DOSEN PEMBIMBING
Muhammad Firdaus Wahidi
Disusun oleh:
NAMA : NUR INTAN MEI HIDAYATI
NPM : 2103181217
NO ABSEN : 30
KELAS 1-17
PROGRAM STUDI DIPLOMA I PAJAK
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
2018/2019
KULIAH KE-13
IMBALAN BUNGA
Imbalan bunga adalah Imbalan yang diberikan kepada wajib pajak dikarenakan kesalahan /
keterlambatan proses perpajakan yang dilakukan pemerintah/fiskus.
Ada 2 hal yang bisa menyebabkan timbulnya Imbalan Bunga, yaitu:
1. DJP terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak
2. WP melakukan upaya hukum yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
Penjelasan umum terkait Imbalan Bunga:
1. Agar dapat menerapkan ketentuan peraturan perpajakan disetiap permasalahan dengan benar,
perlu memperhatikan ketentuan peralihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP dan perubahannya.
2. Dalam Pasal II angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 diatur bahwa terhadap semua
hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum
diselesaikan, diberlakukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 [UU KUP 2000].
3. Ketentuan peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007- [UU KUP 2007] diatur lebih lanjut dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 80
Tahun 2007 jo. Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011.
4. Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 jo. Pasal 64 Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tidak mengatur tentang pelaksanaan hak dan kewajiban
terkait pemberian imbalan bunga, sehingga atas pelaksanaan pemberian imbalan bunga berlaku
ketentuan Pasal 36 ayat (1) jo. Pasal II angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yaitu
ketentuan pelaksanaan pemberian imbalan bunga berlaku sesuai dengan tahun pajak
timbulnya kewajiban perpajakan.
Terdapat tiga jenis UU KUP yang digunakan untuk pedoman ketentuan tentang pemberian imbalan
bunga, yaitu: UU KUP 1994, UU KUP 2000, dan UU KUP 2007. Dengan ketentuan sebagai berikut:
UU KUP 1994
1. Pemberian imbalan bunga: Pasal 11, Pasal 17B, Pasal 27A UU
2. Peninjauan Kembali
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013
UU KUP 2000
1. Pemberian imbalan bunga: Pasal 11, Pasal 17B, Pasal 27A UU
2. Status utang pajak dalam keberatan: Pasal 25 ayat (7) UU
3. Status utang pajak dalam banding: Pasal 27 ayat (5) UU
4. Peninjauan Kembali
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013
UU KUP 2007
1. pemberian imbalan bunga: Pasal 11, Pasal 17B, Pasal 27A UU
2. status utang pajak dalam keberatan: Pasal 25 ayat (3a), ayat (7) dan ayat (8) UU
3. status utang pajak dalam banding: Pasal 27 ayat (5a), ayat (5b) dan ayat (5c) UU
a. Pasal 24 PP Nomor 80 Tahun 2007 (berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2011
4. Pasal 43 s.d. Pasal 45 PP Nomor 74 Tahun 2011 (berlaku sejak 1 Januari 2012)
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013
Untuk dasar pemberian Imbalan Bunga yang berdasarkan UU KUP 1994 adalah sebagai berikut:
1. Yang pertama adalah karena keterlambatan penerbitan SKPLB, tercantum dalam UU KUP 1994
pasal 17B
2. Yang kedua adalah keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak , tercantum dalam
UU KUP pasal 11 ayat 3
3. Yang terakhir adalah kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan
banding, tercantum dalam UU KUP pasal 27A
Sedangkan, untuk dasar pemberian Imbalan Bunga yang berdasarkan UU KUP 2000 terdapat kesamaan
dengan UU KUP 1994 dengan tambahan pasal 27
1. Yang pertama adalah karena keterlambatan penerbitan SKPLB, tercantum dalam UU KUP 1994
pasal 17B
2. Yang kedua adalah keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak , tercantum dalam
UU KUP pasal 11 ayat 3
3. Yang ketiga adalah kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan
banding, tercantum dalam UU KUP pasal 27A ayat 1
4. Yang terakhir adalah kelebihan pembayaran sanksi administrasi terkait dengan pengajuan
keberatan/banding atas SKP, tercantum dalam pasal 27A ayat 2 UU KUP
Penjelasan atas poin 1-4 UU KUP 1994 dan UU KUP 2000:
1. Keterlambatan penerbitan SKPLB (Pasal 17B UU)
Atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan terkait
Pasal 17C, Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan skp paling lambat
12 bulan. Dalam hal Dirjen Pajak tidak menerbitkan skp dalam jangka waktu 12 bulan, maka
permohonan WP dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus menerbitkan SKPLB dalam
jangka waktu 1 bulan setelah jangka waktu 12 bulan tersebut berakhir. Apabila SKPLB tidak
diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, terhadap Wajib Pajak diberikan imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan sampai dengan diterbitkan SKPLB.
3. Kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan banding (Pasal 27A
ayat 1 UU)
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya dan
selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT yang telah dibayar
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Maka, kelebihan pembayaran dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan (dihitung sejak
tanggal pembayaran s.d. diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding)
Untuk STP yang pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) dan
atau bunga Pasal 19 ayat (1) UU dan SKP sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak yang
berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi (Pasal 36 ayat (1)
huruf a UU). Kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.
Yang untuk terakhir adalah dasar pengenaan imbalan bunga yang berdasarkan UU KUP 2007, dimana
ini adalah UU KUP terbaru, dengan dasar sebagai berikut:
1. keterlambatan penerbitan SKPLB (Pasal 17B ayat (3) UU)
2. keterlambatan penerbitan SKPLB terkait pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan (Pasal 17B ayat (4) UU)
3. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Pasal 11 ayat (3) UU)
4. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding atau PK (Pasal
27A ayat (1) UU)
5. kelebihan pembayaran pajak karena SK Pembetulan, SK Pengurangan Ketetapan Pajak atau SK
Pembatalan Ketetapan Pajak atas skp atau STP (Pasal 27A ayat (1a)
6. kelebihan pembayaran sanksi administrasi – terkait dengan pengajuan keberatan/banding atas
skp (Pasal 27A ayat (2) UU)
Dengan penjelasan sebagai berikut:
1. keterlambatan penerbitan SKPLB (Pasal 17B ayat (3) UU)
Atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan terkait
Pasal 17C dan Pasal 17D, Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan skp
paling lambat 12 bulan. Dalam hal Dirjen Pajak tidak menerbitkan skp dalam jangka waktu 12
bulan tersebut, maka permohonan WP dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus menerbitkan
SKPLB dalam jangka waktu 1 bulan setelah jangka waktu 12 bulan tersebut berakhir. Apabila
SKPLB tidak diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, terhadap Wajib Pajak diberikan
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sampai dengan diterbitkan SKPLB.
2. keterlambatan penerbitan SKPLB terkait pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan (Pasal 17B ayat (4) UU)
Atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan terkait
Pasal 17C dan Pasal 17D, Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan skp
paling lambat 12 bulan, tetapi hal ini tidak berlaku bila WP dilakukan pemeriksaan bukper.
• Apabila pemeriksaan BUKPER tidak dilanjutkan dengan Penyidikan;
• dilanjutkan dengan PENYIDIKAN, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan; atau
• dilanjutkan dengan PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN, tetapi diputus bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum
Dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan SKPLB, kepada WP diberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan saat diterbitkan SKPLB, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
3. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Pasal 11 ayat (3) UU)
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1), ayat (1a) dan Pasal 11 ayat (2) UU untuk pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dilakukan paling lama 1 bulan sejak:
• permohonan pengembalian sehubungan dengan diterbitkannya SKPLB Pasal 17 ayat (1), atau
• sejak diterbitkannya SKPLB Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya
SKPPKP Pasal 17C atau Pasal 17D, atau
• sejak diterbitkannya SK Keberatan, SK Pembetulan, SK Pengurangan Sanksi Administrasi, SK
Penghapusan Sanksi Administrasi, SK Pengurangan Ketetapan Pajak, SK Pembatalan
Ketetapan Pajak atau SKPIB, atau
• sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan PK, yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah terlebih dahulu diperhitungkan
dengan utang pajak. Apabila kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 1
bulan, terhadap Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan dihitung sejak batas
waktu berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.
4. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding atau PK (Pasal
27A ayat (1) UU)
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding atau PK diterima sebagian atau
seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB
yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24
bulan, dengan ketentuan: untuk SKPKB dan SKPKBT dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak s.d. diterbitkannya SK Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan PK, dan untuk SKPN dan SKPLB dihitung sejak tanggal penerbitan
surat ketetapan pajak s.d. diterbitkannya SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan PK.
- Ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam PP 74/2011 berdasarkan Pasal 27A ayat (1) UU
(terkait dengan kelebihan pembayaran pajak dalam SKPKB/SKPKBT)
Imbalan bunga tidak diberikan terhadap:
1. kelebihan pembayaran akibat SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan PK atas
SKPKB atau SKPKBT yang disetujui dalam PAHP atau PAHV, dan telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan; atau
2. kelebihan pembayaran akibat SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan PK atas jumlah
pajak yang tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam PAHP atau
PAHV, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali, atau sebelum diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan PK
- Ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam PP 74/2011 berdasarkan Pasal 27A ayat (1) UU
(terkait dengan penerbitan SKPKB/SKPN atas SPT LB)
SK Keberatan, Putusan Banding atau Putusan PK mengabulkan sebagian atau
seluruhnya, dengan produk hukum SKPKB dan/atau SKPN yang tidak disetujui Wajib Pajak
dalam PAHP, SKPKB dan/atau SKPN yang diterbitkan atas SPT yang menyatakan lebih bayar.
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% per
bulan untuk paling lama 24 bulan dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SK
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan PK, dihitung sejak tanggal penerbitan SKPKB atau
SKPN s.d.diterbitkannya SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan PK.
- Ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam PP 74/2011 berdasarkan Pasal 27A ayat (1) UU
(terkait dengan kelebihan pembayaran pajak karena Putusan PK Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya)
Putusan PK dikabulkan sebagian/ seluruhnya, Produk Hukum: SKPKB atau SKPKBT
Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang telah dibayar yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak. Maka, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, dihitung sejak tanggal pembayaran s.d.
sampai dengan tanggal diterbitkannya Putusan Banding.
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal
dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan
istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Suatu perbuatan termasuk dalam kategori tindak pidana apabila perbuatan tersebut memenuhi kriteria
sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang yang memuat ketentuan mengenai pidana.
Pasal 1 ayat (1) KUHP:
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada
“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku
ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.”
Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-
undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan
hukuman pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa Pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang sehingga
apabila tidak dipatuhi/dilanggar maka akan menimbulkan hukuman/sanksi bagi pelakunya.
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia adalah Self assessment dimana Wajib pajak diberi
kepercayaan untuk mendaftar, menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang. Konsekuensi dari penerapan Self assessment ini memberikan tanggung jawab
besar pada Wajib Pajak untuk melakukan kepatuhannya secara sukarela (Voluntary Compliance).
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar
yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan
pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi
pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:
1. Penegakkan hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat
administrasi, yaitu berupa denda dan/atau bunga (sanksi administrasi umum), misalnya telat
lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp. 100.000,-
2. Penegakkan hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan,
sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana.
Tindak Pidana Dibidang Perpajakan dapat berupa:
1. Alpa
2. Sengaja
3. Pengulangan
4. Percobaan
Ringkasan beberapa pasal dalam KUP yang dikenakan atas tindak pidana perpajakan
diantaranya:
Pasal 38: Perbuatan alpa dalam pidana pajak,
- Tidak menyampaikan SPT,
- Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali),
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan
maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar.
Berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai WP (Pasal 43 ayat 1)
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal
39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan
lagi Tindak Pidana
Pasal 39A :
“Setiap orang yang dengan sengaja :
• menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
• menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP
• dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun
serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak.
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti
yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B Sanksi Terhadap Pihak Ketiga : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang
yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 40 : Daluarsa: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh
tahun sejak:
saat terutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak,
berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan
Pasal 34: Rahasia Jabatan:
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Wewenang Penyidik:
- Mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
- Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
- Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan;
- Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
- Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
- Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
- Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang
dibawa;
- Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
Pasal 43 A UU KUP Ketentuan Pemeriksaan