Anda di halaman 1dari 7

RESUME KULIAH XI

BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE

ETHICAL DILEMMAS, SOURCES, AND THEIR


RESOLUTIONS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Business Ethic and Good Governance”

Dosen Pengampu:

Prof Dr. H. Hapzi Ali, M.M., CMA.

Oleh:

Rame Priyanto
NIM 55117120122

Program Studi Magister manajemen


Universitas Mercubuana
2018
ETHICAL DILEMMAS, SOURCES, AND THEIR RESOLUTIONS

Rame Priyanto
NIM 55117120122

I. Dilema Etika

Pengertian Dilema etika adalah suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat
keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya. Menurut Arens dan Loebbecke
(1995: 74) yang dimaksud dengan dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana
keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat. Ada beberapa alternatif pemecahan dilema
etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku
pendekatan sederhana untuk memecahkan dilemma etika :

- Memperoleh fakta-fakta yang relevan.


- Mengidentifikasi issue-issue etika dari fakta-fakta yang ada.
- Menentukan siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilema.
- Mengidentifikasi alternatif yang tersedia bagi orang yang harus memecahkan dilema.
- Mengidentifikasi konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif.
- Memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

a. Egoism
Menurut Rachels (2004: 146) artinya teori mengenai bagaimana kita seharusnya bertindak, tanpa
memandang bagaimana kita biasanya bertindak. Menurut teori ini hanya ada satu prinsip perilaku
yang utama, yakni prinsip kepentingan diri, dan prinsip ini merangkum semua tugas dan kewajiban
alami seseorang.
b. Utilitarism
Utilitarisme adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh David Hume. Dalam teori ini suatu
perbuatan atau tindakan dapat dikatakan baik jika dapat menghasilkan manfaat. Akan tetapi bukan
bermanfaat untuk pribadi seseorang saja, tapi untuk sekelompok orang atau sekelompok masyarakat.
c. Deontology
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon, yang berarti kewajiban. Etika deontologi memberikan
pedoman moral agar manusia melakukan apa yang menjadi kewajiban sesuai dengan nilainilai atau
norma-norma yang ada. Suatu perilaku akan dinilai baik atau buruk berdasarkan kewajiban yang
mengacu pada nilai-nilai atau norma-norma moral. Tindakan sedekah kepada orang miskin adalah
tindakan yang baik karena perbuatan tersebut merupakan kewajiban manusia untuk melakukannya.
Sebaliknya, tindakan mencuri, penggelapan dan korupsi adalah perbuatan buruk dan kewajiban
manusia untuk menghindarinya. Etika deontologi tidak membahas apa akibat atau konsekuensi dari
suatu perilaku. Suatu perilaku dibenarkan bukan karena perilaku itu berakibat baik, tetapi perilaku
itu memang baik dan perilaku itu didasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan.
d. Virtue Etics
Virtue Etics atau teori keutamaan dapat didefinisikan sebagai cara pikir seseorang yang
memungkinkan dia untuk bertindak baik secara moral. Teori ini cenderung memandang sikap atau
akhlak seseorang. Setiap orang melakukannya yaitu argumentasi bahwa merupakan perilaku yang
wajar bila dapat memalsukan pajak penghasilan, atau menjual produk yang cacat umumnya
berdasarkan pada rasionalisasi bahwa setiap individu lainnya pun melakukan hal tersebut dan hal
tersebut merupakan perilaku yang wajar. jika merupakan hal yang sah menurut hukum, hal itu etis.
Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku yang sah menurut hukum adalah perilaku yang
etis sangat bersandarpada kesempurnaan hukum. Dibawah filosofi ini, seseorang tidak memiliki
kewajiban apapun untuk mengembalikan suatu obyek yang hilang kecuali jika pihak lainnya dapat
membuktikan bahwa obyek tersebut miliknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa, Dilema etika
merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan mengenai
perilaku yang patut.
Etika adalah cara melayani dan berinteraksi dengan orang lain secara bijak dan profesional. Etika
adalah tentang diri yang cerdas terhubung dengan orang lain. Etika bisnis berarti melayani berbagai
keadaan dan kepentingan stakeholders dengan penuh integritas. Etika membutuhkan jiwa yang
bijaksana untuk bisa meresap dengan empati ke dalam kompleksitas persoalan. Bila perilaku yang
bijak dan penuh empati tidak disiapkan, maka Anda pasti menghadapi dilema etika setiap hari.
Dilema etika muncul karena ada keraguan dan ketidaktegasan di dalam diri, saat menghadapi realitas
yang tidak sepakat dengan normatif etika. Panduan etika bisnis perusahaan sebagai standar, serta
kode etik perilaku sebagai cara untuk bertindak dan bersikap, tetaplah berada di dalam kekuatan
normatif. Padahal, etika bisnis membutuhkan perilaku etis untuk membuat keputusan dan tindakan
etis secara teratur. Diperlukan kerangka berpikir dan logika yang tepat, untuk mempengaruhi orang-
orang agar mereka secara sukarela menjalankan perilaku etis di setiap situasi dan keadaan bisnis.
Perilaku baik dengan nilai moral yang tinggi pasti menjadi alat untuk mengatasi dilema etika.
Dilema etika dapat diatasi dengan kepatuhan untuk memenuhi standar kerja sesuai panduan etika
bisnis. Perilaku etis selalu melestarikan kejujuran, dan bersikap dengan cerdas emosional. Walaupun
pikiran menjadi sangat liar dan menciptakan berbagai macam emosional, tetapi etika harus selalu
menjadi kekuatan yang terfokus di dalam hati nurani. Tempat etika bukanlah di pikiran dan emosi,
tetapi di dalam hati nurani yang bermoral tinggi. Bila etika ditempatkan dalam pikiran dan emosi,
maka ego kreatif pasti muncul untuk mencari peluang dari etika, dan tidak akan mau patuh pada
normatif etika. Etika bukanlah sesuatu untuk ditafsirkan, tetapi untuk dipatuhi dengan penuh
tanggung jawab. Hanya orang-orang yang fokus pada kepatuhan yang mampu memiliki perilaku
etis, sedangkan yang fokus pada kemajuan, selalu memiliki perilaku yang disesuaikan dengan
kebutuhan dari kemajuan tersebut. Jadi, mereka yang fokus pada kemajuan suka mengabaikan etika,
dan perilakunya tergantung dengan situasi.
Etika bisnis di perusahaan membutuhkan nilai-nilai yang sama untuk semua orang. Setiap orang
wajib menguasai nilai dan prinsip-prinsip, lalu terhubung dengan satu persepsi dan satu perilaku
yang etis. Semua orang yang sudah sama nilai dan prinsip-prinsipnya, termasuk persepsi dan
keyakinannya, maka dapat menjadi energi positif yang menciptakan kolaborasi untuk mengatasi
dilema etika. Dengan struktur dan sistem yang berkualitas dapat diciptakan lingkungan kerja yang
etis. Bila lingkungan kerja sudah beretika, maka perilaku etis secara otomatis menjadi kekuatan yang
memperkaya proses bisnis. Perilaku etis mampu menyerap nilai-nilai positif, dan menjadikannya
sebagai etos kerja. Perilaku etis mampu mempertimbangkan berbagai keadaan, kepentingan, situasi,
dan stakeholders, supaya dapat melayaninya dengan bijak dan profesional. Kejujuran hanya mampu
melihat satu sisi kebenaran, sedangkan etika mampu mempertimbangkan berbagai sisi dan keadaan
kebenaran. Dilema etika harus menjadi fakta dan informasi yang dipertimbangkan secara bijak, lalu
membuat keputusan yang masuk akal dan yang tidak menciptakan konflik.

II. Sumber Dilema Etika

Secara garis besar dimanapun kita berada maka kita akan dihadapkan pada 4 hal yang dipandang sebagai
sumber nilai-nilai etika dalam komunitas, yaitu:

a. Agama
Bermula dari buku Max Weber The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904-5) menjadi tegak
awal keyakinan orang adanya hubungan erat antara ajaran agama dan etika kerja, atau anatara
penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Etika sebagai ajaran baik-buruk, slah-
benar, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi,
bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi
Barat menunjuk pada kitab Injil (Bibble), dan etika ekonomi yahudi banyak menunjuk pada Taurat.
Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayatayat yang muat dalam
Al-Qur’an. Prinsip-prinsip nilai-nilai dasar etika yang ada dalam agama yaitu : • Keadilan :
Kejujuran, mempergunakan kekuatan untuk menjaga kebenaran. • Saling menghormati : Cinta dan
perhatian terhadap orang lain • Pelayanan : Manusia hanya pelayan, pengawa, sumber-sumber alam
• Kejujuran : Kejujuran dan sikap dapat dipercaya dalam semua hubungan manusia, dan integritas
yang kuat. Etika bisnis menurut ajaran Islam digali langsung dari Al Quran dan Hadits Nabi. Dalam
ajaran Islam, etika bisnis dalam Islam menekakan pada empat hal Yaitu : Kesatuan (Unity),
Keseimbangan (Equilibrium), Kebebasan (FreeWill) dan tanggung jawab (Responsibility). Etika
bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran dan keadilan, sedangkan antara
pemilik perusahaan dan karyawan berkembangan semangat kekeluargaan (brotherhood).
b. Filosofi
Salah satu sumber nilai-nilai etika yang juga menjadi acuan dalam pengambilan keputusan oleh
manusaia adalah ajaran-ajaran Filosofi. Ajaran filosofi tersebut bersumber dari ajaran-ajaran yang
diwariskan dari ajaran-ajaran yang sudah diajarkan dan berkembang lebih dari 2000 tahun yang lalu.
Ajaran ini sangat komplek yang menjadi tradisi klasik yang bersumber dari berbagai pemikiran para
fisuf-filsuf saat ini. Ajaran ini terus berkembanga dari tahun ke tahun Di Negara barat, ajaran filosofi
yang paling berkembang dimulai ketika zaman Yunani kuno pada abd ke 7 diantaranya Socrates
(470 Sm-399 SM). Socrates percaya bahwa manusia ada untuk suatu tujuan, dan bahwa salah dan
benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan
lingkungan dan sesamanya sebagai seorang pengajar, Socrates dikenang karena keahliannya dalam
berbicara dan kepandaian pemikirannya. Socretes percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan
diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya
akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang. Pepatah yang terkenal mengatakan. :
“Kenalilah dirimu” dia yang memperkanalkan ide-ide bahwa hukum moral lebih inggi daripada
hukum manusia.
c. Pengalaman Dan Perkembangan Budaya
Setiap transisi budaya antara satu generasi kegenerasi berikutnya mewujudkan nilai-nilai,aturan baru
serta standar-standar yang kemudian akan diterima dalam komunitas tersebut selangjutnya akkan
terwujud dalam perilaku.Artinya orang akan selalu mencoba mendekatkan dirinya atau beradaptasi
dengan perkembanganperkembangan nilai-nilai yang ada dalam komunitas tersebut,dimana nilai-
nilai itu tidak lain adalah budaya yang hadir karna adanya budaya pengetahuan manusia dalam
upayanya untuk menginterpentasikan lingkunganya sehingga bisa selalu bertahan hidup.
d. Hukum
Hukum adalah perangkat aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka untuk menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hukum menentukan ekspektasi-ekspektasi etika yang
diharapkan dalam komunitas dan mencoba mengatur serta mendorong para perbaikan-perbaikan
masalah-masalah yang dipandang buruk atau tidak baik dalam komunitas. Sebenarnya bila kita
berharap bahwa dengan hukum dapat mengantisipasi semua tindakan pelanggaran sudah pasti ini
menjadi suatu yang mustahil. Karena biasanya hukum dibuat setelah pelanggaran yang terjadi dalam
komunitas. Beberapa prinsip/hukum yang dianut oleh system perbankan syariah antara lain : 1)
Pertama, pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai
ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan. 2) Kedua, pemberi dana harus turut berbagi keuntungan
dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana. 3) Ketiga, islam tidak
memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan
bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik. 4) Keempat, unsur gharar (ketidakpastian,
spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik dengan hasil yang
akan mereka peroleh dari sebuah transaksi. 5) Kelima, investasi hanya boleh diberikan pada usaha-
usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh
perbankan syariah. Masuknya model syariah memberikan model baru bagi bisnis Indonesia. Model
syariah kemudian tidak hanya dibidang perbankan, kemudian juga merambah pada bidang lain
seperti asuransi, pasar modal bahkan dalam sistem bisnis.
Para umumnya para pebisnis akan lebih banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin
etika mereka dalam melaksanakan aktivitasnya. Karena hukum dipandang suatu perangkat yang
memiliki bentuk hukuman/punishment yang paling jelas dibandingkan sumber-sumber etika yang
lain, yang cenderung lebih pada hukuman yang sifatnya abstrak, seperti mendapat malu, dosa dan
lain-lain. Hal ini sah-sah saja, tetapi ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis itu sendiri.
Boatright (2003) menyebutkan ada beberapa alasan yang bias menjelaskan hal ini.
1. Pertama, hukum tidaklah cukup untuk mengatur semua aspek aktivitas dalam bisnis, sebab tidak
semua yang tak bermoral adalah tidak legal. Beberapa etika dalam bisnis konsen pada hubungan
interpersonal kerja dan hubungan dengan para pesaing, yang sangat sulit diatur melalui undang-
undang. Contohnya adalah kasus persaingan para industri mie instan seperti yang dijelaskan
pada bab sebelumnya.
2. Kedua, karena hukum selalu dibuat setelah pelanggaran terjadi, sehinga kita bias menyebut
bahwa hukum selalun lambat dikembangkan dibandingkan segala masalah-masalah etika yang
timbul. Sisi lainnya adalah biasanya untuk membuat suatu undang-undang atau aturan hukum
akan membutuhkan waktu panjang juga. Undang-undang tidak bisa dibuat begitu saja ketika ada
pelanggaran yang terjadi, tetapi akan melalui banyak tahap apalagi harus melalui proses juridis,
dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan ketika pembuatan undang-undang tersebut.
Akhirnya banyak nilai-nilai yang ingin ditegakkan dalam pembuatan undang-undang tersebut
bisa melenceng dari tujuan utamanya. Sebagai contoh adalah undangundang tentang hak cipta
terjadi diindonesia. Sudah berpuluh tahun lamanya pelanggaran hak cipta terjadi diindonesia,
tetapi undang-undangnya baru berbentuk pada tahun 2002 kemarin. Begitu juga dengan kasus
ponografi terjadi diindonesia, hingga saat ini pun belum juga ditemui kesepakatan bagaimana
bentuk undangundang ponografi itu sebenarnya diindonesia.
3. Ketiga, terkadang hukum atau undang-undang itu sendiri selalu menerapkan konsep-konsep
moral yang tidak mudah untuk didefinisikan sehingga menjadi sangat sulit pada suatu ketika
untuk memahami undang-undang tanpa mempertimbangkan masalah-masalah moral.
4. Keempat, hukum sering tidak pasti. Walaupun suatu kejadian atau aktivitas dianggap legal, serta
hukum/undang-undang haruslah diputuskan melalui pengadilan, dan dalam membuat
keputusan, pengadilan selalu mengacu pada pertimbangan-pertimbangan moral. Banyak orang
juga berfikir bahwa selama tindakannya tidak melanggar hukum adalah suatu yang benar
walaupun apa yang dilakukannya bisa dianggap tiadak bermoral.
5. Kelima, hukum kadang tidak bisa diandalkan, apalagi jika bisnis itu berada pada suatu wilayah
atau dari daerah yang tingkat penegakan hukumnya sangat rendah. Contohnya, pada masa orde
baru, pembentukan peraturan dan undang-undang cenderung bergantung pada penguasa,
sehingga undang-undang atau aturan saat itu cenderung untuk menguntungkan pihak-pihak
tertentu yang dianggap memiliki hubungan erat denagn pemerintah pada saat itu orang-orang
yang menjadi kronikroni penguasa bisa menjadi orang yang kebal hukum dan tidak bisa dijerat
dan dijatuhi hukuman.

Dafar Pustaka

Fernando, A. C. (2012). Business Ethics and Corporate Governance, Second Edition. india. Pearson.

LoRusso, James Dennis. (2017). Spirituality, Corporate Culture, and American Business: The
Neoliberal Ethic and the Spirit of Global Capital (Critiquing Religion: Discourse, Culture, Power),
London. Bloomsbury .

Hapzi Ali, 2018. Modul BE & GG, Univeristas Mercu Buana.

Anda mungkin juga menyukai