Anda di halaman 1dari 4

Seringkali dijumpai di masyarakat luas adanya rumus perbandingan sederhana dalam menyusun

campuran beton seperti 1:2:3 atau perbandingan volume 1 semen, 2 pasir, dan 3 aggregat. Rumus
ini tentu mempermudah penghitungan campuran beton. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah
berapa jumlah air yang harus ditambahkan? Jawabannya tentu secukupnya, tidak terlalu encer
dan tidak terlalu kental. Padahal perbandingan jumlah air dan semen, yang dikenal dengan water
cement ratio (w/c ratio) atau faktor air semen (f.a.s) adalah faktor paling utama yang menentukan
nilai kuat tekan beton yang telah mengeras (umur 28 hari).

Oleh karena itu, perlu kita ketahui langkah-langkah penghitungan campuran beton yang didasari
penentuan w/c ratio terlebih dahulu agar tercapai kuat tekan yang diinginkan. Penghitungan
campuran ini dirancang untuk dilakukan dengan standar berat, bukan volume, agar campuran
yang dibuat lebih akurat. Langkah-langkah yang diperlukan sebagai berikut :

1. Penentuan w/c ratio

Raju (1983) menetapkan standar w/c ratio yang dapat digunakan dengan mudah dalam grafik
berikut ini. Besaran tersebut hanya gambaran kasar untuk mempermudah campuran secara
manual di lapangan. Dalam menentukan w/c ratio secara akurat dan efisien, sangat diperlukan
trial mix skala laboratorium dengan varian campuran tertentu.

Berdasarkan grafik tersebut, kita dapat menentukan kuat tekan beton, misalnya untuk
menentukan beton dengan kuat tekan 350 kg/cm2 (dalam benda uji silinder 15 x 30 cm) kita
dapat menggunakan w/c ratio 0,44 atau apabila jumlah air dibagi jumlah semen nilainya adalah
0,44.

2. Penentuan berat jenis (specific gravity) semen, aggregat kasar, dan aggregat halus

Untuk menentukan jumlah aggregat diperlukan data specific gravity yang akurat. Namun,
apabila pengujian lab tidak dapat dilakukan, secara mudah dapat digunakan panduan berikut ini
untuk material di area Jawa Timur.
Material Specific Gravity (SG)
Semen OPC Portland Type I 3,15
Pasir Vulkanis (Lumajang) 2,70
Pasir Natural (ex Mojokerto) 2,55
Split / Batu Pecah 2,70

Tabel specific gravity material Jawa Timur. Sumber : dokumentasi pribadi.

4. Penentuan slump (workability)

Untuk standar workability yang mudah digunakan, yaitu slump 12 cm, maka kebutuhan air yang
biasa digunakan sesuai pengalaman penulis adalah 185 liter air. Sebagai perbandingan, Raju
(1983) menyatakan untuk mencapai slump 10 cm dengan diameter maksimum agregat (batu
pecah) sebesar 25mm diperlukan air sejumlah 192 liter. Kisaran tersebut dapat digunakan
sebagai panduan untuk mempermudah pengerjaan di lapangan.

5. Penghitungan jumlah air dan semen.

Apabila kita tetapkan jumlah air adalah 190 liter per m3 beton, maka jumlah semen yang
digunakan agar tercapai kuat tekan silinder 350 kg/cm2 dapat dihitung dengan menggunakan w/c
ratio 0,44.

Sehingga jumlah semen yang direkomendasikan adalah 431 kg per m3 campuran beton.

5. Penetapan perbandingan agregat kasar dan agregat halus

Penetapan perbandingan agregat kasar dan agregat halus ditentukan berdasarkan hasil dari
gradasi saringan material, atau dikenal dengan modulus kehalusan (fineness modulus). Hasilnya
digunakan untuk menentukan gradasi kerapatan ukuran butiran material dalam campuran beton
yang akan berpengaruh pada kemudahan pengerjaan, terutama apabila menggunakan pompa.
Raju (1983) menetapkan tabel untuk mempermudah penghitungan tersebut sebagai berikut.

Ukuran maksimum Perbandingan volume batu pecah dengan total agregat dengan

batu pecah (mm) variasi modulus kehalusan pasir (Fineness Modulus)


2,40 2,60 2,80 3,0
20 0,65 0,63 0,61 0,59

Kita gunakan asumsi FM pasir 3,0 sehingga perbandingan volume yang disarankan adalah 0,59
atau 59% dari total agregat.Dari penghitungan yang lalu, kita dapatkan bahwa :

Jumlah air = 190 kg


Jumlah semen = 431 kg
Dengan specific gravity semen type 1 sebesar 3,15 maka volume semen adalah :

Volume = 431 kg / 3,15 = 136,8 liter

Volume semen + volume air = 136,8 liter + 190 liter = 326,8 liter

Sehingga, sisa volume yang ada untuk campuran agregat halus dan kasar dalam 1 m3 atau 1000
liter beton adalah :

1000 liter − 326,8 liter = 673,2 liter

6. Penghitungan jumlah agregat kasar dan agregat halus.

Telah ditetapkan pada penghitungan yang lalu bahwa perbandingan jumlah agregat kasar atau
batu pecah adalah 59% dari total agregat. Sehingga :

Jumlah volume batu pecah = 0,59 x 673,2 liter = 397,2 liter

Jumlah ini apabila dibagi dengan asumsi specific gravity batu pecah sebesar 2,70 maka :

berat batu pecah = 397,2 liter x 2,70 = 1072,5 kg

Apabila terdapat dua jenis ukuran batu pecah, yaitu batu ukuran besar (max 20 mm) dan ukuran
kecil (max 10 mm), maka penggunaannya dapat dibagi sesuai persentase yang diinginkan.
Misalnya persentase batu kecil sebesar 30% dari total agregat kasar (dengan asumsi specific
gravity kedua fraksi sama) maka :

Berat batu kecil (max 10 mm) = 0,3 x 1072,5 kg = 321,7 kg

Berat batu besar (max 20 mm) = 0,7 x 1072,5 kg = 750,8 kg

Asumsi perbandingan volume batu besar 0,59 maka perbandingan volume agregat halus atau
pasir sebesar :

Jumlah volume pasir = 1 − 0,59 = 0,41

Jumlah volume pasir = 0,41 x 673,2 liter = 276 liter


Jumlah ini apabila dibagi dengan asumsi specific gravity pasir Lumajang sebesar 2,70 maka :

Berat pasir = 276 liter x 2,70 = 745,2 kg

Hasilnya didapatkan campuran beton sebagai berikut :

Material Berat (kg)


Air 190
Semen 431
Batu pecah (max 10 mm) 322
Batu pecah (max 20 mm) 751
Pasir 745

7. Pencampuran dilakukan dalam kondisi saturated surface dry (SSD) atau jenuh kering
permukaan untuk semua agregat.

Bisa dilakukan dengan menyiram agregat kasar atau batu pecah kemudian didiamkan selama 30-
60 menit hingga tercapai kondisi SSD. Untuk agregat halus perlu dilakukan uji moisture content
untuk memastikan kandungan air yang ada dalam pasir. Penghitungan mix dibuat dengan asumsi
non air entrained atau kondisi dimana asumsi tidak ada udara yang terjebak dalam beton. Raju
(1983) menyatakan asumsi udara yang terjebak dalam beton untuk material agregat kasar max 20
mm adalah sebesar 2%.

Anda mungkin juga menyukai