Anda di halaman 1dari 5

HUKUM ACARA PERDATA

1. 1. Pengertian

Di samping hukum perdta material (yang isinya mengatur tentang hak dan
kewajiban orang dan badan hukum dalam konteks hubungan antarperorangan),
terdapat hukum perdata formal atau lebih dikenal Hukum Acara Perdata, yakni
hukum yang mengatur tentang tata cara penegakan hukum perdata material atau
dengan istilah lain, hukum yang mengatur tentang tata cara beracara
di mukapengadilan (perdata).

1. 2. Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber hukum acara perdata yang paling utama antara lain :

1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan


Kehakiman yang telah disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 43 tahun
1999 ;

2) Herzeine Inlands Reglem (HIR) atau Reglem Bumi Putera yang diperbarui
yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staadlblad No. 44 tahun 1941
serta Hukum Acara bagi masyarakat Jawa dan Madura (Recht Buiten geweten
(RBg) tahun 1943) ;

3) Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ;

4) Undang-undang nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

1. 3. Prinsip-prinsip Hukum Acara Perdata

Implementasi dari hukum acara perdata didasarkan atas prinsip-prinsip atau asas-
asas hukum acara perdata yang dikenal luas di kalangan peradlian perdata, sebagai
berikut :

1) Hakim bersifat menunggu. Prinsip hukum ini bermakna bahwa inisiatif


berperkara atau maju ke pengadilan sepenuh harus berasal dari para pihak yang
bersengketa, bukan dari hakim. Bahkan jikalau para pihak sudah berada di depan
meja hijau pun, diteruskan atau dihentikannya perkara mereka, inisiatif sepenuhnya
tetap menjadi hak para terdakwa. Oleh karenanya menjadi kewajiban
hakim pada saat sidang pertama, hakim wajib menawarkan perdamaian bagi para
pihak. Artinya, para pihak pada kesempatan pertama harus diberikan kesempatan
berdamai dan perkara yang mereka ajukan, sebaiknya diselesaikan secara
kekeluargan di luar pengadilan. Prinsip hukum ini dikenal dengan pepatah “ tidak
ada tuntutan hak, tidak asa hakim.” Prinsip hukum ini tercantum dalam Pasal 118
RIB dan Pasal 142 RBg.

2) Hakim dilarang menolak perkara. Prinsip hukum ini bermakna apabila


perkara sudah masuk (didaftarkan ke) pengadilan, maka tidak ada alas an bagi
hakim untuk menolaknya dengan alasan tidak ada hukum atau aturannya. Prinsip
ini mewajibkan para hakim untuk melakukan upaya menggali hukum atau
menciptakan hukum yang baru sesuai kebutuhan para pihak. Prinsip ini tercantum
dalam Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 1970.

3) Hakim bersikap aktif. Prinsip hukum tersebut menekankan bahwa apabila para
pihak telah bersepakat jalur pengadilan adalah para pihak telah bersepakatjalur
pengadilan adalah jalur yang dipilih, maka hakim haru membantu para pencari
keadilan serta berusaha keras untuk menemukan hukum yang seadil-adilnya
dengan mengesampingkan hambatan dan rintangan untuk mencapai derajat
peradilan yang cepat, murah dan bersahaja (sedea0rhana) (pasal 5 ayat 2 UU No.
14 Tahun 1970).

4) Hakim harus mendengar kedua belah pihak. Prinsip hukum ini bermakna
bahwa dalam menemukan hukum yang seadli-adilnya hakim harus mendengarkan
fakta, alasan, pertimbangan serta alat-alat bukti yang disampaikan oleh kedua
pihak secara berimbang dan tidak memihak. Ini berarti bahwa hakim tidak boleh
hanya mendengarkan salah satu pihak saja, karena lawannya pun harus
mndapatkan kesempatan yang sama dan seimbang. Oleh karenanya kehadiran
kedua pihak adalah mutlak diperlukan (pasal 5(1) UU No, 14 Tahun 1970, Pasal
132a, 121 RIB serta Pasal RBg).

5) Putusan harus disertai alasan. Prinsip hukum ini bermakna bahwa setiap
putusan yang dijatuhkan oleh hakim senantiasa harus memiliki alasan yang
objektif, factual serta logi dalam bingkai hokum. Hanya dengan alasan yng
objektif, factual dan logislah maka putusan hakim akan memiliki wibawa dan bias
dipertanggungjabwabkan. (Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 184 (1) RIB).
6) Peradilan brsifat sederhana, cepat dan berbiaya ringan (murah). Prinsip
hukm merupakan dambaan para pencari keadlian yang bermakna
bahwa prosesperadilan berlangsujng secara jelas, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami para pihak serta lekas selesai. Dalam praktik peradilan (perdata) kondisi
seperti ini sulit dicapai, karena seringkali suatu perkar tertunda-tunda sampai
bertahun-tahun dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit serta berjalan lamban,
berbelit-belit dan membosankan para pencari keadilan. (Pasal 4 (1) UU No. 14
Tahun 1970).

7) Peradilan berjalan objektif (Prinsip objektivitas). Prinsip hukum ini


menekankan agar hakim berlaku objektif dan tidak memihak salah satu pihak yang
berperkara dengan dalih apa pun kecuali karena kebenaran semata. (Pasal 5 (21)
UU No. 14 Tahun 1970).

8) Hakim tidak menguji undang-undang (menguji tidak dikenal). Prinsip hukum


ini bermakna bahwa hakim Indonesia tidak mempunyai hak untuk menguji
undang-undang. Mahkanah Agung (pasal 26 (1) UU No. 14 Tahun 1970) diberi
hak menguji peraturan perundangan yang tingkatnya berada dibawah undang-
undang dengan konsekuensi dapat menempatkan atau menyatakan sah atau
tidaknya peraturan perundangan tersebut.

Hukum Acara Perdata (disamping Hukum Acara Pidana) merupakan instrument


hukum pidana yang paling utama dalam penegkan hukum di Indonesia, karena
peraturan perundangan tersebut merupakan ‘pintumasuk’ bagi setiap warga
indonsia yang akan berprkara di muka pengadilan (perdata) untuk
mempertahankan haknya terhadap orang lain. Istilah orang-orang yang berperkara
di muka pengadiln perdata adalah ‘penggugat`yaitu pihak yang berinisiatif
mengajukan perkara karena merasa haknya tidak di penuhi orang lain, dan
`tergugat` adalah orang yang harus berperkara di pengadilan ,karena orang lain
menginginkan yang bersangkutan untuk memenuhi kewajiban hukumnya. Dalam
pengadilan perdata di mungkinkan adanya `gugatan balik`, sehingga bukan hal
yang aneh apabila untuk suatu perkara, seorang tergugat menjadi tergugat menjadi
penggugat dan sebaliknya

1. 4. Alat bukti persidangan


Dalam peradilan perdata, kebenaran yang harus dicapai pada perinsip adalah
kebenaran yang hakiki. Akan tetapi pada umumnya yang bisa dan maksimal
dicapai oleh proses peradilan perdata lazim disebut kebenaran formal, yaitu
kebenaran yang dicari oleh para pihak. Alat bukti yan bisa disampaikan para pihak
menurut Sudikno Metrokusumo (1981 : 93-150) meliputi :

1. Alat bukti tertulis yaitu alat bukti yang sah secara hokum, yang ditandai oleh
tanda tangan yang sah, materai atau cap (akta otentik) atau dibawah tangan.
2. Kesaksian, baik saksi biasa atau saksi mata (yang memberikan kesaksian
berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan atau ditangkap dengan panca indra
lainnya maupun saksi ahli (yang memberikan kesaksian berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki).
3. Pengakuan, yaitu petunjuk yang diakui atau dinyatakan oleh para pihak.
4. Persangkaan (presumptions) yaitu dugaan kuat telah terjadi atau dilakukannya
suatu wanprestasi oleh tergugat dan dugaan ini oleh penggugat dijadikan dasar
tuntutan ke pengadilan.
5. Sumpah, yaitu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapakan pada waktu
member janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari
Tuhan.

Dalam hukum acara perdata dikenal 3 macam sumpah, yaitu :

1. Sumpah suppletoir yaitu sumpah pelengkap, yang diperintahkan hakim karena


jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa
yang enjadi sengketa sebagai dasar putusan.
2. Sumpah estimatior yaitu sumpah penaksiran, yang diperintahkan oleh hakim
kepada penggugat untuk menentukan jumlah ganti kerugian.
3. Sumpah decisoir yaitu sumpah penentu atau sumpah pemutus, yang
dimintakan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain. Pihak yang meminta
pihak lain menyatakan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang
mengucapkan sumpah disebut delaat.

1. 5. Putusan dalam Hukum Acara Perdata

Putusan hakim dalam persidangan perdata adalah klimaks dari suatu proses
pencarian kebenaran hukum yang dilakukan hakim berdasarkan prinsip-prinsip
yang dikuasai serta diyakini hakim. Hakim diwajibkan untuk menggali dan
menemukan hukum dengan pengambilan putusan yang didasrkan atas
pertimbangan-pertibangan yang matang dan mantab secara yuridis, sehingga para
pihak yang berperkara menerima putusan tersebut. Putusan hakim bersifat
memenangkan dan atau mengalahkan suatu perkara. Oleh karenanya pihak-pihak
pada awalnya disebut pihak penggugat dan pihak tergugat, pada putusan hakim
akan menjadi pihak yang dimenangkan dan pihak yang dikalahkan.

Putusan hakim mempunyai 3 macam kekuatan, yaitu : kekuatan mengikat,


kekuatan pembuktian serta kekuatan eksekutorial (1981 : 161). Kekuatan mengikat
putusan hukum adalah kekuatan mengikatnya sbuah putusan hakim terhadap kedua
pihak untuk menaatinya. Kekuatan pembuktian adalah kekuatan yang bisa
dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin digunakan untuk
mengajukan banding atau kasasi. Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan yang
melekat pada putusan hakim yang bisa digunakan sebagai dasar realisasi atau
pelaksanaan putusan hakim secara paksa.

Apabila para pihak atau salah satu pihak tidak menerima putusan hakim maka
dalam hukum acara perdata dimungkinkan adanya upaya hokum berupa apel atau
banding dan kasasi pada tingkat peradilan kembali (PK) apabila:

(a) ada bukti baru tentang perkara tersebut yang belum pernah diungkapkan atau
dikemukakan dalam siding-sidang terdahulu;

(b) terdapat bukti kuat bahwa putusan hakim tersebut dilakukan dengan prosedur
hokum yang salah;

(c) terbukti adanya ketidakcocokan antara fakta-fakta yang disajikan para pihak
serta cara persidangan.

Pemeriksaan perkara pada tingkat banding atau kasasi bersifat pemeriksaan berkas,
tidak lagi pemeriksaan langsung yang melibatkan para pihak, kesaksian atau proses
pembuktian. menghendaki, pemeriksaan tambahan bisa dilakukan demi
kelengkapan berkas perkara yang akan diputuskan.

Dalam proses acara perdata dimungkinkan adanya campur tangan pihak


ketiga (intervenient) yang mempunyai kepentingan atas digelarnya perkara tersebut
bagi dirinya. Juga dimungkinkan adanya perlawanan pihak ketiga (derdenverzet),
yakni apabila pihak ketiga merasa bahwa dirinya dirugikan atas diputuskannya
perkara tersebut

Anda mungkin juga menyukai