Anda di halaman 1dari 31

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Gagal Jantung adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup

ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau

saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak.

Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita

penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah

didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak

napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal dan

kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak(5)(1).

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka

mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang.

Di Indonesia usia penderita gagal jantung relative lebih muda dibanding Eropa dan

Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat(5).

Prevalensi gagal jantung di dunia menurut American Heart Assosiation

(AHA) pada tahun 2013, saat ini sudah mencapai lebih dari 23 juta populasi dan 5.8

juta populasi diantaranya berada di Negara Amerika Serikat, dengan populasi yang

baru terdiagnosis gagal jantung tiap tahunnya mencapai >550.000 kasus(1).

Menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, mengatakan bahwa angka

kejadian gagal jantung di Indonesia yang terdiagnosis oleh dokter mencapai 0.13%

populasi, dan yang terdiagnosis dengan gejala mencapai 0.3% populasi di Indonesia

dengan estimasi perkiraan penduduk pada tahun 2013 yang berusia diatas 15 tahun
2

sebesar 180 juta jiwa. Prevalensi gagal jantung berdasarkan kasus yang terdiagnosis

oleh dokter di Indonesia tertinggi di tempati oleh DI Yogyakarta (0,25%), diikuti

Jawa Timur (0,19%) dan Jawa Tengah (0,18%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan

diagnosis dan gejala tertinggi di Nusa tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi

tengah (0,7%), kemudian Sulawesi Selatan dan Papua (0.5%)(2). Berdasarkan

laporan terbaru oleh Central of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun

2014, terjadi peningkatan jumlah populasi yang meninggal akibat gagal jantung,

yakni 81,4 per 100.000 populasi menjadi m4 per 100.000 populasi. Penyakit gagal

jantung masih menjadi masalah pada populasi di Negara berkembang, salah satunya

adalah sebagai beban dalam bidang ekonomi, baik dari segi perawatan rawat jalan

maupun lama perawatan rawat inap yang lama akan berdampak pada pembiayaan

yang meningkat dan berujung pada beban ekonomi dari masing-masing individu dan

keluarga(1).

Angka kejadian gagal jantung setiap tahunnya semakin meningkat dan

tentunya memiliki dampak buruk bagi sosioekonomi dari penderita, maka dari itu

dibutuhkan suatu pemahaman terhadap penyakit ini agar dapat digunakan untuk

menatalaksana gagal jantung dengan baik.


3

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. AL

Usia : 66 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir : 3 Juli 1952

MRS melalui : IGD

Rawat IGD : 21 November 2018 pukul 01.05 WITA

Rawat inap : ICCU (21 November 2018)

No. MR : 466222

Suku : Ende

Agama : Katolik

Status pernikahan : Sudah Menikah

Pendidikan terakhir : S1

Pekerjaan : Petani

Jaminan : BPJS

Alamat : Bakunase

2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit

(autoanamnesis dan heteroanamnesis (Istri Pasien dan Anak Pasien)

a. Keluhan utama : Sesak nafas sejak 3 jam SMRS


4

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang dengan

keluhan sesak nafas sejak 3 jam SMRS. Sesak nafas bukan yang pertama

kalinya. Sesak nafas pasien muncul saat pasien sedang berbaring dan berkurang

bila berbaring dengan 2 bantal atau dengan perubahan ke posisi duduk. Selain

sesak nafas pasien juga mengeluhkan nyeri dada -+ 2 jam SMRS. Nyeri dada

dirasakan seperti tertekan, hilang timbul, tidak menjalar dan tidak dapat

ditunjuk secara pasti pada satu titik tempat. Nyeri tersebut awalnya muncul

dengan intensitas dan frekuensi nyeri yang ringan dan semakin memberat.

Nyeri berkurang dengan beristirahat dan meningkat saat beraktivitas. Saat

timbul durasi nyeri berkisar antara 5-10 menit. Saat ini pasien tidak ada

keluhan batuk, demam, mual, muntah, nyeri perut, keringat dingin atau lemah

pada tubuh. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

c. Riwayat penyakit dahulu.

Pasien pernah mengalami keluhan sesak nafas dan nyeri dada pada

bulan April 2018 dan pasien di rawat inapkan selama 1 minggu. Riwayat

penyakit diabetes mellitus (2016) dan hipertensi (2018).

d. Riwayat penyakit keluarga.

Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan serupa. Riwayat

penyakit hipertensi, stroke, maupun hiperkolesterolemia (-).

e. Riwayat pengobatan.

Pasien pernah mendapatkan pengobatan DM dan hipertensi namun

pasien tidak melanjutkan pengobatan tersebut.


5

f. Riwayat kebiasaan.

Pasien mengatakan bahwa ia pernah merokok sejak usia muda dan sudah

berhenti sejak tahun 2016, minum minuman beralkohol (-).

g. Riwayat sosial.

Hubungan antara anggota keluarga dalam rumah ataupun dengan anggota

keluarga yang tinggal di tempat lain cukup baik. Hubungan pasien dan

keluarganya dengan para tetangga pun dikatakan pasien cukup baik, dan sering

saling membantu.

h. Riwayat Makanan.

Pasien makan teratur 2-3x sehari. Pasien mengonsumsi daging 3-4x

perminggu. Kurang makan buah-buah dan sayuran.

i. System Review.

Kepala : Pusing (-), nyeri kepala (-)

Kulit : Pucat (-), kuning (-)

Mata : Mata kabur (-/-)

Telinga : Rasa penuh di telinga (-/-), tidak ada cairan

dari telinga (-/-)

Hidung : Pilek (-), hidung gatal (-), bersin (-)

Mulut : Nyeri menelan (-), sariawan (-), bercak

putih di lidah (-), nafas berbau aneh (-)

Tenggorokan : Suara serak (-), sulit menelan (-)

Leher : Nyeri spontan (-), nyeri perabaan (-), nyeri

tekan (-),tanda peradangan(-), pembesaran


6

pada leher (-), dan tidak tampak kelainan

lain.

Jantung : Jantung berdebar (-), nyeri dada(+)

Paru : Sesak nafas (-),batuk (-)

Gastrointestinal : Cepat kenyang (-), mual (-), muntah (-),

nyeri uluhati (-), BAB dirasakan masih

normal

Ginjal dan saluran kemih : BAK baik, warna kuning jernih,

tidak ada darah ataupun urin berpasir

Neurologis : Tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada

tanda defisit neurologis

Endokrin : Tidak diketahui adanya riwayat gangguan

hormonal sebelumnya

Muskuloskeletal : Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Tidak ditemukan kelainan pada kuku, tidak

adanya gerakan tangan sendiri

2.3 Pemeriksaan Fisik (22-11-2018)

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaraan : Compos mentis (E4V5M6)

Berat badan : 70 kg

Tinggi badan : 162 cm

IMT : 26,71 kg/m2


7

Status gizi : Overweight

Tanda vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 76 x/menit

Suhu : 37 °C

Pernapasan : 29 x/menit

SpO2 : 96 %

Skala nyeri (VAS) : 4

Kepala : Bentuk normal, rambut tidak mudah rontok,

warna rambut Hitam, wajah simetris

Kulit : Sianosis (-), ikterik (-)

Mata : Konjungtiva tampak pucat (-/-), sklera tampak

ikterik (-/-), perdarahan konjungtiva, pupil isokor

ukuran Diameter (2 mm/2 mm), reflek cahaya

langsung (+/+),

Telinga : Deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan tragus

(-/-),

nyeri tekan mastoid (-/-), otorea (-/-)

Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)

Mulut : Sianosis (-), bibir tampak lembab, perdarahan

gusi (-), mukosa merah muda, lidah bersih

Leher : JVP 5+2, Perbesaran kelenjar tiroid (-),

perbesaran KGB (-), nyeri spontan (-), nyeri


8

perabaan (-), nyeri tekan (-), trakea letak di

tengah, pulsasi arteri karotis teraba, bruit karotis

(-)

Toraks (bentuk) : Bentuk toraks normal, tidak tampak pelebaran

vena, tidak tampak bekas luka (scar), tulang kosta

prominen

Pulmo

Paru-paru anterior :

I : Pengembangan dada simetris saat statis dan dinamis, tidak tampak

penggunaan otot bantu pernapasan, tidak terdapat pelebaran sela iga,

sela iga mengambang, tidak tampak barrel chest

P: Taktil fremitus kiri dan kanan normal dan simetris, tidak terdapat

nyeri tekan, tidak teraba massa

P: Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar terletak pada linea

midclavicularis ICS 8 dekstra

A: Suara nafas vesikuler, ronki, wheezing

Paru-paru posterior :

I : Pengembangan dada simetris saat statis dan dinamis

P: Taktil fremitus kiri dan kanan normal dan simetris, tidak terdapat

nyeri tekan, tidak teraba massa


9

P: Sonor pada kedua lapangan paru

A: Suara nafas vesikuler, ronki, wheezing

Jantung

I : Iktus terlihat di ICS 5 linea midclavicula sinistra

P: Iktus kordis teraba pada ICS 5 linea midclavicularis sinistra, thrill

tidak teraba,

P: Batas jantung atas : ICS 2 linea parasternal dekstra

Batas jantung bawah : ICS 5 linea midclavicularis sinistra

Batas jantung kanan : ICS 3 linea parasternal dekstra

Batas jantung kiri : ICS 6 linea midclavicularis sinistra

A: S1–S2 tunggal, reguler, tidak terdengar murmur ataupun gallop

Abdomen

I : Simetris, tampak datar, tidak tampak scar ataupun massa

A: Terdengar bising usus, 10 kali per menit, normal

P: Timpani, liver span 8 cm, shifting dullness (-)

P: Nyeri tekan (-), tidak teraba massa, hepar tidak teraba, lien Schuffner

tidak teraba, undulasi (-), ballotement (-/-)

Punggung : Vertebra normal, tidak tampak kelainan bentuk

lordosis, kifosis, ataupun skoliosis, tidak terdapat

nyeri tekan, tidak terdapat nyeri ketok CVA


10

Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral teraba hangat, tidak terdapat

edema tungkai, tidak terdapat kontraktur, tidak

tampak koilonikia pada kuku

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium : 21 November 2018 – IGD

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi

Darah Rutin

Hemoglobin 11,4 g/dL 12,0 – 16,0 L

Jumlah Eritrosit 4,29 106/uL 4,20 – 5,40

Hematokrit 34,0 % 37,0 – 47,0 L

MCV 79,3 fL 81,0 – 96,0 L

MCH 26,6 pg 27,0 – 36,0 L

MCHC 33,5 g/L 31,0 – 37,0

RDW-CV 13,6 % 11,0 – 16,0

RDW-SD 39,8 fL 37 – 54

Jumlah Leukosit 7,67 103/ul 4,0 – 10,0

Eosinofil 0,5 % 1,0 – 5,0 L

Basofil 0,5 % 0–1

Neutrofil 76,9 % 50 – 70 H

Limfosit 15,6 % 20 – 40 L

Monosit 6,5 % 2–8

Jumlah Eosinofil 0,1 103/uL 0,00 – 0,40

Jumlah Basofil 0,04 103/uL 0,00 – 0,10

Jumlah Neutrofil 0,04 103/uL 1,50 – 7,00


11

Jumlah Limfosit 5,89 103/uL 1,00 – 3,70 H

Jumlah Monosit 0,50 103/uL 0,00 – 0,70

Jumlah Trombosit 0,0 103/uL 150 – 400

Glukosa Sewaktu 189 mg/dL 70 – 150 H

Troponin I 7,18 ug/L < 0,60 H

BUN 19,0 mg/dL <48

Kreatinin Darah 0,73 mg/dL 0,7-1,3

Asam Urat 5,0 mg/dL 1,9-7,9

2.5 Diagnosis

Heart Failure

(NSTEMI)

Diabetes Mellitus Tipe II uncontrolled

2.6 Tatalaksana

Ruangan

 IVFD NS 20 tpm

 O2 asal canul

 Aspilet 80 mg (1-0-0)

 Clopidogrel 75 mg (1-0-0)

 Arixtra 2,5 ml subkutan

 Simvastatin tab 20 mg (0-0-1)

 ISDN 5 mg 3x1

2.7 Electrokardiografi (EKG)


12

Irama : Sinus

Heart rate : 75x/menit, regular

Normal Axis

ST depresi di V4-V6

Kesan : Iskemik Lateral

2.8 Pemeriksaan Rontgen Thorax

Kesimpulan : Cardiomegaly

BAB III
13

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung adalah keadaan patofisologis ketika jantung sebagai pompa

tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri penting

dari definisi ini adalah gagal didefinisikan relatif terhadap kebutuhan metabolik

tubuh, dan penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara

keseluruhan(6)

Gagal jantung   adalah   keadaan   menurunnya   kemampuan   miokardium   dan

terutama   mempengaruhi   ventrikel   kiri.   Penyebab   paling   sering   adalah  penyakit

jantung   coroner   (PJK)   dan   hipertensi,   meskipun   hampir   semua   bentuk   penyakit

jantung (kelainan katup, kardiomiopati) serta beberapa penyakit di luar jantung dapat

menyebabkan gagal jantung.(7)

Sementara   itu,   gagal   jantung   merupakan   kumpulan   gejala   yang   kompleks

dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas

pendek   yang   tipikal   saat   istirahat   atau   saat   melakukan   aktivitas   disertai/tidak

kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya

bukti objektif dari gangguan sitruktur atau fungsi jantung saat istirahat.(8)

3.2  Etiologi Gagal Jantung

Gagal jantung dapat terjadi tanpa faktor pencetus yang diketahui, tetapi lebih

sering   dengan   satu   atau   lebih   faktor,   seperti   hipertensi   yang   tidak   terkendali,
14

gangguan ritme atau ketidakpatuhan dengan obat / diet. Sejumlah besar klasifikasi

tumpang   tindih   AHF   berdasarkan   kriteria   yang   berbeda   telah   diusulkan.   Dalam

prakteknya klasifikasi yang paling berguna adalah yang didasarkan pada presentasi

klinis   saat   masuk,   memungkinkan   dokter   untuk   mengidentifikasi   pasien   yang

berisiko tinggi terhadap komplikasi dan untuk mengarahkan manajemen pada target

tertentu.  Penyebab pemicu gagal jantung, antara lain:(9)
15

a. Emboli paru. Pasien yang tidak aktif secara fisis dengan curah jantung rendah

mempunyai risiko tinggi membentuk trombus dalam vena tungkai bawah atau

panggul. Emboli paru dapat berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan

arteri pulmonalis yang sebaliknya dapat mengakibatkan atau memperkuat

kegagalan ventrikel. Dengan adanya bendungan pembuluh darah paru, emboli

juga dapat menyebabkan infark pada paru.

b. Infeksi. Pasien dengan bendungan pembuluh darah paru juga lebih rentan

terhadap infeksi paru : infeksi apapun dapat menyebabkan terjadinya gagal

jantung. Demam, takikardi, dan hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan

metabolic meningkat akan memberi tambahan kepada miokard yang sudah

kelebihan beban meskipun masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit

jantung kronik.

c. Aritmia. Pada pasien dengan penyakit jantung terkompensasi, aritmia

merupakan penyebab pemicu gagal jantung yang paling sering. Anemia

menimbulkan efek yang mengganggu dengan sejumlah alasan: (1) takiaritmia

mengurangi periode waktu yang tersedia untuk pengisian ventrikel, (2)

pemisahan yang terjadi antara kontraksi atrium dan ventrikel yang khas pada

banyak aritmia menyebabkan hilangnya mekanisme pompa penguat atrium,

karenanya meningkatkan tekanan atrium, (3) pada aritmia yang disertai

dengan abnormalitas konduksi intraventrikel, kemampuan miokard dapat

lebih terganggu karena hilangnya keselarasan kontraksi ventrikel yang

normal, (4) bradikardi yang nyata disertai blok atrioventrikuler komplit dan
16

bradiaritmia berat lainya akan mengurangi jumlah curah jantung kecuali

volume sekuncup meningkat.

d. Endocarditis infektif. Kerusakan katup tambahan, demam dan miokarditis

yang seringkali muncul sebagai akibat endocarditis infektif, dapat sendiri atau

bersama-sama memicu gagal jantung

e. Beban fisis, makanan, cairan, lingkungan dan emosional yang berlebihan.

Penambahan asupan sodium, penghentian obat gagal jantung yang tidak tepat,

transfuse darah, kegiatan fisis yang terlalu berat, kelembapan atau panas

lingkungan yang berlebihan dapat memicu gagal jantung pada pasien dengan

penyakit jantung sebelumnya yang masih terkompensasi.

f. Hipertensi sistemik. Peningkatan tekanan arteri yang cepat, seperti pada

beberapa hipertensi yang berasal dari ginjal atau karena penghentian obat

antihipertensi dapat menyebabkan dekompensasi jantung.

g. Infark miokard. Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik kronik tetapi

terkompensasi, selain tidak ada gejala klinis (tenang), kadang-kadang infark

baru yang terjadi dapat lebih mengganggu fungsi ventrikel dan memicu gagal

jantung.

3.3 Patofisiologi(10,11)

Curah jantung (CJ) adalah volume darah yang dipompa oleh masing-masing

ventrikel per menit. Selama suatu periode waktu, volume darah yang

mengalir melalui sirkulasi paru sama dengan volume yang mengalir melalui

sirkulasi sistemik. Dua penentu curah jantung adalah kecepatan denyut (heart

rate) dan isi sekuncup (stroke volume). Karena itu regulasi curah jantung
17

bergantung pada kontrol atas kecepatan jantung dan isi sekuncup. Jantung

disarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yaitu simpatis dan

parasimpatis. Saraf parasimpatis ke jantung, saraf vagus, terutama menyarafi

atrium, khususnya nodus SA dan AV. Saraf simpatis jantung juga menyarafi

atrium, termasuk nodus SA dan AV, serta banyak menyarafi ventrikel.


Efek Stimulasi Parasimpatis dan Simpatis

Efek parasimpatis membuat jantung bekerja lebih “santai” – organ ini

berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel

memanjang dan kontraksi atrium lebih lemah. Efek-efek ini sesuai karena

sistem parasimpatis mengontrol kerja jantung pada situasi tenang dan rileks

ketika tubuh tidak membutuhkan pengingkatan curah jantung. Sebaliknya

sistem saraf simpatis yang mengontrol kerja jantung pada situasi darurat atau

olahraga, ketika dibutuhkan peningkatan aliran darah mempercepat frekuensi

denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu.


Komponen lain disamping kecepatan jantung yang menentukan curah jantung

adalah isi sekuncup. Dengan meningkatnya darah yang kembali ke jantung,

jantung memompa keluar lebih banyak darah. Semakin besar dan semakin

teregang atau semakin besar pengisian diastol, semakin besar pula besar

Volume Diastolik Akhir (VDA) dan semakin teregang jantung semakin besar
18

panjang serat otot sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan

peningkatan kekuatan pada kontraksi selanjutnya sehingga isi sekuncup juga

meningkat. Tingkat pengisian disebut sebagai preload, karena merupakan

beban kerja yang dikenakan pada jantung sebelum kontraksi dimulai.


Gagal jantung adalah ketidakmampuan curah jantung mengimbangi

kebutuhan akan pasokan dan pembuangan zat sisa. Defek primer pada gagal

jantung adalah berkurangnya kontraktilitas jantung, yaitu sel-sel otot jantung

yang melemah berkontraksi kurang efektif. Kemampuan otot jantung untuk

menghasilkan tekanan dan menyemprotkan isi sekuncup berkurang. Pada

tahap awal gagal jantung, dua tindakan kompensasi utama membantu

memulihkan isi sekuncup ke normal. Pertama, aktivitas simpatis ke jantung

secera refleks meningkat yang meningkatkan kontraktilitas jantung ke arah

normal. Namun, stimulasi simpatis dapat membantu mengompensasi hanya

dalam waktu singkat karena jantung menjadi kurang responsif terhadap

norepinefrin setelah pajanan berkepanjangan, selain itu simpanan

norepinefrin di ujung saraf simpatis terkuras. Kedua, ketika curah jantung

berkurang, ginjal dalam suatu upaya kompensatorik untuk memperbaiki

aliran darahnya yang menurun, menahan lebih banyak garam dan air di tubuh

sewaktu pembentukan urin untuk menambah volume darah dan memompa

volume sekuncup. Seiring dengan perkembangan penyakit dan semakin

merosotnya kontraktilitas, jantung mencapai suatu titik dimana organ ini tidak

lagi dapat memompa keluar isi sekuncup yang normal meskipun dilakukan

tindakan-tindakan kompensasi. Pada tahap ini, jantung jatuh dari gagal

jantung terkompensasi menjadi keadaan gagal jantung dekompensasi.


19

Forward failure terjadi ketika jantung gagal memompa darah dalam jumlah

memadai ke jaringan karena isi sekuncup semakin berkurang. Backward

failure terjadi bersamaan ketika darah yang tidak dapat masuk dan dipompa

keluar oleh jantung terus terbendung disistem vena. Kongesti disistem vena

adalah penyebab mengapa penyakit ini disebut gagal jantung kongestif.

Backward failure sisi kiri menyebabkan edema paru karena darah terbendung

di paru. Akumulasi cairan di paru ini mengurangi pertukaran O 2 dan CO2

antara udara dan darah diparu. Fungsi ginjal tertekan dan semakin menahan

garam dan air di tubuh sewaktu pembentukan urin serta retensi cairan

berlebihan semakin memperparah masalah kongesti vena yang sudah ada.


Ketika berkontraksi, untuk membuka paksa katup semilunar, ventrikel harus

menghasilkan cukup tekanan untuk dapat melebihi tekanan darah di arteri-

arteri besar. Tekanan darah arteri disebut afterload karena merupakan beban

kerja yang dibebankan kepada jantung setelah kontraksi dimulai. Jika tekana

arteri terus-menerus tinggi (tekana darah tinggi) atau jika katup keluar

menyempit maka ventrikel harus menghasilkan tekanan lebih besar untuk

dapat menyemprotkan darah. Jantung mungkin mampu mengompensasi

peningkata menetap afterload dengan membesar (hipertrofi atau pembesaran

serat otot jantung). Hal ini memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat

dan mempertahankan isi sekuncup tetap normal meskipunterdapat halangan.

Namun, jantung yang sakit akan melemah tidak mampu melakukan

kompensasi secara sempurna dan terjadilah gagal jantung.


3.4 Klasifikasi Gagal jantung
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau

berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.


20

3.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis Gagal Jantung

3.6 Diagnosis Gagal Jantung

Diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,

elektrokardiografi/foto toraks, ekoardiografi dan kateterisasi.


21

Sementara itu tanda dan gejala gagal jantung berdasarkan PERKI :(7)

a. Gejala khas gagal jantung : sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan,

edema tungkai

b. Tanda khas gagal jantung : takikardia, takipneu, ronki paru, efusi pleura,

peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegaly

c. Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat isitirahat,

kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam

gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptide natriuretic.

Tabel . Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis


Sinus Takikardia Gagal jantung, Penilaian klinis,
dekompensasi, anemia, pemeriksaan
demam, hipertiroidisme laboratorium
Sinus Bradikardia Obat penyekat , anti Evaluasi terapi obat,
aritmia, hipotiroidisme, pemeriksaan
sindroma sinus sakit laboratorium
Atrial takikardia/ Hipertiroidsme, infkeksi, Perlambat konduksi AV,
flurer/fibrilasi gagal jantung, konversi medic,
dekompensasi, infark elektroversi, ablasi
miokard kateter, antikoagulasi
Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan
kardiomiopati, labortaorium, tes latigan
miokarditiss, beban, pemeriksaan
hypokalemia, perfusi, angiografi
hipomagnesia, overdosis coroner, ICD
digitalis
Iskemia/Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin
angiografikoroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,
hipertrofi, LBBB, angiografi koroner
prexitasi
Hipertrofi ventrikel kiri Hipertensi penyakit katup Ekokardiogradi, Doppler
aorta, kardiomiopati
hipertrofi
Blok antrioventrikuler Infark miokard, Evaluasi penggunaan
intoksikasi obat, obat, pacu jantung,
22

miokarditis, sarcoidosis, penyakit sistemik.


penyakit Lyme
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi, rontgen
perikard, amiloidosis toraks
Durasi QRS>0,12 deti Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf, rontgen
dengan morfologi mekanik toraks
LBBB
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.

Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan

dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat

sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
(7)

Tabel . Abnormalitas Foto Thorax yang umum ditemukan pada gagal jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis


Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiografi, Doppler
ventrikel kanan, atria,
efusi perikard
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi, Doppler
kardiomiopati hipertrofi
Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesto vena paru Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis
pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri
Edema interstitial Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis
pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan etiologi non-
peningkatan tekanan kardiak
pengisian jika efusi
bilateral infeksi paru,
pasca bedah/keganasan
Garis Karley B Peningkatan tekananMitral stenosis/gagal
limfatik jantung kronik
Area paru hiperlusen Emboli paru atau
Pemeriksaan CT scan,
emfisema spirometri,
ekokardiografi
Infeksi paru Pneumonia sekunder Tatalaksana kedua
akibat kongesti paru penyakit:gagal jantung
dan infeksi paru
Infiltrate paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostic
lanjutan
23

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah

darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, krratinin, laju

filtrasi glomerulus, glukosa, tes gungsi hati, dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan

lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit

yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang

yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hyperkalemia, dan

penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi

menggunakan diuretic dan atau ACEI, ARB, atau antagonis aldosterone.(7)

Terdapat bukti-bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptidan

dan natriuretic untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan

pasien dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi.

Konsentrasi peptide natriuretic yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai

prediktif negative yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai

penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.(7)

Kadar peptide natriuretic yang tetap tinggi walaupun terapi optimal

mengindikasikan prognosis buruk.Kadar peptide natriuretic meningkat sebagai

respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptide natriuretic mempunyai waktu

paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung

menurnkan kadar peptide natriuretic.(7)

Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran

klinisnya disertai dugan sindroma coroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin

kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal

jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.(7)


24

Tabel . Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang umum ditemukan pada gagal jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis


Peningkatan kreatinin Penyakit ginjal, ACEI, Hitung GFR,
serum (>150 µmol/L) ARB, antagonis pertimbangkan
aldosterone mengurangi dosis
ACEI/ARB/antagonis
aldosterone, periksa
kadar kalium dan BUN
Anemia (Hb<13 gr/dl Gagal jantung kronik, Telusuri penyebab,
pada laki-laki, <12 gr/dl gagal ginjal, hemodilusi, pertimbangkan terapi
pada perempuan) kehilangan zat besi atau
penggunaaan zat besi
terganggu, penyakit
kronik
Hiponatremia (<135 Gagal jantung kronik, Pertimbangkan restriksi
mmol/L) hemodilusi, pelepasan cairan, kurangi dosis
AVP diuretic diuretic, ultrafiltrasi,
antagonis vasopressin
Hypernatremia (>150 Hiperglikemia, dehidrasi Nilai asupan cairan,
mmol/L) dehidrasi
Hypokalemia (<3,5 Diuretic, Risiko aritmia,
mmol/L) hiperaldosteronism pertimbangkan suplemen
sekunder kalium, ACEI/ARB
antagonis aldosteron
Hyperkalemia (>5,5 Gagal ginjal, suplemen Stop obat obat hemat
mmol/L) kalium, penyekat sistem kalium, nilai fungsi ginjal
renin angiotensin dan pH, risiko
aldosterone bradikardia
BNP >400 pg/mL, NT Tekanan dinding Sangat mungkin gagal
pro BNP >2000 pg/mL ventrikel meningkat jantung
Peningkatan troponin Nekrosis miosit, iskemia Evaluasi pola
berkepanjangan, gagal peningkatan, angiografi
jantung berat, coroner, evaluasi
miokarditis, sepsis, gagal kemungkinan
ginjal, emboli paru. revaskularisasi.
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan atau disfungsi jantung dengan

pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasie

dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan

antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien fungsi sistolik normal adalah fraksi

ejeksi ventrikel kiri (normal >45-50%).(7)


25

3.7 Penatalaksanaan

Terdapat 3 tatalaksana yang harus dikerjaan pada evaluasi awal pasien sesak nafas 

mendadak yang dicurigai gagal jantung akut;

Rekomendasi terapi pasien gagal jantung akut
26
27
28

Sebelum pasien dipulangkan, harus dipastikan bahwa episode gagal jantung sudah

teratasi  dengan baik,  terutama  tanda dan  gejala  kongesti  sudah  harus  hilang,  dan

dosis   diuretic   oral   yang   stabil   sudah   tercapai   selama   minimal   48   jam.   Selain   itu
29

regimen obat gagal jantung (ACEI/ ARB, penyekat β dengan atau tanpa MRA sudah

dioptimalkan dosisnya dengan baik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah edukasi

kepada pasien dan keluarga.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Kementerian Kesehatan RI. 2013;256.
2. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut [Internet]. 4th ed. Jakarta:
Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular; 2018. Available
from: http://www.inaheart.org/upload/file/Buku-ACS-2018.pdf
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik
Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah. 2016. 6-10 p
4. Iskandar et all. Faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien
rumah sakit umum meuraxa. Banda aceh: Nutritional Journal;2017
5. Nirmalasari N. Deep Breathing Exercise Dan Active Range Of Motion Efektif
Menurunkan Dyspnea Pada Pasien Congestive Heart Failure. 2017;2(2). 

6. Pedoman   tata   laksana   gagal   jantung;   1fst   ed.   Jakarta:   Indonesia,   Pedoman
tatalaksana gagal jantung; 2015

7. Price   SA,   Wilson   LM.   Disfungsi   Mekanis   Jantung   dan   Bantuan   Sirkulasi
dalam   Patofisiologi   Konsep   Klinis   Proses­Proses   Penyakit.   6th  Ed.   Jakarta;
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013. p. 633­9.

8.  Silbernagl   S,   Lang   F.   Jantung   dan   Sirkulasi   dalam   Buku   Teks   dan   Atlas
Berwarna Patofiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. p. 224

9. 2016 ESC Guidelines  for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure. 2016; 2129­22000 p

10. Sherwood  L.   Fisiologi   Manusia   dari   Sel   ke   Sistem.   6th   ed.   Jakarta:   EGC.
2011.

11. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Harvard Medical School.
2013
31

Anda mungkin juga menyukai