Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ATRESIA ANI


DI NEONATAL INTENSIF CARE UNIT (NICU)
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Untuk Memenuhi Tugas Individu


Praktek Profesi Keperawatan Stase Keperawatan Anak

Disusun oleh :
Hanif Miftahul’Iza
17/420973/KU/20158

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN,KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2018
LAPORAN PENDAHULUAN

ATRESIA ANI

1. Pengertian
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Corwin, Elizabeth J. 2009).
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, dkk. 2009).
Menurut Smeltzer dan Bare. (2011) anus imperforata dalam 4
golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang butnu terletak pada
bermacam macam jarak dari peritonium
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan
congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang
terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah
terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada
pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

2. Klasifikasi
a. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot
puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung
anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
c. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak
ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius –
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung
buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari1 cm.

3. Etiologi
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan
penyakit anomaly kongenital (Bets. Ed 3 tahun 2009)
Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur..
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu/3 bulan.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

4. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
a. Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan
berusia 12 minggu atau tiga bulan
d. Berkaitan dengan sindrom down
e. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
f. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis
sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
g. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan
fecal tidak dapat dikeluarkan sehingga intenstinal menyebabkan
obstruksi.
Terdapat tiga macam letak :
a. Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani
(m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum
dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya
disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
b. Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
c. Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm. Pada
wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum. Pada laki-laki
umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius.

5. Tanda dan gejala


Menurut Ngastiyah ( 2010 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia
ani atau anus .imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu
dapat berupa:
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik
dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium
(mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Tanda dan gejala Menurut Betz, dkk. 2009 :
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah
letaknya.
4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila
tidak ada fistula)
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal
7. Perut kembung. ( Betz, dkk. 2009)
6. Penatalaksanaan
Pembedahan

1.Tindakan Sementara

a. Tindakan spontan tergantung tinggi rendahnya atresia. Anak


segera dipuasakan untuk pembedahan. Bila diduga ada
malformasi rektum, bayi harus segera dikirim ke ahli bedah
yaitu dilakukan kolostomi transversum akut. Ada 2 tempat
yang kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan
bayi yaitu transversokolostomi dan sigmoidkolostomi.
Khusus untuk defek tipe kloaka pada perempuan selain
kolostomi juga dilakukan vaginostomi dan diversi urine jika
perlu (setelah anak lebih besar 1 – 1,5 tahun).

b. Pada malformasi anus laki-laki tipe covered anal dilakukan


insisi/ diiris hanya pada garis hitam di kulitnya, kemudian
diperlebar perlahan-lahan dan apabila ada lubang dilanjutkan
dengan kelingkin yang dilapisi vaselin didorong masuk
sampai teraba/ menonjol ujung rektum kemudian ujung
rektum di insisi tanpa dijahit. Pada defek letak rendah
langsung dilakukan terapi definitif yaitu anorektoplasti
posterior sagital (PSARP), sisanya dilakukan kolostomi
sementara.

2.Tindakan Definitif

a. Pembedahan definitif ini dimaksudkan untuk menghilangkan


obstruksi dan mempertahankan kontak kontinensi. Untuk
malformasi rectum setelah bayi berumur 6 bulan dilakukan
ano-rekto-vagina-uretroplasti posterior sagital (PSAVURP).

b. Pada malformasi anus tindakan koreksi lebih lanjut


tergantung pada defek ;

1) Pada malformasi anus yang tidak ada fistel tetapi tampak


ada anal dimple dilakukan insisi dianal dimple melalui tengah
sfingter ani eksternus.

2) Jika fistel ano uretralis terapi anal dimple tidak boleh


langsung ditembus tapi lebih dulu fistel ano uretralis tersbeut
diikat. Bila tidak bisa kasus dianggap dan diperlakukan
sebagai kasus malformasi rektum.

c. Pada agenesis anorektal pada kelainana tinggi setelah bayi


berat badan mencapai 10 kg tersebut harus diperbaiki dengan
operasi sakroperineal atau abdomino perineal dimana kolon
distal ditarik ke aneterior ke muskulus puborektalis dan
dijahitkan ke perinuem. Pada anomali ini, sfingter ani
eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter internus,
sehingga kontinensi fekal tergantung pada fungsi muskulus
pubo rektalis. Sebagai hasil dari anak dengan kelainan tinggi
tanpa muskulatur atau muskolatur yang buruk, kontinensia
mungkin didapat secara lambat tetapi dengan pelatihan
intensif dengan menggunakan otot yang ada, pengencangan
otot kemudian dengan levator plasti, nasihat tentang diet dan
memelihara "neorektum" tetap kosong, kemajuan dapat
dicapai. (Wong, 1999)

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan


keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit
prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi
beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus
permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada
bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12
bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang.

Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat


badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas
dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang
pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa
hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran
tersebut dilubangi degan hemostratau skapel.

Pengobatan.

1. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)


2. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan
setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus
permanen)

Keperawatan

Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada


anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan
operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya
dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi
tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan
dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi serta
memperhatikan kesehatan bayi. (Smeltzer dan Bare, 2011).

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan
diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini. Pemeriksaan
fisik rectum kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-
sel epitel mekonium.
c. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice)
dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum
yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung
kantong rectal.
d. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal
kantong. Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk
melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan
dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.
e. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan
menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika
mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek
tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di
daerah tersebut.
Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru
lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia
reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara
berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak,
sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan
bayangan udara tertinggi dapat diukur.
g. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari
sfingternya.
h. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
i. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
j. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
k. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
l. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan
infeksi). (Ngustiyah, 2010)
Faktor kongenital dan factor lain
Yang tidak diketahui/ idiopatik
Pathway Atresia Ani Atresia Ani

Ujung rektum buntu

Ketidakmampuan fekal dikeluarkan

Pre operasi Fekal menjadi menumpuk diatas Dilakukan tindakan operasi

Kurang pengetahuan
tentang tindakan operasi Colostomy Terputusnya kontinuitas Pembuatan lubang anus
Obstruksi jaringan
Respon psikologis

Pasien dan keluarga cemas Distensi abdomen Perubahan konsep Pot de entri Waktu lama tidak
Diri mikroorganisme terkontrol

Mendorong diafragma Meransang peningkatan


MK: Anxietas Peristaltik usus HDR Memudahkan masukknya Penutupan anus
kuman kedalam tubuh
Complien paru terganggu
MK: Body image Distensi abdomen
Infeksi
Kebutuhan O2 Pergerakan Penumpukkan
tidak adekuat Makanan lambat feses Penumpukan feses

MK: Infeksi
Pernafasan tidak optimal Rasa penuh diperut Proses peradangan
MK: Gangguan
eliminasi BAB
Sesak Peningkatan HCL Pengeluaran inter Meransang mediator kimia
(asam lambung) Leukin I (bradikinin, serotonin,histamin
Prostaglandin)diujung-ujung saraf bebas

Anorexia, mual, muntah Set point temperatur Radix dorsalis


meningkat
Impuls/ rangsangan
MK: Gangguan pemenuhan
Kebutuhan O2
Febris Modula spinalis
MK: Gangguan
Pemenuhan Thalamus
Kebutuhan nutrisi
MK: Peningkatan Korteks serebri
Suhu tubuh/
hipertermi Persepsi nyeri
Muntah berlebihan

MK: Defisit volume cairan MK: Gangguan rasa


nyaman nyeri
A. ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian
Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama,
alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi. Antara lain :

1. Anamnesis
Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.Masalah yang dirasakan klien yang sangat
mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung
misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.
a. Keluhan utama Klien
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi
abdomen, kembung, muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah
lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan
bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
d. Riwayat Nutrisi
Meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak
e. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada
perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
f. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang
menderita Hirschsprung.
g. Riwayat sosial
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
h. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
i. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat
capilary refil, warna kulit, edema kulit.
b. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
c. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi
apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
d. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
e. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus,
adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah
(frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
Pre Operasi
1) Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital, asupan dan keluaran)
2) Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus.
3) Kaji adanya tanda-tanda enterokolitis
4) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pembedahan yang akan datang
5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
Post Operasi
1) Kaji status pascabedah anak (tanda-tanda vital, bising usus, distensi
abdomen)
2) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan
3) Kaji adanya komplikasi
4) Kaji adanya tanda-tanda infeksi
5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
6) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan.
7) Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan pengobatan dan
perawatan yang berkelanjutan.

 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Pre operasi
1. Gangguan eliminasi BAB berhubungan dengan
2. Mual berhubungan dengan dilatasi usus
3. Pola Nafas tidak efektif behubungan dengan distensi abdomen
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang inadekuat.
5. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
6. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pengobatan
7. Hipertermia berhubungan dengan Prses peradangan dan perjalanan Penyakit
Post operasi
1. Kerusakan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
2. Nyeri b/d insisi pembedahan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
 Intervensi
Pre operasi

No Dx Tujuan Intervensi

1. Gangguan eliminasi BAB BAB lancar, dengan Bowel management


1. Catat BAB terakhir
Kriteria Hasil :
2. Monitor tanda konstipasi
 Feses lunak
3. Anjurkan keluarga untuk mencatat warna,
 Anak tidak kesakitan saat BAB. jumlah, frekuensi BAB.

 Tindakan operasi colostomi 4. Berikan supositoria jika perlu.

Bowel irrigation
1. Jelaskan tujuan dari irigasi rektum.

2. Check order terapi.

3. Jelaskan prosedur pada orangtua pasien.

4. Berikan posisi yang sesuai.

5. Cek suhu cairan sesuai suhu tubuh.

6. Berikan jelly sebelum rektal dimasukkan.

7. Monitor effect dari irigasi.


2. Cemas berhubungan dengan Cemas keluarga pasien tertangani dengan 1. Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan.
perubahan dalam status kesehatan
anak Kriteria Hasil: 2. Kaji pemahaman orangtua terhadap kondisi anak,
tindakan yang akan dilakukan pada anak.
- Ibu terlihat lebih tenang
3. Anjurkan orang tua untuk berada dekat dengan
- Ibu dapat bertoleransi dengan keadaan anak.
anak.
4. Bantu pasien mengungkapkan ketegangan dan
kecemasan.

3. Defisit pengetahuan berhubungan Orang tua tahu mengenai perawatan anak 1. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit.
dengan tidak mengenal dengan dengan Kriteria Hasil:
sumber informasi 2. Jelaskan tentang penyakit, prosedur tindakan dan
1. Mampu menjelaskan penyakit, cara perawatan bersama dengan dokter.
prosedur operasi
3. Informasikan jadwal rencana operasi: waktu,
2. Mampu menyebutkan tindakan tanggal, dan tempat operasi, lama operasi.
keperawatan yang harus dilakukan.
4. Jelaskan kegiatan praoperasi : anestesi, diet,
3. Mampu menyebutkan cara perawatan. pemeriksaan lab, pemasangan infus, tempat
tunggu keluarga.

5. Jelaskan medikasi yang diberikan sebelum


operasi: tujuan, efek samping.

6. Lakukan diskusi dengan keluarga pasien dengan


penyakit yang sama.

7. Jelaskan cara perawatan post operatif.


4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Status nutrisi baik, dengan Kriteria Hasil: 1. Kaji nafsu makan, lakukanpemeriksaan
dari kebutuhan tubuh berhubungan abdomen,adanya distensi, hipoperistaltik.
dengan penurunan absorbsi usus. 1. Diet seimbang, intake adekuat.
2. Ukur intake dan output, berikan per oral / cairan
2. BB normal. intravenasesuai program (hidrasi adalah masalah
yang paling penting selama masa anak-anak).
3. Nilai lab darah normal: HB, Albumin,
GDR. 3. Sajikan makanan favorit anak, dan berikan
sedikit tapi sering.

4. Atur anak pada posisi yang nyaman (fowler)

5. Timbang BB tiap hari pada skala yang sama.

5. Kekurangan volume cairan b.d Klien tidak mengalami kekurangan cairan 1. Timbang berat badan tiap hari
kehilangan volume caian secara aktif dengan
2. Kelola catatan intake dan output
Kriteria:
3. Monitor status hidrasi (membran mukosa, nadi
1. Menunjukkan urine output normal adekuat, ortostatik TD)
2. Menunjukkan TD, nadi dan suhu dbn 4. Monitor hasil laboratorium yang menunjukkan
retensi cairan
3. Turgor kulit, kelembaban mukosa dbn.
5. Monitor keadaan hemodinamik
4. Mampu menjelaskan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kehilangan 6. Monitor vital sign
cairan
7. Monitor tanda-tanda kelebihan atau kekurangan
volume cairan

8. Administrasi terapi Intra vena

9. Monitor status nutrisi


10. Berikan cairan dan intake oral.

11. Monitor intake dan output

12. Monitor serum, dan elektrolit

13. Monitor hasil laboratorium

14. Hitung kebutuhan cairan

15. Observasi indikasi dehidrasi

16. Kelola pemberian intake oral

17. Monitor tanda dan gejala over hidration

6. Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Respiratory monitoring
brhubungan dengan distensi jam, status respirasi: ventilasi dengan
abdomen indikator: 1. Monitor rata-rata, irama, kedalaman dan usaha
respirasi
1. Respiratory Rate (5) 2. Perhatikan pergerakan dada, amati
kesemetrisan, penggunaan otot-otot aksesoris,
2. Ekspansi dinding dada simetris (5) dan retraksi otot supraklavikuler dan interkostal
3. Monitor pola pernafasan: bradipneu, takipneu,
3. Mampu melakukan inspirasi dalam (5) hiperventilasi, respirasiKussmaul,
4. Tidak mengalami dispnea (5) respirasi Cheyne-Stokes
4. Monitor peningkatan ketidakmampuan istirahat,
5. Tidak mengalami ortopnea (5) kecemasan, dan haus udara, perhatikan
perubahan pada SaO2, SvO2, CO2 akhir-tidal,
Auskultasi bunyi nafas dalam rentang dan nilai gas darah arteri (AGD), dengan tepat
normal (5) 5. Monitor kualitas dari nadi
6. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit.
7. Mual berhubungan dengan dilatasi Keparahan Mual dan Muntah Manajemen Mual (1450)
usus a. Kolaborasi pemberiaan antiemetik
dengan kriteria hasil : b. Kontrol faktor lingkungan yang dapat
mencetuskan mual Kurangi/hilangkan faktor
a. Frekuensi mual personal yang memicu/meningkatkan mual
b. Intensitas mual (cemas, takut, fatig, kurang pengetahuan)
c. Frekuensi muntah c. Dorong penggunaan teknik nonfarmakologis
d. Intensitas muntah untuk mengontrol rasa mual
e. Tidak terjadi penurunan berat d. Tingkatkan tidur dan istirahat yang cukup untuk
badan memfasilitasi pengurangan mual
f. Tidak ada nyeri perut e. Lakukan kebersihan mulut yang sering untuk
g. Tidak ada darah dalam muntahan meningkatkan kenyamanan, keecuali jika
h. Keseimbangan elektrolit terjaga menstimulasi muntah
f. Dorong makan sedikit tapi sering
g. Jarkan penggunaan teknik nonfarmakologis
(biofeedback, terapi musik, distraksi,
acupressure, guided imagery) untuk mengelola
muntah

Post Operasi

No Dx Tujuan dan Kriteria hasil Intervesi

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen Level nyeri Management nyeri


injuri fisik 1. Kaji nyeri meliputi karakteristik, lokasi, durasi,
Setelah dilakukan asuhan keperawatan frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.
selama 3x24 jam diharapkan level
berkurang dengan kriteria : 2. Observasi ketidaknyamanan non verbal

1. Anak tidak rewel 3. Berikan posisi yang nyaman

2. Ekspresi wajah dan sikap tubuh 4. Anjurkan ortu untuk memberikan pelukan agar anak
rileks merasa nyaman dan tenang.

3. Tanda vital dbn 5. Tingkatkan istirahat

2. Resiko infeksi berhubungan dengan Resiko infeksi terkontrol dengan Infektion control
prosedur invasif kriteria : 1. Terapkan kewaspadaan universal cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan keperawatan.
- bebas dari tanda-tanda infeksi
2. Gunakan sarung tangan setiap melakukan tindakan.
- tanda vital dalam batas normal
3. Berikan personal hygiene yang baik.
- hasil lab dbn
Proteksi infeksi
1. Monitor tanda-tanda infeksi lokal maupun sistemik.

2. Monitor hasil lab: wbc, granulosit dan hasi lab yang lain.

3. Batasi pengunjung

4. Inspeksi kondisi luka insisi operasi.

Ostomy care
1. Bantu dan ajarkan keluarga pasien untuk melakukan
perawatan kolostomi

2. Monitor insisi stoma.

3. Pantau dan dampinggi keluarga saat merawat kolostomi

4. Irigasi stoma sesuai indikasi.

5. Monitor produk stoma

6. Ganti kantong kolostomi setiap kotor.


Medikasi terapi
1. Beri antibiotik sesuai program

2. Tingkatkan nutrisi

3. Monitor keefektifan terapi.

3 Kerusakan integritas kuit/ jaringan Integritas Jaringan: Kulit Dan Perawatan Luka (3660)
berhubungan dengan prosedur operasi Selaput Lendir (1101) a. Angkatbalutan dan plester perekat pada luka
dengan kriteria hasil : b. Cukur rambut sekitar daerah yang terkena
a. Temperatur kulit normal luka/plester balutan
b. Hidrasi kulit normal c. Monitor karakteristikluka (drainase, warna,
c. Tekstur kulit normal ukuran, dan bau)
d. Kelembapan kulit normal d. Lakukan perawatan luka sesuai kebutuhan dan
e. Integritas kulit normal karakteristik luka
f. Pigmentasi kulit normal e. Ganti balutan sesuai kondisi, jumlah eksudat dan
g. Lesi pada kulit tidak ada drainase
h. Kemeraan pada kulit tidak f. Bandingkan dan catat setiap perubahan luka
tampak g. Dorong asupan cairan
h. Ajarkan paien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi pada luka
Perawatan daerah (area) sayatan (340)

a. Periksa daerah sayatan terhadap adanya


kemerahan, bengkak, tanda-tanda eviserasi
b. Monitor roses penyembuhan di daerah sayatan
c. Lakukan perawatan luka daerah sayatan sesuai
protokol
d. Gunakan pakaian yang sesuai untuk melindungi
luka sayatanAjarkan pasien dna keluarga cara
merawat luka insisi, termasuk tanda-tanda infeks
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily & Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih
bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC
Bulecheck, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., Wagner, C.M., 2013.
Nursing Interventions Classification (NIC) 6th Edition.USA :
Elsevier Mosby.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC
Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta :
Media Aesulapius FKUI
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2013. Nursing
Outcomes Classification (NOC) 5th Edition. SA : Elsevier Mosby.
NANDA. 2014. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2012-
2014. The North American Nursing Diagnosis Association.
Philadelphia. USA.
Prawirohardjo,S. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : YBP-SP.
Ngastiyah. 2010. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer dan Bare. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L. Dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai