Anda di halaman 1dari 8

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan yang utama di

seluruh dunia. Tuberkulosis telah dideklarasikan oleh World Health Organization

(WHO) sebagai masalah kesehatan global yang emergensi selama hampir 20

tahun (WHO, 2013).

Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2013, terdapat perkiraan angka

kejadian TB di seluruh dunia tahun 2012 sebesar 8,6 juta (antara 8,3 juta-9,0 juta),

sebanding dengan 122 kasus per 100.000 populasi. Perkiraan angka kejadian TB

di Indonesia tahun 2012 sebesar 460.000 (380.000-540.000), sebanding dengan

185 kasus per 100.000 populasi. Angka kejadian TB di Indonesia menempati

peringkat keempat di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan (WHO, 2013).

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 yang dilakukan oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/ Litbangkes (2013), prevalensi

penduduk Indonesia yang didiagnosis tuberkulosis paru oleh tenaga kesehatan

tahun 2013 sebesar 0,4%. Besarnya prevalensi ini masih di posisi yang sama jika

dibandingkan dengan prevalensi tb paru tahun 2007. Lima provinsi dengan TB

paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), Jakarta (0,6%), Gorontalo

(0,5%), Banten (0,4%) dan Papua Barat (0,4%) sedangkan prevalensi TB paru di

Yogyakarta adalah sebesar 0,3% (Litbangkes, 2013).

Berdasarkan data dari WHO (2013) kematian di dunia akibat TB mencapai

1,3 juta jiwa dengan angka mortalitas TB di dunia sebesar 13 kasus per 100.000

1
2

populasi. Indonesia mempunyai angka mortalitas yang lebih tinggi yaitu sebesar

27 kasus per 100.000 populasi.

Menurut WHO (2013), perkiraan terjadinya kasus baru multi drug

resistant tuberculosis (MDRTB) di dunia tahun 2012 adalah sebesar 450.000

(berkisar 300.000-600.000). Hal ini meliputi semua kasus MDRTB yang primer

dan sekunder. Indonesia berada di peringkat 8 dari 27 negara dengan beban

MDRTB terbanyak di dunia dengan perkiraan pasien MDRTB di Indonesia

sebesar 6.900, yaitu sebesar 1,9% dari kasus baru dan 12% dari kasus pengobatan

ulang. Kematian akibat MDRTB pada tahun 2012 kurang lebih 170.000

kematian. Kurang lebih 75% kematian akibat TB terjadi di daerah Afrika dan

wilayah Asia Tenggara.

Case detection rate (CDR) untuk TB merupakan salah satu indikator yang

termasuk dalam Millenium Development Goals (MDGs). Case detection rate

dihitung berdasarkan jumlah kasus TB paru dan TB kambuh yang dinotifikasi

oleh National Tuberculosis (Control) Programme (NTP). Angka CDR TB secara

global tahun 2012 adalah sebesar 66% (dengan rentang 64-69%) (WHO, 2013).

Robert Koch‟s pada tahun 1882 menemukan Mycobacterium tuberculosis

(M. tuberculosis) sebagai penyebab mikrobial dari tuberkulosis. Penemuan ini

menyebabkan adanya metode identifikasi pengecatan bakteri untuk spesimen

klinik, karena bakteri ini bisa dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya

(Dorman, 2010). Penyakit ini terutama menyerang paru-paru, walaupun bisa juga

mempengaruhi hampir semua bagian tubuh (Rossman dan Kreider, 2006). Lebih

dari 90% orang yang terinfeksi M. tuberculosis merupakan infeksi laten yang
3

asimptomatik. Risiko terjadinya penyakit aktif diperkirakan 5% dalam waktu 18

bulan setelah infeksi awal dan kurang lebih 5% selama sisa hidupnya (Zumla et

al., 2013).

Gambaran klinis klasik TB pulmonal meliputi batuk kronik, produksi

sputum, penurunan berat badan, kehilangan selera makan, demam, keringat

malam, dan hemoptisis. Tuberkulosis ekstrapulmonal terjadi pada 10-42% pasien,

tergantung pada ras atau latar belakang etnik, umur, ada tidaknya penyakit yang

mendasari, genotip dari strain M. tuberculosis, dan status imunitas. Tuberkulosis

ekstrapulmonal dapat mempengaruhi semua organ tubuh, mempunyai variasi

dalam manifestasi klinik (Zumla et al., 2013).

Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sputum dengan uji kepekaan obat

direkomendasikan sebagai metode standar untuk diagnosis TB aktif (National

Institute for Health and Clinical Excellence/ NICE, 2011; Zumla et al., 2013).

Pengambilan sputum minimal tiga kali (salah satunya sampel pagi hari) untuk

dilakukan pemeriksaan mikroskopik dan kultur. Untuk diagnosis TB aktif

ekstrapulmonal perlu dilakukan biopsi dan aspirasi jarum (NICE, 2011).

Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan yang sederhana dan cepat

untuk deteksi bakteri tahan asam (BTA) dan telah digunakan secara luas untuk

diagnosis TB. Untuk pemeriksaan sputum, diperlukan sekitar 5 mL sputum

pasien, dan kemudian diapus pada gelas obyek dan diwarnai dengan pewarnaan

BTA kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Metode pewarnaan BTA yang

paling sering digunakan di laboratorium mikrobiologi merupakan metode Ziehl-


4

Neelsen (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease/ IUATLD,

2000; Kim et al., 2003).

Pada laboratorium mikrobakteriologi klinik, pemeriksaan apusan

sederhana secara mikroskopik mempunyai beberapa kekurangan. Prosedur

pengecatan untuk BTA sensitif, sehingga menyebabkan beberapa variasi pada

hasilnya. Variasi day-to-day dan inter-technologist dalam proses pengecatan BTA

merupakan salah satu hal yang mempengaruhinya. Pengecatan sputum secara

manual juga memerlukan waktu yang lama (Kim et al., 2003).

Beberapa penelitian menunjukkan perbandingan metode otomatik dengan

metode manual untuk pengecatan BTA. Penelitian Kim et al. (2003) menunjukkan

bahwa pengecatan BTA secara manual lebih superior dibandingkan dengan

pengecatan secara otomatik. Dari 9 spesimen sputum terbaca sebagai „exact no’

dengan metode manual, maka dengan metode otomatik 4 spesimen terbaca

negatif, 3 spesimen terbaca sebagai „exact no‟ dan 2 spesimen terbaca sebagai „+‟.

Angka deteksi tuberkulosis dengan pengecatan otomatik lebih rendah

dibandingkan dengan pengecatan secara manual, walapun hal ini tidak berbeda

bermakna secara statistik.

Penelitian Kim et al. (2008) yang dilakukan pada apusan sputum

konsentrasi menunjukkan bahwa hampir setengah (49,5%) apusan otomatik

dengan teknik Mycohol mempunyai grade yang lebih rendah jika dibandingkan

dengan manual. Hal ini menunjukkan bahwa alat otomatik (Aerospray 7720)

mempunyai penampilan yang kurang baik dalam pengecatan BTA pada spesimen

sputum yang terkonsentrasi.


5

Clancey et al. (1976) membandingkan pengecatan apusan pemeriksaan

BTA secara manual dan menggunakan mesin otomatik dengan menggunakan cat

auramine-phenol solution. Dalam penelitian ini hasil pembacaan apusan antara

manual dan secara mesin mirip, akan tetapi kontras antara bakteri dan latar

belakang apusan otomatik slebih baik (Clancey et al., 1976).

Salah satu usaha dalam meminimalkan variasi dalam pengecatan BTA

adalah dengan menggunakan pengecatan BTA secara otomatik. Salah satu alat

yang sudah dikomersialkan adalah Aerospray 7722, Wescor, France.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Tuberkulosis merupakan masalah global terutama di negara berkembang

dengan M. tuberculosis sebagai penyebab

2. Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan yang sederhana dan cepat

untuk deteksi BTA dan telah digunakan secara luas untuk diagnosis TB akan

tetapi kebanyakan pengecatan masih dilakukan secara manual

3. Angka deteksi tuberkulosis dengan metode otomatik penelitian sebelumnya

tidak berbeda dengan metode manual. Di Indonesia, khususnya di Yogyakarta

belum diketahui apakah terdapat perbedaan angka deteksi tuberkulosis paru

melalui pengecatan bakteri tahan asam metode otomatik dengan manual.


6

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah angka deteksi tuberkulosis paru pengecatan BTA metode otomatik

tidak berbeda jika dibanding metode manual?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara pengecatan

BTA secara otomatik dan secara manual dalam mendeteksi TB paru.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai pemeriksaan BTA sudah dilakukan oleh beberapa

penelitian sebelumnya dengan hasil bervariasi. Beberapa penelitian tersebut dapat

dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Penelitian-penelitian terkait yang telah dilakukan


No. Peneliti Judul Hasil Penelitian
1 Clancey et Comparison of machine Populasi: Spesimen sputum dan spesimen lain
al., 1976 and manual staining of Metode: Pengecatan BTA menggunakan
direct smears for acid- auramine-phenol solution dengan cara manual
fast bacilli by dan otomatik
fluorescence microscopy Hasil:
- Hasil pembacaan apusan secara manual dan
otomatik serupa (di Lusaka ditemukan 78,2%
apusan negatif dengan manual dan 77,9%
dengan otomatik; di London pada pasien
dengan TB positif didapatkan apusan negatif
29,6% pada pengecatan manual dan 27,9% pada
pengecatan otomatik)
- Terdapat kontras yang lebih baik antara
bakteri dan latar belakang pada apusan dengan
otomatik
2 Heimer et Staining clinical Populasi: 95 spesimen rutin
al., 1978 specimens for acid-fast Metode: Pengecatan BTA menggunakan
bacilli by means of a prosedur pengecatan auramine secara otomatik
mechanical conveyor (Cyto-Tek staining machine) dan manual
system Hasil:
-Tidak ada transfer BTA dari apusan positif ke
apusan negatif pada pengecatan otomatik
-Dari 95 spesimen, terdapat 3 apusan yang
dengan metode manual hasil negatif sedangkan
dengan metode otomatik hasil positif
7

Lanjutan Tabel 1
No. Peneliti Judul Hasil Penelitian
3 Kim et al., Development and Populasi: 91 spesimen sputum dari pasien
2003 evaluation of an tuberkulosis
automated stainer for Metode: pengecatan BTA dengan pengecatan
acid-fast bacilli ZN secara manual dan otomatik (autostainer),
37 spesimen menggunakan apusan langsung,
54 spesimen dikonsentrasikan dulu sebelum
preparasi.
Hasil:
- Angka konkordansi untuk apusan langsung
97,3%, spesimen terkonsentrasi 92,6% dan
keseluruhan 94,5%
- Angka deteksi manual untuk apusan
langsung 16,2%, spesimen terkonsentrasi
33,3%, keseluruhan 26,4%
- Angka deteksi otomatik untuk apusan
langsung 18,9%, spesimen terkonsentrasi
40,7%, keseluruhan 31,9%

4 Kim et al., Evaluation of an acid- Populasi: 109 spesimen sputum terkonsentrasi


2008 fast bacilli autostainer Metode: Pengecatan BTA dengan pengecatan
for concentrated sputum fluorescence secara manual dan otomatik
sme.ars (dengan Mycohold dan tanpa
Mycohold)(Aerospray 7720)
Hasil:
- Hampir setengah (49,5%) apusan otomatik
dengan Mycohold mempunyai grade yang
lebih rendah dibanding dengan apusan manual.
- Dari seluruh apusan yang tercat negatif
dengan Mycohold terdapat 12,9% dengan
negatif palsu yang tinggi dan 30,6% dengan
negatif palsu yang rendah
5 Purusotha- Comparative efficacies Populasi: 145 sampel sputum pada pasien
man et al., of three acid-fast dengan gejala tuberkulosis
2009 staining techniques Metode: Pengecatan BTA dengan ZN,
under field conditions for modified ZN, dan cold staining
Mycobacterium Hasil:
tuberculosis in the Indian - Metode cold staining lebih baik daripada
context modified ZN
- Sensitivitas, spesifisitas, dan efikasi modified
ZN adalah 77,92%; 91,18% dan 84,14%
6 Balakrish- Comparative study of Populasi: 200 spesimen sputum pasien suspek
na et al., different staining tuberkulosis
2013 techniques-Ziehl Neelsen Metode: pengecatan BTA dengan ZN, Gabbet,
stain, Gabbet’s stain, dan fluorochrome
fluorochrome stain for Hasil: Hasil positif untuk pengecatan ZN 37
detecting of (18,5%), Gabbet 33 (16,5%), fluorochrome 47
Mycobacterium (23,5%)
tuberculosis in the Sensitivitas pengecatan Gabbet 89,18% dan
sputum fluorochrome 94,87%
8

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi dokter (klinisi)

Memberikan pilihan metode pemeriksaan BTA yang paling baik dan

akurat bagi pasien yang mendukung pengendalian penyakit TB paru.

2. Bagi pasien (masyarakat)

Dengan adanya pemeriksaan BTA yang lebih baik dan akurat maka

penanganan terhadap pasien juga lebih baik.

3. Bagi peneliti

Memberikan bukti ilmiah dan menguatkan hasil penelitian sebelumnya

tentang kelebihan atau kekurangan pemeriksaan BTA serta pemanfaatannya

untuk diagnosis dan monitoring tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai