Anda di halaman 1dari 22

Kelompok 5

Anggota : 1. Hapsyah Nurhayati (108116042)


2. Putri Septia Sari (108116046)
3. Myelinda Ariyanti (108116047)
4. Anis Isfatun Khoeriyah (108116055)
5. Arizal Setyawan (108116057)
Dosen : Ibu Rusana M.Kep.,Sp.Kep.Anak
S1 Keperawatan 3B

SINDROM NEFROTIK

A. Definisi
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004 : 550).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri
glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita
Yuliani, 2001: 217).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002 : 21).
Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang mengenai glomerulus (ginjal
terdiri dari tubulus, glomerulus dll.) dan ditandai proteinuria (keluarnya protein
melalui air kencing) yang masif, hipoalbuminemia (kadar albumin di dalam darah
turun), edema (bengkak) disertai hiperlipid emia (kadar lipid atau lemak dalam
darah meningkat) dan hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat)
jadi untuk memastikannya perlu pemeriksaan laboratorium. Sindroma nefrotik
biasanya menyerang anak laki-laki lebih sering dari pada anak perempuan dengan
perbandigan 2 berbanding 1 dan paling banyak pada umur 2 sampai 6 tahun (
http://www.ikcc.or.id/print.php?id=134).
Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang
terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:
- proteinuria (protein di dalam air kemih)
- menurunnya kadar albumin dalam darah
- penimbunan garam dan air yang berlebihan
- meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala yang terjadi
pada anak dengan karakteristik proteinuria massif hipoalbuminemia,
hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema dan hiperkolestrolemia.
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria masif,
edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia
B. Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para
ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan atau sindroma nefrotik primer yang 90% disebut
Sindroma nefrorik Idiopatik, diduga ada hubungan dengan genetik,
imunoligik dan alergi.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Sindroma nefrotik sekunder yang penyebabnya berasal dari ekstra renal
(diluar ginjal). Sindrom jenis ini timbul sebagai akibat penyakit sistemik:
a. Penyakit keturunan/metabolik
 Diabetes
 Amiloidosis, penyakit sel sabit, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
 Miksedemia
b. Infeksi
 Virus hepatitis B
 Malaria kuartana atau parasit lainnya
 Skistosoma
 Lepra
 Sifilis
 Pasca streptococcus
c. Toksin/Alergi
 Air raksa (Hg)
 Serangga
 Bisa ular
d. Penyakit sistemik/immune mediated
 Lupus eritematosus sistemik
 Purpura Henoch-Schonlein
 Sarkoidosis
e. Keganasan
 Tumor paru
 Penyakit Hodgkin
 Tumor saluran pencernaan
3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop electron, Churg dan kawan-
kawan membagi dalam 4 golongan, yaitu :
a. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskop electron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-
IC pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat
pada anak daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan
dengan golongan lain.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang
baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakkan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi
dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom
nefrotik.prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat
penyembuhan setelah pengobatan yang lama.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering ditandai
dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.
Sindroma nefrotik bisa terjadi akibat berbagai glomerulopati atau
penyakit menahun yang luas. Sejumlah obat-obatan yang merupakan racun
bagi ginjal juga bisa menyebabkan sindroma nefrotik, demikian juga halnya
dengan pemakaian heroin intravena.
Sindroma nefrotik bisa berhubungan dengan kepekaan tertentu. Beberapa
jenis sindroma nefrotik sifatnya diturunkan. Sindroma nefrotik yang
berhubungan dengan infeksi HIV (human immunodeficiency virus, penyebab
AIDS) paling banyak terjadi pada orang kulit hitam yang menderita infeksi
ini. Sindroma nefrotik berkembang menjadi gagal ginjal total dalam waktu 3-
4 bulan.
Penyebab sindroma nefrotik:
Penyakit Obat-obatan alergi
-Amiloidosis -Obat pereda nyeri - Gigitan serangga
- Kanker yang menyerupai - Racun pohon ivy
- Diabetes aspirin - Racun pohon ek
- Glomerulopati - Senyawa emas - Cahaya matahari
- Infeksi HIV - Heroin intravena
- Leukemia - Penisilamin
- Limfoma
- Gamopati monoclonal
- Mieloma multipel
-Lupus eritematosus
sistemik

C. Patofisiologi
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan
pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.
1. Proteinuria
Ekskresi protein yang berlebihan akibat terjadi peningkatan filtrasi protein
glomerulus karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
terhadap serum protein, umumnya protein plasma dengan BM rendah seperti
albumin, transferin diekskresi lebih mudah dibanding protein dengan BM
yang lebih besar seperti lipoprotein. Clearance relative plasma protein yang
berbanding terbalik dengan ukuran atau berat molekulnya mencerminkan
selektivitas proteinuria. Faktor-faktor yang menentukan derajat proteinuria:
a. Besar dan bentuk molekul protein
b. Konsentrasi plasma protein
c. Struktur dan faal integritas dinding kapiler glomerulus
d. Muatan ion membrane basalis dan lapisan epitel
e. Tekanan dan aliran intra glomerulus
2. Hipoalbuminemi
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin
dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
3. Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate
density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
4. Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus
yang permeabel.
5. Edema
Walaupun edema hampir selalu ditemukan untuk beberapa waktu dalam
perjalanan penyakit dan merupakan tanda yang mendominasi pola klinis,
namun merupakan tanda yang paling variabel diantara gambaran terpenting
sindrom nefrotik.
a. Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi
albumin serum yang bertanggungjawab terhadap peergeseran cairan
ekstraselular dari compartment intravaskuler ke dalam intertisial dengan
timbulnya edema dan penurunan volume intravaskuler.
b. Penurunan nyata ekskresi natrium kemih akibat peningkatan reabsorbsi
tubular.mekanisme meningkatnya reabsorbsi natrium tidak dimengerti
secara lengkap tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume
intravascular dan tekanan koloid osmotic. Terdapat peningkatan ekresi
renin dan sekresi aldosteron.
c. Penurunan tekanan koloid osmotic plasma dan retensi seluruh natrium
yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema pada
sindrom nefotik, agar timbul edema harus ada retensi air. Tonisitas normal
ini dipertahankan melalui sekresi hormon antidiuretik yang menyebabkan
reabsorbsi air dalam tubuli distal dan duktus koligens serta pembentukan
kemih hipertonik atau pekat. Hal ini mungkin merupakan penjelasan
mendasar retensi air pada sebagian besar nefrotik anak, seperti yang
ditunjukkan dari pengamatan pengurangan nyata masukan natrium
ternyata tidak memerlukan pembatasan masukan air sebab kemampuan
ekskresi air tidak biasanya mengalami gangguan yang berarti. Retensi
garam dan air pada pasien nefrotik dapat dianggap sebagai suatu respons
fisiologis terhadap penurunan tekanan onkotik plasma dan hipertonisitas,
tidak dapat mengkoreksi penyusutan volume intravascular, sebab cairan
yang diretensi akan keluar keruang
6. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII,
VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan
fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).
7. Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi
gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni
dan peritonitis.
D. Pathways

Sindrom Nefrotik Bawaan,


Sindrom Nefrotik Sekunder,
Sindrom Nefrotik Idiopatik

Dinding kapiler glomerulus


kehilangan muatan negatif
glikoprotein

Permeabilitas glomerolus ↑

Kenaikan filtrasi plasma protein

Kenaikan reabsorbsi plasma protein Albuminuria/proteinuria

Katabolisme Beban kerja Hipoalbuminemia


albumin ginjal ↑

Tubuh ke- Kerusakan sel ↓ Tekanan onkotik Kenaikan sintesis protein


kurangan protein tubulus plasma intravaskuler dalam sel hepar

Malnutrisi Gagal ginjal Transudasi Cairan Hipokolestrolemia


melalui dinding
pembuluh darah
Kwashiokor keruang interstitial ↑ Lipiduria

Gangguan nutrisi kurang


Volume intravaskuler ↓ Kelebihan volume
dari kebutuhan tubuh
Intersisial

Kerusakan ginjal Perfusi ginjal ↓


Resiko kekurangan
volume cairan

Pelepasan ADH Pengaktifan system renin-


angiotensi-aldosteron

Reabsorbsi dalam
ductus kolektivus
Reabsorbsi natrium
ditubulus ginjal

Edema
Edema

Permiabilitas Pinggang Perut Tungkai bawah Paru

Acites Efusi pleura

Resiko infeksi Ekspansi paru tidak


maksimal

Peritonitis
Suplai O2 ↓
Nyeri akut

Intolerasnsi aktivitas Hipoksia

Resiko tinggi kerusakan


integritas kulit

E. Manifestasi Klinis
Gejala awalnya bisa berupa:
- berkurangnya nafsu makan
- pembengkakan kelopak mata
- nyeri perut
- pengkisutan otot
- pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
- air kemih berbusa.
Perut bisa membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak nafas
bisa timbul akibat adanya cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi pleura).
Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria).
Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari cairan
tertimbun di kelopak mata dan setalah berjalan cairan akan tertimbun di
pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan.
Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat penderita
berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan syok). Tekanan
darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun tinggi.
Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena
rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. Kadang gagal
ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi secara tiba-tiba.
Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya
glukosa) ke dalam air kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium
akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi
kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih
yang penyebabnya tidak diketahui.
Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi
infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak
berbahaya). Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya
antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.
Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko
terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di dalam
vena ginjal yang utama. Di lain fihak, darah bisa tidak membeku dan
menyebabkan perdarahan hebat. Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada
jantung dan otak paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes
dan penyakit jaringan ikat.
Bengkak di badan sebabnya bisa bermacam-macam, antara lain:
a. penyakit jantung
b. penyakit liver
c. penyakit ginjal
d. alergi
e. busung lapar
Untuk memastikannya perlu ditelusuri:
a. Anamnesa (= riwayat penyakit)
b. Pemeriksaan fisik diagnostic
c. Pemeriksaan penunjang (laboratorium, rontgen, biospsi dll)
Jadi perlu pemeriksaan yang teliti dan lengkap.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1. Urinalisa, bila perlu biakan urin
a. Protein urin kuantitatif (dapat berupa urin 24 jam) – meningkat
(> 50-80 mg/hari)
b. Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin – meningkat
Acak (> 1,002-1,030)
24 jam (> 1,015-1,025)
2. Pemeriksaan darah:
a. Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsentrasi)
Darah lengkap:
Umur Hasil pemeriksaan
1-3 Hari (> 14,5-22,5 g/dl)
2 Bulan (> 9,0-14,0 g/dl)
6-12 Tahun (> 11,5-15,5 g/dl)
12-18 Tahun; Pria (> 13-16 g/dl), Wanita (> 12-16 g/dl)
Hematokrit:
Umur Hasil pemeriksaan
>2 bulan (> 28-42 %)
6-12 tahun (> 35-45 %)
12-18 tahun; pria (> 37-49 %), perempuan (> 36-46 %)
b. Laju Endap Darah (LED) – meningkat
(> 0-13 mm/jam)
c. Kadar albumin serum - menurun
Umur Hasil pemeriksaan
1-7 tahun (< 6,1-7,9 g/dl)
8-12 tahun (< 6,4-8,1 g/dl)
13-19 tahun (< 6,6-8,2 g/dl)
d. Kolesterol plasma – meningkat
12-19 tahun (> 230 mg/dl)
e. Kadar ureum, kreatinin serta kliren kreatinin.
Kreatinin serum:
Bayi (0,2-0,4 mg/dl)
Anak-anak (0,3-0,7 mg/dl)
Kliren kreatinin:
Bayi baru lahir (40-65 ml/menit/1,73 m2)
f. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody).
3. Uji diagnostic
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin
(Betz, Cecily L, 2002 : 335).
G. Penatalaksanaan Medis
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit.
2. Dietetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi karena kana menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
terjadinya skerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal
sesuai dengan RDA (Recommended Dailiy Allowances) yaitu 2-3
gram/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan mallnutrisi energi
protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2
gram/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema
3. Diuretikum
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hamat kalium) 2-3
mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).
Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter),
biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar
albumin ≤1gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% denagn dosis 1
gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien
tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin dan
plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberrikan kesempatan
pergeseran dan mencegah overload cairan
4. Antibiotika profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik
profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema
berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis,
tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi
segera diberikan antibiotik
5. Pengobatan dengan Kortikosteroid
a. Pengobatan inisial
Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseasein
Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison
dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari (maksimal
80mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah
pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus,
dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m 2LPB/hari (2/3
dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
b. Pengobatan relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN
yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum
dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang
tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1) Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2) Dependen steroid.
3) Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4) Relaps jarang : jumlah relaps
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,
diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan / bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini
disebut dosis threshold dan dapat diterukan selama 6-12 bulan, kemudian
dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat >0,5
mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.
Bila ditemukan keadaan dibawah ini:
1) Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
2) Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis,
sepsis.
Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama
8-12 minggu.
d. Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena
gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis.
Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil
biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan
Siklosporin (CyA), metil prednisolon puls, dan obat imunosupresif lain
6. Lain-lain
fungsi asites, funsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada
gagal jantung diberikan digitalis.
H. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi pada penderita Sindrom Nefrotik, yaitu:
1. Kelainan Koagulasi dan Tendensi Trombosis
Beberapa kelainan koagulasi dan sistem fibrinolitik banyak ditemukan pada
pasien SN. Angka kejadian terjadinya komplikasi tromboemboli pada anak
tidak diketahui namun lebih jarang daripada orang dewasa. Diduga angka
kejadian komplikasi ini sebesar 1,8 % pada anak. Pada orang dewasa umunya
kelainannya adalah glomerulopathi membranosa (GM) suatu kelainan yang
sering menimbulkan trombosis. Secara ringkas kelainan hemostasis SN dapat
timbul dari dua mekanisme yang berbeda:
a. Peningkatan permeabilitas glomerulosa mengakibatkan :
1) meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti anti thrombin III, protein S bebas, plasminogen dan anti
plasmin.
2) Hipoalbunemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan
A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan
tertekannya fibrinolisis.
b. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matrik subendotel pada kapiler glomerulus
yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi
trombosit.
2. Kelainan Hormonal dan Mineral
Gangguan timbul karena terbuangnya hormone-hormon yang terikat pada
protein. Thyroid binding globulin umumnya berkaitan dengan proteinuria.
Hipokalsemia bukan hanya disebabkan karena hipoalbuminemia saja, namun
juga terdapat penurunan kadar ionisasi bebas, yang berarti terjadi
hiperkalsiuria yang akan membaik bila proteinuria menghilang. Juga terjadi
penurunan absorpsi kalsium dalam saluran cerna yang terlihat dengan adanya
ekskresi kalsium dalam feses yang sama atau lebih besar dari intake. Adanya
hipokalsemia, hipokalsiuria dan penurunan absorpsi kalsium dalam saluran
cerna diduga karena adanya kelainan metabolismevitamin D. Namun
demikian, karena gejala-gejala klinik berupa gangguan tulang jarang dijumpai
pada anak, maka pemberian vitamin D rutin tidak dianjurkan.
3. Ganggguan Pertumbuhan dan Nutrisi
Sejak lama diketahui bahwa anak-anak dengan sindrom nefrotik mengalami
gangguan pertumbuhan. Ganguan pertumbuhan pada anak dengan sindrom
nefrotik adalah disebabkan karena malnutrisi protein kalori, sebagai akibat
nafsu makan yang berkurang, terbuangnya protein dalam urin, malabsorbsi
akibat sembab mukosa saluran cerna serta terutama akibat terapi steroid.
Terapi steroid dosis tinggi dalam waktu lama menghambat maturasi tulang,
terhentinya pertumbuhan tulang linear dan menghambat absorbsi kalsium
dalam intestinum, terutama bila dosis lebih besar dari 5 mg/m/hari.
Kortikosteroid mempunyai efek antagonis terhadap hormone pertumbuhan
endogen dan eksogen dalam jaringan perifer melalui efek somatomedin. Cara
pencegahan terbaik adalah dengan menghindari pemberian steroid dosis
tinggi dalam waktu lama serta mencukupi intake kalori dan protein serta tidak
kalah pentingnya adalah juga menghindari stress psikologik.
4. Infeksi
Kerentanan terhadap infeksi meningkat karena rendahnya kadar
immunoglobulin, defisiensi protein, defek opsonisasi bakteri, hipofungsi
limpa dan terapi imunosupresan. Kadar Ig G menurun tajam sampai 18 %
normal. Kadar Ig M meningkat yang diduga karena adanya defek pada
konversi yang diperantarai sel T pada sintesis Ig M menjadi Ig G. defek
opsonisasi kuman disebabkan karena menurunnya faktor B ( C3 proactivator)
yang merupakan bagian dari jalur komplemen alternatif yang penting dalam
opsonisasi terhadap kuman berkapsul, seperti misalnya pneumococcus dan
Escherichia coli. Penurunan kadar faktor B ( BM 80.000 daltons ) terjadi
karena terbuang melalui urine. Anak-anak dengan sindrom nefrotik berisiko
menderita peritonitis dengan angka kejadian 5 %. Kuman penyebabnya
terutama Streptococcus pneumoniae dan kuman gram negatif. Infeksi kulit
juga sering dikeluhkan. Tidak dianjurkan pemberian antimikroba profilaksis.
5. Anemia
Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer, anemia yang khas defisiensi
besi, tetapi resisten terhadap terapi besi. Sebabnya adalah meningkatnya
volume vaskuler, hemodilusi dan menurunnya kadar transferin serum karena
terbuang bersama protein dalam urine.
6. Gangguan Tubulus Renal
Hiponatremia terutama disebabkan oleh retensi air dan bukan karena defisit
natrium, karena meningkatnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
berkurangnya hantaran Na dan H2O ke pars asenden Ansa Henle. Pada anak
dengan sindrom nefrotik terjadi penurunan volume vaskuler dan peningkatan
sekresi renin dan aldosteron sehingga sekresi hormone antidiuretik
meningkat. Angiotensin II meningkat akan menimbulkan rasa haus sehingga
anak akan banyak minum meskipun dalam keadaan hipoosmolar dan adanya
defek ekskresi air bebas. Gangguan pengasaman urine ditandai oleh
ketidakmampuan manurunkan pH urine setelah pemberian beban asam.
Diduga defek distal ini disebabkan oleh menurunnya hantaran natrium ke
arah asidifikasi distal. Keadaan tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian
furosemide yang meningkatkan hantaran ke tubulus distal dan menimbulkan
lingkaran intraluminal yang negatif yang diperlukan agar sekresi ion
hydrogen menjadi maksimal. Disfungsi tubulus proksimal ditandai dengan
adanya bikarbonaturia dan glukosuria. Disfungsi tubulus proksimal agak
jarang ditemukan.
7. Gagal Ginjal Akut
Dapat terjadi pada sindrom nefrotik kelainan minimal atau glomerulosklerosis
fokal segmental dengan gejala-gejala oliguria yang resisten terhadap diuretik.
Dapat sembuh spontan atau dialysis. Penyebabnya bukan karena hipovolemia,
iskemi renal ataupakibat perubahan membran basal glomerulus, tetapi adalah
karena sembab interstitial renal sehingga terjadi peningkatan tekanan tubulus
proksimal yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Adanya
gagal ginjal akut pada sindrom nefrotik harus dicari penyebabnya. Apakah
bukan karena nefritis interstitial karena diuretic, nefrotoksik bahan kontras
radiologi, nefrotoksik antibiotik atau nefritis interstitial alergi karena
antibiotik atau bahan lain.
I. Prognosis
Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan
jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada
biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit
yang dapat diobati (misalnya infeksi atau kanker) atau obat-obatan. Prognosis
biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid.
Anak-anak yang lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup
sampai usia 1 tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani
dialisa atau pencangkokan ginjal.
Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat
glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak dan dewasa
memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang
menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat kambuhan. Tetapi setelah 1
tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.
Sindroma nefrotik familial dan glomerulonefritis membranoproliferatif
memberikan respon yang buruk terhadap pengobatan dan prognosisnya tidak
terlalu baik. Lebih dari separuh penderita sindroma nefrotik familial meninggal
dalam waktu 10 tahun. Pada 20% pendeita prognosisnya lebih buruk, yaitu
terjadi gagal ginjal yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50% penderita,
glomerulonefritis membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam
waktu 10 tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan
perbaikan.
Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis proliferatif mesangial sama sekali
tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Pengobatan pada sindroma
nefrotik akibat lupus eritematosus sistemik, amiloidosis atau kencing manis,
terutama ditujukan untuk mengurangi gejalanya. Pengobatan terbaru untuk lupus
bisa mengurangi gejala dan memperbaiki hasil pemeriksaan yang abnormal,
tetapi pada sebagian besar penderita terjadi gagal ginjal yang progresif. Pada
penderita kencing manis, penyakit ginjal yang berat biasanya akan timbul dalam
waktu 3-5 tahun.
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Secara umum pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan
sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :
a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema
b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan
dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.
c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :
1) Penambahan berat badan
2) Edema
3) Wajah sembab :
a) Khususnya di sekitar mata
b) Timbul pada saat bangun pagi
c) Berkurang di siang hari
4) Pembengkakan abdomen (asites)
5) Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
6) Pembengkakan labial (scrotal)
7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :
a) Diare
b) Anoreksia
c) Absorbsi usus buruk Pucat kulit ekstrim (sering)
9) Peka rangsang
10) Mudah lelah
11) Letargi
12) Tekanan darah normal atau sedikit menurun
13) Kerentanan terhadap infeksi
14) Perubahan urin :
a) Penurunan volume
b) Gelap
c) Berbau buah
d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urine
akan adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk
protein serum (total, perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah
darah merah, natrium serum.
A. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Berupa hal- hal yang dirasakan oleh klien dan menjadi penyebab utama klien
berinisiatif melakukan pemeriksaan, pengobatan hingga masuk Rumah sakit.
Keluhan tersebut dapat berupa bengkaknya tubuh dan juga nyeri.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada neonates antara lain pemberian makan yang buruk, gagal tumbuh
kembang, menangis saat berkemih, dehidrasi, kejang, dan demam. Pada bayi
antara lain semua yang terlihat pada neonates, ditambah dengan ruam popok
yang menetap, urin berbau busuk, dan mengejan saat berkemih. Pada anak-
anak yang lebih besar antara lain nafsu makan yang buruk, muntah rasa haus
berlebihan urgensi, disuria, keletihan, demam, nyeri pinggang, abdomen, atau
panggul.
c. Riwayat Kesehatan dahulu
Riwayat prenatal antara lain usia ibu yang masih muda, usia ibu yang terlalu
tua, dan multiparitas. Riwayat pascanatal antara lain infeksi saluran urine
afebril(tanpa demam) yang berulang, penggunaan kateter yang menetap toilet
training yang belum sempurna, retensi urine, dibetes, konstipasi,
imunokompresi, infeksi streptococcus berulang
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Faktor resiko keluarga antara lain penyakit ginjal congenital atau didapat,
hipertensi, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan disfungsi ginjal.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Head to toe
a. Tanda-tanda vital
1) Mengukur tinggi dan berat badan: tanda- tanda retardasi pertumbuhan
2) Memantau suhu: Hipertermia
3) Mengukur tekanan darah: penurunan tekanan darah ringan atau normal
4) Memantau frakuensi pernapasan: anak mungkin terlihat pucat dan
mengalami gawat nafas
b. Inspeksi
1) Mengamati tanda-tanda kongesti sirkulasi: sianosis perifer, waktu
pengisian kapiler memanjang, pucat, edema perifer, kulit mengkilat, dan
vena menonjol
2) Mengamati adanya distensi abdomen
3) Mengamati adanya tanda-tanda awal enselopati uremik, mencakup
letargi, konsentrasi yang buruk, bingung
4) Mengamati adanya tanda-tanda anomali kongenital: hipospodia,
epispodia, abnormalitas telinga(telinga dan ginjal terbentuk pada saat
yang bersamaan di dalam uterus), hidung seperti berparuh, dan dagu
kecil
c. Palpasi
1) Palpasi ginjal untuk adanya nyeri tekan dan pembesaran
2) Palpasi kandung kemih untuk adanya distensi
3) Palpasi untuk mengetahui adanya nyeri pinggang, abdomen, atau
panggul.
2. Uji Diasnogtik/Pemeriksaan Laboratorium
a. Urinalisis menunjukkan proteinuria yang khas, kast hialin, sedikit sel
darah merah, dan berat jenis urine tinggi.
b. Kadar serum protein yang menurun, terutama kadar albumin.
c. Kolestrol serum dapat mencapai 450 – 1500 mg/dl
d. Hemoglobin dan hematokrit normal atau meningkat
e. Hitung trombosit tinggi (500.000-1.000.000)
f. Konsentrasi natrium serum rendah (130-135 mEq/ L)
g. Biopsi ginjal dapat dilakukan untukmemberikan informasi status
glomerolus dan jenis sindrom nefrotik, demikian juga respon terhadap
pengobatan dan perjalanan penyakit.
2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan
permiabilitas glomerulus.
Tujuan volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil
penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine
adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.
Noc: keseimbangan cairan
Nic : pemantauan (monitor) elektrolit
b) Perubahan nutrisi ruang dari
kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan
protein dan penurunan napsu makan.
Tujuan kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil napsu
makan baik, tidak terjadi hipoprtoeinemia, porsi makan yang dihidangkan
dihabiskan, edema dan ascites tidak ada.
Noc : Status nutrisi
Nic : Manajemen nutrisi
c) Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
Tujuan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak
ada, tanda vital dalam batas normal, ada perubahan perilaku keluarga
dalam melakukan perawatan.
Noc :Keparahan infeksi
Nic : Kontrol infeksi
d) Kecemasan anak berhubungan
dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).
Tujuan kecemasan anak menurun atau hilang dengan kriteria hasil
kooperatif pada tindakan keperawatan, komunikatif pada perawat, secara
verbal mengatakan tidak takur.
Noc: Adaptasi anak terhadap perawatan di rumah sakit
Nic: Peningkatan koping
DAFTAR PUSTAKA

Berhman & Kliegman (1987), Essentials of Pediatrics, W. B Saunders, Philadelphia.


Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made Kariasa, EGC,
Jakarta
Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto, Jakarta
Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica, Jakarta
Tjokronegoro & Hendra Utama, (1993), Buku Ajar Nefrologi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
-------, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo-Lab/UPF IKA, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai