Anda di halaman 1dari 37

BAB I

KONSEP KEPERAWATAN BENCANA

A. Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-duga.
Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri. Kondisi ini
harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan dasar
komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah atau bahkan bisa
membaik.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons.
Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat pasti
punya sebab dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada simpton simpton
persoalan, tetapi menyentuh substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian kondisi
darurat perlu dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri.
Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif penanganan
terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya diikuti dengan
kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut perbaikan-perbaikan
infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada proses
kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif.
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan
terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat besar.
Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat. Komitmen,
kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik) dalam rangka
memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan
karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak
bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk
memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber
daya yang kita miliki akan memberikan arti bila didasarkan pada pemahaman kondisi yang
baik dan perencanaan yang tepat dan cepat, mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat
dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika kita
mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka komunitas
manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam batas-batas
minimum

B. Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan bencana.

Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang jenis bencana, fase-fase bencana
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat komunitas dalam
manajemen kejadian bencana
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan bencana dibidang kesehatan
d. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana
e. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana
.
C. Konsep keperawatan bencana
a. Konsep Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan kerugian
baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008). Fenomena
atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa
pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi,
kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga
memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster menurut
WHO adalah setiap kejadian, situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy
& Mahfudli, 2009).

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana


1. Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau kerentanan
tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi, cuaca, iklim (Urata,
2008).
2. Faktor sosial
Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya: pembangunan
bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka urbanisasi, kemiskinan,
pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata, 2008).

c. Jenis Bencana Alam


Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2008)
1. Bencana alam ( natural disaster)
Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah terjadi kelebihan
kapasitas komunitas yang terkena dampaknya.
a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi
yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas
gunung api atau runtuhan batuan. Gempa bumi menyebabkan kerusakan fisik
sarana dan prasarana dan menyebabkan banyak korban. Masalah kesehatan
yang sering muncul cacat karena patah tulang dan masalah sanitasi.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal
dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir
lahar. Masalah kesehatan yang di hasilkan adalah kematian, luka bakar,
gangguan pernafasan akibat gas. Letusan gunung merapi dapat menyebabkan
masalah gizi karena menyebabkan rusaknya tanaman, pohon serta hewan
ternak.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan
("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah
serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya
pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami menyebabkan kerusakan
bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum, kerusakan sumber air bersih.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau
daratan karena volume air yang meningkat.
Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air
yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.
2. Bencana buatan manusia
Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas manusia
contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan lalulintas, kebocoran
gas.
3. Bencana khusus
Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir
b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua dank ke
tiga serta di susul penyebarannya.
c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara bencana
alam dengan bencana akibat ulah manusia.
d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi kejadian
dan penyelamatan korban.

d. Kelompok Rentan
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban,
sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat
manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang berfokus
pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak
tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1)
menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang membutuhkan
bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia.
Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya
tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan
banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam mengalokasikan
dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman
dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.

e. Peran Perawat Dalam Bencana


Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran perawat
menurut fase bencana:
1. Fase pre impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi memberikan
tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga yang
lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan minuman untuk
persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer
telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu
pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan
revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE :
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada,
perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka
bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam
keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit.
Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera
medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
d. Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat
dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk
kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan dalam
jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan pendampingan.

f.Permasalahan di Bidang Kesehatan


Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik langsung
maupun tidak langsungterhadap bidang kesehatan.
1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko
mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan
keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit.
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar
kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi
menyebabkan terjadinya KLB.
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia tidak
lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA, campak dan
malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai The Big Four.
Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan bencana yang terjadi. Banjir
di Jakarta pada awal tahun 2007 selain menimbulkan peningkatan kasus Diareyang
tinggi, juga memunculkan kasus leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus
dengan 19 kematian (CFR 7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun
2006 mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal
dunia.
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab
bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak, dan lain-lain.
Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi
4 fase, yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase) dan fase
sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan
terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana
selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai kerugian
yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat
melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi
bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan
secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut, 48 jam
pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan /
pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka pada saat mengungsi
atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya
permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya
sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana),
orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan
aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun rencana-
rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban.
Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai
mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan
kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi
tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan,
namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha
menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan
rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak
dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana,
sehingga dengan menggunaan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan
individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.

g.Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana


Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami
perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu, pelayanan
medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam menanggulangi
setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti di bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi
berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan. Untuk
menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan
lancarnya pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan pertama), dan
transportation ( transportasi) pada korban luka, yang dalam pelayanan medis
bencana disebut dengan 3T. selain tindakan penyelamatan secara langsung,
dibutuhkan juga perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik
di rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian
yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari
tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-hal
yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan supaya dapat
menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi
kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan
kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat,
pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di
daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan
bantuan.

h.Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan


Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka penanggulangan
bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan
masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan
sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca
bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban :kualitas
tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard. Kekurangan jumlah
maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat
nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan
genagan air yang memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan
pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau
fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui
intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya.
Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu
hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam
catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak. Jenis
imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang
dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan
imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun
2006.
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit potensi
KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian
penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi
yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.

Menurut DepKes RI (2006a) manajemen siklus penanggulangan bencana


terdiri dari:
1. impact (saat terjadi bencana)
2. Acute Response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (Mitigasi)
7. Preparedness (kesiapsiagaan).
Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan dalam siklus
bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk menyelamatkan
kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan rehabilitatif. Menurut DepKes RI
(2006a) untuk mengetahui manajemen penanggulangan bencana secara
berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan bencana dan peran tiap
komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut:
1. Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia,
baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benda dan
lingkungan, yang melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk
mengatasinya.
2. Tanggap darurat (acute response)
Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan untuk
menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana, terutama
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
3. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak fisik dan
psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula.
Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan,
listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat
bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang dilakukan setelah
kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah,
fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda
ekonomi. Tahapan yang kedua yaitu rekonstruksi, yang merupakan
program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi program
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada
kondisi yang sama atau lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain berupa
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian mengenai bahaya
bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada intervensi terhadap
gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan terjadinya bencana dan
atau menghindarkan akibatnya dengan cara menghilangkan/memperkecil
kerawanan dan meningkatkan ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik
struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non- fisik
struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi merupakan
semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi derajat
risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang berasal dari kerusakan alam
dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al., 2004).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Persiapan
adalah salah satu tugas utama dalam disaster managemen, karena
pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan vulnerability maupun
bencana secara tuntas

i.Pencegahan dan Mitigasi


Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan,
bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1. Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,
ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih
aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan
dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul,
dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat
non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat
struktural (berupa bangunan dan prasarana).
BAB II

PRINSIP DASAR MANAJEMEN DARURAT

1. DEFENISI BENCANA
Pengertian bencana atau disaster menurut Wikipedia : disaster is the impact of a natural or
man-made hazards that negatively effects society or environment (bencana adalah
pengaruh alam atauancaman yang dibuat manusia yang berdampak negatif terhadap
masyarakat dan lingkungan).

Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,


dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana. Bencana adalah peristiwa
atau masyarakat rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat dan teror. Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut
WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan
pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena.
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung
pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan
masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa
manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan
dasar (BAKORNAS PBP).

Jenis Bencana Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu :
A. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-
kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus,
badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
B. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan
manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara,
sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan
lainnya.

Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:


A. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan.
Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya
adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran
bahan kimia dan lainnya.
B. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup
luas dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan gunung,
tornado dan lainnya.

Menurut Barbara santamaria (1995), ada tiga fase dapat terjadinya suatu bencana yaitu :
A. Fase pre impact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi
didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah, lembaga dan masyarakat.
B. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks bencana.inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup, fase impact ini terus berlanjut
hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat dilakukan.
C. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat. Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi kualitas
normal. Secara umum pada fase post impact para korban akan mengalami tahap
respons fisiologi mulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar
(bargaing), depresi (depression) hingga penerimaan (acceptance).

2. PROSES PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA


A. Peralatan
Dalam upaya menanggulangi bencana alam yang terjadi di negeri ini tentunya akan
membutuhkan berbagai peralatan logistik, berikut ini beberapa kebutuhan logistik
yang dibutuhkan dan siap pakai saat bencana terjadi:
1) Alat transportasi baik darat, laut, dan udara
2) Alat-alat berat
3) Tenda yang berukuran besar maupun kecil
4) Peralatan medis dan obat-obatan
5) Makanan instant
6) Alat penyedia air bersih
7) dll
Peralatan diatas merupakan suatu yang vital karena tanpa adanya peralatan-peralatan
tersebut, penanggulangan bencana akan sangat sulit dilakukan.

B. Logistik
Proses Manajemen logistik dalam penanggulangan bencana ini meliputi delapan
tahapan terdiri dari:
1) Perencanaan/Inventarisasi Kebutuhan
 Proses Inventarisasi Kebutuhan adalah langkah-langkah awal untuk
mengetahui apa yang dibutuhkan, siapa yang membutuhkan, di mana,
kapan dan bagaimana cara menyampaikan kebutuhannya.
 Inventarisasi ini membutuhkan ketelitian dan keterampilan serta
kemampuan untuk mengetahui secara pasti kondisi korban bencana
yang akan ditanggulangi.
 Maksud dan Tujuan Perencanaan/Inventarisasi kebutuhan adalah :
 Contoh formulir Inventarisasi pada Lampiran memberikan
gambaran langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan dalam
melaksanakan proses ini.
 Inventarisasi kebutuhan dihimpun dari :
o Laporan-Laporan;
o Tim Reaksi Cepat;
o Media Massa;
o Instansi terkait;
 Perencanaan Inventarisasi kebutuhan terdiri dari :
 Penyusunan standar kebutuhan minimal.
 Penyusunan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang.

2) Pengadaan dan/atau Penerimaan


 Proses penerimaan dan/atau pengadaan logistik dan peralatan
penanggulangan bencana dimulai dari pencatatan atau inventarisasi
termasuk kategori logistik atau peralatan, dari mana bantuan diterima,
kapan diterima, apa jenis bantuannya, seberapa banyak jumlahnya,
bagaimana cara menggunakan atau mengoperasikan logistik atau
peralatan yang disampaikan, apakah ada permintaan untuk siapa
bantuan ini ditujukan.
 Proses penerimaan atau pengadaan logistik dan peralatan untuk
penanggulangan bencana dilaksanakan oleh penyelenggara
penanggulangan bencana dan harus diinventarisasi atau dicatat.
Pencatatan dilakukan sesuai dengan contoh formulir dalam lampiran.
 Maksud dan Tujuan Penerimaan dan/atau Pengadaan:
 Mengetahui jenis logistik dan peralatan yang diterima dari
berbagai sumber.
 Untuk mencocokkan antara kebutuhan dengan logistik dan
peralatan yang ada.
 Menginformasikan logistik dan peralatan sesuai skala prioritas
kebutuhan.
 Untuk menyesuaikan dalam hal penyimpanan.
 Sumber Penerimaan dan/atau Pengadaan
 Proses Penerimaan dan/atau Pengadaan
 Proses pengadaan logistik dan peralatan penanggulangan
bencana dilaksanakan secara terencana dengan memperhatikan
jenis dan jumlah kebutuhan, yang dapat dilakukan melalui
pelelangan, pemilihan dan penunjukkan langsung sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
 Penerimaan logistik dan peralatan melalui hibah dilaksanakan
berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku dengan
memperhatikan kondisi pada keadaan darurat.

3) Pergudangan dan/atau Penyimpanan


 Proses penyimpanan dan pergudangan dimulai dari data penerimaan
logistik dan peralatan yang diserahkan kepada unit pergudangan dan
penyimpanan disertai dengan berita acara penerimaan dan bukti
penerimaan logistik dan peralatan pada waktu itu.
 Pencatatan data penerimaan antara lain meliputi jenis barang logistik
dan peralatan apa saja yang dimasukkan ke dalam gudang, berapa
jumlahnya, bagaimana keadaannya, siapa yang menyerahkan, siapa
yang menerima, cara penyimpanan menggunakan metoda barang yang
masuk terdahulu dikeluarkan pertama kali (first-in first-out) dan atau
menggunakan metode last-in first-out.
 Prosedur penyimpanan dan pergudangan, antara lain pemilihan
tempat, tipe gudang, kapasitas dan fasilitas penyimpanan, system
pengamanan dan keselamatan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Pendistribusian
 Berdasarkan data inventarisasi kebutuhan maka disusunlah
perencanaan pendistribusian logistik dan peralatan dengan disertai
data pendukung: yaitu yang didasarkan kepada permintaan dan
mendapatkan persetujuan dari pejabat berwenang dalam
penanggulangan bencana.
 Perencanaan pendistribusian terdiri dari data: siapa saja yang akan
menerima bantuan, prioritas bantuan logistik dan peralatan yang
diperlukan, kapan waktu penyampaian, lokasi, cara penyampaian, alat
transportasi yang digunakan, siapa yang bertanggung jawab atas
penyampaian tersebut.
 Maksud dan Tujuan Pendistribusian adalah :
 Mengetahui sasaran penerima bantuan dengan tepat.
 Mengetahui jenis dan jumlah bantuan logistik dan peralatan
yang harus disampaikan.
 Merencanakan cara penyampaian atau pengangkutannya.

5) Pengangkutan
 Berdasarkan data perencanaan pendistribusian, maka dilaksanakan
pengangkutan.
 Data yang dibutuhkan untuk pengangkutan adalah: jenis logistik dan
peralatan yang diangkut, jumlah, tujuan, siapa yang bertanggungjawab
dalam perjalanan termasuk tanggung jawab keamanannya, siapa yang
bertanggungjawab menyampaikan kepada penerima.
 Penerimaan oleh penanggungjawab pengangkutan disertai dengan
berita acara dan bukti penerimaan logistik dan peralatan yang
diangkut.
 Maksud dan Tujuan Pengangkutan :
 Mengangkut dan atau memindahkan logistik dan peralatan dari
gudang penyimpanan ke tujuan penerima
 Menjamin keamanan, keselamatan dan keutuhan logistik dan
peralatan dari gudang ke tujuan.
 Mempercepat penyampaian.
 Jenis Pengangkutan terdiri dari angkutan darat, laut, sungai, danau dan
udara, baik secara komersial maupun non komersial yang berdasarkan
kepada ketentuan yang berlaku.

 Pemilihan moda angkutan berdasarkan pertimbangan:


 Penerimaan di tujuan
 Pertanggungjawaban

6) Penerimaan di Tempat Tujuan


Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penerimaan di tempat
tujuan adalah:
 Mencocokkan antara data di manifest pengangkutan dengan jenis
bantuan yang diterima.
 Men-check kembali, jenis, jumlah, berat dan kondisi barang.
 Mencatat tempat pemberangkatan, tanggal waktu kedatangan, sarana
transportasi, pengirim dan penerima barang.
 Membuat berita acara serah terima dan bukti penerimaan.

7) Pertanggungjawaban
Seluruh proses manajemen logistik dan peralatan yang telah dilaksanakan
harus dibuat pertanggung jawabannya.
Pertanggungjawaban penanggulangan bencana baik keuangan maupun
kinerja, dilakukan pada setiap tahapan proses dan secara paripurna untuk
seluruh proses, dalam bentuk laporan oleh setiap pemangku proses secara
berjenjang dan berkala sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

3. POLA PENYELENGGARAAN MANAJEMEN LOGISTIK


Pedoman manajemen logistik dan peralatan penanggulangan bencana menganut pola
penyelenggaraan suatu sistem yang melibatkan beberapa lembaga atau sistem
kelembagaan dalam berbagai tingkatan teritorial wilayah, mulai dari:
A. Tingkat Nasional,
B. Tingkat Provinsi,
C. Tingkat Kabupaten/Kota.
Dengan melibatkan banyak kelembagaan ini berbagai konsekuensi akan terjadi termasuk
di dalamnya adalah sistem manajemen yang mengikuti fungsinya, sistem komando,
sistem operasi, sistem perencanaan, system administrasi dan keuangan, sistem
komunikasi dan sistem transportasi.

Masing-masing tingkat kelembagaan dalam melaksanakan manajemen logistik dan


peralatan penanggulangan bencana menggunakan pedoman delapan tahapan manajemen
logistik dan peralatan, yang pada masingmasing tingkat lembaga penyelenggara memiliki
ciri-ciri khusus sebagai konsekuensi sesuai dengan tingkat kewenangannya.
A. Tingkat Nasional
Otoritas pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana diwakili oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam menjalankan peran tersebut
BNPB mempunyai kemudahan akses dan koordinasi dengan organisasi yang dapat
membantu system manajemen logistik dan peralatan untuk bencana. Fungsi
Penyelenggaraan Manajemen Logistik dan Peralatan Tingkat Nasional adalah:
1) Seluruh komponen kelembagaan mematuhi dan melaksanakan sistem
manajemen logistik dan peralatan yang telah ditetapkan, baik dalam keadaan
prabencana, keadaan terjadi bencana, dan pascabencana.
2) Dukungan pemerintah, pemerintah tingkat provinsi, kabupaten/kota atau atau
lembaga lain dapat dikoordinasikan sesuai dengan sistem manajemen logistik
dan peralatan.
3) Menghimpun fakta dan informasi yang diperlukan oleh masyarakat dari
berbagai sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, dalam bentuk
informasi melalui media massa yang mudah diakses.
4) Menjalankan Pedoman Manajemen Logistik dan Peralatan Penanggulangan
Bencana secara konsisten.
5) Berfungsi sebagai penanggung jawab atas tugas dan koordinasi seluruh
sumberdaya dalam penanggulangan bencana yang berkaitan dengan logistik
dan peralatan yang dipergunakan.
6) Bertanggung jawab atas pengelolaan dan pendistribusian bantuan dari luar
negeri, dengan sistem satu pintu.
7) Menjadi koordinator dalam hal informasi dan komunikasi dalam
penanggulangan bencana. Dalam hal ini jaringan komunikasi antar tingkatan
organisasi pendukung sistem logistik dan peralatan harus terjalin dengan baik.
8) Sistem logistik dan peralatan tingkat nasional merupakan pemegang sistem
komando bencana dalam hal logistik dan peralatan.

B. Tingkat Provinsi
Fungsi Penyelenggaraan Manajemen Logistik dan Peralatan Tingkat Provinsi adalah
:
1) Penyelenggara manajemen logistik dan peralatan tingkat provinsi memiliki
tanggung jawab, tugas dan wewenang di wilayahnya.
2) Sebagai titik kontak utama bagi operasional di area bencana yang meliputi
dua atau lebih kabupaten/kota yang berbatasan.
3) Mengkoordinasikan semua pelayanan dan pendistribusian bantuan logistik
dan peralatan di area bencana.
4) Sebagai pusat informasi, verifikasi dan evaluasi situasi di area bencana.
5) Memelihara hubungan dan mengkoordinasikan semua lembaga yang terlibat
dalam penanggulangan bencana dan melaporkannya secara periodik kepada
kepala BNPB.
6) Membantu dan memandu operasi di area bencana pada setiap tahapan
manajemen logistik dan peralatan.
7) Menjalankan pedoman manajemen logistik dan peralatan penanggulangan
bencana secara konsisten.

C. Tingkat Kabupaten/Kota
Penyelenggaraan Manajemen Logistik dan Peralatan Tingkat Kabupaten/Kota adalah
:
1) Mengelola dan mengkoordinasikan seluruh aktifitas manajemen logistik dan
peralatan, terutama pada masa siaga darurat, tanggap darurat dan pemulihan
darurat.
2) Bertanggung jawab atas dukungan fasilitas, pelayanan, personil, peralatan dan
bahan atau material lain yang dibutuhkan oleh pusat-pusat operasi (pos
komando) di area bencana.
3) Berkoordinasi dengan instansi/lembaga terkait di pusat operasi BPBD.
4) Menjalankan pedoman manajemen logistik dan peralatan penanggulangan
bencana secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bencana, Pujiono. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007


Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.
2. Bulechek, Gloria M & Butcher, Howard, K, 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). 6th Ed. St Louis : Missouri
3. Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
4. Moorhead, Sue & Johnson Marion. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC).
5th Ed. St Louis :Missouri
5. Munawar. 2011. Pengertian dan Istilah-istilah Bencana.
www. kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencanaSuliswati.
2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
6. Weenbee. 2011. Peran Perawat Dalam Manajemen
Bencana.http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-
manajemen-bencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul
09.00 WIB.
7. Wikipedia. 2011. Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana. Diakses Pada
Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.30 WIB.
8. Manajemen Penanggulangan Bencana, Palang Merah Indonesia, Jakarta 2007
BAB III

PENILAIAN RISIKO BENCANA

Karakteristik Bencana
Bencana secara istilah dibedakan berdasar karakteristik fisik utama :
Penyebab : Alam atau ulah manusia.
Frekuensi : Berapa sering terjadinya.
Durasi : Beberapa durasinya terbatas, seperti pada ledakan, sedang lainnya mungkin lebih
lama seperti banjir dan epidemi.
Kecepatan onset : Bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada pemberitahuan yang
bisa diberikan, atau bertahap seperti pada banjir (keculi banjir bandang), memungkinkan
cukup waktu untuk pemberitahuan dan mungkin tindakan pencegahan atau peringanan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu, seperti pada gempa bumi.
Luasnya dampak : Bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau kelompok
masyarakat tertentu, atau menyeluruh mengenai masyarakat luas mengakibatkan kerusakan
merata pelayanan dan fasilitas.
Potensi merusak : Kemampuan penyebab bencana untuk menimbulkan tingkat kerusakan
tertentu (berat, sedang atau ringan) serta jenis (cedera manusia atau kerusakan harta benda)
dari kerusakan.

Geografi Bencana
Area geografik yang nyata sehubungan dengan bencana dikatakan sebagai area
kerusakan, area dimana bencana menyerang. Dibagi :
Area kerusakan total : Dimana bencana paling merusak.
Area kerusakan tepi : Walau dampak bencana dirasakan, kerusakan dan atau cedera nyata
lebih ringan dibanding area kerusakan total.
Area penyaring : Area dekat area kerusakan dari mana bantuan dimulai secara segera dan
spontan.
Area bantuan terorganisir : Area darimana bantuan yang lebih resmi diberikan secara
selektif. Area ini mungkin meluas hingga mencakup bantuan masyarakat, regional, nasional
dan internasional.
Berdasar tingkat respons, bencana diklasifikasikan menjadi tiga tingkat (ACEP) :
Tingkat 1 : Sistem pengelolaan respons terhadap bencana lokal mampu bereaksi secara
efektif dan dapat mancakup kerusakan atau penderitaan.
Tingkat 2 : Sebagai tambahan terhadap respons lokal, dukungan diberikan oleh sumber
regional atau masyarakat atau negara sekitar.
Tingkat 3 : Melampaui kemampuan sumber lokal atau regional dan diperlukan bantuan
internasional.

Yang harus diingat :


- Bencana bisa menimbulkan kerusakan masyarakat dan sumber daya yang
diperlukan untuk menghadapinya.
- Bencana menyebabkan masalah pemulihan dan perbaikan jangka panjang. Bisa
melampaui kemampuan masyarakat beserta sumber daya dan atau fasilitasnya.
- Bencana menyebabkan kematian, cedera dan kecacadan.

Pengelolaan Risiko Bencana


Pikirkan bahwa masyarakat dan lingkungannya adalah terancam terhadap bencana dan
bagaimana kesanggupan masing-masing melawan akibat dari kerusakan oleh bencana.

Risiko (risk) : Kemungkinan akan kehilangan yang bisa terjadi sebagai akibat kejadian
buruk, dengan akibat kedaruratan dan keterancaman.
Bahaya (hazard) : Potensi akan terjadinya kejadian alam atau ulah manusia dengan akibat
negatif.
Keterancaman (vulnerability) : Akibat yang timbul dimana struktur masyarakat, pelayanan
dan lingkungan sering rusak atau hancur akibat dampak kedaruratan. Adalah kombinasi
mudahnya terpengaruh (susceptibility)dan daya bertahan (resilience). Resilience adalah
bagaimana masyarakat mampu bertahan terhadap kehilangan, dan susceptibility adalah
derajat mudahnya terpengaruh terhadap risiko. Dengan kata lain, ketika menentukan
keterancaman masyarakat atas dampak kedaruratan, penting untuk memastikan kemampuan
masyarakat beserta lingkungannya untuk mengantisipasi, mengatasi dan pulih dari bencana.
Jadi dikatakan sangat terancam bila dalam menghadapi dampak keadaan bahaya hanya
mempunyai kemampuan terbatas dalam menghadapi kehilangan dan kerusakan, dan
sebaliknya bila kurang pengalaman menghadapi dampak keadaan bahaya namun mampu
menghadapi kehilangan dan kerusakan, dikatakan tidak terlalu terancam terhadap bencana
dan kegawatdaruratan.

High susceptibility + low resilience = high level of vulnerability.


High exposure to risk + limited ability to sustain loss = high vulnerability.
Low susceptibility + high resilience = low degree of vulnerability.
Ability to sustain loss + low degree of exposure = low vulnerability.

Jelaslah bahwa petugas harus mengenal golongan masyarakat, struktur dan pelayanan yang
mudah terancam, hingga dapat menjadikannya tahan terhadap kerusakan akibat kedaruratan.

Proses Pengelolaan Risiko Bencana


Dalam pengelolaan risiko bencana, bencana dijelaskan berkaitan dengan risikonya terhadap
masyarakat; dan dilakukan tindakan yang sesuai terhadap risiko yang diketahui.

Hal penting :
- Berapa luas bencana melanda.
- Berapa luas ancaman terhadap masyarakat dan lingkungan.

Pengelolaan risiko bencana adalah penerapan sistematikdari kebijaksanaan pengelolaan,


prosedur dan pelatihan terhadap :
- Memastikan hal-hal terkait
- Mengidentifikasi risiko
- Menganalisis risiko
- Menilai / mengevaluasi risiko
- Mengatasi risiko

Pengamatan dan penelaahan harus merupakan proses berkesinambungan dalam pengelolaan


risiko, dan semua sistem tergantung pada komunikasi dan konsultasi.

Hal tsb. menjadi perangkat pengambil keputusan yang sistematik, logis dan praktis bagi
pengelola bencana. Gunanya untuk mendapatkan kegunaan yang mendasar bagi pengelola
bencana untuk mengurangi dampak dari bencana. Artinya pengelola bencana dapat :
1. Mengidentifikasi apa yang mungkin terjadi
2. Menganalisis kemungkinan hasil akhir
3. Menilai dampak
4. Menindak risiko (pencegahan/mitigasi, mempersiapkan, merespons dan pemulihan)
5. Memonitor proses

Pengelolaan Bencana Menyeluruh dan Terpadu


Pengelolaan bencana yang efektif memerlukan kombinasi empat konsep :
- Atas semua bahaya
- Menyeluruh
- Terpadu
- Masyarakat yang siap

Semua bahaya, maksudnya aturan yang disetujui dalam merancang mengatasi semua bahaya,
alam dan ulah manusia. Dari pada mengembangkan rencana dan prosedur berbeda untuk
masing-masing bahaya, rancangan tunggal pengelolaan harus dibuat dan digunakan dalam
menghadapi semua bahaya yang dihadapi masyarakat.

Pendekatan Menyeluruh
Empat dasar pengelolaan kegawatan dan bencana, masing-masing memerlukan program
pengelolaan (strategi) :
1. Pencegahan dan mitigasi
Peraturan dan persyaratan fisik untuk mencegah terjadinya bencana, atau untuk
mengurangi dampaknya.
2. Persiapan
Perencanaan dan program, sistem dan prosedur, pelatihan dan pendidikan untuk
memastikan bahwa bila bencana terjadi, sumber daya dan tenaga dapat segera
dimobilisasi dan diberdayakan dengan hasil terbaik. Termasuk pengembangan sistem
peringatan dan kewaspadaan, perencanaan organisasional, pelatihan dan pengujian
petugas, peralatan, perencanaan dan prosedur, serta pendidikan publik.
3. Respons
Kegiatan yang diambil mendahului atau segera setelah dampak bencana untuk
meminimalkan akibat, dan untuk memberikan bantuan segera, memulihkan dan
mendukung masyarakat. Termasuk rescue, pemulihan dan dukungan terhadap korban,
informasi publik, pemberian makanan, pakainan dan tempat berlindung.
4. Pemulihan
Pemulihan dan perbaikan jangka panjang atas masyarakat yang terkena. Merupakan
proses rumit dan lama.

Pendekatan Terpadu
Pengelolaan bencana efektif memerlukan kerjasama aktif antara berbagai fihak terkait.
Artinya semua organiasi dengan tugasnya masing-masing bekerja bersama dalam
pengelolaan bencana. Hubungan berbentuk kerjasama sangat penting.

Masyarakat yang siap


Adalah masyarakat yang masing-masing individunya waspada terhadap bahaya dan tahu
bagaimana melindungi dirinya, keluarganya serta rumahnya terhadap dampak dari bahaya.
Bila masing-masing dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap dampak bahaya, akan
mengurangi keterancaman terhadap bencana dan kedaruratan.

Kegiatan pencegahan / mitigasi, persiapan, respons dan pemulihan yang harus dilakukan :
1. Pencegahan dan mitigasi :
2. Standar bangunan dan kemampuan PMK
3. Immunisasi penyakit
4. Rancang sanitasi
5. Pembuangan sampah / limbah
6. Program pendidkan masyarakat
7. Informasi media
8. Peringatan terhadap masyarakat

Persiapan :
1. Perencanaan, sistem dan prosedur
2. Pelatihan personil
3. Pengujian perencanaan, personil dan peralatan
Respons :
1. Pengaktifan sistem pengelolaan insidens
2. Pengaktifan sistem pengelolaan informasi dan sumberdaya
3. Mekanisme pendukung bagi staf
Pemulihan :
1. Proses debriefing
2. Menilai dan merubah perencanaan dan prosedur
3. Identifikasi dan pemanfaatan pengetahuan yang didapat

Kesimpulan Pengelolaan risiko bencana


Pengelolaan risiko bencana adalah pemanfaatan yang sistematik dari kebijaksanaan
pengelolaan, prosedur dan pelaksanaan dengan maksud mengurangi dampak bencana.
Merupakan perangkat pembuat keputusan yang logis dan praktis.

Proses Perencanaan Terhadap Bencana


(Risk Assessment / Penilaian Risiko)
1. Tentukan hal yang akan direncanakan
2. Tetapkan komite perencanaan
3. Lakukan penilaian risiko
4. Tentukan tujuan perencanaan
5. Tentukan pertanggungjawaban
6. Analisis sumberdaya
7. Kembangkan sistem dan prosedur
8. Tulis rencana
9. Latih tenaga
10. Tes rencana, tenaga dan prosedur
11. Tinjau ulang rencana
12. Perbaiki rencana

Hal yang akan direncanakan :


Hal yang akan direncanakan dalam menghadapi kegawatdaruratan harus diidentifikasi.
Komite perencanaan :
Fihak rumah sakit, fihak sistem kesehatan masyarakat termasuk kesehatan masyarakat dan
kesehatan mental, pelayanan darurat eksternal seperti ambulans, PMK dan polisi.
Lakukan analisis risiko bencana :
Termasuk analisis bahaya dan analisis keterancaman. Semua analisis akan membantu komite
perencanaan bencana menentukan sasaran dan prioritas perencanaan.
Penilaian risiko bencana berkelanjutan sepanjang proses perencanaan : Bahaya berubah,
tingkat keterancaman berubah, semua harus dimonitor dan dinilai secara tetap.
Tentukan tujuan perencanaan :
Berdasar pada hasil analisis risiko dan pengenalan strategi pengelolaan bencana yang
disetujui komite.
Tentukan pertanggungjawaban :
Memilih pertanggungjawaban dari semua fihak terkait : RS, petugas, dan pelaksana
kesehatan masyarakat lainnya.
Analisis sumberdaya :
Komite harus mengetahui apa yang akan dibutuhkan; dari pada hanya melihat apa yang
dipunyai. Bila apa yang dibutuhkan kurang dari apa yang tersedia, komite harus
mengidentifikasi sumber tenaga dan sarana yang tersedia yang dapat dipanggil seketika
dibutuhkan. Rencanakan kerjasama dengan fasilitas kesehatan regional atau nasional.
Ciptakan sistem dan prosedur :
Komite harus mengidentifikasi strategi untuk pencegahan dan mitigasi, penyiapan, respons
dan pemulihan akibat kegawatan major dan bencana. Ini termasuk sistem komando gadar RS,
sistem komunikasi, informasi publik, sistem pengelolaan informasi dan sumberdaya.
Tuliskan rencana :
Dokumen tertulis harus dibagikan pada semua yang akan menggunakannya. Dokumen harus
sederhana dan langsung sasaran, atau orang tidak dapat membaca atau memahaminya.
Latih persomil, uji perencanaan, personil dan prosedur :
Pelatihan personil serta pengujian perencanaan, sistem dan prosedur merupakan bagian vital
dari persiapan pengelolaan gadar atau bencana.
Kegiatan respons bencana memerlukan personil untuk bekerja diluar kegiatan dan
tanggungjawab hari-hari normalnya, dan melaksanakan tugas yang kurang familier. Untuk
menciptakan kejadian menjadi lebih sulit, berikan tidak hanya banyak tugas yang tidak
familer, namun mereka harus mendapatkan lingkungan yang sangat menekan, yang bahkan
pantas untuk menguji sistem dan personil yang sudah berpengalaman.
Dapat dimengerti mengapa personil wajib dilatih dan diuji secara rutin dalam tugas
pengelolaan bencananya. Personil juga memerlukan kesempatan untuk mempraktekkan tugas
dan tanggungjawab pengelolaan bencananya.
Selain itu, rencana yang belum diuji dan dinilai ulang mungkin lebih buruk dari pada
tidak ada rencana sama sekali. Hal ini akan membangun rasa keamanan yang salah pada
petugas dalam hal tingkat persiapan.
Tinjau ulang dan ubah perencanaan :
Perencanaan harus dinilai ulang dan diperbaiki secara berkala,dan harus dinyatakan dalam
perencanaan itu sendiri. Setiap saat, perencanaan atau bagian dari perencanaan, diaktifkan
untuk latihan atau dalam bencana sesungguhnya. Debriefing harus dilakukan untuk
mengenal kebutuhan perbaikan perencanaan, sistem dan prosedutr, dan untuk melatih
personil.
Sekali lagi, perencanaan adalah proses, tidak pernah berakhir. Perencanaan tertulis
adalah hanya sebuah hasil akhir dari proses perncanaan, namun bukan titik akhir, hanya
bagian dari proses perencanaan. Perencanaan tertulis adalah dokumen yang hidup yang harus
secara tetap diuji, dinilai ulang dan dipertbaharui.

Bagaimana bila :
Bagian penting dari proses perencanaan adalah pertanyaan dari komite : Bagaimana bila
…; Bagaimana bila ini atau itu terjadi, apa yang harus dilakukan, apa yang diperlukan, apa
dampaknya pada petugas dll.
Tidak mungkin untuk membuat rencana bagi semua kejadian, namun kegiatan komite
dalam memikirkan batasan kejadian beserta konsekuensinya, dan membahas pilihan
rancangan yang diperkirakan memiliki jangkauan luas dalam sistem persiapan, penting
dilakukan.

Didunia, kehilangan akibat bencana tetap meningkat walau investasi yang sangat besar dalam
tindakan pencegahan secara tehnik sudah dilakukan. Hambatan politik dan ekonomi
menyebabkan bahwa pendekatan tradisional dalam mendapatkan rasa aman terhadap bahaya
harus dinilai ulang. Tidak saatnya lagi mangatakan bahwa pencegahan terhadap proses
berbahaya secara umum dikatakan sebagai terbaik atau cara yang paling diinginkan dalam
menghadapi risiko. Pencegahan dan peningkatan resilience dari objek yang berpotensi
terkena adalah dua contoh penting lainnya dari bagaimana kerusakan akibat keadaan
berbahaya dapat dikurangi.
Konsep pilihan untuk mengatasi keadaan bahaya adalah menggunakan kebijaksanaan
berdasar risiko. Walau diarahkan pada bahaya, yang juga telah mencakup risiko, dijelaskan
sebagai fungsi dari empat faktor berikut :
1. Frekuensi terjadinya kejadian bahaya.
2. Intensitas kerusakan objek sasaran yang berpotensi terhadap risiko dengan distribusi
/ kelompok khusus.
3. Keterancaman objek sasaran akan terkena oleh kerusakan.
4. Keterpaparan target sasaran terhadap bahaya.

Frekuensi dan kerusakan menunjukkan beratnya keadaan bahaya, keterancaman dan


keterpaparan sasaran terhadap risiko. Inilah kenapa ada perbedaan antara definisi sederhana
risiko sebagai hasil kemungkinan, dan perluasan kerusakan yang lebih menunjukkan sudut
pandang operator atau pelaksana. Bagaimanapun sudut pandang yang lebih sempit dengan
cepat menunjukkan bahwa frekuensi dan keterpaparan adalah sebanding dengan
kemungkinan, dimana intensitas dan keterancaman mengartikan kerusakan.

Penggunaan pengelolaan risiko akan berhasil bila informasi berikut tersedia :


1. Karakterisasi bahaya secara khusus.
2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan objek yang terancam dalam jangkauan
proses berbahaya.
3. Tampilan dampak kerusakan yang mungkin terjadi terhadap objek disaat kejadian.

Saat ini prinsip penilaian risiko dan pembuatan kebijaksanaan secara umum berdasar risiko
dipakai secara luas lintas disiplin dan lintas batas.

Evaluasi dan Persepsi Risiko


Kunci pendekatan berdasar risiko menghadapi bahaya diterima dalam bentuk tingkat rasa
aman yang memadai dan secara ekonomik. Baik definisi dari tingkat rasa aman yang
memadai dan kuantifikasi tampilan ekonomik tidak dapat dibuat hanya oleh para ahli. Nilai
dan tanggapan sosial mungkin merupakan faktor lebih penting dalam membentuk rasa aman
dari pada risiko nyata sendiri.
Satu masalah yang belum jelas adalah opini publik dalam proses keputusan. Ini
mungkin karena jarak antara ilmu sosial (termasuk proses evaluasi publik) dan ilmu
administratif atau tehnik (yang bertanggung jawab pada kebanyakan risiko nyata). Usaha saat
ini adalah menjembatani jarak tsb. dengan mengembangkan model yang seakurat mungkin
menunjukkan persepsi dan evaluasi publik akan risiko yang diharapkan hingga pembuat
keputusan dapat menggunakan hal ini. Dengan kata lain, dianjurkan bahwa pandangan publik
tentang evaluasi risiko secara normatif (dari pada emperik-deskriptif) akan memperbaiki
keputusan yang dibuat dalam pengelolaan bencana.
Penanggulangan Bencana: Sebelum, saat, dan sesudah kejadian bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan,kerugian harta benda, dan dampak psikologis
serta memerlukan bantuan luardalam penanganannya.

Upaya Penanggulangan Bencana

Secara garis besar, upaya penanggulangan bencana meliputi :

Kesiapsiagaan => keadaan siap setiap saat bagi setiap orang, petugas serta institusi pelayanan
(termasuk pelayanan kesehatan) untuk melakukan tindakan dan cara-cara menghadapi
bencana baik sebelum, sedang, maupun sesudah bencana.

Penanggulangan => upaya untuk menanggulangi bencana, baik yang ditimbulkan oleh alam
maupun ulah manusia, termasuk dampak kerusuhan yang meliputi kegiatan pencegahan,
penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Tujuan dari upaya di atas ialah mengurangi jumlah kesakitan, risiko kecacatan dan kematian
pada saat terjadi bencana; mencegah atau mengurangi risiko munculnya penyakit menular
dan penyebarannya; dan mencegah atau mengurangi risiko dan mengatasi dampak kesehatan
lingkungan akibat bencana.

Penanganan atau penanggulangan bencana meliputi 3 fase yaitu fase sebelum terjadinya
bencana, fase saat terjadinya bencana, dan fase sesudah kejadian bencana.

I. Sebelum Bencana

Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerugian harta dan korban
manusia yang disebabkan oleh bahaya dan memastikan bahwa kerugian yang ada juga
minimal ketika terjadi bencana. Meliputi kesiapsiagaan dan mitigasi.
Kesiapsiagaan :

-Mencakup penyusunan rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan persediaan


dan pelatihan personil.

-Mungkin juga merangkul langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana


evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi risiko dari bencana berulang.

-Langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan sebelum peristiwa bencana terjadi dan


ditujukan untuk meminimalkan korban jiwa, gangguan layanan, dan kerusakan saat bencana
terjadi.

Mitigasi :

-Mencakup semua langkah yang diambil untuk mengurangi skala bencana di masa
mendatang, baik efek maupun kondisi rentan terhadap bahaya itu sendiri .

-Oleh karena itu kegiatan mitigasi lebih difokuskan pada bahaya itu sendiri atau unsur-unsur
terkena ancaman tersebut. Contoh : pembangunan rumah tahan gempa, pembuatan irigasi air
pada daerah yang kekeringan.

II. Saat Bencana (Tanggap darurat)

Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana yang
bertujuan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Meliputi kegiatan :

-penyelamatan dan evakuasi korban maupun harta benda

-pemenuhan kebutuhan dasar

-perlindungan

-pengurusan pengungsi

-penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

II. Pasca Bencana (Recovery)

Penanggulangan pasca bencana meliputi dua tindakan utama yaitu rehabilitasi dan
rekonstruksi.
-Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.

-Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada
wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

Prinsip dasar upaya penanggulangan bencana dititik beratkan pada tahap kesiapsiagaan
sebelum bencana terjadi. Mengingat bahwa tindakan preventif (mencegah) lebih baik
daripada kuratif (pengobatan atau penanganan). Bencana alam itu sendiri memang tidak dapat
dicegah, namun dampak buruk akibat bencana dapat kita cegah dengan kesiapsiagaan
sebelum bencana terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nature and Type of Disasters. Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters.
Indonesian Hospital Association. Participan Manual. Jakarta 2003.
2. Disaster Risk Management. Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters.
Indonesian Hospital Association. Participan Manual. Jakarta 2003.
3. Risk Management Planning. Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters.
Indonesian Hospital Association. Participan Manual. Jakarta 2003.
4. Risk awareness and assessment. Living with risk – A global review of disaster
reduction initiative. International Strategy for Disaster Reduction.
5. Kurt Hollenstein : Natural hazards, risk analysis and management, disaster and
emergency management research. Swiss Federal Institute of Technology Zurich.

Anda mungkin juga menyukai