Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Rakyat Indonesia mulai
dari masyarakat awam sampai pebisnis merasa khawatir dengan keadaan ini. Bank
Indonesia selaku badan yang berwenang mengambil kebijakan di bidang moneter juga
khawatir. Kekhawatiran Bank Indonesia sudah terlihat dalam kebijakan moneternya
sejak tahun 2013, yakni dengan beberapa kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).
Kebijakan ini diambil karena kinerja ekspor yang terus menurun, sehingga BI membuat
kebijakan yang dapat memastikan aliran modal dapat masuk ke pasar keuangan dalam
negeri (capital inflow) yang dapat dipakai untuk membiayai defisit tersebut. Namun BI
tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga karena besarannya sudah
cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan
melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.1
Akan tetapi di tengah kekhawatiran itu Bank Indonesia cenderung membiarkan
rupiah melemah terhadap Dolar AS. Kebijakan ini untuk menjaga agar defisit neraca
transaksi berjalan tidak makin besar. Hal ini diperkuat pula oleh analisis ekonom
Universitas Indonesia Anton H. Gunawan, yang menyatakan BI memang tidak terlalu
mengkhawatirkan pelemahan rupiah. Apalagi di tengah tren “perang mata uang” global
yang membuat banyak negara berupaya menurunkan nilai tukarnya guna
meningkatkan daya saing di pasar dunia.2 Akan tetapi apakah benar turunnya nilai
tukar Rupiah tersebut tidak perlu dikhawatirkan? Hal inilah yang akan dianalisis dalam
tulisan ini.

B. Permasalahan
Ada dua permasalahan yang dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana akibat penurunan nilai tukar Rupiah?
2. Bagaimana rekomendasi kebijakan terkait fakta penurunan nilai tukar Rupiah?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis secara kritis tentang akibat sebenarnya dari penurunan nilai
tukar Rupiah.

1
Ini Sebab Rupiah “Dibiarkan” Melemah, diakses dari http://katadata.co.id/berita/ pada tanggal
20 April 2016.
2
Ibid.

1
2

2. Memberikan rekomendasi kebijakan terkait fakta penurunan nilai tukar Rupiah.

D. Manfaat/Signifikansi Penulisan
Tulisan ini memberi manfaat sebagai berikut:
1. Menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah di lapangan.
2. Rekomendasi yang diberikan akan menjadi masukan bagi pihak terkait.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Nilai Tukar (Kurs)


Fabozzi dan Franco memberikan definisi nilai tukar (kurs) sebagai berikut: “An
exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchange per unit
of another currency, or the price of one currency in items of another currency” (kurs
didefinisikan sebagai jumlah satu mata uang yang dapat ditukar per unit dengan mata
uang lain, atau harga satu mata uang dalam mata uang lain). 3 Sedangkan menurut
Adiningsih, dkk. nilai tukar rupiah adalah harga rupiah terhadap mata uang negara
lain.4 Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata rupiah yang ditranslasikan
ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, nilai
tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya.
Kurs merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar
saham maupun pasar uang. 5 Dalam hal ini menurunnya kurs Rupiah terhadap mata
uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan
pasar modal.

B. Berbagai Sistem Nilai Tukar


Secara garis besar, ada dua sistem kurs, yaitu sistem kurs mengambang
(floating exchange rate system) dan sistem kurs tetap (fixed exchange rate system).6
Sistem kurs mengambang sering juga di sebut dengan freely fluctuating exchange rate
system atau sistem kurs bebas (flexible exchange rate system) namun istilah yang
paling popular digunakan adalah floating exchange rate system.

3
Frank J. Fabozzi, Franco Modigliani, Frank Joseph Jones, 2010, Foundations of Financial
Markets and Institutions, England: Prentice Hall, hal. 724.
4
Sri Adiningsih, dkk., 1998, Perangkat Analisis dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal
Indonesia, Jakarta: PT Bursa Efek Jakarta, hal. 155.
5
Elyzabeth Lucky Maretha Sitinjak dan Widuri Kurniasari, 2003, “Indikator-indikator Pasar
Saham dan Pasar Uang yang Saling Berkaitan Ditinjau dari Pasar Saham Sedang Bullish dan Bearish”,
Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Vol. 3, No. 3. pp. 23-34.
6
Imamudin Yuliadi, 2008, Ekonomi Moneter, Jakarta: PT. Indeks, hal. 60.
3

Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus mengemukakan bahwa sistem


kurs ada 3 (tiga) macam:7
1. Kurs Tetap (Fixed Exchange Rate)
Kurs tetap merupakan sistem nilai tukar dimana pemegang otoritas moneter
tertinggi suatu negara (Central Bank) menetapkan nilai tukar dalam negeri
terhadap negara lain yang ditetapkan pada tingkat tertentu tanpa melihat aktivitas
penawaran dan permintaan di pasar uang. Jika dalam perjalanannya penetapan
kurs tetap mengalami masalah, misalnya terjadi fluktuasi penawaran maupun
permintaan yang cukup tinggi, maka pemerintah bisa intervensi ke pasar dengan
membeli atau menjual kurs mata uang yang berada dalam devisa negara tersebut
untuk menjaga agar nilai tukar stabil dan kembali ke kurs tetapnya. Dalam kurs
tetap ini, bank sentral melakukan intervensi aktif di pasar valas dalam penetapan
nilai tukar. Nilai tukar mungkin masih bergerak, namun dalam rentang
(spread/bandwidth) yang sangat sempit.
Apabila terjadi fluktuasi besar hingga pemerintah merasa telah melenceng
jauh dari nilai keekonomian yang seharusnya dan dianggap dapat mengganggu
kinerja perekonomian negara, maka pemerintah dapat melakukan kebijakan
devaluasi atau pelemahan mata uang domestik secara
sengaja terhadap mata uang asing.
Keunggulan:
1) Kegiatan spekulasi mata uang sangat sempit.
2) Intervensi aktif pemerintah dalam mengatur nilai tukar sehingga tetap stabil.
3) Pemerintah memegang peranan penuh dalam kontrol devisa. - Kepastian nilai
tukar ke depan.
Kelemahan:
1) Cadangan devisa harus besar agar tetap dapat selalu intervensi untuk
menyerap kelebihan dan kekurangan di pasar valas.
2) Kurang fleksibel terhadap perubahan global.
3) Penetapan kurs yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi
pasar ekspor impor negara bersangkutan.
Contoh penerapan sistem kurs tetap ini dilakukan oleh pemerintah China
yang memang menganut sistem Kurs Tetap sejak 2008. Selisih spread yang
ditetapkan China selama ini tidak lebih dari 2%. Pada tanggal 11 Agustus 2015,
pemerintah China melakukan devaluasi nilai tukar Yuan sebesar 1,9% terhadap
7
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, 1992, Ekonomi, Edisi ke-12, Jilid 2, Jakarta:
Erlangga, hal. 622 – 628.
4

USD (yang berarti ruang bandwidth yang ada juga bergerak turun). Alasan
devaluasi menurut bank sentral China - People's Bank of China (PBOC)
melakukan kebijakan ini adalah untuk mencegah penurunan ekspor China lebih
dalam lagi. Pada akhir Juli 2015, tingkat ekspor China memang turun -8,3%
dibanding tahun sebelumnya dimana angka tersebut jauh di bawah perkiraan yakni
turun hanya -1,5%. Pemerintah China menilai langkah devaluasi tersebut adalah
untuk mendukung ekonomi dan ekspor China. Langkah tersebut tentu saja dapat
berpotensi memicu perang mata uang (currency war) dengan negara-negara Asia
lainnya untuk saling berusaha menurunkan nilai mata uangnya juga, entah melalui
mekanisme devaluasi atau depresiasi pasar, agar kegiatan ekspor negaranya tidak
tersaingi oleh Yuan yang lebih murah.
Sistem kurs tetap ini di Indonesia diterapkan melalui UU No. 32 tahun 1964
dimana saat itu nilai tukar Indonesia ditetapkan sebesar Rp. 250/USD. Dalam
periode penetapan kurs tetap tersebut, Indonesia juga menetapkan peraturan
sistem kontrol devisa yang ketat. Dalam perjalanannya, Indonesia terpaksa
mendevaluasi kurs tetapnya karena nilai yang ada mengancam aktivitas ekspor-
impor. Pada tanggal 17 April 1970 Indonesia melakukan devaluasi dari Rp.
250/USD menjadi Rp 378/USD. Devaluasi kedua dilaksanakan pada tanggal 23
Agustus 1971 menjadi Rp 415/USD dan devaluasi yang ketiga dilakukan pada
tanggal 15 November 1978 menjadi Rp 625/USD.

2. Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate)


Kurs ini bergerak dalam rentang pasar (spread atau bandwidth) tertentu
dimana pemerintah masih bisa mengambil kebijakan intervensi jika diperlukan.
Dengan kata lain, penetapan kurs ini tidak sepenuhnya diserahkan pada aktivitas
pasar valas. Dalam pasar ini masih ada campur tangan pemerintah melalui alat
ekonomi moneter dan fiskal yang ada. Jadi dalam sistem ini, pergerakan nilai tukar
tidak murni berasal dari penawaran dan permintaan uang saja.
Keunggulan:
1) Mampu menjaga stabilitas moneter dengan lebih fleksibel.
2) Adanya aktivitas demand dan supply dalam pasar valas akan mampu
menstabilkan nilai tukar sesuai dengan kondisi ekonomi yang terjadi.
3) Mampu memadukan sistem tetap dan mengambang.
Kelemahan:
1) Devisa tetap harus selalu tersedia dan siap digunakan sewaktu-waktu.
5

2) Ada persaingan yang ketat antara pemerintah dan spekulan dalam


memprediksi dan menetapkan kurs.
3) Tidak selamanya mampu mengatasi neraca pembayaran atau perdagangan.
Sistem kurs mengambang terkendali ini di Indonesia ditetapkan bersamaan
dengan kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33%. Pada sistem
ini nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket
currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Bank Indonesia
menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan rentang
atau spread tertentu. Maksud dari sistem nilai tukar tersebut adalah bahwa
meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun tetap masih ada
unsur pengendalian. Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali ini
diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah terus mengalami depresiasi
(pelemahan) terhadap USD yaitu antara Rp 650/USD sampai Rp 2.500/USD.

3. Kurs Mengambang Bebas (Free Floating Rate)


Kurs mengambang bebas merupakan suatu sistem ekonomi yang lebih
cocok ditujukan bagi suatu negara yang sistem perekonomiannya sudah mapan.
Sistem nilai tukar ini akan menyerahkan seluruhnya kepada pasar untuk mencapai
kondisi ekuilibrium yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal negara
bersangkutan. Jadi dalam sistem nilai tukar ini seharusnya tidak ada campur
tangan pemerintah.
Suatu sistem dinyatakan menggunakan dan atau menerapkan sistem kurs
bebas apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Mata uang yang beredar tidak konvertibel (tidak dapat dikonversi) terhadap
emas.
2) Kurs valuta asing ditentukan sepenuhnya oleh pasar. Apabila pemerintah
melakukan intervensi maka yang dilakukan adalah bagaimana kebijakan
pemerintah dapat mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran valuta asing.
3) Tidak ada pembatasan penggunaan valuta asing.
Keunggulan:
1) Cadangan devisa lebih aman.
2) Persaingan pasar ekspor-impor sesuai dengan mekanisme pasar.
3) Kondisi ekonomi negara lain tidak akan berpengaruh besar terhadap kondisi
ekonomi dalam negeri.
4) Masalah neraca pembayaran dapat diminimalisir.
6

5) Tidak ada batasan valas.


6) Tercipta ekuilibrium pasar valas.
Kelemahan:
1) Praktik spekulasi semakin bebas.
2) Kurang tepat untuk negara berkembang karena berpotensi menimbulkan
depresiasi yang fluktuatif.
Penerapan sistem ini di Indonesia pada periode tahun 1997 hingga
sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami tekanan yang
mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap USD. Tekanan
tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil yang melanda Thailand dan
menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Untuk mengatasi
tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot
exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs berjangka)
yang untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk
selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat hingga
sempat lebih dari Rp. 15.000/USD. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan
cadangan devisa yang terus terkuras, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank
Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar
Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Namun pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 23 dan 24 tahun 1999 yang mengatakan bahwa nilai tukar
di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendengar rekomendasi dari
Bank Indonesia. Hal ini dilakukan karena sistem nilai tukar akan berdampak sangat
luas. Dengan demikian, walaupun pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan
bahwa sistem nilai tukar Rupiah adalah kurs mengambang bebas, namun
tampaknya belum sampai 100% murni free floating rate. Dengan kondisi ekonomi
Indonesia yang ada – di dalam praktek hingga sekarang, Bank Indonesia masih
melakukan intervensi secara berkala, selektif, dan pada timing yang diperlukan.8

III. ANALISIS KASUS

A. Akibat Melemahnya Nilai Tukar Rupiah


Melemahnya nilai tukar Rupiah mempunyai dampak merugikan dan mengun-
tungkan sebagai berikut.
1. Dampak Merugikan
8
Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso, 1998, “Dampak Krisis Moneter Terhadap Sektor
Riil”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 2, pp. 131-158.
7

Pihak yang dirugikan akibat melemahnya nilai tukar Rupiah adalah:9


a. Importir
Importir dirugikan karena importir sangat bergantung dengan barang barang dari
luar negeri. Importir akan membayar dengan mata uang yang telah disepakati,
yang tentunya adalah Dolar AS. Jika nilai tukar rupiah melemah terhadap Dolar
berarti importir harus mengeluarkan uang lebih untuk membayar barang yang
mereka impor dari luar negeri.
b. Pemilik hutang luar negeri
Jika seseorang, perusahaan, lembaga atau instansi memiliki hutang luar
negeri, maka akan kesulitan mengembalikan hutang luar negerinya karena nilai
rupiah yang semakin lemah akan menambah beban atau hutang mereka
walaupun nilai hutang mereka dalam bentuk dolar itu tetap.
Adapun pihak-pihak yang diuntungkan dengan adanya melemahnya nilai
tukar Rupiah antara lain:10
a. Pemilik/pemegang uang dolar AS
Mereka diuntungkan karena jika Dolar AS ditukarkan dengan Rupiah pada saat
nilai Rupiah turun, maka mereka akan mendapat nilai Rupiah yang lebih banyak.
b. Eksportir
Eksportir diuntungkan karena memproduksi barang di dalam negeri dengan
biaya rupiah yang rendah dan saat menjual ke luar negeri eksportir
mendapatkan kontraprestasi berupa Dolar yang nilainya lebih tinggi.
c. Sektor pariwisata
Turunnya nilai rupiah menyebabkan pemegang Dolar relatif lebih kaya di
Indonesia, sehingga akan banyak turis mancanegara yang memiliki Dolar untuk
berwisata di Indonesia yang biayanya lebih murah karena Dolar dihargai tinggi di
Indonesia.
Dampak lain dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar antara lain
sebagai berikut:
a. Menurunnya daya beli masyarakat
Dampak negatif penurunan nilai tukar adalah secara efektif akan menurunkan
daya beli (permintaan) konsumen terutama masyarakat berpendapatan
menengah dan rendah (miskin). Dampak penurunan permintaan ini akan
menyebabkan menurunnya produksi barang dan jasa. Dari sudut produsen,
krisis penurunan nilai tukar dan naiknya bunga uang serta kandungan input
9
Abdul Halim, 2003, Analisis Investasi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, hal. 89.
10
Ibid.
8

impor yang cukup besar akan mendorong biaya produksi, sehingga harga
barang naik. Hal ini kemungkinan besar menyebabkan inflasi. Di lain pihak,
apabila daya beli menurun sementara harga barang dan jasa meningkat, maka
kemungkinan besar perusahaan akan memotong jumlah produksi (output) yang
dapat berdampak terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) para tenaga kerja.
Kalau ini terjadi maka urban and rural unemployed labour akan semakin
meningkat. Ujung-ujungnya adalah keresahan sosial, dengan istilah yang lebih
mengerikan lagi, setelah terjadi krisis finansial maka akan terjadi chaos.
b. Meningkatkan harga komoditi barang Impor
Dampak dari melemahnya nilai tukar Rupiah adalah meningkatnya harga
komoditi barang impor baik itu barang konsumsi maupun alat produksi (bahan
baku dan barang modal). Kenaikan harga tersebut dikarenakan komoditi impor
dipatok dengan mata uang negara asalnya. Dengan naiknya harga-harga barang
akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang impor yang akan
merugikan pihak konsumen jika tidak dapat mengimbanginya dengan
pendapatan yang mereka terima.
c. Naiknya nominal hutang luar negeri
Dampak yang terjadi berikutnya adalah naiknya nominal hutang luar negeri.
Naiknya nominal hutang luar negeri ini akan berdampak pada naiknya hutang
swasta, hutang Pemerintah, dan meningkatnya penawaran atas Rupiah. Naiknya
hutang pemerintah akan memberi dampak pada Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) yang akan mengurangi atau mencabut subsidi oleh rakyat
dampaknya juga akan terkena dan dirasakan oleh rakyat.
d. Menurunnya penerimaan Negara
Kalau perusahaan mengurangi output, maka jumlah pajak yang dikumpulkan
pasti berkurang sehingga total penerimaan (anggaran belanja) yang bersumber
dari pajak akan berkurang. Di sisi penawaran (supply) faktor pemotong anggaran
belanja ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ujungnya target
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7-8% per tahun) akan sangat sukar
dipertahankan.
e. Meningkatnya inflasi
Bahaya lain yang datang setelah depresiasi rupiah (devaluasi) melalui
mekanisme pasar adalah bahaya inflasi. Indonesia masih banyak mengimpor
bahan baku dan barang modal yang cukup besar. Karena harga Dolar yang
relatif lebih mahal dibanding dengan rupiah, maka merosotnya nilai rupiah di
9

satu pihak mendorong ekspor, akan tetapi melalui time-lag tertentu (2-3 tahun)
akan bersifat inflator karena sifat cost-push inflation tersebut. Kalau Indonesia
tidak mampu mengurangi impor serta meningkatkan produktivitas ekonomi dan
ekspor maka bahaya inflasi akan segera dihadapi.

B. Rekomendasi Kebijakan Terkait Fakta Penurunan Nilai Tukar Rupiah


Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat
menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatasi melemahnya nilai Rupiah. Adapun
kebijakan yang dapat dilakukan BI antara lain:11
1. Menaikkan suku bunga BI Rate (penentuan suku bunga bank).
2. Menaikkan suku bunga fasilitas simpanan BI.
3. Menyerap likuiditas dengan instrumen fine tune kontraksi (FTK) dengan variabel
rate tender, yaitu, dengan cara melakukan pelelangan, misalnya lelang suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
4. Menaikkan suku bunga maksimum penjaminan simpanan baik suku bunga
penjaminan simpanan rupiah atau deposito rupiah dan suku bunga penjaminan
simpanan valuta asing (valas) atau deposito valas.
5. Menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum (GWM) secara
bervariasi, sesuai dengan kondisi bank atau berdasarkan Loan to Deposit Ratio
(LDR) masing-masing bank. Perinciannya, bank yang rasio penyaluran dana ke
kredit atau LDR-nya 90%, tambahan GWMnya nol. Bank dengan LDR sebesar
75%-90% wajib menambah GWM 1%. Bank dengan LDR 60%-75% wajib
menambah GWM 2%. Bank dengan LDR 50%-60% wajib menambah GWM 3%.
Bank dengan LDR 40%-50% wajib menambah GWM 4%. Sedangkan, bank
dengan LDR kurang dari 40% wajib menambah GWM sebesar 5%.
6. Menaikkan imbalan jasa giro atau semacam bunga untuk semua GWM di atas 5%.
Selain itu, BI dapat melaksanakan beberapa kebijakan untuk mendukung enam
langkah tadi, yaitu:12
1. Menyediakan fasilitas swap dalam rangka lindung nilai (hedging).
2. Melakukan intervensi valas dengan instrumen swap jangka pendek.
3. Menyempurnakan ketentuan kehati-hatian dalam transaksi devisa, antara lain
dengan mengatur transaksi margin perdagangan dan penyesuaian ketentuan
posisi devisa netto (Net Open Position atau NOP).
11
Hartadi A. Sarwono, dan Perry Warjiyo, ”Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam
Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia,” Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Juli 1998, pp. 1-73.
12
Ibid.
10

4. Meningkatkan pengawasan intensif terhadap bank atas transaksi valas tanpa


dokumen pendukung, termasuk mengenakan sanksi.
Di lain pihak, Pemerintah dapat menerapkan empat paket kebijakan ekonomi
untuk menguatkan nilai tukar rupiah:13
1. Paket pertama dibuat untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS. Dalam paket ini yang akan dilakukan adalah mendorong
ekspor dan memberikan keringanan pajak kepada industri yang berorientasi
ekspor. Pemerintah juga akan menurunkan impor migas dengan memperbesar
biodiesel dalam solar untuk mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor.
Kemudian, pemerintah juga akan menetapkan pajak barang mewah lebih tinggi
untuk mobil CBU dan barang-barang impor bermerek dari rata-rata 75% menjadi
125% hingga 150%. Lalu, pemerintah juga akan memperbaiki ekspor mineral.
2. Paket kedua, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Pemerintah akan memastikan
defisit APBN tetap sebesar 2,38% dan pembiayaan aman. Pemerintah akan
memberikan insentif kepada industri padat karya, termasuk keringanan pajak.
3. Paket ketiga, untuk menjaga daya beli. Dalam hal ini, pemerintah berkoordinasi
dengan BI untuk menjaga gejolak harga dan inflasi. Pemerintah bisa mengubah
tata niaga daging sapi dan hortikultura, dari impor berdasarkan kuota menjadi
mekanisme impor dengan mengandalkan harga.
4. Paket keempat, untuk mempercepat investasi, pemerintah akan mengefektifkan
sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi.

IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dihasilkan simpulan bahwa akibat
penurunan nilai tukar Rupiah adalah sebagai berikut: 1) Menurunnya daya beli
masyarakat; 2) Meningkatkan harga komoditi barang Impor; 3) Naiknya nominal hutang
luar negeri; 4) Menurunnya penerimaan Negara; dan 5) Meningkatnya inflasi.
Pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya penurunan nilai tukar Rupiah
adalah: importir dan pemilik hutang luar negeri. Adapun pihak yang diuntungkan
adalah: 1) Pemilik/pemegang uang dolar AS; 2) Eksportir; dan 3) Sektor pariwisata.

B. Rekomendasi

13
Ibid.
11

Rekomendasi yang diberikan kepada BI untuk mengatasi melemahnya nilai


Rupiah antara lain: 1) Menaikkan suku bunga BI Rate (penentuan suku bunga bank);
2) Menaikkan suku bunga fasilitas simpanan BI; 3) Menyerap likuiditas dengan
instrumen fine tune kontraksi (FTK) dengan variabel rate tender, yaitu, dengan cara
melakukan pelelangan, misalnya lelang suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI); 4)
Menaikkan suku bunga maksimum penjaminan simpanan baik suku bunga penjaminan
simpanan rupiah atau deposito rupiah dan suku bunga penjaminan simpanan valuta
asing (valas) atau deposito valas; 5) Menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro
wajib minimum (GWM) secara bervariasi, sesuai dengan kondisi bank atau berdasar-
kan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank; dan 6) Menaikkan imbalan jasa
giro atau semacam bunga untuk semua GWM di atas 5%.
Selain itu, BI dapat melaksanakan beberapa kebijakan untuk mendukung enam
langkah tadi, yaitu: 1) Menyediakan fasilitas swap dalam rangka lindung nilai (hedging);
2) Melakukan intervensi valas dengan instrumen swap jangka pendek; 3)
Menyempurnakan ketentuan kehati-hatian dalam transaksi devisa, antara lain dengan
mengatur transaksi margin perdagangan dan penyesuaian ketentuan posisi devisa
netto (Net Open Position atau NOP); dan 4) Meningkat-kan pengawasan intensif
terhadap bank atas transaksi valas tanpa dokumen pendukung, termasuk mengenakan
sanksi.
Selain itu kepada Pemerintah disarankan untuk menerapkan empat paket
kebijakan ekonomi untuk menguatkan nilai tukar rupiah: 1) Paket pertama; untuk
memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS;
2) Paket kedua, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi; 3) Paket ketiga, untuk menjaga
daya beli; dan 4) Paket keempat, untuk mempercepat investasi.

V. DAFTAR PUSTAKA

Frank J. Fabozzi, Franco Modigliani, Frank Joseph Jones, 2010, Foundations of


Financial Markets and Institutions, England: Prentice Hall.
Sri Adiningsih, dkk., 1998, Perangkat Analisis dan Teknik Analisis Investasi di Pasar
Modal Indonesia, Jakarta: PT Bursa Efek Jakarta.
12

Elyzabeth Lucky Maretha Sitinjak dan Widuri Kurniasari, 2003, “Indikator-indikator


Pasar Saham dan Pasar Uang yang Saling Berkaitan Ditinjau dari Pasar Saham
Sedang Bullish dan Bearish”, Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Vol. 3, No.
3. pp. 23-34.
Imamudin Yuliadi, 2008, Ekonomi Moneter, Jakarta: PT. Indeks.
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, 1992, Ekonomi, Edisi ke-12, Jilid 2,
Jakarta: Erlangga.
Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso, 1998, “Dampak Krisis Moneter Terhadap
Sektor Riil”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 2, pp. 131-
158.
Abdul Halim, 2003, Analisis Investasi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Hartadi A. Sarwono, dan Perry Warjiyo, ”Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter
dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di
Indonesia,” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Juli
1998, pp. 1-73.
Ini Sebab Rupiah “Dibiarkan” Melemah, diakses dari http://katadata.co.id/berita/ pada
tanggal 20 April 2016.

Anda mungkin juga menyukai