Segala puji hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan manusia
berpasang-pasang dan membekalinya dengan berbagai karakter berpikir, sehingga
diciptakan mereka sebagai pemimpin di muka bumi ini. Kedua orang tua yang
selalu memotivasi kami.
Pada akhirnya, kami pun hanya bisa kembali menyandarkan seluruh beban kami
dan cita-cita kami kepada Tuhan yang Maha Esa semata, karena hanya Dialah
Yang Maha Mengetahui atas makalah kami ini. Kami menyadari bahwa tulisan
kami ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
kami butuhkan. Kami berharap semoga laporan kami ini memberi manfaat kepada
semua pihak.
Penyusun
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |i
DAFTAR ISI
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor pertambangan dan perhutanan merupakan dua sektor yang selama
ini muncul sebagai dua sector yang saling bermasalah satu sama sama lain. Hal
ini muncul dikarenakan sifat dari dua sektor yang saling bertolak belakang
terutama kaitannya dengan isu lingkungan. Di satu sisi sektor pertambangan
dan energi merupakan salah satu sektor pembangunan penting bagi Indonesia.
Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan
menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan
kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri
pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia,
suatu jumlah yang tidak sedikit. Di sisi lain sektor kehutanan “menguasai”
lahan yang ada di Indonesia, paling tidak pada tahun 2009 luas daratan
Indonesia adalah 190,31 juta ha, sementara luas tutupan hutannya adalah 88,17
juta ha atau sekitar 46,33 persen dari luas daratan Indonesia.
Fakta yang ada potensi pertambangan ada di bawah lahan yang notabene
dalam status kawasan lindung yang memiliki utama untuk perlindungan. Hal
ini yang menjadikan konflik ketika pertambangan yang dilaksanakan di
kawasan hutan lindung dimana pertambangan secara peraturan perundangan
yang berlaku dimungkinkan untuk dilakukan dengan pertambangan tertutup.
Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian mengenai permasalahan yang muncuk
di sektor pertambangan dan kehutanan serta solusi dari permasalahan tersebut.
Implikasi penambangan terbuka di kawasan hutan lindung sudah sangat
jelas bagi pihak kehutanan (dan para konservasionis). Namun, mungkin tidak
mudah dipahami oleh pihak pertambangan dan para ekonomis. Pertentangan
kepentingan antara perlindungan lingkungan hidup dan kebutuhan perolehan
ekonomis bukan hal baru yang tampaknya terus menajam di negeri yang
sedang mengalami krisis multidimensi berkepanjangan ini. Tak terkecuali
antara kepentingan pertambangan dan kehutanan di kawasan hutan lindung,
yang merupakan refleksi dua kepentingan utama tadi. Kepentingan sektor
tambang dan hutan muncul dari Pasal 38 Ayat (4) Undang-Undang (UU)
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |1
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dengan tegas melarang
dilakukannya pola penambangan terbuka di kawasan hutan lindung karena
akan merusak struktur dan fungsi pokok hutan penyangga kehidupan tersebut.
Permasalahan ini menjadi rumit ketika tuntutan ekonomi dan
pembangunan ketika dibenturkan dengan tuntutan perbaikan kulitas lingkungan
untuk kehidupan manusia itu sendiri. Sehingga diperlukan suatu solusi untuk
mengatasi permasalahan yang muncul antara pertambangan dengan
kehutanan. Paling tidak ada tiga isu utama dalam permasalahan ini antara
lain: (1) Kajian teknis terkait permasalahan pertambangan di hutan lindung, (2)
kajian kebijakan yang terkait dengan pertambangan dan kehutanan, dan (3)
tinjauan atau refernsi literature dan pendapat terkait dengan pertambangan dan
kehutanan.
Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk memaparkan kajian teknis dan
kebijakan serta tinjauan tentang keterkaitan hubungan antara kehutanan dan
pertambangan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dituliskan, dapat disusun rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kajian teknis terkait permasalahan pertambangan dan kehutanan
?
2. Bagaimana Kajian Kebijakan yang terkait dengan pertambangan dan
kehutanan ?
3. Bagaimana tinjauan dan pendapat terkait dengan pertambangan dan
kehutanan ?
C. Tujuan
1. Mengetahui kajian teknis terkait permasalahan pertambangan dan
kehutanan
2. Mengetahui Kajian Kebijakan yang terkait dengan pertambangan dan
kehutanan
3. Mengetahui tinjauan dan pendapat terkait dengan pertambangan dan
kehutanan
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |2
BAB II
DASAR TEORI
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |3
b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam;
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau
subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya
alam dan sumber daya buatan.
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |4
2. Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi (pasal 14) :
penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan, serta penjualan.
Beberapa hal yang diatur yang terkait dengan kegiatan pertambangan, adalah
sebagai berikut :
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |5
3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan diatur pada pasal 38 sebagai berikut :
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |6
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kajian Teknis
Pertambangan merupakan rangkaian empat kegiatan utama: eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan dan pemurnian dan reklamasi. Eksplorasi adalah
penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, jumlah dan nilai
bahan tambang. Ini merupakan tahap awal, membutuhkan waktu dua hingga
lima tahun dan beresiko tinggi dimana perusahaan dapat menghentikan
kegiatan karena tidak menemukan endapan bahan tambang dengan kualitas dan
kuantitas diharapkan meski telah menghabiskan jutaan dollar. Biaya yang
dikeluarkan tahap ini mencapai 1-15 juta dollar.
Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, sepanjang
periode 1969-2003, dari 348 perusahaan yang melakukan eksplorasi hanya 36
yang berlanjut ke tahap eksploitasi, sedangkan sisanya terminasi atau
penundaan. Untuk memfasilitasi eksplorasi pemerintah mengijinkan
perusahaan mencari bahan tambang didaerah Kuasa Pertambangan yang dipilih
seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok
Pertambangan 11/1967). Namun tidak berarti seluruh lahan tersebut
dimanfaatkan perusahaan, sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada
negara melalui proses reliquishment bertahap sesuai kemajuan yang dicapai.
Dari aspek penggunaan lahan eksplorasi tidak membuka lahan secara
ekstensif. Bukaan hanya diperlukan untuk akses masuk dan areal operasi
peralatan eksplorasi, dimana berupa peralatan pemboran. Bahkan dengan
teknologi terkini, seperti ground and airborne geophysics, dapat mereduksi
secara signifikan pembukan lahan. Kedua teknik tersebut dapat mendeteksi
keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan Setelah
diyakini bahan tambang mempunyai kualitas dan kuantitas yang diharapkan
kegiatan berlanjut ketahap eksploitasi, kegiatan dengan maksud mengali bahan
tambang untuk diproses lebih lanjut atau langsung dimanfaatkan. Dua metode
diterapkan untuk eksploitasi, tambang terbuka dan tambang bawah tanah.
Namun sebelum melakukan ekspoitasi, studi kelayakan detail dan konstruksi
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |7
harus dilaksanakan. Waktu yang dibutuhkan dari eksplorasi ke eksploitasi
berkisar dua hingga lima tahun.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng
lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau
kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan/atau
kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter
atau lebih.
Dari pertimbangan kedua sektor tersebut secara teknis diformulasikan luas
efektif pertambangan dan luas kawasan lindung yang besinggungan dengannya
sehingga mendapatkan suatu model pertambangan di kawasan lindung yang
keselarasan dan tidak melanggar baik itu norma hokum maupun norma
lingkungan. Untuk menjaga konsistensi terhadap proses yang berjalan perlu
dilakukan monitoring secara berkala terhadapnya sehingga menjadi evaluasi
umpan balik dalam pengelolaan yang semakin baik.
B. Kebijakan Pertambangan dan Kehutanan
Kebijakan di sector kehutanan kaitannya dengan sector pertambangan
antara lain:
1. UU No.41/1999. Salah satu poin penting yang diatur dalam undang-
undang ini adalah larangan pertambangan terbuka di kawasan hutan
lindung.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan
Penggunaan Kawasan Hutan. Poin-poin penting dalam kebijakan ini
meliputi kegiatan pengelolaan, pembagian blok kawasan, dan pemanfaatan
hutan. Kegiatan pengelolaan hutan lindung meliputi: (1) penentuan batas-
batas hutan yang ditata; (2) inventarisasi, identifikasi, dan perisalahan
kondisi kawasan hutan; (3) pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya
di hutan dan sekitarnya; (4) pembagian hutan ke dalam blok-blok; (5)
registrasi; dan (6) pengukuran dan pemetaan. Berdasarkan peraturan ini,
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |8
pada dasarnya hutan lindung dapat dimanfaatkan, asal tidak menggunakan
peralatan mekanis dan alat berat, sarana dan prasarana yang dibangun
permanen, dan mengganggu fungsi kawasan. Yang dapat dilakukan
hanyalah kegiatan yang termasuk dalam kategori strategis dan menyangkut
kepentingan umum. Pertambangan merupakan salah satu kegiatan yang
dikategorikan sebagai kegiatan tujuan strategis.
3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Poin penting dalam keputusan
Menteri Kehutanan ini adalah bahwa hutan lindung merupakan salah satu
kategori hutan (selain hutan produksi yang tidak dibebani ijin kehutanan
lainnya), yang dapat ditetapkan sebagai hutan kemasyarakatan.
4. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria
dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam kebijakan ini ditetapkan
bahwa dalam penetapan kawasan hutan, perlu diperhatikan: (1) status
hutan, apakah sudah ditunjuk sebagai hutan, tidak terbebani hak atas tanah,
dan tergambar dalam kebijakan ruang, seperti RTRW; (2) batas dan
luasnya harus jelas terukur; (3) memiliki koordinat yang tepat dan jelas;
(4) didasari pada peta dasar berdasarkan ketersediaan liputan data yang
ada, misalnya peta rupa bumi, peta topografi, dan peta joint operation
graphic.
5. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 17 Tahun 2001 tentang
Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL.
Dalam kebijakan ini diatur bahwa kegiatan sektor kehutanan yang harus
disertai dengan AMDAL meliputi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
(skala semua besaran) dan usaha hutan tanaman (> 5000 ha), sedangkan
pada sector pertambangan meliputi kegiatan pertambangan umum (KP
atau pertambangan terbuka), ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi, serta
geologi tata lingkungan.
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Kebijakan ini mengatur ketentuan bagi hasil
pengelolaan hutan, yakni: (1) sebesar 80% dari penerimaan iuran hak
pengusahaan hutan dibagi dengan perincian untuk bagian provinsi sebesar
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan |9
16% dan untuk kabupaten sebesar 64%; (2) sebesar 80% dari penerimaan
propinsi sumber daya hutan dibagi dengan perincian bagian propinsi
sebesar 16%, bagian kabupaten/kota penghasil sebesar 32%, dan bagian
kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan sebesar 32%.
C. Tinjauan Literatur
Ada beberapa isu yang berkaitan dengan pertambangan dan kehutanan,
misalnya konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang, pelestarian
lingkungan, serta konflik pertambangan dengan sektor kehutanan dalam
penggunaan lahan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Penyebab
konflik sektor pertambangan dengan sektor lain, antara karena:
1. Sulitnya Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover
dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi
lahan berdasarkan fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan,
perdagangan, dan sebagainya. Sementara land cover merupakan alokasi
lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun,
lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak termasuk ke dalam
keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat berlangsung jika
ditemukan kandungan potensi mineral di bawah permukaan tanah pada
kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki kandungan potensi
mineral, belum tentu dapat dieksploitasi seluruhnya, karena terkait dengan
besaran dan nilai ekonomis kandungan mineral tersebut. Proses penetapan
kawasan pertambangan yang membutuhkan lahan di atas permukaan tanah
membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan proses penataan
ruang itu sendiri.
2. Sering Dituduh sebagai ’Biang Keladi’ Kerusakan Lingkungan
Kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan
maupun pasca pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan
teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi
dan teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan
kedalaman bahan tambang, misalnya penambangan batubara dilakukan
dengan sistem tambang terbuka, sistem dumping (suatu cara penambangan
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 10
batubara dengan mengupas permukaan tanah). Beberapa permasalahan
lingkungan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan, antara lain masalah
tailing, hilangnya biodiversity akibat pembukaan lahan bagi kegiatan
pertambangan, adanya air asam tambang.
3. Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang dengan Lahan Kehutanan
Hutan merupakan ekosistem alami tempat senyawa-senyawa organik
mengalami pembusukan dan penimbunan secara alami. Setelah cukup lama,
materi-materi organik tersebut membusuk, akhirnya tertimbun karena
terdesak lapisan materi organik baru. Itu sebabnya hutan merupakan tempat
yang sangat mungkin mengandung banyak bahan mineral organik, yang
potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang.
D. Analisa
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 11
masyarakat dibandingkan dengan manfaatnya, khususnya manfaat bagi
masyarakat di sekitar tambang.
Oleh karena itu beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan
tambang sebelum beroperasi adalah :
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 12
b. Konservasi
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover
dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi
lahan berdasarkan fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan,
perdagangan, dan sebagainya. Sementara land cover merupakan alokasi
lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan
terbangun, lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak termasuk
ke dalam keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat
berlangsung jika ditemukan kandungan potensi mineral di bawah
permukaan tanah pada kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki
kandungan potensi mineral, belum tentu dapat dieksploitasi seluruhnya,
karena terkait dengan besaran dan nilai ekonomis kandungan mineral
tersebut. Proses penetapan kawasan pertambangan yang membutuhkan
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 13
lahan di atas permukaan tanah membutuhkan waktu lebih lama
dibandingkan dengan proses penataan ruang itu sendiri
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 15
Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang, Sering
Dituduh sebagai ’Biang Keladi’ Kerusakan Lingkungan, dan Tumpang
Tindih Pemanfaatan Ruang dengan Lahan Kehutanan.
B. Saran
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 16
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Pertambangan
S1 Teknik Pertambangan | 17