban
jiwa
terjadi di Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Bangka Belitung, Palu,
Kalimantan Timur

1024
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
Implementation and Implications of Agrarian Reform in Indonesia

Kalimantan dan Papua. Tambang juga menyebabkan banjir seperti yang terjadi di Tasikmalaya,
Baru Kota dan Kalimantan Selatan Tenggarong, Kalimantan Timur (Lingkungan Indonesia
Forum / WALHI, 2015).
Sebagai contoh ditunjukkan dalam penerapan aturan pemurnian di negara yang seharusnya
telah dilakukan pada tahun 2014 oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara. Namun, karena
pertentangan dari perusahaan pertambangan besar, seperti PT. Freeport Indonesia, peraturan ini
tidak berlaku untuk perusahaan besar hingga akhir 2014. Akibatnya, degradasi besar-besaran
Sumber daya alam Indonesia terus terjadi dan akibatnya kehancuran berlanjut
lingkungan (hutan, sungai, laut, udara, keanekaragaman hayati) dan berdampak pada kesehatan
manusia). Lain contoh perumpamaan sumber daya alam semakin menipis dan penderitaan
orang semakin buruk, yang merupakan fenomena yang tampaknya terjadi dalam arus
konstruksi (Solikin, 2010). The Article 33 Paragraphs (1), (2), (3), (4), dan (5) dari UUD 1945
Konstitusi jelas menyiratkan bahwa kontrol ekonomi yang terkait dengan sumber daya alam
harus dipandu oleh kepentingan bersama dan untuk kesejahteraan rakyat yang berdasarkan
prinsip keadilan (Sihombing, 2016). Karena itu, kebijakan pembaruan agraria di Indonesia
adalah prioritas utama agenda untuk pemerintah.

4. 2. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif, sebagai penelitian
hukum yang dilakukan oleh PT
meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soekanto & Mamudji, 2006).spesifikasi analisis
dilakukan dengan analisis deskriptif (Babbie, 1986). Langkah-langkahnya Apalagi, itu
diambil melalui riset perpustakaan dengan lebih banyak meneliti data sekunder dalam bentuk
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum utama termasuk Konstitusi Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Pokok Agraria (BAL) No. 5 tahun 1960,
Burgerlijk Wetboek, General Bepalingen Wetgeving van voor Indonesie, dan berbagai undang-
undang dan lainnya peraturan terkait. Bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi penelitian
hasil, buku, jurnal ilmiah, dan yurisprudensi, serta literatur lainnya tentang
Reformasi Agraria. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, penelitian ini
dilakukan a studi banding data sekunder terkait dengan pembaruan agraria di negara lain.
Dengan menggunakan analisis deskriptif pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia dan
implikasi dari kebijakan ini meliputi kepastian, perlindungan hukum, keadilan dan kemakmuran
untuk semua masyarakat Indonesia oleh tujuh presiden Indonesia, sub fokus penelitian adalah
bagaimana adalah pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia oleh tujuh presiden Indonesia,

berurutan mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati


Soekarnoputri, Susilo B.Yudhoyono dan Joko Widodo. Apalagi, masalah penelitiannya adalah
apa implikasi dari kebijakan ini oleh Reforma Agraria, dan memiliki reforma agraria dilakukan
oleh tujuh presiden Indonesia, berurutan mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo B.Yudhoyono dan Joko
Widodo meliputi kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia Indonesia telah dilaksanakan.

1025
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
B. F. Sihombing

5. 3. TANTANGAN REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA


Dari berbagai masalah yang terkait dengan reformasi pertanian di Indonesia, pemerintah di
bawah
Presiden Joko Widodo bekerja keras untuk mengatasi masalah ini dengan program percepatan
Reformasi Agraria. Dengan mengacu pada pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, yang kuat
Komitmen di era pemerintahannya adalah tentang kebijakan yang menjadi agenda utama
harus dilakukan. Kebijakan pembaruan agraria di Indonesia bertujuan untuk mengatasi masalah
agraria itu baru-baru ini terjadi dan memukul penduduk desa di Indonesia, terutama petani yang
tidak memiliki lahan, nelayan dan lain-lain seperti produsen untuk mengendalikan lahan
pertanian mereka, dan memiliki penuh akses ke sumber daya alam lainnya dan memperoleh
manfaat dari produksi produk (Sihombing 2017). Oleh karena itu, menurut Presiden Joko
Widodo, agenda utama segera dilakukan di Indonesia kepresidenannya adalah reformasi
agraria, tentang tanah dan peraturannya.
Sekarang Joko Widodo memberi label program redistribusi 9 juta hektar lahan sebagai
pelaksanaan reformasi agraria (http://www.kpa.or.id). Faktanya, seluruh masalah itu saling
terkait dan harus satu paket dengan proses redistribusi tanah. Tanpa itu, langkah-langkah yang
diambil Joko Widodo tidak dapat diklasifikasikan sebagai mengacu pada reforma agraria
(http://www.kpa.or.id).
Menurut Konsorsium Reformasi Agraria (KPA) ada tantangan dan hambatan redistribusi 9 juta
hektar yang akan dieksekusi ( http://www.kpa.or.id) . Pada saat ini, analisis menunjukkan
bahwa kebijakan redistribusi 9 juta hektar dari Joko Widodo terlalu jauh digolongkan sebagai
reforma agraria. Padahal di tengah-tengah pertanyaan yang rumit tentang agraris di Indonesia,
pemerintah ditantang untuk bisa menyelesaikan masalah. Untuk
Misalnya, dalam catatan KPA, setiap hari, lebih dari 353 ha lahan pertanian berubah menjadi
nonpenggunaan pertanian. Ini tidak termasuk lahan bekas pembudidayaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit itu terus terjadi. Akibatnya, koefisien Gini tidak bergerak dari angka
celah, di sana adalah kesenjangan yang signifikan antara penurunan jumlah petani dan
peningkatan
jumlah urbanisasi dan pekerja migran.
Di sisi lain, berbagai kendala masih dihadapi oleh pemerintah untuk dilaksanakan reforma
agraria. Pertama, kurangnya kapasitas politik dari para menteri di kabinet kerja Indonesia Joko
Widodo. Kapasitas politik mengacu pada rekam jejak penyelarasan agraris gerakan reformasi.
Dengan demikian, meskipun Jokowi memiliki kemauan politik, itu tidak disertai kapasitas
politik para menteri dan birokrasi. Dalam konteks ini, reforma agraria adalah sulit terwujud.
Kedua, tidak populernya isu reforma agraria yang lebih tinggi lembaga pendidikan telah
mengakibatkan kurangnya studi ilmiah dan ahli reformasi agraria di Indonesia. Ketiga, tidak
ada catatan tanah terpadu di Indonesia, terutama data dari Kementerian Pertanian dan Tata
Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Departemen Pertanian dan Kehutanan.
Tantangan tentu harus dijawab oleh pemerintah dan rintangan harus terus berlanjut untuk
ditekan, bahkan ditinggalkan. Meskipun terlalu tinggi untuk mengharapkan reforma agraria
diimplementasikan dalam pemerintahan Joko Widodo, program redistribusi 9 juta hektar harus
dipantau. Agrarian Reform Consortium (KPA) menilai bahwa kemauan politik dari Joko
Widodo harus terus didorong untuk mendekati titik ideal. Jadi, sekarang, fokus diarahkan

http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp 1025 editor@iaeme.com

1026
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
Implementation and Implications of Agrarian Reform in Indonesia

Halaman 5
BF Sihombing

untuk mendorong kebijakan redistribusi sebesar 9 juta hektar sesuai target dan tidak hanya
membagi tanah.
Karena itu, beberapa inovasi yang harus dilakukan Joko Widodo dalam melaksanakannya
Program Reforma Agraria adalah rencana redistribusi pematangan, termasuk pembahasan
terkait konflik, pendirian bank lahan hingga sertifikasi. Kemudian, evaluasi tanah hak di Jawa,
serta meminimalkan penguasaan lahan dari PT Perkebunan Nusantara
(PTPN), Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) dan perusahaan swasta,
mempertimbangkan populasi besar di Jawa (http://www.kpa.or.id). Sedangkan menurut
Sihombing
(2016), kebijakan pertanahan harus ditujukan untuk meningkatkan persediaan lahan di tempat-
tempat strategis untuk tujuan bisnis dan perumahan. Ada dua masalah yang perlu dipahami dan
dieksplorasi oleh pemerintah dalam kerangka kebijakan pertanahan, yaitu kebijakan hukum
pertanahan global, dan kebijakan hukum pemerintah pusat dan lokal.
Dalam kerangka era globalisasi, pemerintah telah menerapkan kebijakan dan otonomi di
berbagai sektor birokrasi dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari non sektor
minyak dan gas dan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi nasional. Ada juga
kebutuhan koordinasi mengenai kebijakan hukum antara pusat, provinsi dan daerah pemerintah,
terutama mengenai kewenangan tugas pemerintah di bidang pertanahan
(http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/IUSCONS/article / download / 94/73).
Dari berbagai uraian, dapat diinventarisasi tentang bagaimana implementasi
Reformasi Agraria di Indonesia oleh tujuh presiden Indonesia, secara berurutan dimulai dari
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo B.
Yudhoyono dan Joko Widodo, dan menganalisis apakah implikasi dari kebijakan ini meliputi
kepastian dan perlindungan hukum dan keadilan dan kemakmuran bagi semua orang Indonesia
telah dilaksanakan dengan mengacu pada definisi reforma agraria sebagai proses pengaturan
restrukturisasi kepemilikan, kontrol, dan penggunaan sumber daya agraria
khususnya tanah dan dalam pasal 2 Keputusan MPR No. MPR No. IX / MPR / 2001
menjelaskan bahwa "Reformasi agraria termasuk proses berkelanjutan sehubungan dengan
penataan kembali kontrol, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilakukan untuk mencapai kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi semua orang Indonesia. ”
Tabel 1 Kebijakan, Tujuan, dan Implikasi Reformasi Agraria di Indonesia

Mengacu pada tabel, dapat dianalisis bahwa Presiden Republik Indonesia ada yang lalai atau
belum sempat menjalankan dan bahkan meninggalkan land reform saat masuk kekuasaan. Inti
dari reforma agraria adalah program untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Konkretnya,
Reformasi agraria menjadi strategi untuk memerangi kemiskinan, mengurangi pengangguran,
menyempit kesenjangan sosial ekonomi dan ketimpangan penguasaan sumber daya agraria
yang telah terjadi dan isu penting sejak kemerdekaan Indonesia, terutama sejak investasi awal
di Indonesia Orde Baru (Lucas & Warren, 2003; Lee Peluso, Afiff, & Rachman, 2008).

1027
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
B. F. Sihombing

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Reformasi agraria adalah gerakan sosial, integrasi pemerintah dan masyarakat di Indonesia
perintah untuk melaksanakan reformasi tanah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan,
peluang kerja berbasis agraris, mempertahankan sumber daya ekonomi, meningkatkan kualitas
hidup dan meningkatkan keamanan pangan. Tanah redistribusi memiliki strategi efektif dalam
akurasi, memperbarui, integrasi catatan tanah, mengidentifikasi jumlah yang relevan dari objek
tanah dan subjek penerima, objek tanah redistribusi, membentuk bank tanah, sertifikasi , dan
merumuskan penyelesaian strategi, manajemen dan pengurangan sengketa tanah. Oleh karena
itu, pemerintah dapat membentuk ad hoc komite yang ditugaskan khusus untuk mengawasi
pelaksanaan reformasi agraria.
Dari uraian aspek pelaksanaan reforma agraria, bisa jadi menyimpulkan bahwa kebijakan dan
pelaksanaan reformasi pertanahan akan dipengaruhi oleh undang-undang agraria yang
memandu Presiden Republik Indonesia. Pemerintah harus
mampu bertindak tegas, konsisten dan berkesinambungan untuk mengatasi kesenjangan di
bidang hukum, sosial, ekonomi, politik dan keamanan melalui kebijakan reformasi agraria
untuk kemakmuran orang yang berasaskan pada keadilan, yaitu kesetaraan ekonomi
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUPA
UUD 1945, Undang-Undang Pokok Agraria (BAL) No. 5 tahun 1960, dan berbagai peraturan
perundang-undangan terkait.
Reformasi agraria dapat diartikan sebagai menegakkan dan memperkuat hak petani atas tanah
penguasaan dan reformasi tanah, redistribusi tanah sebagai inti dari reforma agraria haruslah a
agenda strategis untuk Presiden Republik Indonesia karena mayoritas Orang Indonesia
bergantung pada tanah, pertanian.

REFERENSI
[1] Babbie, Earl, The Practice of Social Research, edisi keempat, (California, Belmont:
Wadsworth Publishing Co, 1986)
[2] Badan Pusat Statistik, Luas Lahan Sawah Menurut Provinsi (ha), 2003–
2014, https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/895
[3] Gertner, Jon, Kebangkitan dan Kejatuhan GDP: Saran, beberapa metodologi dan
beberapa filosofis, untuk mengukur kemajuan bangsa-bangsa di abad ke-21 abad , .http:
//www.nytimes.com/2010/05/16/magazine/16GDPt.html? mcubz = 0 , Itu Majalah New
York Times, 13 Mei 2010.
[4] Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Hukum Pokok
Agraria, Isi dan Implementasinya, Volume 1 Hukum Tanah Nasional, Percetakan Kesembilan,
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003)
[5] Hatta, Moh., Hukum Pertanahan Dalam Otonomi Daerah,
file: /// C: /Users/user/Downloads/94-180-1-SM.pdf
[6] http://www.bpn.go.id/Layanan-Publik/Program/Reforma-Agraria
[7] KPA dan Bina Desa, Mempertanyakan "Pembaruan Agraria" Jokowi-JK, berjudul
"Plus-Minus Rencana Redistribusi Tanah Pemerintah Jokowi-JK "tertanggal 1 April 2015 di
Hotel Orion,
pembicara utama, Iwan Nurdin, Budiman Sudjatmiko dan Gunawan Wiradi dengan Soedino
responden , MP Tjondronegoro dan Dwi Astuti.http:

1028
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com
Implementation and Implications of Agrarian Reform in Indonesia

//www.kpa.or.id/news/blog/menyoal-reforma-agraria-jokowi-jk/ (Diakses pada 17 September


2017)
[8] Lee Peluso, N., Afiff, S., & Rachman, NF (2008). Mengklaim dasar reformasi:
gerakan agraria dan lingkungan di Indonesia. Jurnal Perubahan Agraria, 8 (2‐3), 377-407.
[9] Lisdiyono, E. 2017. Menjelajahi kekuatan kearifan lokal dalam upaya untuk
memastikan ketahanan lingkungan. Jurnal Internasional Teknik Sipil dan Teknologi 8 (11),
pp. 340-347

[10] Lucas, A., & Warren, C. (2003). Negara, rakyat, dan mediator mereka: Perjuangan
reformasi undang-undang agraria di paska baru Indonesia. Indonesia, (76), 87-126.
[11] Sihombing, BF, Teori Evolusi Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Cetakan
Kelima, (Jakarta: FHUP Press, 2016).
[12] Sihombing BF (2017). Reformasi Agraria di Indonesia: Tinjauan Yustis. Internasional
Jurnal Teknik Sipil dan Teknologi, 8 (11), hlm 348–356.
[13] Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Metode Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006)
[14] Prof. Anish K. Ravi. Apakah Kisah Pertumbuhan Real India Pedesaan? Atau Apakah
Menunggu nya Pembagian Reformasi? International Journal of Management, 6 (11), 2015,
hlm. 45-50.
[15] Dr. Priti Bakhshi, Reformasi Sektor Keuangan: Harus untuk Pertumbuhan
Berkelanjutan dari LKNB-LKM di India. International Journal of Management, 7 (3), 2016,
hlm 185-190.
[16] SP Gandhi dan Sanjay Patel. Reformasi Kering Metana atas Nikel yang Didukung
Katalis Dipromosikan oleh Zerconia, Ceria dan Magnesia. Jurnal Internasional Lanjutan
Penelitian di bidang Teknik dan Teknologi, 6 (10), 2015, hlm 131-146.
[17] BF Sihombing, Reformasi Agraria di Indonesia: Tinjauan Yustis. Jurnal Internasional
Teknik Sipil dan Teknologi, 8 (11), 2017, hlm 348–356.
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp 1029 editor@iaeme.com
[1] 8(11), 2017, pp. 348–356.

1029
http://www.iaeme.com/IJMET/index.asp editor@iaeme.com

Anda mungkin juga menyukai