Anda di halaman 1dari 17

RIBA

Ditunjukan untuk Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Hukum Bisnis Syariah

Dosen Pengampu : H. Ahmad Khoerudin, Lc., M.H.

Disusun Oleh :

1. Muhamad Luthfi Amin (1708203087)


2. Mustika Ramdaniah (1708203092)
3. Rani Nurfitri (1708203091)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdullilahirabbil 'alamin, puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah sebagai tugas terstruktur kami dalam mata kuliah Hukum Bisnis Syariah dengan
judul “Riba”. Tak lupa pula sholawat serta salam selalu kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya,para tabi'in dan semoga sampai kepada kita
selaku umatnya. Aamiin.

Terlepas dari itu, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak
kekurangan, oleh karenanya kami mohon untuk kritik dan saran pembaca agar makalah ini
menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Cirebon, 28 September 2018

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................I


DAFTAR ISI......................................................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2
A. Pengertian Riba ........................................................................................................................... 2
B. Macam-macam Riba ................................................................................................................... 2
C. Dampak Negatif dari Riba .......................................................................................................... 5
D. Hukum Bunga Bank Konvensional............................................................................................. 7
E. Fatwa DSN-MUI Tentang Bunga Bank ...................................................................................... 7
F. Perbedaan Konsep Bunga dan Konsep Bagi Hasil ................................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 12
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 14

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah “riba” merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat
khususnya umat Islam. Allah SWT memberikan rizki kepada manusia untuk dimanfaatkan
dengan cara yang halal dan terhindar dari segala perbuatan yang mengandung riba. Dalam
Islam, memungut atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Hal
tersebut sudah jelas diatur dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 275. Para ulama juga
menetapkan dengan tegas tentang pelarangan riba karena didalamnya terdapat unsur
eksploitasi dan merugikan orang lain.
Riba sangat erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi (muamalah) yang dilakukan
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kita sebagai manusia harus jeli dan
mampu memahami seluk beluk riba sehingga dapat menghindari perbuatan-perbuatan yang
mengandung unsur riba.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian riba?


2. Apa saja macam-macam riba?
3. Bagaimana dampak negatif dari riba?
4. Bagaimana hukum bunga bank konvensional?
5. Bagaimana fatwa DSN-MUI tentang bunga bank?
6. Bagaimana perbedaan konsep bunga dan konsep bagi hasil?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari riba.


2. Mengetahui macam-macam riba.
3. Mengetahui bagaimana dampak negatif riba.
4. Mengetahui hukum bunga bank konvensional.
5. Mengetahui fatwa DSN-MUI tentang bunga bank.
6. Mengetahui perbedaan konsep bunga dan konsep bagi hasil.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba

Riba menurut bahasa adalah az-ziyadah yang berarti kelebihan atau tambahan.
Riba juga berarti an-nama’ yang berarti tumbuh atau berkembang seperti yang terdapat
dalam firman Allah SWT QS Al-Hajj (22:5)
ْ ‫ت َوأَ ْن َبت‬
ٍ‫َت ِم ْن ُك ِل زَ ْوجٍ َب ِهيج‬ ْ ‫فَإِذَا أ َ ْنزَ ْلنَا َعلَ ْي َها ْال َما َء ا ْهت ََّز‬
ْ ‫ت َو َر َب‬
“Maka apabila telah kami turunkan air hujan diatasnya, hiduplah bumi itu dan
menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis pasangan tumbuhan yang indah.”
Pengertian riba menurut istilah ialah kelebihan harta dengan tidak ada kompensasi pada
tukar menukar harta dengan harta. Menurut Sayid Sabiq riba adalah tambahan terhadap
modal sedikit ataupun banyak. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat riba adalah
penambahan dari salah satu dari dua barang sejenis yang diperuntukan tanpa ada
kompensasi terhadap tambahan tersebut. Dengan demikian riba adalah tambahan
pembayaran dari modal pokok yang disyaratkan bagi salah seorang atau dari dua orang
yang berakad.1

B. Macam-macam Riba

Berdasarkan praktik yang berlaku di masa kehidupan islam serta dengan tetap
memandang dari Hadits Nabi Muhammad SAW, riba dibedakan menjadi dua. Yaitu riba
dalam jual beli (barter) dan riba dalam utang piutang.
a. Riba dalam jual beli
Menurut jumhur ulama Hanafi, Maliki dan Hambali dibagi dua yaitu:
1. Riba Nasiah
Riba Nasi’ah menurut Wahbah Al-Zuhaily ialah penambahan harga atas
barang kontan akibat penundaan waktu pembayaran atau bisa disebut juga
penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap benda yang
berbeda jenis yang ditimbang maupun di takar atau terhadap barang sejenis
yang tidak ditakar atau ditimbang. Semua ini telah diatur Allah SWT dalam
QS Ali-imran ayat 130:

1
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2017) hal.241

2
َ‫َّللاَ لَ ََعلَّ ُك ْم َت ُ ْف ِلحُون‬
َّ ‫َضا َعفَة ۖ َواَتَّقُوا‬ ِ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َل َتَْأ ْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الِّر َبا أ‬
َ ‫ْض ََعافا ُم‬
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
2. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah nama bunga pada transaksi barter komoditas. Ribanya
terletak pada pembayaran tambahan oleh debitur kepada kreditur dalam
pertukaran komoditas sejenis. Seperti gandum dengan gandum, kurma dengan
kurma, dsb2 dengan kata lain riba fadhl merupakan tukar menukar barang yang
sejenis namun tidak sama kualitasnya. Misalnya, pinjam meminjam 1 liter
beras dolog (kualitas rendah) harus diganti dengan 1 liter beras solok (kualitas
baik).
Pada dasarnya tukar menukar benda sejenis dibolehkan dalam islam.
Dengan syarat harus sama ataupun sebanding antara kualitas dan kuantitasnya.
Berdasarkan hadits, para fuqaha sepakat atas haramnya riba fadhl pada 6
kelompok harta ribawi yaitu: emas, perak, gandum, jagung, kurma, garam.
Illat diharamkannya tukar menukar yang tidak seimbang kuantitas dan kualitas
pada 6 jenis benda tersebut adalah benda yang ditakar (makilat) dan benda
yang ditimbang (mauzunat). Termasuk jenis barang tersebut adalah beras,
kopi, gula, teh, terigu, kacang-kacangan dan tunai. Kemudian illat
diharamkannya tukar menukar emas (dinar) dan perak (dirham) yang tidak
imbang kualitas dan kuantitasnya serta tidak tunai karena keduanya
merupakan alat tukar (naqdain). 3
Pada zaman sekarang muncul transaksi tukar menukar uang rupiah
dengan rupiah. Transaksi ini biasanya marak dilakukan menjelang lebaran.
Dalam transaksi ini biasanya yang menukar uang akan dikenakan fee sebesar
10%. Misalnya uang pecahan 10.000 senilai 1 juta harganya menjadi
1.100.000 rupiah. Bentuk transaksi ini mengandung riba karena ada kelebihan
pada tukar menukar barang sejenis.
Berbeda halnya dengan transaksi tukar menukar valuta asing (valas)
pada jual beli valuta asing, nilai tukar uang dalam negeri akan berbeda dengan

2
Muhammad Syarif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012) hal. 223
3
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2017) hal.244

3
nilai tukar uang asing (dolar AS). Keuntungan dari jual beli valuta asing tidak
mengandung riba karena adanya perbedaan nilai tukar rupiah.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i riba dalam jual beli dibagi
menjadi 3 macam. Yaitu:
1. Riba Fadhl
Tukar menukar barang ribawi yang sejenis dengan adanya tambahan pada
salah satu barang tersebut.
2. Riba Yad
Tukar menukar barang ribawi yang sejenis atau tidak sejenis tetapi masih
memiliki illah riba yang sama dengan tanpa adanya serah terima barang di
lokasi transaksi.
Menurut Sulaiman Rasyid, jika ada dua orang yang melakukan jual beli atau
bertukar barang, tapi salah satu dari mereka pergi atau berpisah sebelum
ditimbang dan melakukan serah terima disebut riba yad. Menurut Ibnu
Qayyim, dalam jual beli, jika ada dua orang yang berpisah sebelum serah
terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba.4
3. Riba Nasa
Tukar menukar barang ribawi yang sejenis atau tidak sejenis tetapi masih
memiliki illah riba yang sama dengan cara pembayaran yang tidak kontan
walaupun terjadi serah terima barang di lokasi. Contoh kasusnya yaitu, Aisah
membeli daging sapi seberat 10 kg dengan harga 700.000 secara tangguh
dengan bunga sebesar 20.000 (artinya, ia mengambil dagingnya hari ini, tetapi
harus membayar sebesar 720.000 bulan depan). Riba an-Nasa’ juga disebut
sebagai riba an-Nasiah.
Menurut beberapa pendapat ahli fiqih adapun yang termasuk jenis barang
ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur sayuran dan buah-buahan.
Ketentuan tukar menukar antar barang-barang ribawi adalah sebagai berikut:
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendw dalam jumlah dan kadar
yang sama. Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli.

4
http://tugasmks.blogspot.com/2011/03/jual-beli-yang-mengandung-unsur-riba.html, diakses pada 28
September 2018

4
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berbeda jenis diperbolehkan
dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada
saat akad jual beli. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan
pakaian.
3. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa
persamaan dan diserahkan pada waktu akad. Misalnya pakaian dan barang
elektronik.
b. Riba dalam utang piutang
1. Riba jahiliyah
Riba ini terdapat pada hutang yang dibayar melebihi pokoknya. Biasanya hal
semacam ini dikenakan jika si penghutang tidak dapat membayar uang pada
waktu yang telah disepakati. Jadi penambahan bunga disetiap bulannya akan
bertambah besar sejalan dengan lebih mundurnya waktu pelunasan hutang.
Sistem ini juga dikenal dengan istilah mudha’afah (melipatgandakan uang)
2. Riba Qardh
Pengertian riba qardh adalah adanya manfaat yang disyaratkan pada si
peminjam pada saat ingin berhutang uang maupun barang. Contoh dari riba
qardh adalah Anggi meminjam uang kepada Satria sebesar 200.000. satria
menyetujui pinjaman Anggi dengan syarat Anggi harus mengembalikan uang
itu sebesar 220.000. kelebihan 20.000 itu termasuk ke dalam riba qardh.

C. Dampak Negatif dari Riba

1. Dampak Ekonomi
a. Inflasi
Komponen bunga dimasukkan kedalam komponen biaya. Perusahaan yang
memperoleh pinjaman dari bank harus membayar sejumlah bunga. Biaya
bunga dibebankan kepada komponen harga pokok. Harga pokok akan
berpengaruh pada harga jual barang, sehingga harga jual barang meningkat
karena didalamnya ada unsur bunga yang dibebankan kepada pembeli.
Secara nasional pembebanan bunga kepada pembeli akan menaikkan harga
sehingga dapat menyebabkan inflasi.5

5
Ismail, Perbankan Syariah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2011, hlm.17.

5
b. Ketergantungan ekonomi
Peminjam akan selalu membayar bunga kepada pihak pemberi pinjaman.
Pada umumnya pembayaran pinjaman tidak dilakukan sekaligus,
melainkan dengan cara cicilan. Angsuran/cicilan terdiri dari unsur
pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunga dalam waktu yang
telah ditentukan. Peminjam cenderung akan melakukan pinjaman lagi
setelah pembayaran pinjaman telah lunas, sehingga menimbulkan
ketergantungan bagi peminjam terhadap pihak pemberi pinjaman.
Pembayaran pokok akan mengurangi sisa pinjamannya, tetapi pembayaran
bunga merupakan beban bagi pihak peminjam. Contoh paling nyata adalah
utang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun
disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah pada akhirnya
negara-negara yang berhutang harus berhutang lagi untuk membayar
bunga dan pokoknya. Sehingga terjadi hutang yang terus menerus.6
2. Dampak Sosial
a. Ketidakadilan
Dengan adanya bunga yang harus dibayarkan kepada pihak pemberi
pinjaman, maka pemberi pinjaman akan menerima bunga tersebut sebagai
pendapatan namun pihak peminjam akan membayar bunga tersebut
sebagai pengeluaran. Dalam hal ini timbul ketidakadilan karena peminjam
akan selalu dirugikan karena terbebani oleh bunga akibat uang yang
dipinjam.
b. Ketidakpastian
Peminjam akan selalu membayar bunga sesuai dengan presentase yang
telah dijanjikan. Pembaeri pinjaman tidak mempertimbangkan apakah
dana yang dipinjamkan kepada peminjam telah digunakan untuk usaha
dan menghasilkan keuntungan. Pemberi pinjaman mendapat keuntungan
meskipun peminjam mengalami kerugian. Disinilah terdapat unsur
ketidakpastian bagi peminjam apakah akan mendapat keuntungan atau
kerugian. Jika peminjam mendapatkan keuntungan maka sudah
seharusnya peminjam membagi hasil dari keuntungannya, dan apabila

6
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Gema Insani, Depok, 2003, hlm.112.

6
peminjam mengalami kerugian maka peminjam tidak perlu membayar
tambahan kepada pihak pemberi pinjaman.

D. Hukum Bunga Bank Konvensional

Tentang status hukum bunga bank konvensional diantaranya ada beberapa pendapat :
1) Pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga bunga
hukumnya boleh.7 Para pendukung pendapat kedua ini juga memiliki beberapa
variasi pandangan yaitu:
 Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram dan bunga produktif
tidak sama dengan riba hukumnya halal.
 Bunga yang diperbolehkan dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba,
hukumnya halal.
 Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank, hukumnya
boleh.
 Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih
dahulu secara umum.
2) Pendapat lain yang mengatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat. Ketetapan
hukum syubhat membawa konsekuensi pada usaha sekuat mungkin untuk
meninggalkan bunga kecuali dalam kondisi tertentu maka tidak mengapa untuk
bertransaksi berdasarkan bunga.8
Munculnya keraguan di kalangan umat Islam tentang masalah bunga bank
menjadi latar belakang MUI mengeluarkan fatwa tentang hukum bunga bank melalui
fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 , dimana MUI mengeluarkan fatwa bahwa hukum
bunga bank adalah haram.

E. Fatwa DSN-MUI Tentang Bunga Bank

Dalam Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 dijelaskan pengertian bunga (interest)
adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti dimuka, dan pada
umumnya berdasarkan presentase. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang
terjadi karena penundaan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, ini disebut

7
Yoyok Prasetyo, Ekonomi Syariah, Aria Mandiri Group, Bandung, 2018, hlm.148.
8
Ibid., hlm.148

7
riba nasi’ah. Fatwa MUI telah menetapkan hukum bunga (interest). Praktik pembungaan
uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw.,
yaitu riba nasi’ah. Praktik pembungaan ini termasuk salah satu bentuk riba, dan haram
hukumnya. Penggunaan tersebut hukumnya haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi,
pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan
individu. Bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional untuk wilayah yang
sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syaria’ah dan mudah di jangkau, tidak
diperkenankan melakukan transaksi yang didasarkan pada perhitungan bunga. Untuk
daerah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah, di perkenankan
melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip
darurat/hajat.
Pada bulan Desember 2003 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa
tentang riba. Yaitu antara lain:
1. Bunga bank itu haram karena bunga seperti ini telah memenuhi kriteria riba yang
diharamkan Al-Qur’an.
2. Didaerah yang belum terdapat lembaga keuangan syariah, maka lembaga keungan
konvensional tetap diperbolehkan atas dasar darurat. Prof. Dr. Ali Mustopa Yakub
mengatakan bahwa fatwa tersebut merupakan bentuk keringanan dari syariat, namun
tidak bisa seterusnya dianggap darurat.
3. Orang yang bekerja dilembaga keuangan konvensional, tetap diperbolehkan sebelum
ia mendapatkan pekerjaan baru sesuai dengan syariah.
Guru besar IPB, Prof. Dr. Didin Hafidhudin ada sebuah penelitian di NEF
(The New Ekonomic Federation) karena sistem ekonomi sekarang ini adalah sistem
ribawi, bergerak kepada kesenjangan yang semakin melebar. Dari pengamatan selama
20 tahun, ternyata duafa hanya menikmati 0,4 persen dari kekayaan yang ada,
sementara orang kaya menikmati 99,4 persen sampai saat ini para ulama di dunia
masih berbeda pendapat tentang ayat riba. Ada yang menyebut bunga bank haram,
tetapi ada juga yang menyebut halal.
Ulama yang berpandangan bunga bank haram, karena bunga bank melebihi
apa yang telah ditentukan dari pinjaman. Adapun ulama yang berpandangan bahwa
bunga bank itu halal, karena bank itu untuk kemaslahatan orang ramai, bukan untuk
kepentingan pribadi. Akan tetapi ulama yang menganggap bahwa bunga bank itu halal
itu tetep menganggap bahwa bunga bank itu subhat. Mantan ketua fatwa MUI K.H.
Ma’ruf Amin menjelaskan latar belakang dikeluarkannya fatwa tersebut adalah
8
banyaknya orang yang bertanya tentang bunga bank sehingga MUI meresponnya
dengan cara mengeluarkan fatwa tersebut. Dalam berbagai forum internasional yang
dilakukan oleh para ulama menegaskan bahwa bunga bank itu haram. Majmul fiqh di
jedah tahun 1895 menetapkan bunga bank itu haram. Dengan demikian, menurut
Yusuf Qardhawi, ketetapan bunga bank haram itu merupakan kesepakatan berbagai
forum.
Dalam Al-Qur’an Allah melarang riba dan menganjurkan jual beli diantaranya
yaitu Allah berfirman:
1) Surat Al-Baqarah: 275-280:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Oarang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka daan
tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, betakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

9
2) Surat Al-imron: 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 77/DSN-MUI/IV/2010 tentang jual
beli emas secara tidak tunai:
Hukum:
Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa maupun melalui
jual beli murabahah, hukum nya boleh (mubah Jaiz) selama emas tidak menjadi alat
tukar yang resmi (uang).
Batasan dan ketentuan:
1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian
meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
2. Emas yang di beli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).
3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh
dijual belikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan
kepemilikan.
Ketentuan penutup:
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.

F. Perbedaan Konsep Bunga dan Konsep Bagi Hasil

Islam mendorong pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh pertumbuhan usaha


riil. Pertumbuhan usaha riil akan memberikan pengaruh positif pada pembagian hasil
yang diterima oleh beberapa pihak yang melakukan usaha. Pembagian hasil usaha
dapat di aplikasikan dengan model bagi hasil. Bagi hasil yang diterima atas hasil
usaha, akan memberikan keuntungan bagi pemilik modal yang menempatkan dananya
dalam kerja sama usaha.
Bunga juga memberikan keuntungan kepada pemilik dana atau investor.
Namun keuntungan yang diperoleh pemilik dana atas bunga tentunya berbeda dengan
keuntungan yang diperoleh dari bagi hasil. Keuntungan yang berasal dari bunga
sifatnya tetap tanpa memperhatikan hasil usaha pihak yang dibiayai, sebaliknya
keuntungan yang berasal dari bagi hasil akan berubah mengikuti hasil usaha pihak yag

10
mendapatkan dana. Dengan sistem bagi hasil, kedua pihak antara pihak investor dan
pihak penerima dana akan menikmati keuntungan dengan pembagian yang adil.
Secara garis besar, perbedaan bunga dan bagi hasil dapat dilihat dari tabel
dibawah ini:

Bunga Bagi Hasil


Banyaknya bunga ditetapkan pada saat Bagi hasil ditetapkan dengan rasio
perjanjian dan mengikat kedua pihak nisbah yang disepakati antara pihak
yang melaksanakan perjanjian dengan yang melaksanakan akad pada saat
asumsi bahwa pihak penerima akad dengan berpedoman adanya
pinjaman akan selalu mendapatkan kemungkinan keuntungan atau
keuntungan. kerugian.
Besarnya bunga yang diterima Besarnya bagi hasil dihitung
berdasarkan perhitungan presentase berdasarkan nisbah yang diperjanjikan
bunga dikalikan dengan jumlah dana dikalikan dengan jumlah pendapatan
yang dipinjamkan. dan/atau keuntungan yang diperoleh.
Jumlah bunga yang diterima tetap, Jumlah bagi hasil akan dipengaruhi
meskipun usaha peminjam meningkat oleh besarnya pendapatan dan/atau
atau menurun. keuntungan. Bagi hasil akan
berfluktuasi.
Sistem bunga tidak adil, karena tidak Sistem bagi hasil adil, karena
terkait dengan hasil usaha peminjam. perhitungannya berdasarkan hasil
usaha.
Eksistensi bunga diragukan oleh semua Tidak ada agama satupun yang
agama. meragukan sistem bagi hasil.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Riba adalah tambahan pembayaran dari modal pokok yang disyaratkan bagi salah
seorang atau dari dua orang yang berakad.
2. Riba dibedakan menjadi dua yaitu riba dalam jual beli (barter) dan riba dalam utang
piutang. Menurut jumhur ulama Hanafi, Maliki dan Hambali riba dalam jual beli dibagi
dua yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl sedangkan menurut madzhab Syafi’i riba dalam
jual beli dibagi menjadi 3 macam, yaitu riba fadhl, riba yad dan riba nasa (nasi’ah).
Adapun riba dalam utang piuatang dibagi menjadi dua yaitu riba jahiliyah dan riba
qardh.
3. Islam melarang praktek riba karena memberikan dampak negatif terhadap ekonomi
maupun sosial masyarakat diantaranya yaitu inflasi, ketergantungan ekonomi,
ketidakadilan dan ketidakpastian yang dapat merugikan masyarakat.
4. Hukum bunga bank memliki beberapa versi, ada pendapat yang yang mengatakan
bahwa hukum bunga bank itu boleh ada pula yang mengatakan hukum bunga bank
adalah syubhat. Dalam hal ini MUI mengeluarkan fatwa tentang hukum bunga bank
melalui fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 , dimana MUI mengeluarkan fatwa bahwa
hukum bunga bank adalah haram.
5. Fatwa MUI telah menetapkan hukum bunga (interest). Praktik pembungaan uang saat
ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw., yaitu riba
nasi’ah. Praktik pembungaan ini termasuk salah satu bentuk riba, dan haram hukumnya.
Penggunaan tersebut hukumnya haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar
modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan
individu. Bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional untuk wilayah yang
sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syaria’ah dan mudah di jangkau, tidak
diperkenankan melakukan transaksi yang didasarkan pada perhitungan bunga. Untuk
daerah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah, di perkenankan
melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip
darurat/hajat.
6. Dalam hal ini islam mendorong praktik bagi hasil dan mengharamkan riba. Meskipun
keduanya sama-sama memberi keuntungan, namun konsep bunga dan bagi hasil
memliliki perbedaan yaitu keuntungan yang berasal dari bunga sifatnya tetap tanpa
12
memperhatikan hasil usaha pihak yang dibiayai, sebaliknya keuntungan yang berasal
dari bagi hasil akan berubah mengikuti hasil usaha pihak yag mendapatkan dana.
Dengan sistem bagi hasil, kedua pihak antara pihak investor dan pihak penerima dana
akan menikmati keuntungan dengan pembagian yang adil.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rozalinda. 2017. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Syarif Chaudry, Muhammad. 2012. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Prasetyo, Yoyok. 2018. Ekonomi Syariah, Bandung: Aria Mandiri Group.
Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif. Depok: Gema Insani.
Sri Imaniyati, Neni. 2010. Aspek-aspek Hukum BMT. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Kamal Rokan, Mustafa. 2013. Bisnis Ala Nabi. Yogyakarta: PT Bentang Pusaka.
Antonio Syafi'i, Muhammad. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press.
http://tugasmks.blogspot.com/2011/03/jual-beli-yang-mengandung-unsur-riba.html, diakses
pada 28 September 2018
https://saripedia.wordpress.com/tag/fatwa-mui-no-1-tahun-2004/, diakses pada 28 September
2018

14

Anda mungkin juga menyukai