Anda di halaman 1dari 3

1.

Hasil Observasi
Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa P1 dan P2 memiliki score <12,
dimana P1 memiliki score 10 dan P2 memiliki score 11. P1 dan P2 diketahui
melewatkan beberapa langkah dalam prosedur surgical handscrub. Sehingga, P1 dan
P2 dikategorikan dalam kurang patuh.
Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang dalam berperilaku. Kepatuhan
adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa
yang disarankan atau dibebankan kepadanya (Emaliyawati, 2010). Kepatuhan
pelaksanaan prosedur hand hygiene merupakan ketaatan dalam melaksanakan
kebersihan tangan baik dengan handscrub ataupun dengan handrub yang berpengaruh
pada upaya mengurangi penyebaran infeksi nosokomial atau yang dikenal dengan
Healthcare Associated Infections (CDC, 2010).
Abdollahi, dkk (2017) menjelaskan bahwa kurangnya tingkat perhatian
petugas kesehatan dalam melakukan cuci tangan steril, tidak melakukan cuci tangan
dengan baik dan benar (tidak menggunakan sabun, salah urutan, waktu yang terlalu
cepat dan lain lain). Pemberian intervensi mulai dari komunikasi efektif pada seluruh
petugas di ruang operasi, pemberian jasa atau timbal balik yang sesuai, pemberian
poster edukasi di tempat cuci tangan, pemberian jam untuk penanda waktu cuci
tangan. Setelah pemberian intervensi tersebut, petugas kesehatan akan diobservasi lagi
terkait pengetahuan dan praktik cuci tangan.
2. Hasil Wawancara
a. Sikap
Berdasarkan hasil wawancara dengan P2 dan P4, kedua responden
mengatakan jika salah satu penyebab ketidak patuhan prosedur Surgical
Handscrub adalah DPJP (Dokter Penganggung Jawab Pasien) yang menjadi
operator operasi. P2 dan P4 mengatakan jika DPJP datang ke ruangan, mereka
harus mempersiapkan diri dengan cepat agar DPJP tidak marah dan mengganggu
jalannya operasi. Waktu yang terbatas dalam mempersiapkan diri seebagai
perawat instrumen, memicu ketidak patuhan perawat dalam melaksanakan
surgical handscrub sesuai dengan SPO.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Karabay, dkk (2005) yang
mengungkapkan mengenai faktor rendahnya pelaksanaan hand hygiene yaitu
karena waktu yang terbatas, meningkatnya beban kerja, menurunnya jumlah
tenaga, keyakinan bahwa menggunakan sarung tangan sudah tidak membutuhkan
hand hygiene. Izaguirre, dkk (2018) juga menjelaskan bahwa waktu standar yang
dibutuhkan untuk melakukan surgical handscrub adalah 5 menit. Iwakiri, dkk
(2017) juga memaparkan bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk
melakukan tradisional surgical handscrub adalah 264 menit dan 160 menit untuk
protokol tanpa air.
Berdasarkan uraian diatas, rata-rata waktu yang dibutuhkan perawat untuk
melakukan prosedur surgical handscrub yang sesuai dengan prosedur adalah 5
menit. Perawat juga harus melakukan gloving dan growning. Sehingga, untuk
mempersingkat waktu, maka perawat memutuskan untuk tidak melakukan
beberapa step dalam SPO surgical handscrub.
P2 dan P4 menyatakan bahwa manfaat dari Surgical Handscrub adalah
untuk mengurangi jumlah mikroorganisme. Pernyataan tersebut sejalan dengan
Oriel, dkk (2017) yang mengatakan bahwa surgical hand antisepsis adalah faktor
utama dalam mengurangi transmisi bakteri. Tiga penelitian juga menemukan
bahwa handscrub dengan klorheksidin glukonat menghasilkan CFU lebih sedikit
dari povidone iodine scrub segera setelah scrubbing, 2 jam setelah scrub awal dan
2 jam setelah berikutnya penggosokan (Tanner et al, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara kedua responden menyatakan bahwa yang
diuntungkan dari pelaksanaan surgical handscrub adalah pasien. Tanner, dkk
(2016) menjelaskan bahwa pemindahan mikro-organisme yang tidak disengaja
seperti bakteri ke tempat luka pasien selama operasi dapat menyebabkan infeksi
luka yang biasa disebut infeksi situs bedah (SSI). SSI adalah salah satu bentuk
paling umum dari infeksi terkait perawatan kesehatan pasien bedah. Sekitar 1 dari
20 pasien bedah mengembangkan SSI di rumah sakit, dan proporsi ini meningkat
ketika orang pulang ke rumah. SSI hasil penyembuhan luka yang tertunda,
peningkatan rawat inap di rumah sakit, peningkatan penggunaan antibiotik, rasa
sakit yang tidak perlu dan, dalam kasus yang ekstrim, kematian dari pasien,
sehingga pencegahan mereka adalah tujuan utama untuk layanan kesehatan.
b. Kendala Pelaksanaan Program
Bedasarkan dari hasil wawancara, P2 dan P4 menyatakan bahwa sarana dan
prasarana sudah menunjang untuk pelaksanaan surgical handscrub di OK 1.
Berdasarkan hasil observasi sarana dan prasarana hand hygiene yang terdapat di
OK 1 sudah tersedia dengan baik seperti wastafel, sabun antiseptik, air bersih,
tissue sekali pakai, tepat sampah dan spons sikat.
Tersedianya sarana dan prasarana merupakan bentuk keseriusan dan
tanggung jawab dari rumah sakit. Namun, fakta di lapangan masih ada perawat
yang belum melakukan surgical handscrub sesuai dengan SPO yang ada di rumah
sakit. Penelitian sebelumnya melaporkan kelengkapan fasilitas untuk hand
hygiene tersedia dengan baik, namun tingkat kepatuhan melakukan hand hygiene
masih rendah (35%) (Ernawati E, 2014). Fasilitas cuci tangan yang memadai
mendukung kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan. Supaya perawat
dapat bekerja secara maksimal penyediaan fasilitas cuci tangan yang dibutuhkan
perlu diperhatikan (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan uraian diatas maka
ketersediaan fasilitas cuci tangan mempengaruhi perawat dalam melakukan
praktik cuci tangan. Fasilitas cuci tangan yang tidak lengkap dan memadai akan
menyebabkan perawat tidak dapat melakukan praktik cuci tangan.
c. Kontrol Perubahan
Kedua responden mengatakan bahwa pemasangan poster dapat berpengaruh
dalam meningkatkan kepatuhan pelaksanaan prosedur surgical handscrub.

Anda mungkin juga menyukai