PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Rakyat Indonesia mulai
dari masyarakat awam sampai pebisnis merasa khawatir dengan keadaan ini. Bank
Indonesia selaku badan yang berwenang mengambil kebijakan di bidang moneter juga
khawatir. Kekhawatiran Bank Indonesia sudah terlihat dalam kebijakan moneternya
sejak tahun 2013, yakni dengan beberapa kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).
Kebijakan ini diambil karena kinerja ekspor yang terus menurun, sehingga BI membuat
kebijakan yang dapat memastikan aliran modal dapat masuk ke pasar keuangan dalam
negeri (capital inflow) yang dapat dipakai untuk membiayai defisit tersebut. Namun BI
tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga karena besarannya sudah
cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan
melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.1
Akan tetapi di tengah kekhawatiran itu Bank Indonesia cenderung membiarkan
rupiah melemah terhadap Dolar AS. Kebijakan ini untuk menjaga agar defisit neraca
transaksi berjalan tidak makin besar. Hal ini diperkuat pula oleh analisis ekonom
Universitas Indonesia Anton H. Gunawan, yang menyatakan BI memang tidak terlalu
mengkhawatirkan pelemahan rupiah. Apalagi di tengah tren “perang mata uang” global
yang membuat banyak negara berupaya menurunkan nilai tukarnya guna
meningkatkan daya saing di pasar dunia.2 Akan tetapi apakah benar turunnya nilai
tukar Rupiah tersebut tidak perlu dikhawatirkan? Hal inilah yang akan dianalisis dalam
tulisan ini.
B. Permasalahan
Ada dua permasalahan yang dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana akibat penurunan nilai tukar Rupiah?
2. Bagaimana rekomendasi kebijakan terkait fakta penurunan nilai tukar Rupiah?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis secara kritis tentang akibat sebenarnya dari penurunan nilai
tukar Rupiah.
1
Ini Sebab Rupiah “Dibiarkan” Melemah, diakses dari http://katadata.co.id/berita/ pada tanggal
20 April 2016.
2
Ibid.
1
2
D. Manfaat/Signifikansi Penulisan
Tulisan ini memberi manfaat sebagai berikut:
1. Menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah di lapangan.
2. Rekomendasi yang diberikan akan menjadi masukan bagi pihak terkait.
3
Frank J. Fabozzi, Franco Modigliani, Frank Joseph Jones, 2010, Foundations of Financial
Markets and Institutions, England: Prentice Hall, hal. 724.
4
Sri Adiningsih, dkk., 1998, Perangkat Analisis dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal
Indonesia, Jakarta: PT Bursa Efek Jakarta, hal. 155.
5
Elyzabeth Lucky Maretha Sitinjak dan Widuri Kurniasari, 2003, “Indikator-indikator Pasar
Saham dan Pasar Uang yang Saling Berkaitan Ditinjau dari Pasar Saham Sedang Bullish dan Bearish”,
Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Vol. 3, No. 3. pp. 23-34.
6
Imamudin Yuliadi, 2008, Ekonomi Moneter, Jakarta: PT. Indeks, hal. 60.
3
USD (yang berarti ruang bandwidth yang ada juga bergerak turun). Alasan
devaluasi menurut bank sentral China - People's Bank of China (PBOC)
melakukan kebijakan ini adalah untuk mencegah penurunan ekspor China lebih
dalam lagi. Pada akhir Juli 2015, tingkat ekspor China memang turun -8,3%
dibanding tahun sebelumnya dimana angka tersebut jauh di bawah perkiraan yakni
turun hanya -1,5%. Pemerintah China menilai langkah devaluasi tersebut adalah
untuk mendukung ekonomi dan ekspor China. Langkah tersebut tentu saja dapat
berpotensi memicu perang mata uang (currency war) dengan negara-negara Asia
lainnya untuk saling berusaha menurunkan nilai mata uangnya juga, entah melalui
mekanisme devaluasi atau depresiasi pasar, agar kegiatan ekspor negaranya tidak
tersaingi oleh Yuan yang lebih murah.
Sistem kurs tetap ini di Indonesia diterapkan melalui UU No. 32 tahun 1964
dimana saat itu nilai tukar Indonesia ditetapkan sebesar Rp. 250/USD. Dalam
periode penetapan kurs tetap tersebut, Indonesia juga menetapkan peraturan
sistem kontrol devisa yang ketat. Dalam perjalanannya, Indonesia terpaksa
mendevaluasi kurs tetapnya karena nilai yang ada mengancam aktivitas ekspor-
impor. Pada tanggal 17 April 1970 Indonesia melakukan devaluasi dari Rp.
250/USD menjadi Rp 378/USD. Devaluasi kedua dilaksanakan pada tanggal 23
Agustus 1971 menjadi Rp 415/USD dan devaluasi yang ketiga dilakukan pada
tanggal 15 November 1978 menjadi Rp 625/USD.
impor yang cukup besar akan mendorong biaya produksi, sehingga harga
barang naik. Hal ini kemungkinan besar menyebabkan inflasi. Di lain pihak,
apabila daya beli menurun sementara harga barang dan jasa meningkat, maka
kemungkinan besar perusahaan akan memotong jumlah produksi (output) yang
dapat berdampak terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) para tenaga kerja.
Kalau ini terjadi maka urban and rural unemployed labour akan semakin
meningkat. Ujung-ujungnya adalah keresahan sosial, dengan istilah yang lebih
mengerikan lagi, setelah terjadi krisis finansial maka akan terjadi chaos.
b. Meningkatkan harga komoditi barang Impor
Dampak dari melemahnya nilai tukar Rupiah adalah meningkatnya harga
komoditi barang impor baik itu barang konsumsi maupun alat produksi (bahan
baku dan barang modal). Kenaikan harga tersebut dikarenakan komoditi impor
dipatok dengan mata uang negara asalnya. Dengan naiknya harga-harga barang
akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang impor yang akan
merugikan pihak konsumen jika tidak dapat mengimbanginya dengan
pendapatan yang mereka terima.
c. Naiknya nominal hutang luar negeri
Dampak yang terjadi berikutnya adalah naiknya nominal hutang luar negeri.
Naiknya nominal hutang luar negeri ini akan berdampak pada naiknya hutang
swasta, hutang Pemerintah, dan meningkatnya penawaran atas Rupiah. Naiknya
hutang pemerintah akan memberi dampak pada Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) yang akan mengurangi atau mencabut subsidi oleh rakyat
dampaknya juga akan terkena dan dirasakan oleh rakyat.
d. Menurunnya penerimaan Negara
Kalau perusahaan mengurangi output, maka jumlah pajak yang dikumpulkan
pasti berkurang sehingga total penerimaan (anggaran belanja) yang bersumber
dari pajak akan berkurang. Di sisi penawaran (supply) faktor pemotong anggaran
belanja ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ujungnya target
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7-8% per tahun) akan sangat sukar
dipertahankan.
e. Meningkatnya inflasi
Bahaya lain yang datang setelah depresiasi rupiah (devaluasi) melalui
mekanisme pasar adalah bahaya inflasi. Indonesia masih banyak mengimpor
bahan baku dan barang modal yang cukup besar. Karena harga Dolar yang
relatif lebih mahal dibanding dengan rupiah, maka merosotnya nilai rupiah di
9
satu pihak mendorong ekspor, akan tetapi melalui time-lag tertentu (2-3 tahun)
akan bersifat inflator karena sifat cost-push inflation tersebut. Kalau Indonesia
tidak mampu mengurangi impor serta meningkatkan produktivitas ekonomi dan
ekspor maka bahaya inflasi akan segera dihadapi.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dihasilkan simpulan bahwa akibat
penurunan nilai tukar Rupiah adalah sebagai berikut: 1) Menurunnya daya beli
masyarakat; 2) Meningkatkan harga komoditi barang Impor; 3) Naiknya nominal hutang
luar negeri; 4) Menurunnya penerimaan Negara; dan 5) Meningkatnya inflasi.
Pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya penurunan nilai tukar Rupiah
adalah: importir dan pemilik hutang luar negeri. Adapun pihak yang diuntungkan
adalah: 1) Pemilik/pemegang uang dolar AS; 2) Eksportir; dan 3) Sektor pariwisata.
B. Rekomendasi
13
Ibid.
11
V. DAFTAR PUSTAKA