Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Pada
tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap
Diabetes Mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua
kali lipat pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi
di negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan berkisar
antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk
sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia
menderita diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di
Indonesia mencapai 5 juta jiwa. Pada tahun 2005 diperkirakan akan
mencapai 12 juta penderita. Walaupun Diabetes Mellitus merupakan
penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi
dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM
memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-
obat dan terapi obat. Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor
kefarmasian komunitas, memiliki peran yang sangat penting dalam
keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Mendampingi, memberikan
konseling dan bekerja sama erat dengan penderita dalam penatalaksanaan
diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi obat merupakan salah satu
tugas profesi kefarmasian. Membantu penderita menyesuaikan pola diet
sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan
komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek

1
samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis
obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang
merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu
sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai
dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker.
Demikian pula apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu
pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan kondisi dan pengelolaan diabetes, mulai dari pengetahuan tentang
etiologi dan patofisiologi diabetes sampai dengan farmakoterapi dan
pencegahan komplikasi yang semuanya dapat diberikan dengan bahasa
yang mudah dipahami, disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi
penderita. Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan penatalaksana
diabetes ini menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya
merupakan pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan
penderita diabetes dengan apoteker di apotik mungkin lebih tinggi
daripada frekuensi pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan
pelayanan kefarmasian yang profesional.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Diabetes Mellitus?
2. Bagaimana patofisiologi Diabetes Mellitus?
3. Bagaimana terapi non farmakologi yang diberikan pada penderita
Diabetes Mellitus?
4. Bagaimana terapi farmakologi yang diberikan pada penderita Diabetes
Mellitus?
C. Tujuan
1. Memahami pengertian Diabetes Mellitus.
2. Memahami patofisiologis Diabetes Mellitus.
3. Memahami terapi non farmakologi yang diberikan pada penderita
Diabetes Mellitus.

2
4. Memahami terapi farmakologi yang diberikan pada penderita Diabetes
Mellitus

3
BAB II
DASAR TEORI

A. Pengertian Diabetes Mellitus


Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Dengan kata lain
diabetes melitus adalah diabetes yang berkaitan dengan kadar gula dalam
tubuh, juga dikenal dengan nama kencing manis. Diabetes melitus adalah
keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit
atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Diabetes Mellitus terjadi karena kurangnya sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya disertai kelainan metabolik, menimbulkan
berbagai komplikasi kronik di mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah.
Salah satu penyakit sistemik yang banyak menyebabkan infertilitas adalah
Diabetes Mellitus.
(Ditjen Bina Farmasi, 2005)

B. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus


Menurut klasifikasi klinisnya diabetes melitus dibedakan menjadi :
1. Tipe 1 (DMT1) adalah insufisiensi absolut insulin.
Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-
sel beta pankreas disebabkan oleh :
a. Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi
suatu predisposisi / kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM
tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen

4
HLA ( Human Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplatasi
dan proses imun lainnya.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan
sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Pada
pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu
sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α
memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon
somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel β. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau
Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defesiensi
sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan
metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi insulin,
fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga
menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi
glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara
normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini
tidak terjadi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon akan tetap
tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini memperparah
kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapatkan terapi insulin.

5
2. Tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin yang disertai defek sekresi
insulin dengan derajat bervariasi
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum,
lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama
terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada
remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal
atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut
resietensi insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe
2 dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi
glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi
pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas yang
pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin, merupakan
faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian
besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi
penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi
pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat
badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun
kerusakan respon sel α terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan
meningkatya hiperglikemia, dan kedua kerusakan tersebut dapat
diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang mengurangi
hiperglikemia tersebut.
(Ditjen Bina Farmasi, 2005)
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor
genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang
berhubungan yaitu :
a. Usia

6
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun.
Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin
pankreas untuk memproduksi insulin.
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami
hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi
insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban
metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi
energi sel yang terlalu banyak.
c. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada
kembar non identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali
lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama)
yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak
seperti diabetes tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen
HLA. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2
tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif, masing-masing
memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga
dipengaruhi oleh lingkungan.
d. Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini
berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan
meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas.
Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga
berdampak pada penurunan insulin.
3. Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil.
Diabetes Mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang
timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya

7
sementara. Keadaan ini terjadi karena pembentukan hormon pada ibu
hamil yang menyebabkan resistensi insulin.
4. Gangguan toleransi glukosa (GTG), kadar glukosa antara normal dan
diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi normal atau tetap tidak
berubah
(Price, 1995).
C. Gejala dan Tanda-Tanda Diabetes Melitus
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada
beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan
diabetes. Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala
akut dan gejala kronik.
a. Gejala Akut Penyakit Diabetes melitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi
bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat
tertentu.
1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak
(Poli), yaitu:
a. Banyak makan (poliphagia).

b. Banyak minum (polidipsia).

c. Banyak kencing (poliuria).


2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
a. Banyak minum.

b. Banyak kencing.

c. Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan


cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu).

d. Mudah lelah.

e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan


penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.
b. Gejala Kronik Diabetes melitus

8
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes melitus
adalah sebagai berikut:
1. Kesemutan.

2. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.

3. Rasa tebal di kulit.

4. Kram.

5. Capai.

6. Mudah mengantuk.

7. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata

8. Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.

9. Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual


menurun,bahkan impotensi.

10. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
D. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan kadar
glukosa darah. Untuk penentuan Diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO, sedangkan
untuk pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
glukosa darah kapiler.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan
khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin
disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan,
gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada
wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

9
sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasiln
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan
sebagai patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali
saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu
kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada
hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL),
atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah
paska pembebanan >200 mg/dL.

10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan kategori yang ditandai
oleh kenaikan keadaan glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
Diabetes Mellitus adalah suatu kelainan metabolisme kronik yang terjadi
karena berbagai penyebab, ditandai dengan konsentrasi glukosa darah
melebihi normal, disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein yang diakibatkan oleh kelainan sekresi hormon insulin, kelainan
kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes Mellitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat
defisiensi insulin yang absolut atau relatif gangguan fungsi insulin.
(Katzung, 2001)

B. Patofisiologi
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu
masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang,
hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang
kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit,
sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam
pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada
DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi
juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin
(Suyono, 2005)
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek
utama kekurangan insulin yaitu :
a. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang
mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300

11
sampai 1200 mg per 100 ml.
b. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga
menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada
dinding vaskuler.
c. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :
1. Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi daripada
rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml darah, atau rentang non puasa
sekitar 140-160 mg/100 ml darah.
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam
tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa
itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang
dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati
dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan
glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada
penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik
sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia).
(Corwin, 2001)
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar
pada perubahan metabolik sebagai berikut :
a. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
b. Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap
terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
c. Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen
berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan dalam darah secara terus menerus
melebihi kebutuhan.
d. Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat)
meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang tercurah ke dalam darah
hasil pemecahan asam amino dan lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme

12
dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Karena mikroorganisme tersebut
sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan
maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera.
Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan
nutrisi. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan
pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita diabetes melitus
mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur.

2. Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel
karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis
merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi
larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus terjadinya
hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang
notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam
darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk
memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit).
Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis
menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan berakibat
peningkatan volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang menyebabkan
dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air
intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke
plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang
pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus.
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dan 370-380
mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat
berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (KHHN).
3. Starvasi Selluler
Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena

13
glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada
banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa
masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk
tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain :
a. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-
jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan
lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan
glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi
mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini
berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.
b. Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme
protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan
untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan
untuk proses aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogenesis akan dirubah
menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada

penurunan sintesis protein.


Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan
penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur
pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah
menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen
yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi
terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh
kalau cidera).
c. Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme
lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan
meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses
ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis
mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton

14
menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH darah menurun.
Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis
metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya
ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein
ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme penyesuaian tubuh
untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus
(polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan
tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai
organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan orggan tubuh
yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa baal dan mata
kabur).
(Sujono, 2008)

C. Terapi non farmakologi


1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan
diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien Diabetes
Mellitus, yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil
metabolis yang optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi.
Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada regulasi administrasi
insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan
yang sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi

15
resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus
glukosa.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka diet yang diberikan
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Jumlah energi diberikan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan umur,
jenis kelamin, tinggi badan, aktivitas fisik, proses pertumbuhan, dan
kelainan metabolik.
b. Jumlah karbohidrat disesuaikan dengan kesanggupan tubuh untuk
menggunakannya, yaitu berkisar 60–70% dari total konsumsi.
Makanan/minuman yang mengandung gula dibatasi, dan digunakan
jenis karbohidrat kompleks/makanan yang berserat.
c. Protein berkisar 12 – 20%, dan digunakan protein yang bernilai biologi
tinggi (nilai cernanya tinggi).
d. Lemak berkisar antara 20 – 25%, dan lemak jenuh serta kolestrol tidak
dikonsumsi.
e. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan tipenya, pengaturan makanan untuk terapi diet bagi
penderita Diabetes Mellitus dibagi sebagai berikut:
a. Pengaturan makanan pada DM tipe I
Waktu pemberian makanan untuk penderita yang medapat insulin
jenis intermediate atau long acting harus disesuaikan dengan waktu
saat insulin bekerja. Bila makanan terlambat diberikan, maka saat
insulin bekerja, tidak ada makanan atau makanan kurang dari
seharusnya, sehingga terjadi hipoglikemia (kadar gula darah kurang
dari normal).Gejala-gejala hipoglikemia antara lain gemetar,
berkeringat, lelah, lapar, gampang tersinggung, bingung, detak jantung
cepat sekali, pandangan kabur, nyeri kepala, tubuh kebas, atau
kesemutan di sekitar mulut dan bibir, bahkan bisa kejang-kejang atau
pingsan. Sebaliknya bila makanan terlalu banyak, tidak sesuai dengan
jumlah insulin yang diberikan, maka akan terjadi hiperglikemia (kadar
gula darah lebih dari normal). Seringkali, menu makanan yang tepat

16
dan waktu makan yang teratur dapat mencegah problem-problem
tersebut.
Untuk mengurangi resiko terjadinya kardiovaskuler, makanan
untuk semua penderita diabetes harus mempunyai kandungan lemak
yang rendah. Kandungan lemak tidak boleh lebih dari 30% dari total
energi dengan perbandingan antara asam lemak jenuh dan tak jenuh
1:1, dan kandungan kolesterol kurang dari 350 mg per hari.
Penderita DM dianjurkan untuk mengkonsumsi serat dalam jumlah
yang cukup. Serat dalam jumlah cukup akan menurunkan kecepatan
absorpsi karbohidrat serta menurunkan kadar lipid dalam serum,
sehingga dapat menekan kenaikan kadar gula darah setelah makan.
Selain itu juga dapat menekan kenaikan kadar kolesterol yang
diekskresikan ke dalam usus dari empedu.
b. Pengaturan makanan pada DM tipe II
Pada penderita DM tipe II, pengaturan makanan merupakan hal
yang sangat penting. Bila hasil pengaturan makanan tidak sesuai
dengan yang diharapkan, diperlukan obat-obat hipoglikemia OAD
(oral anti-diabetic) atau insulin.
Mayoritas penderita DM tipe II mengalami obesitas, oleh karena
itu tujuan utama dari pengaturan makanan adalah menurunkan berat
badan ke berat badan ideal. Untuk itu penderita diberi diet rendah
kalori atau rendah energi. Dengan diet rendah kalori, pada umumnya
keadaaan hiperglikemia dapat diperbaiki. Pada beberapa penderita,
pengurangan jumlah total energi waktu puasa dapat menormalkan
kadar glukosa
Penderita DM tipe II yang kurus tidak memerlukan pembatasan
jumlah energi yang ketat. Akan tetapi, semua penderita diabetes tipe II
harus mengurangi lemak dan kolesterol serta meningkatkan rasio asam
lemak tak jenuh dengan asam lemak jenuh.
2. Olah raga

17
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan
asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari
pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan
memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.
(Ditjen Bina Farmasi, 2005).
C. Terapi farmakologi
1. Terapi Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam
amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan
rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat
penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek kerja insulin
adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel (Tjay, 2002).
Macam-macam sediaan insulin:
1). Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya
baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid,
Velosulin, Humulin Regular.
2). Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya
larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat
injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah
mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah
bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3). Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan
dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja
berlainan, contoh: Mixtard 30 HM.

18
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2
kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar
glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan
kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan
sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah
insulin.
(Waspadji, 2010)
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan
pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua
jenis obat (Katzung, 2001).
Pada diabetes tipe 1, mutlak memerlukan suntikan insulin setiap hari;
sedangkan pada diabetes tipe 2, kadang dengan diet dan olahraga saja
glukosa darah bisa menjadi normal, namun umumnya perlu minum obat
anti diabetes secara oral atau tablet, pada keadaan tertentu diabetes tipe 2
memerlukan suntikan insulin, atau bahkan perlu kombinasi suntikan insulin
dan tablet. Dinegara yang sudah maju, telah dipikirkan upaya cangkok
pankreas untuk mengganti pankreas yang sudah rusak, hanya saja hasilnya
sampai saat ini belum ada yang memuaskan. Kemajuan teknologi dewasa
ini telah menemukan banyak obat tablet jenis baru dengan hasil yang cukup
menggembirakan, demikian pula bermacam-macam insulin baru telah
dipasarkan. Sehingga disamping angka kejadian diabetes yang terus
meningkat, kemajuan dalam pengobatan diabetes juga terus berpacu untuk
mengantisipasinya. Terdapat bermacam-macam tablet oral untuk
menurunkan glukosa darah. Obat tablet ini disebut sebagai Oral Anti
Diabetes (OAD) atau Oral Hypoglycemic Agents (OHA). Hingga kini
dikenal ada lima macam OAD yang dipasarkan, tiap macam OAD
mempunyai susunan kimia yang berbeda dan cara menurunkan glukosa
yang berlainan. Ada yang merangsang pankreas untuk memproduksi insulin
lebih banyak, yang lain bekerja mengurangi resistensi terhadap insulin,

19
sedangkan yang lainnya menghambat penyerapan karbohidrat dari usus.
Pasien diabetes tipe 2, pada permulaan pengobatan biasanya memakai satu
jenis OAD, namun untuk lebih efektif menurunkan glukosa darah, kadang
diperlukan lebih dari satu macam OAD (Katzung, 2001)
Dibawah ini merupakan kelima golongan OAD yang digunakan
sebagai terapi farmakologis DM Tipe II:

a. Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah tablet OAD yang paling banyak dikenal dalam
puluhan tahun terakhir ini. Untuk menurunkan glukosa darah, obat ini
merangsang sel beta dari pankreas untuk memproduksi lebih banyak
insulin. Jadi syarat pemakaian obat ini adalah apabila pankreas masih baik
untuk membentuk insulin, sehingga obat ini hanya bisa dipakai pada
diabetes tipe 2.
Kebanyakan pasien diabetes mengenal obat golongan sulfonilurea
ini, yaitu antara lain :Chlorpropamide, Glibenclamide atau Glyburide. Saat
ini yang paling banyak dipakai adalah glimepiride, glibenclamide, dan
glipizide.
Pemberian obat sulfonilurea biasanya 15 sampai 30 menit sebelum
makan. Glibenclamide adalah OAD yang cukup kuat menurunkan glukosa

20
darah, pada dosis yang tinggi bisa menyebabkan hipoglikemia. Obat ini di
pasaran dikenal dengan nama dagang Daonil atau Euglucon, masih ada
lagi buatan lokal, seperti Glimel, Renabetic, Prodiamel, atau yang generik
Glibenclamide buatan Indo Farma. Glimepiride diberikan satu kali sehari,
yang ada di pasaran bisa 1 mg, 2 mg, 3 mg, atau 4 mg. Obat ini aman bagi
penderita dengan komplikasi ginjal, karena tidak mengganggu absorpsi
maupun kerja obat. Obat orisinal adalah Amaryl, yang buatan lokal antara
lain Metrix, Gluvas, Amadiab, atau Glamarol. Glipizide relatif lebih ringan
dan lebih jarang menimbulkan hipoglikemia, tinggal dalam peredaran
darah hanya beberapa jam, kecuali yang tipe XL, beredar dalam darah
sampai 24 jam. Contoh yang orisinal adalah Minidiab atau Glucotrol dan
Glucotrol XL, ada sediaan 5 mg atau 10 mg.
Efek Samping
Sulfonilurea bisa menyebabkan hipoglikemia, terutama bila
dipakai dalam 3-4 bulan pertama pengobatan akibat perubahan diet dan
pasien mulai sadar berolahraga serta minum obat. Apabila ada gangguan
fungsi ginjal atau hati, dosis perlu diperhatikan karena lebih mudah timbul
hipoglikemia. Namun secara umum obat ini baik untuk menurunkan
glukosa darah.
Yang Harus Diperhatikan
Semua usaha menurunkan glukosa darah diluar obat seperti
olahraga lebih dari biasanya, tidak makan atau makan terlalu sedikit,
apabila dilakukan bersamaan dengan minum sulfonilurea, mudah
menyebabkan hipoglikemia.
Demikian bila menggunakan beberapa obat pilek decongestan, atau
alkohol, bisa menurunkan glukosa. Sebaliknya pada pemakaian steroid,
penyekat beta, niacin, atau obat jerawat retin-A, dapat mengurangi efek
obat sehingga glukosa tidak mau turun.
b. Biguanides
Obat biguanides memperbaiki kerja insulin dalam tubuh, dengan
cara mengurangi resistensi insulin. Pada diabetes tipe 2, terjadi

21
pembentukan glukosa oleh hati yang melebihi normal. Biguanides
menghambat proses ini, sehingga kebutuhan insulin untuk mengangkut
glukosa dari darah masuk ke sel berkurang, dan glukosa darah menjadi
turun.
Karena cara kerja yang demikian, obat ini jarang sekali
menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya biguanides yang beredar di
pasaran adalah Metformin, contohnya Glucophage, masih ada lagi produk
lokal misalnya Diabex, Glumin, Glucotika, Formell, Eraphage, Gludepatic,
dan Zumamet. Ada satu keuntungan obat ini adalah tidak menaikkan berat
badan, jadi sering diresepkan pada diabetes tipe 2 yang gemuk. Obat ini
juga sedikit menurunkan kolesterol dan trigliserida.
Obat ini biasanya diminum dua sampai tiga kali sehari sesudah makan.
Ada kemasan Glucophage XR yang bekerja 24 jam, diminum sekali sehari.
Obat yang termasuk golongan ini adalah: Gliquidone, Gliclazide, Glipizide,
Glimepiride.
Efek Samping
Metformin biasanya jarang memberikan efek samping. Tetapi pada
beberapa orang bisa timbul keluhan terutama pada saluran cerna,
misalnya: gangguan pengecapan, nafsu makan menurun, mual dan muntah,
kembung, diare, pada beberapa penderita dilaporkan bisa menimbulkan
ruam atau bintik-bintik di kulit.
Efek samping di atas biasanya timbul pada beberapa minggu pertama
penggunaan obat, yang akan berangsur berkurang. Untuk menghindari
efek samping ini, dianjurkan minum obat bersama atau sesudah makan,
dan dimulai dari dosis kecil yang kemudian dosis ditingkatkan. Bila
dikombinasikan dengan obat lain, misalnya sulfonilurea, meglitinide, atau
insulin, obat metformin bisa menimbulkan hipoglikemia.
Yang Harus Diperhatikan
Hati-hati jangan minum alkohol, bila alkohol dan metformin diminum bersama,
bisa terjadi penimbunan obat dalam tubuh dan timbul lactic acidosis, keadaan ini
bisa berbahaya, dengan keluhan sebagai berikut:

22
1) Rasa capai
2) Nyeri otot
3) Sukar bernafas
4) Nyeri perut
5) Pusing, mengantuk, sampai gangguan kesadaran.
Keluhan perut akibat obat metformin bisa diatasi dengan obat simetidin atau
obat perut lain untuk mengatasi keluhan mual, muntah, kembung, dan diare.
Bila terjadi lactic acidosis (meskipun jarang), harus menghentikan obat
metformin, dan dokter perlu memberi suntikan iv dye (obat kontras yang biasanya
digunakan untuk pemeriksaan radiologi).
c. Alpha-glucosidase inhibitors
Obat golongan ini bekerja di usus, menghambat enzim di saluran cerna, sehingga
pemecahan karbohidrat menjadi glukosa atau pencernaan karbohidrat di usus
menjadi berkurang. Hasil akhir dari pemakaian obat ini adalah penyerapan
glukosa ke darah menjadi lambat, dan glukosa darah sesudah makan tidak cepat
naik. Termasuk obat golongan ini kita kenal dengan Acarbose dan Miglitol.
Acarbose ada di pasaran dengan nama Glucobay, dalam kemasan 50 mg dan 100
mg, yang diminum bersamaan dengan makanan, ditujukan terutama untuk
mengatasi kenaikan glukosa darah sesudah makan.
Efek Samping
Obat ini umumnya aman dan efektif, namun ada efek samping yang kadang
mengganggu, yaitu perut kembung, terasa banyak gas, banyak kentut, bahkan
diare. Keluhan ini biasanya timbul pada awal pemakaian obat, yang kemudian
berangsur bisa berkurang. Bila diminum bersama dengan suntikan insulin atau
tablet sulfonilurea, kadang bisa menyebabkan hipoglikemia. Apabila efek
samping ini terjadi, maka dianjurkan minum susu atau suntik glukosa, karena
makanan gula atau buah manis akan dihambat penyerapannya oleh acarbose.
Yang Harus Diperhatikan
Karena kerap timbul keluhan perut, maka acarbose jangan diberikan pada
keadaan radang usus kronis, ulcerative colitis atau Crohn’s disease. Dosis yang

23
tinggi dari acarbose dapat menggangu fungsi hati, tetapi bila dosis obat diturunkan
atau dihentikan maka hati akan pulih (reversible).
d. Meglitinides
Obat ini secara susunan kimiawi berbeda dengan sulfonilurea, namun cara
kerjanya sama. Obat ini menyebabkan pelepasan insulin dari pankreas secara
cepat dan dalam waktu singkat. Sehubungan dengan sifat cepat dan singkat ini,
maka obat ini harus diminum bersama dengan makanan. Termasuk golongan obat
ini adalah Repaglinide (Novonorm) dan Nateglinide (Starlix).
Efek Samping
Meskipun sama seperti sulfonilurea, efek samping hipoglikemia boleh dikatakan
jarang terjadi, hal ini disebabkan oleh efek rangsangan pelepasan insulin
hanya terjadi pada saat glukosa darah tinggi.
Yang Harus Diperhatikan
Seperti halnya dengan sulfonilurea, hati-hati bila minum alkohol atau efek
interaksi denga obat lain.
e. Thiazolidinediones
Obat ini baik bagi penderita diabetes tipe 2 dengan resistensi insulin, karena
bekerja dengan merangsang jaringan tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin,
sehingga insulin bisa bekerja dengan lebih baik, glukosa darahpun akan lebih
banyak diangkut masuk ke dalam sel, dan kadar glukosa darah akan turun.
Selain itu, obat thiazolidinediones juga menjaga hati agar tidak banyak
memproduksi glukosa. Efek menguntungkan lainnya adalah obat ini bisa
menurunkan trigliserida darah.
Termasuk kelompok obat ini adalah Pioglitazone (Actos) dan
Rosiglitazone (Avandia). Dulu ada Troglitazone (Rezulin), yang ditemukan pada
tahun 1997, namun beberapa tahun yang lalu telah ditarik dan dilarang
beredar, karena menimbulkan kerusakan hati.
Efek Samping
Beberapa efek merugikan yang mungkin timbul adalah bengkak, berat badan naik,
dan rasa capai. Efek serius yang jarang terjadi adalah gangguan hati, sehingga
pada pemakaian pioglitazone atau rosiglitazone, perlu pemeriksaan faal hati

24
terutama pada tahun pertama pemakaian obat. Keluhan gangguan hati yang
mungkin terjadi antara lain:
1) Mual dan muntah
2) Nyeri perut
3) Rasa capai
4) Nefsu makan turun
5) Warna urin kuning tua
6) Warna kulit kuning
Yang Harus Diperhatikan
Obat ini baik sekali diserap bila diminum bersama dengan makanan, dan tidak
menyebabkan hipoglikemia. Akan tetapi bila dikombinasikan dengan sulfonilurea
atau insulin, maka mungkin bisa menyebabkan hipoglikemia.
(Katzung, 2001)

25
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan kategori yang ditandai
oleh kenaikan keadaan glukosa dalam darah atau hiperglikemia
2. Diabetes Mellitus memiliki 2 tipe, dimana DM tipe I merupakan
ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi insulin yang disebabkan
karena kerusakan sel β pankreas (penghasil insulin) oleh reaksi autoimun.
Sedangkan DM tipe II merupakan kondisi dimana pemasukan glukosa
berlebihan sehingga insulin tidak dapat melakukan tugasnya untuk
mentranspor glukosa kedalam sel sehingga kadar gula dalam darah tinggi.
3. Terapi non farmakologi yang dilakukan untuk penderita diabetes adalah
dengan terapi diet tertentu dan olahraga teratur.
4. Terapi farmakologi yang dilakukan untuk penderita diabetes adalah
dengan terapi insulin atau obat oral anti diabetes.

26
DAFTAR PUSTAKA

Corwin J. E, 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care untuk penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Katzung, Bertam G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba


Medika.

Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi Buku 2 Edisi 4. Jakarta: Penebit


Buku Kedokteran EGC.

Sujono, Riyadi dan Sukarmin. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Suyono, Slamet dkk. 2005. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang


Diabetes. Jakarta : FKUI.

Tjay, T. H. K. 2002. Obat – Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Elex
Media Komputindo. Jakarta.

Waspadji, dkk. 2004. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

27

Anda mungkin juga menyukai