Anda di halaman 1dari 9

Jabariyah

A. Sejarah lahirnya
Nama Jabariyah berasal dari kata “Jabara” yang mengandung arti memaksa. Dalam aliran ini
terdapat paham bahwamanusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam
istilah Inggris paham ini disebut fatalism atau predestination. Fatalism adalah kepercayaan
bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkanpredestination adalah takdir. Menurut Al-
Syahrastani Jabr adalah sebuah doktrin yang menolak bahwa, dalam realitas, sebuah perbuatan
disebabkan oleh manusia dan menganggapnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Aliran Jabariyah berkembang pada masa Bani Umayyah yang memiliki banyak pendukung.
Sebagian ahli mengatakan yang mula-mula menganut paham ini adalah sekelompok orang
Yahudi, mereka mengajarkan kepada sekelompok umat Islam, yang mula-mula menyerukan
kepada umat Islam adalah Ja’ad ibn Dirham di daerah Bashrah, Damaskus. Kemudian diteruskan
oleh penganutnya Jaham ibn Shafwan di Khurasan. Sedangkan dikelompok golongan orang
Persia juga sudah terdapat pemikiran seperti itu, yaitu termasuk di dalam paham Zoroaster
yang dianut oleh penguasa pada masa itu.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya
rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta
keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan.
Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
Benih-benih paham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah
diantaranya:
 Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
 Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar
kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar
memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan
karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
 Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan
siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu
terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian
Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala
dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah
paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah dan tidak
pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
 Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang
tumbuh berkembang di Syiria
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal mula lahirnya paham jabariyah, berikut
ayat-ayat yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah:
a) QS Ash-Shaffat: 96
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
b) QS al-Anfal: 17
Artinya : “ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin,
dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
B. Bentuk penyimpangan
Asy-Syahratsani berpendapat bahwa aliran jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu ekstrim dan moderat.
a) Jabariyah ekstrim
Disebut sebagai jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya. Salah satu tokoh dari aliran Jabariyah ekstrim adalah Jahm bin Sofyan.
Ia adalah seorang da’i yang fasih dan lancar (orator), menjabat sebagai sekretaris Harits bin
Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah dari Khurasam.
Berikut beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi:
1) Manusia tidak mampu berbuat apa-apa

2) Surga dan neraka tidak kekal

3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati

4) Kalam tuhan adalah makhluk

Selain Jahm bin Sofyan, Ja’d bin Dirham pun merupakan tokoh aliran Jabariyah yang pada
awalnya dipercaya mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak pemikirannya
yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. kemudian Ja’d lari dari kuffah dan bertemu
dengan Jahm, lalu mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk disebarluaskan.
Berikut beberapa pikiran Ja’d yang secara umum sama dengan Jahm:
1) Al-Qur’an adalah makhluk

2) Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluknya

3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya

b) Jabariyah moderat
Sebagai jabariyah moderat adalah karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. An-Najjar adalah salah satu tokoh jabariyah yang para pengikutnya disebut An-
Najjariyah/Al-Husainiyah.
Berikut beberapa pendapat An-Najjar dalam aliran jabariyah moderat:
 Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian/peran dalam mewujudkan perbuatannya
 Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat,kecuali Tuhan memindahkan potensi hati (ma’rifat)
pada manusia.
Tokoh lain yang memprakarsai ajaran jabariyah moderat adalah Adh-Dhirar. Secara
umum Pendapat-pendapatnya hampir sama dengan pendapat An-Najjar.
C. Tanggapan ulama
Dalam aliran Jabariyah, para ulama memasukkan pembicaraan tentang ketentuan dan
kemampuan manusia bersama dengan kekuasaan Allah, sekelompok ulama berpendapat bahwa
manusia bukanlah pencipta perbuatannya sendiri, dan perbuatan-perbuatannya itu sama sekali
tidak dapat dihubungkan kepadanya. Menafikan adanya perbuatan manusia dan menyandarkan
perbuatan itu kepada Allah, karena seorang hamba tidak memiliki
sifat isthitho’ah (kemampuan, kesanggupan, dan daya), sebaliknya semua perbuatannya
merupakan manusia adalah keterpaksaan belaka (majburah), tidak ada kekuasaan, kehendak,
maupun usaha dari dirinya.
Segala perbuatannya merupakan ciptaan Allah, sebagaimana Allah menciptakan benda-
benda mati lainnya, maka perbuatan manusia tak ubahnya seperti air mengalir, pepohonan
berbuah, matahari terbit, terbenam, langit mendung, dan hujan turun, pahala dan dosa adalah
keterpaksaan, dan taklif (pembebanan tanggung jawab atas perbuatan manusia) juga bersifat
keterpaksaan.
D. Apa masih tergolong ahlusunnah atau bukan
Mu’tazilah
A. Sejarah lahirnya

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti “berpisah” atau
“memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara teknis,
istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya
disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respons politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai
kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
penulis, golongan yang netral politik masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok yang
menjauhkan diri ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
Mu’tazilah yang tumbuh kemudian hari.
Golongan kedua (Selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan
teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murjiah karena peristiwa tahkim.
Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa
besar.
Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini, yang sejarah timbulnya memiliki
banyak versi. Beberapa versi analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan
kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin ‘Atha (…-131 H) serta
temannya, ‘Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan Al- Basri (30-110 H) di Basrah. Pada waktu bashir
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di Masjid Basrah, dating seseorang
yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang ber-dosa besar. Ketika Hasan Al-
Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan
“Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula
kafir.”Kemudian, Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ketempat lain di
lingkungan masjid. Di sana, Washil mengulangi pendapatnya didepan para pengikutnya.
Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata,”Washil menjauhkan diri dari
kita(i’tazala ‘anna).” Menurut Asy-Syahrastani (474-548 H), kelompok yang memisahkan diri
dari peristiwa diatas disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain yang dikemukakan oleh Al-Baghdadi (w.409 H) menyatakan bahwa Washil
dan temannya, ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya Karena
ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qodar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar itu mukmin dan tidak kafir. oleh karena itu, golongan itu di namakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yan menyatakan bahwa Qtadah bin Da’amah
(w.118 M) pada suatu hari masuk Masjid Basrah dan bergabung dengan majelis ‘Amr bin
‘Ubaid yang dikira adalah majlis Hasan Basri. Setelah Qatadah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majlis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,”ini
kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1954 M) menerngkan bahwa
nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dan Hasan Al- Basri, dan
sebelum timbulnya pendapat posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada
golongan orang-orang yang tidak mau intervensi dalam pertikayan politik yang terjadi pada
zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana, yaitu satu
golongn mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke
Kharbita(I’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu, oleh surat yang dikirimnya kepada Ali bin
Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut engan Mu’tazilin,
sedangkan Abu Al-Fidah (1273-1331 M) menamakan dengan Mu’tazilah.
Dengan demikian, kata I’tazalah dan Mu’tazilah telah digunakan kira-kira seratus tahun
sebelum peristiwa Washil dengan Hasan Al-Basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau
ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
Firqoh Mu’tazilah ini mempunyai dua pusat pergerakan, yaitu:

1. Di Basrah; pada permulaan abab II H, dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin
‘Ubaid, diperkuat oleh murid-muridnya Utsman al-Thawil, Hafsh bin Salim, Hasan bin
Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan Ibrahim bin Yahya al-Madani.
2. Di Baghdad; dipimpin oleh Basyar bin al-Mu’tamar, dibantu oleh Abu Musa al-
Murdan, Ahmad bin Abi Daud (w. 240 H), Ja’far bin Harib al- Hamdani (w. 235 H).
B. Kesesatan/Ajaran

Al-Khayyath, tokoh Mu’tazilah pada abad III H menegaskan ;


“Seorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran.
Yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat diantara dua tempat, amar makhruf nahi
munkar. Apabila padanya telah sempura lima ajaran ini, dinamakan Mu’tazilah.”
Penjelasan kelima prinsip ajaran Mu’tazilah sebagai berikut;
1. Tauhid
Tauhid adalah dasar dari islam yang pertama dan utama. Sebenarnya ajaran tauhid ini
bukan monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang islam. Hanya saja
Mu’tazilah mempunyai tafsir khusus yang demikian rupa dan mereka
mempertahankannya, sehinga mereka menamakan dirinya sebagai Ahlul ‘Adli Wat
Tauhid. Menurutnya, Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan jisim, bukan
jauhar, bukan ‘aradh, tidak berlaku padanya masa, tidak mungkin mengambil ruang atau
tempat, tidak bias disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukan
ketidak-azalian- nya, tidak terbatas, tidak melahirkan dan tidak melahirkannya, tidak
dapat dicapai dengan panca indra, tidak bias dilihat dengan mata kepala, tidak bias
digambarkan dengan akal fikiran.
Kaum Mu’tazilah memakai istilah “tauhid” tersebut kepada apa yang telah
dibyangkan diatas tadi : yaitu bahwa kaum Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat tuhan.
Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat dan qadhim itu sama sekali.
Sebab kalau seandainya da sifat-sifat yang Qadhim, tentulah aka nada beberapa yang
Qadhim. Dan ini adalah kepercayaan syirik. Mereka berpendapat bahwa Allah Swt,
adalah ‘Alim (mengetahui) dengan dzat-nya, Qadir (kuasa) dengan dzat-nya, Hayyun
(hidup) dengan dzat-nya, Mutakallim ( berbicara) dengan dzat-nya. Berdasarkan atas
pendapat tersebut maka mereka berkata, bahwa Al-qur’an adalah makhluk, karena taka
da yang Qadhim kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.
Karena adanya prinsip ini maka musuh-musuh Mu’tazilah menggelari mereka
dengan Mu’atthilah, sebab mereka telah meniadakan sifat tuhan dan
menghapuskannya. Dan karena prinsip ini pulalah maka kepada orang-orang yang
menetapkan adanya sifat-sifat tuhan lalu diberikan gelar Shifatiyah.
2. Keadilan
Keadilan berarti meletakkan tangung jawab manusia atas perbuatan-
perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan
manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintahnya dan meninggalkan larangan-
larangan nya, karena kekuasaan yang dijadikan tuhan pada diri manusia. Tuhan tidak
memerintah kecuali yang dilarangnya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkannya dan berlepas diri dari keburukan-keburukan yang dilarangnya.
Dengan dasar keadilan ini, Mu’azilah menolak golongan jabariyah yang mengatakan
bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan
manusia dalam keter paksaan.
Berdasarkan pada prinsip tersebut, maka kaum Mu’tazilah ini juga disebut “Al
‘Adhiyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat tentang keadilan. Dan
karenanya juga mereka disebut kaum Qadha riyah yaitu orang- orang yang menentang
adanya Qadha dan Qadar.
Kaum Mu’tazilah sendiri tidak pernah menyebut-nyebut kedua istilah itu. Mereka
bahkan benci akan gelar-gelar tersebut. Dan mereka tidak senang kalau kedua sebutan
itu dipakai sebagai nama mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa gelar-gelar
tersebut sepantasnya dipakaikan kepada orang yang menganut pendapat tentang
adanya Qadhar, dan bukanlah kepada orang yang mngingkari pendapat itu.
3. Janji dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberikan pahala dan mengancam akan memberikan
siksaan, pasti dilaksanakan, karena tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang
berbuat baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat buruk maka
akan dibalas dengan keburukan. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa tobat,
sebaimana tidak mungkin orang berbuat baik yang tidak menerima pahala.
Kaum Mu’tazilah sepakat bahwa seseorang mukmin apabila meninggal dalam
keadaan taat dan tobat, dia berhak untuk mendapatkan pahala. Juga berhak untuk
mendapatkan tafaddhul (karunia tuhan), yaitu suatu pengertian lain dibalik pahala. Dan
apabila seorang muknin meninggal tanpa bertaubat lebih dari dahulu suatu dosa besar
yang telah dibuatnya, maka dia ditempatkan didalam neraka sela-lamanya, akan tetapi
siksa yang diterimanya lebih ringan dari pada siksa orang yang kafir. Inilah yang mereka
sebut janji dan ancaman.
4. Tempat diantar dua tempat
Washil bin Atho mengatakan bahwa orang yang berdosa besar selain musrik itu
tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq. Fasiq terletak antara iman dan kafir.
“sungguh maksiat yang dilakukan orang itu terbagi mmenjadi maksiat kecil (shogir) dan
maksiat besar (kabir). Mereka berselisih dalam mendefinisikan dosa besar dan dosa
kecil. Pendapatnya yang paling mashur, sesungguhnya dosa besar itu sesuatu yang
terdapat padanya ancaman, sedangkan dosa kecil itu sesuatu Yang terdapat padanya
ancaman. Bagi merka, setelah beberapa kali pembahasan, benarkah himpunan dosa
besar itu sama dengan himpunan dosa kecil atau tidak? Apakah diampuni dosa kecil itu
bagi mereka yang tidak melakukan dosa besar? Dan lain-lain. Kemudin mereka
berpendapat: sesungguhnya dosa besar sebagiannya smpai kebatas kufur. Barang siapa
yang menyerupai Allah degan makhluknya atau memperbolehkan sesuatu yang
diharamkan atau mendutakan firmannya dia benar-benar kufur. Dan ada dosa yang
tingkatannya dibawah kekafiran. Dosa besar ini disebut dengan fasik. Kefasikan ini
berada diantara dua tempat, tidak kufur dan tidak pula beriman. Orang yang fasik
bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi ia berada dalam suatu tempat diantara dua
tempat.”
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fikih dari pada
tauhid. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menerangkan tentang masalah
amar makhruf dan nahi munkar ini, antara lain pada surat Ali Imran ayat 104 dan surat
Luqman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang islam untuk menyiarkan
agama dan mengambil bagian dari tugas ini. Sejarah menunjukan betapa gigihnya
orang-orang Mu’tazilah itu mempertahankan islam, memberantas kesesatan yang
tersebar luas pada permulaan Bani Abbasiyah, yang hendak menghancurkn agama
islam, bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip
tersebut, meskipun terhadap sesame golongan islam. Adapun ciri-ciri Mu’tazilah ialah
suka berdebat, terutama dihadapan umum. Mereka yakin akan kekuatan akal pikiran ,
karena itulah suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengannya.
C. Pendapat para ulama

 Al-Imam Abu lHasan Al-Asyari “Tafsir Mu’tazilah adalah sesat, yang demikian itu sebagaimaa
tercantum dalam muqaddimah tafsirnya yang bernama “al mukhtazan” dan ini tidak ada
pada kami. Sesungguhnya ahlu kesesatan menta’wilkan alquran dengan analogi mereka.
Serta mnefsirkannya dengan hawa nafsu meraka”. (Dr. Muhammad Husain Adz-
Dzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, I/385.)
 Ibnu Taimiyah “Mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sesuai dengan apa yang sudah
menjadi keyakinan mereka, tanpa bersandarkan kepada bagaimana penafsiran dari Salaf as-
Saleh dan orang-orang setelah mereka yang berjalan di atas manhaj (jalan) yang benar yang
bersumberkan langsungdari Rasulullah.” (Dr. Muhammad Husain Adzahabi, Tafsir Wal
Mufassirun, hal: I/386).
 Ibnu Qayyim “Tafsir mereka (mu’tazilah) adalah sampah pilkiran, dan menyelisihi otak, dan
mengganggu dada (tidak menjadikan lega). Mereka mengisi dengan lembaran-lembaran
hitam dan keraguan hati serta al ‘alim yang rusak setiap ap yang mereka uraikan
berdasarkan akal nyata diketahui kejelekan al alim yang mengedepankan akal daripada
wahyu dan hawa nafsu”. (Tafsir Wal Mufassirun, Dr. Muhammad Adzahabi, hal: I/287.)
A. Masuk dalam ahlusunnah atau tidak
Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah
dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai seperti:
 Mendahulukan akal daripada al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama.
 Mengingkari azab kubur, syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para
pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah subhanahu wa ta’ala) pada hari kiamat,
timbangan amal di hari kiamat, ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi
Jahannam), telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Padang Mahsyar, keluarnya
Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya al-Jannah dan an-Naar (saat ini), turunnya
Allah subhanahu wa ta’ala ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir),
dan lain sebagainya.
 Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran
Jamal dan Shiffin (dari kalangan sahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang
fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Kita sudah tahu prinsip
mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan
di akhirat kekal abadi di dalam an-nar.
 Meniadakan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, dengan alasan bahwa menetapkannya
merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka menakwil sifat Kalam (berbicara) bagi
Allah subhanahu wa ta’aladengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke
dalam keyakinan kufur bahwa al-Qur’an itu makhluk, bukan kalamullah. Demikian pula
mereka menakwil sifat Istiwaa’ Allah subhanahu wa ta’aladengan
sifat Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah subhanahu wa ta’ala merupakan
kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah subhanahu wa
ta’ala?!

Anda mungkin juga menyukai