Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

STRUMA
DI KAMAR OPERASI RSUD NGUDI WALUYO WLINGI

Oleh :

RIZKY NUR EVINDA


NIM 1401460032

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN PERIOPERATIF MALANG
2018
1. Pengertian
Struma merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan yodium sebagai
unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga untuk mengimbangi
kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan menimbulkan pembesaran
yang mudah terlihat di kelenjar tiroid.Struma disebut juga goiter adalah suatu
pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan
glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya.Di bagian posterior medial
kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus.Struma dapat mengarah ke dalam sehingga
mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan
disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi
serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang
besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. (De Jong
& Syamsuhidayat, 1998)

2. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid atau gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki
dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ishmus yang masing-masing berbetuk lonjong
berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram.
Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas
normalnya kerja setiap sel tubuh.Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah.Terdapat 4
atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon
tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating
hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan
dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang
mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini :

Gambar 2.2 Kelenjar Tiroid


3. Fisiologi Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan
jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik,
menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi
intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon ini, membuat
retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada saat lahir dan bayi. (Mulinda,
James, 2005)

4. Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam
pembentukan TSH oleh hipofisis anterior.Hal tersebut memungkinkan hipofisis
mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan.TSH kemudian menyebabkan sel-sel
tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan
kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.Akibat kekurangan yodium maka
tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan
kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves.
Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa
hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium,
gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).
5. Klasifikasi Struma
Klasifikasi struma terbagi menjadi dua yaitu berdasarkan fisiologis dan klinis.
a) Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(Djokomoeljanto, 2001)
1) Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat.Goiter atau
struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada
leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.

2) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar
untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.Gambar
penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

Gambar 2.3:Hipotiroidisme
3) Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon
tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis
antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya
produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi
besar.Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas.
Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian
atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan
atrofi otot. Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini :

:
Gambar 2.4 :Hipertiroidisme
b) Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut : (Davis, Anu Bhalla, 2005)
1) Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke
jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan
(struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah.Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan.Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam
sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat
dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik
adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara
dan menelan, koma dan dapat meninggal.

2) Struma Non Toksik


Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.Struma ini disebut sebagai
simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di
daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang
menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa.Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI
adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang
20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30%.

7. Derajat / Stadium Klasifikasi Tumor


Beberapa cara menentukan stadium dari tumor, antara lain berdasarkan :
(Sudoyo, Aru W. 2006)
a) Stadium tumor berdasarkan letak topografi tumor beserta ekstensi dan metastasenya
dalam organ :
1) Stadium lokal : pertumbuhannya masih terbatas pada organ semula tempatnya
tumbuh
(a) Karsinoma in situ : pertumbuhannya masih terbatas intraepitelial, intraduktal,
intra lobuler. Istilah ini hanya dikenal pada tumor ganas epitelial.
(b) Infiltrasi lokal atau invasif : tumor padat telah tumbuh melewati jaringan
epitel, duktus, atau lobulus, tetapi masih dalam organ yang bersangkutan
(pengertian patologi : telah melewati stratum papilare atau membran basalis )
atau telah menginfiltrasi jaringan sekitarnya (pengertian klinis : sudah ada
perlekatan dengan organ sekitarnya).
2) Stadium metastase regional : tumor padat telah metastase ke kelenjar limfe yang
berdekatan (kelenjar limfe regional).
3) Stadium metastase jauh : tumor padat telah metastase pasa organ yang letaknya
jauh dari tumor primer.
Secara klinis kadang – kadang dipakai dua sitilah diatas sekaligus untuk
menyebut stadium tumor padat yaitu Stadium lokoregional, oleh karena pada
kenyataannya sering ditemukan stadium lokal dan regional secara bersamaan pada
waktu dilakukan pemeriksaan klinis.

b) Stadium tumor berdasarkan sistem TNM ( stadium TNM )


Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Perancis Piere de
Noix, kemudian dipergunakan dan disempunakan oleh UICC ( Union Internationale
Contre le Cancere ), dan sejak 1958 sistem ini dipergunakan secara luas di berbagai
belahan dunia.
Sistem TNM ini berdasarkan 3 kategori, yaitu : T ( Tumor primer ), N ( Nodul
regional, metastase ke kelenjar limfe regional ), dan M ( Metastase jauh ).
Masing-masing kategori tersebut dibagi lagi menjadi subkategori untuk
melukiskan keadaan masing-masing kategori dengan cara memberi indeks angka dan
huruf di belakang T, N, dan M, yaitu :
1) T = Tumor Primer
(a) Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4
(b) Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst

2) N = Nodul, metastase ke kelenjar regional.


(a) Indeks angka : N0, N1, N2, N3.
(b) Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst

3) M = Metastase organ jauh


(a) Indeks angka : M0, M1
(b) Indeks huruf : Mx
Pada umumnya arti sistem TNM tersebut adalah sebagai berikut :
1) Kategori T = Tumor Primer
(a) Tx = Syarat minimal menentukan indeks T tidak terpenuhi.
(b) Tis = Tumor in situ
(c) T0 = Tidak ditemukan adanya tumor primer
(d) T1 = Tumor dengan f maksimal < 2 cm
(e) T2 = Tumor dengan f maksimal 2 – 5 cm
(f) T3 = Tumor dengan f maksimal > 5 cm
(g) T4 = Tumor invasi keluar organ.

2) Kategori N = Nodul, metastase ke kelenjar regional.


(a) N0 = Nodul regional negative
(b) N1 = Nodul regional positif, mobile ( belum ada perlekatan )
(c) N2 = Nodul regional positif, sudah ada perlekatan
(d) N3 = Nodul jukstregional atau bilateral.

3) Kategori M = Metastase organ jauh


(a) M0 = Tidak ada metastase organ jauh
(b) M1 = Ada metastase organ jauh
(c) M2 = Syarat minimal menentukan indeks M tidak terpenuhi.

c) Stadium tumor berdasarkan pentahapan menurut AJCC ( American Joint Committee


on Cancer )
Setelah sistem TNM diperkenalkan dan dipakai secara luas pada tahun
1958,. tujuan pembuatan staging kanker tersebut adalah agar lebih praktis dan lebih
mudah pemakaiannya di klinik.
Staging menurut AJCC ini pertama harus menentukan T, N, M dari tumor padat
tersebut sesuai ketentuan yang ada, dan selanjutnya dikelompokkan dalam stadium
tertentu yang dinyatakan dalam angka romawi ( I – IV ) dan angka arab ( khusus
untuk stadium 0 )
Lebih mudahnya, sebagai contoh dapat dilihat staging menurut AJCC pada tabel
berikut :
Derajat atau Stadium pada tumor
Menurut AJCC Edisi 6 Tahun 2002
Stadium Deskripsi TNM
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
T0 N1 M0
Stadium II A T1 N1 M0
T2 N0 M0
T2 N1 M0
Stadium II B
T3 N0 M0
T0 N2 M0
Stadium III T1 N2 M0
A T3 N1 M0
T3 N2 M0
T4 N0 M0
Stadium III
T4 N1 M0
B
T4 N2 M0
Stadium III
Sembarang T N3 M0
C
Sembarang
Stadium IV Sembarang T M1
N
Tabel derajat atau stadium pada tumor.
d) Stadium tumor berdasarkan kesepakatan para ahli ( Konvensi )
Beberapa jenis tumor padat stagingnya didasarkan pada kesepakatan para ahli di
bidangnya masing – masing . Beberapa contohnya antara lain :
1) Stadium Dukes, untuk karsinoma kolorektal
2) Stadium Ann Arbor, untuk limfoma maligna
3) Stadium FIGO, untuk karsinoma serviks dan tumor ginekologi
4) Stadium Jewett, untuk karsinoma bladder ( kantung kencing )
5) American staging for prostate cancer, untuk kanker prostat.
6) Staging melanoma maligna menurut Clark, dan Breslow, dll.

8. Faktor Resiko Yang mempengaruhi Penyakit Struma


Faktor-faktor resiko yang mempengaruh terjadinya penyakit struma adalah :(Davis, Anu
Bhalla, 2005)
a) Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun
dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada.
Struma dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua
akan meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan
tubuh dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya
usia.

b) Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang
terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan.Agent kimia penyebab struma
adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis
tiroid.Goitrogen menyebabkan membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat
dalam kandungan kol, lobak, padi-padian, singkong dan goitrin dalam rumput
liar.Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti propylthiouraci, lithium,
phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara
berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan
salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang
sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada
tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui.
Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.
c) Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium.Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah
di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi
profilaksis tidak menjangkau masyarakat.Di Indonesia banyak terdapat di daerah
Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.

9. Pencegahan Struma
Pencegahan penyakit struma ini dibagi menjadi 3 yaitu : (Marijata. 2006)
a) Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
1) Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan
dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
2) Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan
3) Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida diberikan
dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang mengalir, dan
penambahan yodida dalam sediaan air minum.
4) Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui
yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis pemberiannya
bervariasi sesuai umur dan kelamin.
5) Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun
sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk
anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

b) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu : (Marijata. 2006)
1) Diagnosis
(a) Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit
terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa
komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler
kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada
permukaan pembengkakan.
(b) Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi.Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba
tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

(c) Tes Fungsi Hormon


Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total
tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin
bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik
aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid.
Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di
bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini
dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit
tiroid.Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.

(d) Foto Rontgen leher


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).

(e) Ultrasonografi (USG)


Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak
di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan
adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista,
adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
(f) Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu
selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.

(g) Biopsi Aspirasi Jarum Halus


Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.Biopsi
aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-
sel ganas.Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi biopsi kurang tepat.Selain itu teknik biopsi kurang benar dan
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
intrepertasi oleh ahli sitologi.

2) Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam penatalaksanaan medis pada struma antara lain :
(a) Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif.
Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau
mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-
obat anti tiroid.Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien
hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau
wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar
hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak
tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4
sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat
sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang
tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang
adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-
4 minggu setelah tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah :
 Biopsy adalah mengambil sebagian kecil kelenjar tiroid untuk keperluan
diagnostic
 Lobektomi adalah membuang setengah dari bagian kelenjar tiroid
 Subtotal tiroidectomy adalah membuang hampir seluruh kelenjar tiroid,
dan hanya meninggalkan sebagain kecil jaringan tiroid secara bilateral/ di
dua sisi, atau mendekati total tiroidektomi – hanya meninggalkan jaringan
kelenjar tiroid kurang lebih 1 gram di satu sisi
 Total tiroidectomy adalah membuang seluruh jaringan kelenjar tiroid
 Isthmulobectomyadalah mengangkat isthmus. Isthmus adalah bagian
kelenjar yang terletak di garis tengah dan menghubungkan bagian bawah
lobus dextra dan sinistra
 RND (Radical Neck Dissection) adalah mengangkat seluruh jaringan
limfoid pada leher sisi yang bersangkutan dengan menyertakan n.
accessories, v. jugularis eksterna dan interna, m. sternocleidomastoideus
dan m. omohyoideus serta kelenjar ludah submandibularis.
(b) Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan.Pasien yang tidak mau
dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok
sekitar 50 %.Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya.Terapi ini
tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetic.Yodium
radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di
rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi,
sebelum pemberian obat tiroksin.

(c) Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid


Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH.Oleh karena
itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini
juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi
pengangkatan kelenjar tiroid.Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat
ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.

c) Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
1) Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
2) Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
3) Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar
dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi
aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.

10. Fase Pre Operatif


Merupakan ijin tertulis yang di tanda tangani oleh pasien untuk melindungi dalam
proses operasi yang di lakukan. Prioritas dalam prosedur pembedahan yang utama adalah
inform consent yaitu pernyataan persetujuan pasien dan keluarga tentang tindakan yang
akan di lakukan yang berguna untuk mencegah ketidak tahuan pasien tentang prosedur
yang akan di laksanakan dan juga menjaga rumah sakit serta petugas kesehatan dari klien
dan keluarganya mengenai tindakan tersebut. Pada periode pre operatif yang lebih di
utamakan adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi. (Baradero,Mary. 2011).
Diagnosa Keperawatan Pre Operatif :
a. Cemas berhubungan dengan suasana menjelang pembedahan.
Tujuan : Pasien tidak cemas, pasien mengerti tentangprosedur operasi.
Kriteria Hasil
1) Pasien mengatakan paham dengan penjelasan petugas.
2) Pasien mengerti serta mau berbicara dan mengungkapkan perasaannya kepada
petugas.
3) Pasien tampak tenang.

Intervensi :
No Intervensi Rasional
1. Tinjau ulang keadaan penyakit Memberikan pengetahuan pada
dan harapan masa depan pasien yang dapat memilih
berdasarkan informasi
2. Observasi tingkah laku yang Ansietas ringan dapat ditunjukkan
menunjukkan tingkat ansietas dengan peka rangsang dan
insomnia. Ansietas berat yang
berkembang ke dalam keadaan
panik dapat menimbulkan perasaan
ternacam dan teror
3. Berikan lingkungan perhatian, Penerimaan dan motivasi dari orang
keterbukaan dan penerimaan terdekat memberikan poin penuh
privasi untuk pasien atau orang untuk menjalani kehidupan
terdekat, anjurkan bahwa orang selanjutnya yang lebih baik
terdekat ada kapanpun saat
diinginkan

b. Resiko injuri berhubungan denganperpindahan pasien dari brancart ke meja operasi.


Tujuan : Tidak terjadi injuri saat perpindahan pasien.
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak merasa nyeri sewaktu di pindah ke meja operasi.
2) Pasien tidak jatuh dari brancart saat perpindahan.

Intervensi :
No Intervensi Rasional
1. Bantu pasien untuk berpindah Menjaga pasien supaya tidak jatuh
dari branchart / kursi roda ke
meja operasi
2. Angkat pasien dari branchart Memberikan keamanan kepada
ke meja operasi dengan 3 pasien
orang
3. Dorong pasien ke ruang Memberikan keamanan kepada
tindakan (ruang OK) dengan pasien
hati-hati
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang kondisi dan
kebutuhan pengobatan.
Tujuan : Pengetahuan pasien bertambah mengenai kondisi dan kebutuhan
pengobatannya.
Kriteria hasil :
1) Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan penanganannya.
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
3) Berpartisipasi dalam program pengobatan,melakukan gaya hidup yang perlu.
Intervensi :
No Intervensi Rasional
1. Dorong pasien untuk Pasien mampu berkomunikasi
mengekspresikan perasaan, dengan orang lain
khususnya mengenai pikiran,
perasaan, pandangan dirinya
2. Dorong pasien untuk bertanya Memberikan keyakinan kepada
mengenai masalah, pasien tentang penyakitmya
penanganan, perkembangan
dan prognosa kesehatan
3. Berikan informasi yang dapat Membina hubungan saling percaya
dipercaya dan diperkuat
dengan informasi yang telah
diberikan
4. Jelaskan tujuan dan persiapan Memberikan informasi untuk
untuk diagnostik penatalaksanaan diagnostik
selanjutnya

11. Fase Intra Operatif


Fase Intra Operasi di mulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah dan
berakhir saat pasien di pindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktifitas keperawatan,
memasang infuse, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien.
Perawat yang bekerja di ruang bedah harus telah mengambil program
Proregristation Education Courses in Anasthetic and aoaperating Teather Nursing.
Dalam pembedahan perawat disebut srubbed nurse yang bertindak sebagai asisten ahli
bedah.Perawat bertanggung jawab akan memelihara sterilitas daerah pembedahan dan
instrument serta menjamin ketersediaan peralatan ahli bedah untuk terlaksananya
pembedahan yang di rencanakan.
a. Perlindungan terhadap injury
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam akivitas yang di
lakukan oleh perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang operasi oleh perawat di
fokuskan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi
atau menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu pasien.Tentunya pada
saat di lakukan pembedahan akan muncul masalah baik fisiologis maupun psikologis
pada diri pasien. Untuk itu keperawatan intra operatif tidak hanya berfokus pada
masalah psikologis yang di hadapi oleh pasien. Sehingga pada akhirnya akan
menghasilkan outcome berupa asuhan keperawatan yang terintegrasi.
b. Monitoring Pasien
Aktivitas keperawatan yang di lakukan selama tahap intra operatif meliputi 4 hal,
yaitu :
1) Safety Management
Tindakan ini merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi pasien selama
prosedur pembedahan.
2) Pengaturan posisi pasien
Pasien diposisikan terlentang (supine), kepala hiper ekstensi bertujuan untuk
memberikan kenyamanan pada klien dan memudahkan pembedahan. Perawat
perioperatif mengerti bahwa berbagai posisi operasi berkaitan dengan
perubahan-perubahan fisiologis yang timbul bila pasien di tempatkan pada posisi
yang salah.
3) Monitoring Fisiologis
Pemantauan fisiologis yang dilakukan oleh perawat meliputi hal-hal sebagai berikut :
a). Melakukan balance cairan
Penghitungan balance cairan di lakukan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
Pemenuhan balance cairan di lakukan dengan cara menghitung jumlah cairan
yang masuk dan yang keluar (cek pada kantong kateter urine) kemudian
melakukan koreksi. Terhadap imbalance cairan yang terjadi. Misalnya dengan
pemberian cairan infuse.
b). Pemantauan Kondisi Cardiopulmonal
Pemantauan kondisi cardiopulmonal harus di lakukan secara kontinue untuk
melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak.Pemantauan yang di lakukan
meliputi fungsi pernafasan, nadi dan tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan
dan lain-lain.
c). Pemantauan terhadap perubahan vital sign
Pemantauan terhadap perubahan vital sign penting di lakukan untuk memastikan
kondisi pasien masih dalam batas normal. Jika terjadi gangguan harus di lakukan
intervensi secepatnya.
d). Monitoring Psikologis
Dukungan psikologis (sebelum induksi dan bila pasien sadar) dukungan
psikologis yang di lakukan oleh perawat pada pasien antara lain :
1) Memberikan dukungan emosional pada pasien.
2) Perawat berdiri di dekat pasien dan memberikan sentuhan selama prosedur
pemberian induksi.
3) Mengkaji kasus emosional klien.
4) Mengkomunikasikan status emosional pasien, kepada tim kesehatan (jika ada
perubahan).
5) Pengaturan dan koordinasi Nursing Care tindakan yang dilakuan antara lain,
memanage, keamanan fisik pasien dan mempertahankan prinsip dan teknik
asepsis. (Baradero, 2011)
Diagnosa Keperawatan Intra Operatif
a. Resiko tinggi terjadi ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.
Tujuan : Mempertahankan jalan nafas pasien dengan mencegah aspirasi.
Kriteria hasil : Bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi :
No Intervensi (kolaborasi dengan Rasional
tim anesthesi)
1. Pantau frekuensi pernafasan, Pernafasan secara normal, kadang-
kedalaman dan kerja nafas kadang cepat, tetapi
berkembangnya distress pada
pernafasan merupakan indikasi
kompresi trakea karena edema atau
perdarahan
2. Auskultasi suara nafas, catat Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara ronchi adanya suara ronchi. Ronchi
merupakan indikasi adanya
obstruksi spasme laringeal yang
membutuhkan evaluasi dan
intervensi segera
3. Kaji adanya dispneu, stridor Indikator obstruksi trakhea atau
dan sianosis, perhatikan spasme laring yang membutuhkan
kualitas suara evaluasi dan intervensi segera
4. Pertahankan alat intubasi di Terkenanya jalan nafas dapat
dekat pasien menciptakan suasana yang
mengancam kehidupan yang
memerlukan tindakan darurat

5. Pantau perubahan tanda-tanda Bermanfaat dalam mengevaluasi


vital, terutama peningkatan nyeri, menentukan pilihan
nadi dan penurunan tekanan intervensi, menentukan efektivitas
darah, atau pernafasan cepat terapi
dan dalam

b. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan perdarahan


Tujuan : Keseimbangan cairan adekuat.
Kriteria hasil : Tanda vital stabil, nadi perifer normal, turgor kulit baik dan
membran mukosa lembab.
Intervensi :
No Intervensi Rasional
1. Awasi pemasukan dan Membandingkan keluaran aktual
pengeluaran dan yang diantisipasi membantu
dalam evaluasi stasis atau
kerusakan ginjal
2. Awasi tanda vital, evaluasi Sebagai indikator hidrasi atau
nadi, pengisian kapiler, turgor volume sirkulasi dan kebutuhan
kulit,dan membran mukosa intervensi
3. Berikan cairan IV Untuk mempertahankan volume
sirkulasi
4. Periksa adanya perubahan Dehidrasi berat menurunkan cairan
dalam status mental dan jantung dan perfusi jaringan
sensori terutama jaringan otak

c. Potensial injury (ketinggalan instrumen, kasa dan injury kulit) berhubungan dengan
tindakan operasi, pemasangan arde yang tidak kuat.
Tujuan : Injury tidak terjadi
Kiteria hasil :
1) Instrumen dan kassa lengkap
2) Tidak terjadi injury pada kulit
Intervensi :
No Intervensi Rasional
1. Pertahankan keadaan asepsis Untuk mempertahankan keadaan
selama pembedahan asepsis selama operasi berlangsung

2. Mengatur posisi yang sesuai Posisi yang sesuai diperlukan


untuk pasien untuk memudahkan pembedahan
dan untuk menjamin keamanan
fisiologis pasien, posisi yang
diberkan pada saat pembedahan
disesuaikan dengan kondisi pasien
3. Bantu penutupan luka operasi Untuk mencegah kontaminasi luka,
mengabsorbsi drainage, dan
membantu penutupan insisi, jika
penyembuhan luka terjadi tanpa
komplikasi, jahitan bisa dibuka
biasanya setelah 7 sampai 10 hari
tergantung letak lukanya
4. Monitor terjadinya hipothermi Monitoring kejadian hipothermi
malignan malignan diperlukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi
berupa kerusakan sistem saraf
pusat atau bahkan kematian.
Monitoring secara kontinu
diperlukan untuk menentukan
tindakan pencegahan dan
penanganan sedini mungkin
sehingga tidak menimbulkan
komplikasi yang dapat merugikan
pasien

12. Fase Post Operatif


Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif.
Selama periode ini proses keperawatan di arahkan pada menstabilkan kondisi pasien pada
keadaan equilibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi.
Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi
optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.
Upaya yang dapat di lakukan di arahkan untuk mengantisipasi dan mencegah
masalah yang kemungkinan muncul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang
cepat dan akurat sangat di butuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama
perawatan di rumah sakit atau membahayakan diri pasien. Mempertahankan hal ini,
asuhan keperawatan postoperatif sama pentingnya dengan posedur pembedahan sendiri.
a. Faktor yang berpengaruh pada masa post operative.
1) Mempertahankan jalan nafas.
Dengan mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan mayo / gudel.
2) Memperthankan ventilasi / oksigenasi.
Ventilasi dan oksigenasi dapat di pertahankan dengan pemberian bantuan nafas
melalui ventiloit mekanik atau nasal kanul.
3) Mempertahankan sirkulasi darah.
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian cairan plasma
ekspander.
4) Obsevasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase. Keadaan umum dari
pasien harus di obsevasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan
lain sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat pengaruh
anastesi sehingga perlu di pantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat
penting untuk dilakukan observasi terkait dengan kondisi perdarahan yang di alami
pasien.
5) Balance cairan.
Harus di perhatikan untuk mengetahui input dan output cairan klien. Cairan harus
balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan
atau justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung dan juga
mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
6) Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injury. Pasien post anastesi
biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan beresiko besar jatuh.
Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri
biasanya sangat di rasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang tepat
juga kolaborasi dengan medis terkait dengan egen pemblok nyerinya.
b. Tindakan Post Operatif.
Ketika pasien sudah selesai dalam tahap intraopertif, setelah itu pasien di pindahkan
ke ruang perawatan, maka hal-hal yang harus perawat lakukan, yaitu :
1) Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage, tube / selang, dan
komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung monitor
kondisinya.Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan
dibangsal setelah postoperatif.
2) Manajemen luka
Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami
perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut. Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan
jahitan.
3) Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk
efektif yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan
mengeluarkan secret dan lendir.
4) Rehabilitasi
Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien kembali.
Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan untuk
memaksimalkan kondisi pasien seperti sediakala.
5) Discharge Planning
Merencanakan kepulangan pasien dan mem berikan informasi kepada klien dan
keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan
dengan kondisi / penyakit post operasi.
Ada 2 macam discharge planning :
1) Untuk perawat : berisi point-point discharge planning yang diberikan kepada
pasien (sebagai dokumentasi).
2) Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail
(Baradero, Mary.2011).

Diagnosa Keperawatan Post Operatif


a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan
atau otot dan pasca operasi
Tujuan : Nyeri dapat berkurang sampai dengan hilang.
Kriteria Hasil :
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Pasien tampak tenang
3) menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian
dengan aktif sesuai situasi.
Intervensi :
No Intervensi Rasional
1. Kaji tanda-tanda adanya nyeri Mencegah hiper ekstensi leher dan
baik verbal maupun non melindungi integritas garis jahitan
verbal, catat lokasi, intensitas
(skala 0-10) dan lamanya
2. Letakkan pasien dalam Membantu untuk memfokuskan
posisisemi fowler dan sokong kembali perhatian dan membantu
kepala atau leher dengan bantal pasien untuk mengatasi nyeri atau
pasir atau bantal kecil rasa tidak nyaman secara lebih
efektif
3. Anjurkan pasien untuk Menurunkan nyeri dan rasa tidak
menggunakan tehnik relaksasi, nyama, meningkatkan istirahat
seperti imajinasi, musik yang
lembut, relaksasi progresif
4. Kolaborasi dengan tim medis Analgesik menurunkan rasa nyeri
dalam pemberian obat pasien
analgesik

b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter dan trauma jaringan.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :
1) Luka bekas prosedur invasif baik.
2) TTV dalam batas normal

Intervensi :

No Intervensi Rasional
1. Awasi tanda vital Pasien yang mengalami perubahan
tanda vital beresiko untuk syok
bedah atau septik sehubungan
dengan manipulasi atau
instrumentasi
2. Observasi dan drainage luka Adanya drain dapat meningkatkan
resiko infeksi yang diindikasikan
dengan eritema dan drainage
purulen
3. Pantau suhu tubuh dan Mencegah terjadinya infeksi
frekuensi nadi, perubahan jenis
drainage luka, atau
peningkatan area kemerahan
dan nyeri tekan di sekitar
tempat operasi
4. Kolaborasi dengan tim medis Antibiotik mencegah terjadinya
dalam pemberian antibiotik infeksi luka pada pasien

Anda mungkin juga menyukai