com/2008/06/28/malpraktik-sejauh-mana-kita-
sebagai-seorang-dokter-memahaminya/
Ketika saya masih menjadi mahasiswa kedokteran pre klinik tahun 2004, saya ingat betapa saat
itu kasus malpraktik menjadi booming. Seingat saya semuanya diawali oleh kasus yang menimpa
Nyonya Agian Isna Auli yang mengalami kelumpuhan setelah menjalani operasi Caesar. Kasus
ini menjadi perhatian utama di seluruh media massa, baik cetak maupun elektronik, bahkan
liputan 6 SCTV pun menjadikannya topik minggu ini. Setelah kasus tersebut, sederetan kasus
lain bermunculan, dan media massa nasional maupun lokal menjadi latah untuk menjadikannya
top story.
Masalahnya, seringkali kasus-kasus yang diberitakan tidak memenuhi prinsip covering both
sides sesuai prinsip jurnalistik. Judul dan isi berita cenderung menyudutkan dokter sebagai
tersangka. Seharusnya kasus-kasus yang belum menjalani investigasi tidak pantas disebut
sebagai kasus malpraktik, media massa harus menyertakan kata DUGAAN, namun sayangnya
hal ini tidak diperhatikan. Kasus seperti alergi obat, misalnya Steven Johnson Syndrome, yang
seharusnya tidak dapat dikategorikan malpraktik , oleh media langsung divonis sebagai kasus
malpraktik. Menyedihkan sekali, bahkan stasiun tv nasional pun seringkali melakukan hal ini.
Efek dari maraknya pemberitaan malpraktik ini pun panjang, ikut memicu lahirnya UU Praktik
Kedokteran dan Ujian Kompetensi Dokter Indonesia untuk dokter yang baru lulus.
Hingga kini, masih banyak juga sebenarnya kasus-kasus dugaan malpraktik yang menjadi topik
di media massa, namun sayangnya kita sebagai dokter jarang sekali yang benar-benar memahami
apakah malpraktik itu. Sekarang, saya akan mencoba berbagi mengenai definisi dan hal-hal lain
yang terkait dengan malpraktik.
Definisi Malpraktik
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the
physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or
a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an
injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi
terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi
penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma
etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan
(pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang
hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice
apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
3. Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative
malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi
tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan
yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.
BAB I
KAJIAN KASUS
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah
Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak
merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis
bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan
bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang
bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja
terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia
melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan.
Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu
Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini
berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya.
Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak
jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk
mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi
anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji
saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan
berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya
apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri
saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,”
papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki
berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari
ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu
berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti
maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak
begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar,
namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk
menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu
mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa
merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim.
Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya
tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang
saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah
tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali.
Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega
melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara
hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan
sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat
bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di
ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya
tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke
BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan.
Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan
untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung
kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali.
“Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya
nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji?
“Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji
yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan
tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk
ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya
mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan
kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi,
bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak
mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han
adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak
menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan
persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya
saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari
diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat
dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang
sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam
hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar
dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus
malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan
diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir
ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/
atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan
masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice)
atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan
malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari
kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian
dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan
faktor-faktor lainnya.
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun,
sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian
atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut.
Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan
tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis
untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum.
1. B. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis.
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan
difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga
keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative
act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang
berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara
paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
3) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP
Mengatakan:
6) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan
7) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
9) Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan
di¬lakukan.
11) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
12) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
14) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
1. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien informed consent.
1) Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan
di¬lakukan.
1. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses
kelahiran.
1) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati
atau luka-luka berat.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah.
3) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih
berat pula.
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya
untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
1. Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban
atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat
Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka
tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam
undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang
berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri
Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu
bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti
pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang
disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
a. Pelayanan kebidanan
Pasal 15 :
(1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan)
ditujukan pada ibu dan anak
(2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin ,
masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)
(3) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak
balita dan masa pra sekolah.
Pasal 16 :
b. Pemeriksaan fisik
f. Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di
dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan
lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
h. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
c. Perawatan bayi
f. Pemberian imunisasi
g. Pemberian penyuluhan
Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal
16,berwenang untuk :
a. Memberikan imunisasi
f. Episiotomi
g. Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
i. Pemberian infuse
k. Kompresi bimanual
n. Pengendalian anemi
q. Penanganan hipotermi
s. Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir
IV terlampir
1. Undang-Undang
pasal 15
ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau
janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
pasal 80
ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. E. PEMBAHASAN KASUS
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari
istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas
adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai
ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari
Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia
menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab
khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan
profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap
masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk
eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan
dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan
pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja
(intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan
(culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau
kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu
dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent
(persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak
hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga kesehatan seprti dokter atau bidan, tetapi juga
diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-
batas hukum dan perundang-undangan malpraktek.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan
pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent
secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau
sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada
keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi
adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat
pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang
mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan
tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah
perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan
tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya
kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun
kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
1. Cara langsung
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif
tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa
kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama
sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau
merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila
kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa
macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya
upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun
rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar
profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah
sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai
karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan
menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
bidan.
BAB III
PENUTUP
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu
kesimpulan sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat,
dan yang sekaligus merupa¬kan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan
berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus
malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang
malapraktek bidan di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga
mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas
akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
1. Sedangkan altematif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini
belum memadai, sehingga kasus-kasus malapraktek dijuimpai kandas di pemeriksaan sidang
pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari
para arsitek hukum untuk mene-mukan altematif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi
kasus-kasus malapraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent,
wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh
karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral
dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal
selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari
sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat
dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter
atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin
tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya
dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran
sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan
kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang
tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk
Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa
pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk
sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah
sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct
bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1]
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-
prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman
bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan
pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti
autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence
(melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan
yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme
(pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan,
dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di
tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya,
yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat
perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat
dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat
seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal
profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada
MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda.
Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan
tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter
tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh
MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di
antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter
dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-
surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan
adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah,
tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada
informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih
tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan
dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri
dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada
preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan
bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang
diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian
yang dibutuhkan.5
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3]
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)
Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena
berbagai hal – sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu
untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14
%), juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi
MKEK (bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa
hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang
eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.
Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada
24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus
pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi.
Namun perlu diingat bahwa pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat
pula kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik
dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung es).
Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah
melanggar pasal 2 yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”.
Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi “Setiap dokter harus
menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”, pasal 7 yang berbunyi “Seorang
dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya”, dan pasal 12 yang berbunyi “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal”.
1997 10 3 2 4 1
1998 11 2 3 3 3
1999 18 2 5 7 4
2000 14 2 1 8 3
2001 10 3 1 5 1
2002 13 1 1 6 5
2003 14 - 1 10 3
2004 9* 1 4
Jumlah 99 * 13 14 44 24
Pustaka lanjutan
Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed. New York: Oxford University
Press, 1989.
Breen K, Plueckhahn V, Cordner SM. Ethics, Law and Medical Practice. St Leonard NSW: Allen &
Unwin, 1997
Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-
Bass, 2001
Dix A, Errington M, Nicholson K, Powe R. Law for the medical profession in Australia. Second ed.
Australia: Butterworth-Heinemann, 1996
Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited, 1999.
Harpwood V. Modern Tort Law. 5th ed. London: Cavendish Publ Ltd, 2003.
Hickey J. The Medical Protection Society Experience Worldwide. Singapore: Medico-legal Annual
Seminar, 27-28 October 2001.
Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991
Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system.
Washington: National Academy Press, 2000
Kuhse H and Singer P. Bioethics on Anthology. Oxford: Blackwell Publ, 1999.
Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Deventer : Kluwer Law and Taxation
Publ, 1993
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International
Business Communications Pty Ltd, 1989.
McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.
O’Rourke K. A Primer for Health Care Ethics. 2nd ed. Washington DC: Gergetown University Press,
2000.
Plueckhahn VD and Cordner SM. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology. Melbourne :
Melbourne University Press, 1991.
Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publication,
2002
Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis : American College
of Legal Medicine, 1998.
Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995
Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea.
Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Tjiong R. Worldwide trends of medical negligence claims and implications for Singapore from UMP
perspective. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain,
September 1992
[1] Lebih lanjut agar dibaca buku “Kode Etik Kedokteran Indonesia”
[2] Breen K, Plueckhahn V, Cordner SM. Ethics, Law and Medical Practice. St Leonard NSW: Allen & Unwin, 1997
[3] Dix A, Errington M, Nicholson K, Powe R. Law for the medical profession in Australia. Second ed. Australia: Butterworth-
Heinemann, 1996