Week 3
Pancasila sebagai Dasar Etis
Pengembangan Ilmu dan Teknologi
OUTLINE MATERI:
Hal yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah ilmu itu bebas
nilai, artinya tidak ada hubungan dengan nilai -nilai? Dalam sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, ada pro dan kontra mengenai kaitan
antara ilmu dan moral atau dengan nilai. Metode ilmu pengetahuan
memang otonom dan tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Tidak ada
instansi lain yang berhak menyensor dan menentukan penelitian ilmiah.
Teknologi telah banyhak berkembang termasuk dalam hal teknologi informasi, sehingga
negara-negara mampu menyampaikan pesan-pesan apa saja ke negara-negara berkembang dan
miskin, melalui beraneka media yang mudah digunakan dan didapatkan. Pesan-pesan itu
cenderung menimbulkan berbagai hal yang tidak menguntungkan bagi dunia
terbelakang, sementara menguntungkan bagi negara negara pengirim pesan. Pesan-
pesan yang disampaikan dapat menimbulkan dalam hati para pendengar, harapan --
harapan yang mungkin tidak bisa dicapai, sikap serta gaya hidup yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan situasi dan tuntutan mendesak negara itu sendiri.
Pengaruh dari pesan-pesan tadi bisa lebih buruk lagi di mana kreativitas kultural
asli dari negara-negara berkembang dan miskin tertindih dan terkikis habis.
Dengan demikian, negara-negara berkembang atau negara kurang berkembang
menghadapi risiko bahwa statusnya seca ra berangsur-angsur akan surut sampai
menjadi konsumen belaka dari produk pabrik maupun produk kebudayaan dari
peradaban-peradaban lain. Kalau hal itu dibiarkan terus maka akan terjadi
ketergantungan terus menerus negara-negara kurang berkembang kepada negara
yang lebih maju.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia. Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan
sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai
kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan
dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan
bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya
dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk. Misalnya
pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antarsesama akan
1
Baca lebih lanjut Buku Modul Kuliah Pendidikan Pancasila Dikti, hal. 100-103.
Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah
keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani
dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat
hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan
makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu
dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep
keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan
buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang
seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila
perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika
Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini
terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan
permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung
nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu
kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh
kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata
tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara
argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas „dimenangkan‟ atas
pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila
disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar
musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil,
maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai
keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan
baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995:
37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan
mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas memegang kunci sangat penting dalam
mengatasi krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui
moralitas pula krisis dapat diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari
kepandaian warganegaranya, tidak juga dari kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang
lebih mendasar adalah sejauh mana bangsa tersebut memegang teguh moralitas. Moralitas
memberi dasar, warna sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa. Moralitas dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas mondial.
Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke
dalam, tertanam dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.
Seorang yang memiliki moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku
seperti sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja
keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena
dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang
memiliki moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas individu ini terakumulasi
menjadi moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat yang bermoral
tinggi dan rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat universal yang
berlaku di manapun dan kapanpun, moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan,
kemerdekaan, dan sebagainya. Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam
melihat kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi moral sosialnya
kurang, hal ini terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat
yang majemuk. Sikap toleran, suka membantu seringkali hanya ditujukan kepada orang lain
yang menjadibagian kelompoknya, namun tidak toleran kepada orang di luar kelompoknya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai kumpulan dari moralitas
individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat orang lain sebagai
manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang sama.
Pelajaran yang sangat berharga dapat diteladani dari para pendahulu kita yang
berjuang demi meraih kemerdekaan. Moralitas individu dan sosial yang begitu kuat dengan
dipayungi moralitas mondial telah membuahkan hasil dari cita-cita mereka, meskipun mereka
banyak yang tidak sempat merasakan buah perjuangannya sendiri. Dasar moral yang
melandasi perjuangan mereka terabadikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam alinea-alineanya.
3
Buku Modul Kuliah Pancasila Dikti, Hal. 133-135
Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari
kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam
fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai
Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berpikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi
aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah sila-sila
Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara
utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun
kultural.
1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan
antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam
alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak
hanya untuk kelompok atau lapisan tertentu saja.
5) Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan filsuf
klasik Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan
sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena
4. http://www.scu.edu/ethics/practicing/decision/whatisethics.html