Pembangunan ekonomi yang inklusif pada dasarnya adalah pembangunan ekonomi yang dapat memberikan kontribusi bagi mayoritas rakyat Indonesia. Besarnya jumlah tenaga kerja Indonesia di sektor pertanian sering diasosiasikan sebagai sektor yang perlu didorong untuk membangun ekonomi yang inklusif. Selain sektor pertanian, banyak pihak yang sudah menyampaikan pentingnya peran UMKM dalam mendorong perekonomian Indonesia. Pemerintah harus menekankan pentingnya ekonomi yang bersifat inklusif. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak yang terjebak dalam ekonomi ekslusif yaitu keinginan untuk mengejar taraf perekonomian negara-negara maju dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama dengan memacu pertumbuhan ekonomi sektor sekunder (industri manufaktur) dan tersier (industri jasa). Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi tetapi hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Disisi lain yakni di sektor primer, terutama sektor pertanian, kurang mendapatkan perhatian padahal sektor tersebut banyak sekali menyerap tenaga kerja. Akibatnya terjadilah ketimpangan pendapatan antar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dengan sektor manufaktur dan jasa. Hal ini terbukti dengan data pertumbuhan ekonomi dari BPS pada tahun 2011 sebesar 6,2% menjadi 5,0% pada tahun 2016, sedang Indeks Gini tetap berada pada kisaran 0,41 sampai dengan awal tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak secara otomatis mereduksi ketimpangan ekonomi sosial. Demikian juga apabila dilihat dari konstribusi pertumbuhan ekonomi juga masih menunjukkan adanya ketimpangan. Kontribusi PDB Jawa dan Sumatera sebesar 80,4% (2016) sedangkan wilayah lainnya yaitu Kalimantan (7,7%), Sulawesi (6,2%), Papua (2,5%) dan Bali Nusa Tenggara (3,5%). Dari data tersebut tampak sekali adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun namun kondisi tersebut juga dibarengi dengan peningkatan kesenjangan kekayaan antarpenduduk, peningkatan Indeks Gini dan pengurangan kesenjangan antar wilayah. Dampak dari kondisi tersebut masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin tertinggal jauh oleh masyarakat kelas menengah dan atas. Menurut Prof. Roemer, tingginya ketimpangan (ataupun tren perubahannya) dalam masyarakat dapat disebabkan oleh: 1). Ketimpangan dalam usaha, kerja keras, dan talent individu; 2). Ketimpangan dalam opportunity (kesempatan); dan 3). Kebijakan. Berdasarkan pernyataan diatas perlu digaris bawahi bahwa upaya mengatasi ketimpangan lebih diutamakan untuk mengatasi ketimpangan kesempatan dalam berusaha, bukan mengatasi ketimpangan dalam memperoleh pendapatan (outcome) dan konsumsi. Pemerintah sejatinya telah mengusahakan agar ekonomi Indonesia tidak hanya tumbuh dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang ekspansif diharapkan menjadi pendorong pembangunan inklusif yaitu pembangunan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. Presiden RI ke 6 dalam Regional Meeting and Stakedolder Consultation on the Post-2015 De velopment Agenda yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali Desember 2012 yang lalu, menyampaikan pendapat bahwa Indonesia dan negara-negara lain harus menjalankan 'Pembangunan Inklusif' agar dunia berhasil dalam mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan global. Beliau juga menyebutkan bahwa pembangunan inklusif adalah pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan yang memperhitungkan pertumbuhan (pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan memperhatikan lingkungan (pro-environment).
B. EKONOMI INKLUSIF UNTUK MEREDUKSI KETIMPANGAN
Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan ekonomi inklusif di Indonesia, dengan berbagai kebijakan yang mendukung berkembangnya ekonomi inklusif. Kementerian Keuangan sebagai bagian dari pemerintah dan pengelola keuangan negara mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengarahkan berbagai kebijakan fiskal yang mendukung ekonomi inklusif. Sebagaimana disebutkan oleh Musgrave and Musgrave (1989), peran keuangan negara mencakup fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi-fungsi tersebut selanjutnya diimplementasikan dalam berbagai kebijakan fiskal. Sebagai contoh: pemerintah dapat menggunakan fungsi distribusi untuk mengarahkan pendapatan pajak yang dipungut dari orang-orang mampu sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat memastikan bahwa anggaran negara dialokasikan lebih maksimum untuk mengatasi ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini bertujuan agar semua warga negara, tanpa dibatasi oleh status sosial ekonomi dan letak geografi, dapat memperoleh kesamaan kesempatan dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. Dampak selanjutnya yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan pembangungan manusia Indonesia secara merata. United Nation Development Program (UNDP) memantau pembangunan manusia setiap negara dengan menerbitkan Human Development Index (HDI) untuk mengatagorikan setiap negara menjadi negara terbelakang, berkembang, dan maju. Dalam penilaian tahun 2014, Indonesia menduduki peringkat 108 dari 187 negara dan dikategorikan negara berkembang. Di kawasan ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dengan pembangunan ekonomi inklusif terutama pada sektor kesehatan dan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekaligus indeks pembangunan manusia. Arah kebijakan fiskal lainnya mereduksi ketimpangan adalah mengarusutamakan pembangunan infrastruktur. Dalam APBN 2017 pemerintah telah menganggarkan Rp346,6 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Nilai ini jauh lebih besar dari anggaran tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui infrastruktur sangat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi terutama dalam menciptakan konektifitas antar daerah dan mempermudah aktivitas perekonomian. Infrastruktur yang tersedia dengan baik akan membuka kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi. Selain itu, proses pembangunan infrastruktur memerlukan banyak tenaga kerja dan membuka lapangan usaha baru yang menunjang pembangunan infrastruktur tersebut, sehingga dapat mengangkat taraf kehidupan masyarakat. Infrastruktur yang memadai juga akan menjadi penarik investasi yang bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara agraris, saat ini sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih diserap oleh sektor pertanian. Menurut data BPS, pada tahun 2014 jumlah tenaga kerja sektor pertanian mencapai 35,54 juta orang. Sektor ini merupakan penyerap tenaga kerja terbesar dengan persentase dari seluruh tenaga kerja mencapai 34,55%. Bila disandingkan dengan data kemiskinan pada tahun yang sama, maka sebanyak 17,7 juta orang adalah penduduk miskin yang tinggal di desa dan kemungkinan besar adalah para petani. Berdasarkan data-data di atas maka selayaknya bila pemerintah mengarahkan kebijakan anggarannya agar lebih berpihak kepada sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian tentu bukan hanya menbangun infrastrukturnya saja seperti waduk dan saluran irigasi. Namun perlu juga dibangun SDM sektor pertanian, agar sektor pertanian terus mengalami inovasi produk. Membangun sektor pertanian secara intensif berarti telah mendukung pembangunan ekonomi inklusif. Selain itu, membangun sektor pertanian juga mendukung ketahanan pangan nasional.
C. PILAR UTAMA PEMBANGUNAN EKONOMI INKLUSIF
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan, saat ini belum ada konsep pembangunan ekonomi inklusif yang disepakati secara nasional. Bahkan, masing-masing organisasi internasional memiliki konsep yang berbeda. Asian Development Bank (ADB) misalnya, menjelaskan pertumbuhan ekonomi inklusif ditopang oleh tiga pilar yaitu pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan untuk menciptakan dan memperluas peluang ekonomi, perluasan akses untuk menjamin masyarakat dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan; dan jaring pengaman sosial untuk mencegah kerugian ekstrim. Sementara World Economic Forum (WEF) mendefinisikan ekonomi inklusif sebagai suatu strategi untuk meningkatkan kinerja perekonomian dengan perluasan kesempatan dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh lapisan masyarakat. Namun konsep ekonomi pembangunan ekonomi inklusif yang telah dikeluarkan berbagai institusi internasional, kata Bambang, belum mencerminkan tujuan pembangunan Indonesia secara spesifik karena tidak adanya fokus kepada isu ketimpangan (jender, wilayah, dan pendapatan) serta beberapa indikator yang tidak selaras dengan indikator pembangunan Indonesia. "Karena itu, kita kemudian menginisiasi Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional Tahun 2011-2017," ujar Bambang di kantonya, Rabu (18/7/2018). Menurut Bambang yang juga dikenal sebagai ahli ekonomi pembangunan ini, Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional Tahun 2011-2017 terdiri dari tiga pilar, yang meliputi pertumbuhan ekonomi; pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan; serta perluasan akses dan kesempatan. Untuk pilar pertama, yaitu pertumbuhan ekonomi, DKI Jakarta mendapatkan indeks tertinggi sebesar 6,58, sedangkan provinsi dengan nilai indeks terendah pada pilar pertumbuhan ekonomi adalah Papua, dengan capaian 2,99. Nilai indeks secara nasional untuk pilar ini sebesar 5,17. Untuk pilar kedua, yaitu pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, lagi-lagi DKI Jakarta memperoleh capaian tertinggi dengan nilai 7,31. Sedangkan provinsi Papua memperoleh indeks terkecil dengan nilai 5,81. Nilai indeks secara nasional untuk pilar kedua ini adalah sebesar 6,64. Terakhir, pilar ketiga, yaitu perluasan akses dan kesempatan, menempatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 6,69. Sedangkan provinsi yang paling tidak inklusif dalam pilar ketiga ini adalah Banten dengan nilai 4,03. Nilai indeks secara nasional untuk pilar ketiga adalah 5,05. Saat ini, selain sedang dilakukan penyusunan dashboard Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional, Bappenas juga tengah mengembangkan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif untuk Tingkat Kabupaten/Kota.
D. RESPON TERHADAP MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGS)
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan deklarasi milenium hasil kesepakatankepala negara dan perwakilan dari 189 negara yang berupa delapan tujuan untuk dicapai padatahun 2015. Sejak disepakatinya pada bulan September 2000, MDGs telah menjadi suatu paradigmapembangunan hampir seluruh negara- negara di dunia. Walaupun tujuan dan target MDGs tidakmengikat secara hukum, namun banyak negara-negara tetap memantau pencapaiannya melaluibeberapa indikator pencapaian di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukan komitmenmasyarakat global terhadap pelaksanaan MDGs. Banyak pihak yang melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan MDGs yang telah diimplementasikan selama empat belas tahun di seluruh dunia. Walaupun masih banyak hal yang belum dicapai, namun perlu diakui bahwa selama ini MDGs sudah membawa perubahan besar didunia. MDGs telah menjadi saksi sejarah proses pengurangan kemiskinan terbesar dalam sejarah manusia. Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan internasional, yaitu $1,25 per hari, sudah berkurang setengah miliar. Laju kematian anak turun lebih dari 30 persen, dengan sekitar tiga juta jiwa anak terselamatkan setiap tahunnya dibandingkan tahun 2000. Kematian akibat malaria juga turun hingga seperempatnya (PBB, 2013). Di Indonesia, pelaksanaan MDGs telah memberikan perubahan yang positif. Walaupun masih ada beberapa target MDGs yang masih diperlukan kerja keras untuk mencapainya, tetapi sudah banyak target yang telah menunjukan kemajuan yang signifikan bahkan telah tercapai. Indonesia berhasil menurunkan proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari US$ 1,00 (PPP) per kapita per hari dari 20,60 persen pada tahun 1990 menjadi 5,90 persen pada tahun 2008. Pemerintah juga telah berhasil menurunkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan lanjutan. Hal ini dapat dilihat dari penurunan yang signifikan pada indikator rasio APM perempuan terhadap laki- laki SMA/MA/Paket C dari 93,67 persen ada tahun 1993 menjadi 101,40 persen pada tahun 2011. Selain itu, angka kejadian tuberkulosis di Indonesia sudah berhasil mencapai target MDGs yaitu dari 343 pada tahun 1990 menjadi 189 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2011 (Bappenas, 2012). Sebuah laporan satuan tugas PBB, yang mempersiapkan konferensi PBB mengenai pembangunan berkelanjutan 2012 (yang juga dikenal dengan Rio+20), memuji kemajuan pesat dalam pencapaian MDGs. Namun demikian laporan tersebut masih tetap menyoroti kendala dan tantangan yang belum terselesaikan. Dalam kerangka MDGs, lingkungan hanya disebutkan di bawah satu tujuan saja yakni tujuan ke-7, Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup. Sebaiknya agenda pembangunan selanjutnya dapat memperkuat peran sentral faktor lingkungan dan memperlakukan faktor lingkungan sebagai dasar bagi semua hasil pembangunan. MDGs hanya fokus pada hasil yang seharusnya dicapai oleh negara berkembang, seperti memerangi kemiskinan dan kelaparan serta membatasi peran negara maju untuk memberikan bantuan pembangunan dan pendampingan teknis. Untuk agenda selanjutnya, banyak pihak yang menyuarakan tanggungjawab yang bisa diterapkan di negara maju. MDGs juga hanya menekankan pada aksi di negara berkembang dan kerangka bantuan tradisional. Kerjasama diantara sektor-sektor penting seperti sektor swasta dan LSM transnasional justru jarang diwujudkan. Selain itu, banyak tujuan yang semata-mata fokus pada kuantitas daripada kualitas hasil. Misal keamanan pangan diukur dari akses terhadap makanan, bukan nutrisi. Pendidikan diukur melalui jumlah siswa masuk bukan angka kelulusan. Setelah melihat perubahan besar karena penerapan MDGs, negara-negara telah memikirkan dan merancang suatu agenda pembangunan baru yang harus disiapkan untuk menggantikan dan meneruskan MDGs. Banyak pihak yang berpendapat bahwa agenda pembangunan yang menetapkan keberlanjutan dan kesetaraan harus lebih diutamakan untuk menjadi agenda pembangunan selanjutnya. Suatu agenda pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. SDGs menjadi suatu hal yang paling sering dibicarakan untuk dijadikan agenda pembangunan selanjutnya. Istilah SDGs diusulkan untuk menjadi agenda pembangunan global pertama kali diusulkan oleh pemerintah Kolombia, Peru, Guatemala dan Uni Emirat Arab sebelum konferensi Rio+20 pada tahun 2012. SDGs diharapkan menjadi suatu agenda pembangunan yang akan menyelesaikan apa yang telah ditetapkan oleh MDGs dan agenda pembangunan yang mampu menghadapi tantanga lama dan baru yang semakin meningkat, setidaknya masalah perubahan iklim. SDGs juga diharapkan menjadi suatu agenda transformasi yang akan membentuk kembali perkembangan global yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Sebagaimana hasil dari Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB 2012 (Rio20+) yang telah menegaskan bahwa semua komunitas internasional harus melakukan pembangunan global dengan cara dimana semua bangsa harus bertanggung jawab atas kesejahteraan manusia dan planet. Agar SDGs menjadi suatu agenda mampu mencakup semua kalangan, banyak pertemuan yang telah dilakukan untuk mendapatkan masukan dan informasi dari semua kalangan dalam menyusunnya. Pada tanggal 31 Juli 2012, Sekretaris Jendral PBB memilih Presiden Bambang Yudhoyono sebagai co-chair High-Level Panel of Eminent Persons (HLPEP) bersama David Cameron (PM Inggris) dan Ellen Johnson Sirleaf (Presiden Liberia). HLPEP ini merupakan suatu forum yang diharapkan dapat menjadi suatu kanal konsultatif yang diusahakan untuk menjadi kanal yang lebih terbuka, inklusif, dan melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan masukan terkait agenda pembangunan pasca-2015. Inti dari agenda pembangunan yang disusun oleh forum ini adalah mengakhiri kemiskinan ekstrim melalui pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Dari laporan HLPEP diusulkan 12 tujuan pembangunan berkelanjutan. Open Working Group (OWG) untuk tujuan pembangunan berkelanjutan yang beranggotakan 30 anggota dan telah melakukan 13 kali pertemuan juga mengusulkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, Sustainable Development Solutions Network (SDSN) di bawah pimpinan Jafrey Sach mengusulkan 10 tujuan, 30 target dan 100 indikator untuk menjadi agenda pembangunan berkelanjutan. Sebagai upaya untuk menjembatani usulan dari OWG dan SDSN, maka SDSN menyusun draft laporan yang berjudul Mapping The SDSN Illustrative Indicators Against Zero Goals Identified By The Open Working Group. Setelah itu, sampai saat ini, SDSN juga melakukan kajian lebih lanjut agar bisa mengakomodasi usulan-usulan tersebut. Saat ini dunia masih berupanya untuk menampung masukan dan menyusun suatu agenda pembangunan berkelanjutan. Namun, ada hal penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan, seperti ketersediaan data yang dapat digunakan untuk mendukung, memantau dan mengimplementasikan proses pembangunan berkelanjutan. Pada pelaksanaan MDGs, ketersediaan data telah ditingkatkan, namun masih tetap dibutuhkan data yang lebih baik. Untuk mengatasi hal ini, HLPEP menyarankan untuk melakukan revolusi data. Inti dari revolusi data meliputi dua hal yakni intergrasi statistik baik di sektor publik maupun swasta dan membangun kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah melalui transparansi dan akuntabilitas. Untuk menindaklanjuti usulan-usulan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan berbagai macam indikator pemantaunya, maka publikasi ini diharapkan mampu menjadi kajian awal untuk memetakan indikator, target dan tujuan SDGs yang telah diusulkan dan mengetahui ketersediaan indikator-indikator tersebut di Indonesia. Selain itu, publikasi ini juga diharapkan dapat memberikan informasi terkait indikator-indikator pendekatan yang digunakan untuk memantau tujuanpembangunan berkelanjutan. a. SDGs dari High Level Panel For Eminent Person (HLPEP) Untuk melakukan pembahasan khusus tentang agenda pembangunan berkelanjutan, Sekjen PBB membentuk High-Level Panel ff Eminent Persons On Post-2015 Development Agenda (HLPEP). HLPEP dibentuk sebagai wujud inisiasi upaya persiapan agenda pembangunan pasca-2015 dan pada tanggal 24-27 Maret 2013 telah melaksanakan Pertemuan Tingkat Tinggi di Bali untuk mempersiapkan laporan yang akan diserahkan kepada Sekjen PBB pada akhir Mei 2013. Panel ini diketuai bersama (co-chair) oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri Inggris, David Cameron dan Presiden Liberia, Ellen Johnson-Sirleaf. Panel ini mencakup 26 tokoh terkemuka dari pemerintah, sektor swasta, akademisi, masyarakat sipil dan pemuda, serta berdasarkankeseimbangan geografis dan gender. Tujuan HLPEP ini adalah memberikan saran serta rekomendasi kepada Sekjen PBB mengenai visi dalam mengatasi tantangan pembangunan global. Selain itu, HLPEP juga ditugaskan untuk menyusun laporan kepada sekjen PBB yang memuat rekomendasi terkait visi dan bentuk agenda pembangunan pasca-2015 yang tegas dan lantang namun mudah dicapai. Dalam laporannya yang berjudul A New Global Partnership: Erdicte Poverty And Transform Economies Through Sustainable Development, HLPEP mengusulkan 12 tujuan dengan 54 target pembangunan pasca-2015. Namun, HLPEP belum menentukan indikator-indiktor dari tujuan dantarget tersebut. Adapun tujuan dan target yang diusulkan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengakhiri kemiskinan Menurunkan jumlah orang yang hidup kurang dari $1,25 per hari ke angka nol dan mengurangi sebanyak x% orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional negara mereka di tahun 2015 Menaikkan sebanyak x% perempuan dan laki-laki, masyarakat, dan dunia usaha dengan menjamin hak atas lahan, properti, dan aset lainnya Melindungi sebanyak x% orang yang miskin dan rentan dengan sistem perlindungan Membangun daya tahan dan menurunkan angka kematian akibat bencana alam sebanyak x% 2. Pemberdayaan perempuan dan anak perempuan serta kesetaraan gender Mencegah dan mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan Mengakhiri pernikahan anak-anak Menjamin hak setara perempuan untuk memiliki dan mewarisi properti, menandatangani kontrak, mendaftarkan usaha dan membuka rekening bank Mengeliminasi diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan public 3. Menyediakan Pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup Menaikkan sebanyak x% proporsi anak-anak yang dapat mengakses dan menyelesaikan pendidikan pra dasar Memastikan setiap anak, apapun situasinya, menyelesaikan pendidikan dasar mampu baca, menulis, dan berhitung cukup baik untuk memenuhi standar pembelajaran minimum Memastikan setiap anak, apapun situasinya, memiliki akses terhadap pendidikan menengah dan menaikkan proporsi remaja yang mencapai hasil pembelajaran yang diakui dan terukur hingga x% Menaikkan jumlah anak muda serta perempuan dan laki-laki dewasa yang memiliki keahlian, termasuk keahlian teknis dan keahlian kejuruan, yang dibutuhkan di dunia kerja sebanyak x% 4. Menjamin kehidupan yang sehat. Mengakhiri kematian bayi dan balita yang sebenarnya dapat dicegah Menaikkan sebanyak x% anak, remaja, usia dewasa yang beresiko dan orang-orang yang berusia lanjut, untuk sepenuhnya divaksinasi Menurunkan rasio angka kematian ibu menjadi tidak lebih dari x per 100.000 kelahiran hidup Menjamin secara universal, hak kesehatan seksual dan reproduksi Mengurangi beban penyakit dari HIV/AIDS, tuberkulosis, malaria, penyakit tropis terabaikan dan penyakit-penyakit tidak menular yang menjadi prioritas 5. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik Mengakhiri kelaparan dan melindungi hak semua orang untuk memiliki akses terhadap makanan dalam jumlah yang cukup, aman, terjangkau harganya, dan bergizi Mengurangi stunting (tumbuh pendek karena kurang gizi) sebanyak x%, wasting (tubuh kurus karena kurang gizi) sebanyak y%, dan anemia sebanyak z% bagi semua balita Meningkatkan produktivitas pertanian sebanyak x%, yang berfokus pada meningkatkan secara berkelanjutan hasil pertanian kecil dan akses terhadap irigasi Mengadopsi praktik-praktik pertanian, perikanan laut dan perikanan air tawar yang berkelanjutan dan membangun kembali ketersediaan ikan- ikan tertentu hingga ke tingkat yang berkelanjutan Mengurangi kerugian pasca panen dan makanan yang terbuang sebanyak x% 6. Mencapai akses universal terhadap air dan sanitasi Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi Mengakhiri buang air besar di tempat terbuka dan memastikan akses universal ke sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses terhadap sanitasi di rumah sebanyak x% Menyesuaikan kuantitas air bersih yang diambil (freshwater withdrawals) dengan pasokan air, serta meningkatkan efisiensi air dalam pertanian sebanyak x%, industri sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan sebanyak z% Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari industry sebelum dilepaskan 7. Menjamin energi yang berkelanjutan. Melipatgandakan bagian energi terbarukan dalam bauran energi dunia Memastikan akses universal terhadap pelayanan energi modern Melipatgandakan laju peningkatan efisiensi energi di bangunan, dalam industri, pertanian dan transportasi di tingkat global Menghentikan secara bertahap subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien yang mendorong konsumsi berlebihan 8. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan berkeadilan Menaikkan jumlah lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang baik dan layak sebanyak x Mengurangi jumlah kaum muda yang tidak bersekolah, menganggur atau tidak mengikuti pelatihan sebanyak x% Memperkuat kapasitas produksi dengan memberikan akses universal terhadap pelayanan keuangan dan infrastruktur seperti transportasi dan ICT Menaikkan jumlah usaha baru yang dibuka sebanyak x dan nilai tambah dari produkproduk baru sebanyak y dengan menciptakan lingkungan usaha yang mendukung dan mendorong kewirausahaan 9. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan Mempublikasikan dan menggunakan neraca ekonomi, sosial dan lingkungan milik pemerintah dan perusahaan besar Meningkatkan pertimbangan keberlanjutan di x% pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah Menjaga ekosistem, keragaman spesies dan genetic Mengurangi deforestasi sebanyak x% dan meningkatkan reforestasi sebanyak y% Meningkatkan kualitas tanah dan mengurangi erosi tanah sebanyak x ton dan memerangi penggurunan 10. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif Memberikan identitas hukum bebas biaya dan universal, seperti akta kelahiran Memastikan masyarakat menikmati kebebabasan berbicara, berasosiasi, melakukan protes damai dan akses terhadap media dan informasi independen Meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik dan keterlibatan warga di semua tingkat Menjamin hak masyarakat atas informasi dan akses terhadap data pemerintah Mengurangi suap dan korupsi dan memastikan pejabat dapat diminta pertanggungjawabannya 11. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai Menurunkan angka kematian akibat kekerasan per 100.000 sebanyak x dan mengaliminasi segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak Memastikan lembaga peradilan dapat diakses, independen, memiliki sumber daya yang baik dan menghormati hak atas proses hukum Membendung faktor eksternal yang mengakibatkan konflik, termasuk faktor-faktor yang terkait dengan kejahatan terorganisir Meningkatkan kapasitas, perofesionalitas dan akuntabilitas angkatan- angkatan keamanan, kepolisian dan badan peradilan 12. Menciptakan lingkungan hidup dan katalisator pembiayaan jangka panjang secara global. Mendukung sistem perdagangan yang terbuka, adil dan ramah pembangunan, secara substansial mengurangi aturan-aturan perdagangan yang merusak, termasuk subsidi pertanian, sembari meningkatkan akses pasar produk-produk negara berkembang Melaksanakan reformasi untuk memastikan stabilitas sistem keuangan dunia dan mendorong investasi swasta asing jangka panjang Menahan kenaikan rata-rata suhu global di bawah 2⁰ C di atas tingkat pra industri, sesuai dengan perjanjian-perjanjian internasional Negara-negara maju yang belum membuat upaya konkret menuju target 0,7% produk nasional bruto (PNB) sebagai bantuan pembangunan resmi bagi negara-negara berkembang dan 0,15 hingga 0,20% PDB negara maju sampai negara-negara yang paling terbelakang; negara- negara lainnya harus bergerak menuju target sukarela untuk bantuan keuangan pelengkap Mengurangi aliran ilegal dan penghindaran pajak serta meningkatkan pengembalian asset curian sebesar $x Mempromosikan kolaborasi dan akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, dan data pembangunan.
b. SDGs dari Open Working Group (OWG)
Dalam rangka perumusan SDGs, Sekretaris Jendral PBB juga membentuk Sustainable Development Solutions Network (SDSN). SDSN ini merupakan jaringan independen yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, akademisi, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat yang ditugaskan untuk mencari solusi praktis untuk tujuan pembangunan dibawah pimpinan Jefrey Sach. Dalam perkembangannya, SDSN mengusulkan 10 tujuan dengan 30 target dan 100 indikator. Adapun tujuan yang diusulkan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengakhiri kemiskinan ekstrim termasuk kelaparan 2. Mendorong pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak 3. Memastikan pembelajaran yang efektif untuk semua anak-anak dan remaja bagi kehidupan dan lingkungannya 4. Mencapai kesetaraan gender, inklusi sosial dan hak asasi manusia untuk semua 5. Mencapai kesehatan dan kesejahteraan di semua usia 6. Meningkatkan sistem pertanian dan mencapai kemakmuran pedesaan 7. Memberdayakan kota yang inklusif, produktif dan tangguh 8. Mengurangi perubahan iklim dan memastikan energi berkelanjutan 9. Menjaga keanekaragaman hayati dan memastikan pengelolaan air, lautan, hutan dan sumber daya alam dengan baik 10. Mentransformasikan tata kelola dan teknologi untuk pembangunan berkelanjutan Setelah mengusulkan 10 tujuan ini, SDSN pada tanggal 25 Juli 2014 mengeluarkan publikasi yang berjudul Indicators and A Monitoring Framework For Sustainable Development Goals,Launching A Data Revolution For The SDGs. Dalam publikasi ini SDSN memadukan SDGs usulan OWG dan SDSN. Oleh karena itu, dari publikasi ini diusulkan 17 tujuan SDGs dengan 109 indikator utama dan 111 indikator tambahan. Dalam kajian ini, indikator-indikator yang diusulkan dalam publikasi ini yang dijadikan dasar rujukan.
E. UPAYA PENINGKATAN PEREKONOMIAN BERKEADILAN SOSIAL
Kota inklusif adalah kota yang dalam perkembangan dan pembangunannya melibatkan semua masyarakat yang berbeda latar belakang, karakteristik, status sosial, kondisi, kemampuan, etnik, budaya dan lainnya. Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dari masa ke masa menghadapi berbagai masalah dan tantangan seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu pembangunan di Indonesia yang menyita perhatian adalah pembangunan perekonomian. Perekonomian Indonesia saat ini menghadapi tantangan yaitu dengan upaya mengubah pola pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada sumber daya alam yang melimpah dan rendahnya upah tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi inklusif diperlukan untuk pertumbuhan yang tidak hanya menghasilkan peluang ekonomi, tetapi juga memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat untuk turut andil dan mengambil manfaat dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi atas dasar kesetaraan terlepas dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda (Hill, dkk., 2012). Di Indonesia pembangunan ekonomi hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata tidak menyertakan pembangunan inklusif atau sosial sehingga menimbulkan persoalan kemiskinan yang dilihat melalui tingginya garis kemiskinan dan angka pengangguran. Garis kemiskinan di Indonesia pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp200.262 per kapita per bulan, dan rata-rata dari garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp222.123 per kapita per bulan, sedang di pedesaan sebesar Rp179.834 per kapita per bulan. Garis kemiskinan ini mengalami peningkatan setiap tahun seiring inflasi, sehingga penduduk yang memiliki pendapatan mendekati garis kemiskinan, rentan untuk jatuh miskin apabila terjadi fluktuasi ekonomi, seperti kenaikan harga bahan bakar dan bahan pangan (BPS, 2009). Tujuan utama pembangunan yang inklusif adalah mengurangi jumlah penduduk miskin melalui kesempatan kerja, akses terhadap kesempatan ekonomi, dan jaringan pengaman sosial. Karena jika dilihat dari sisi pembangunan ekonomi maka akan terlihat jelas bahwa hanya merujuk pada pembangunan di perkotaan. Hal ini menyebabkan terjadi urbanisasi dari desa ke kota. Selain itu semakin sulitnya ditemukan lapangan kerja karena semakin pesatnya pertumbuhan penduduk di perkotaan yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan. Pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan diharapkan mampu memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan sehingga tidak perlu lagi terjadi urbanisasi. Selain itu, keadilan dalam pembangunan perekonomian juga perlu dirasakan oleh kelompok miskin kota, kelompok berkebutuhan khusus, anak-anak, dan kelompok lainnya. Kelompok tersebut harus didudukkan sebagai elemen penting dalam kehidupan perekonomian kota sehingga kebijakan yang disusun akan mengarah kepada upaya memberikan kesempatan yang sama dalam beraktivitas sehingga meningkatkan dinamika kehidupan kota itu sendiri. Kesadaran mengenai pentingnya pembangunan inklusif timbul setelah melihat realitas bahwa pembangunan yang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak selalu sepenuhnya dapat dinikmati oleh kelompok miskin di daerah kumuh perkotaan. Menurut Lenoir (2003), konsep pembangunan inklusif lahir dari komitmen untuk mendorong pertumbuhan dengan melibatkan warga sehingga dalam prosesnya terjadi penyebaran manfaat yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang lebih luas. Seiring dengan kenaikan jumlah penduduk kota, meningkat pula jumlah penduduk miskin. Mayoritas penduduk Indonesia tinggal di kota-kota besar dan tidak semua penduduk itu mapan secara sosial ekonomi, tetapi mereka memberi sumbangan besar kepada hingar bingar politik kota, pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya urban. Inilah yang menjadi masalah di Indonesia penduduk yang padat namun lapangan pekerjaan yang belum memadai, di sisi lain kesempatan kerja hanya dimiliki oleh orang-orang ekonomi tinggi dan kurang ruang bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati segala aspek kehidupan termasuk akses ekonomi yang layak. Kelompok penduduk strata sosial rendah pada umumnya akan menyuplai tenaga sebagai pekerja, misal sebagai pekerja rumah tangga, tukang sayur keliling, tukang air, tambal ban, penjaja makanan keliling, dan sebagainya. Berbeda dengan orang yang strata sosialnya tinggi memilih untuk bekerja sebagai manajer dan sebagainya. Pembangunan ekonomi inklusif diharapkan nantinya agar seluruh lapisan masyarakat mendapat kesempatan kerja yang sama tanpa ada perbedaan kedudukan, strata sosial, dan hal-hal lainnya.
F. FENOMENA PERTUMBUHAN INKLUSIF DI INDONESIA BAGIAN BARAT
DAN TIMUR Untuk menjelaskan fenomena pertumbuhan inklusif antar kawasan di Indonesia, penelitian membagi Indonesia menjadi 2 wilayah yaitu Indonesia Bagian Barat (IBB) dan Indonesia Bagian Timur (IBT). Dalam penelitian ini, wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB) terdiri dari seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan Jawa yang berjumlah 16 provinsi. Provinsi-provinsi tersebut adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Banten. Sedangkan wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT) terdiri dari seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua yang terdiri dari 17 provinsi. Provinsi yang masuk dalam IBT adalah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua. Pembahasan mengenai inklusifitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang telah diuraikan sebelumnya menghasilkan informasi mengenai provinsi-provinsi dengan koefisien inklusifitas masing-masing selama periode pengamatan. Suatu provinsi dapat memiliki pertumbuhan yang inklusif untuk indikator tertentu pada tahun tertentu, kemudian dengan koefisien yang berubah maka inklusifitasnya pun dapat berubah di waktu yang lain. Perubahan koefisien inklusifitas terjadi baik di kawasan IBB maupun IBT. Provinsi yang memiliki pertumbuhan yang inklusif untuk setiap indikator juga tersebar di kawasan IBB dan IBT. Gambar 2 menunjukkan jumlah provinsi dalam IBB dan IBT yang memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan kemiskinan pada tahun 2008-2012. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2008, sebesar 18,75 persen provinsi yang berada di kawasan IBB memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan kemiskinan, sedangkan di IBT hanya 5,88 persen provinsi dalam kawasan ini yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan kemiskinan. Pada tahun 2009, tidak satupun provinsi di IBB dan IBT yang pertumbuhan ekonominya inklusif dalam menurunkan kemiskinan. Kondisi tersebut terus terjadi di IBB hingga akhir periode pengamatan yaitu tahun 2012. Sebaliknya di IBT, jumlah provinsi yang pertumbuhan ekonominya inklusif dalam menurunkan kemiskinan mencapai angka tertinggi di tahun 2010, yaitu sebesar 35,29 persen. Jumlah ini menurun menjadi 17,65 persen pada tahun 2011 dan tidak berubah sampai tahun 2012. Gambar 6 menunjukkan bahwa sepanjang periode pengamatan jumlah provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan kemiskinan di IBT lebih besar dibanding IBB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di IBT lebih inklusif dalam menurunkan kemiskinan dibandingkan di IBB. Provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dalam menurunkan ketimpangan juga tersebar di kawasan IBB dan IBT. Jumlah provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan ketimpangan di kawasan IBB dan IBT pada tahun 2008-2012 yaitu sebesar 35,29 persen. Jumlah ini menurun menjadi 17,65 persen pada tahun 2011 dan tidak berubah sampai tahun 2012. Gambar 6 menunjukkan bahwa sepanjang periode pengamatan jumlah provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan kemiskinan di IBT lebih besar dibanding IBB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di IBT lebih inklusif dalam menurunkan kemiskinan dibandingkan di IBB. Provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dalam menurunkan ketimpangan juga tersebar di kawasan IBB dan IBT. Jumlah provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan ketimpangan di kawasan IBB dan IBT pada tahun 2008-2012 dapat dilihat di Gambar 7.
Gambar 3 menunjukkan persentase jumlah provinsi yang pertumbuhannya
inklusif dalam menurunkan kemiskinan di IBB dan IBT memiliki nilai yang berbeda sepanjang periode pengamatan, yaitu tahun 2008-2012. Pada tahun 2008, sebesar 12,50 persen provinsi yang masuk dalam IBB memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan ketimpangan. Angka tersebut lebih besar dibanding di IBT yang hanya 5,88 persen provinsinya yang memiliki pertumbuhan inklusif dalam menurunkan ketimpangan. Sedangkan pada tahun 2009, tidak satupun provinsi dalam IBB dan IBT yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan ketimpangan. Pada tahun 2010, sebanyak 35,29 persen provinsi dalam IBT memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan ketimpangan. Jumlah ini menurun drastis menjadi 17,65 persen pada tahun 2011 dan terus turun menjadi 11,76 persen pada tahun 2012. Meskipun menurun, namun kondisi di IBT lebih baik dibanding IBB yang tidak satupun provinsinya memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan ketimpangan sejak tahun 2009 hingga 2012. Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa antara persentase inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan dengan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan ketimpangan di IBB dan IBT pada tahun 2008-2012 dapat dikatakan tidak jauh berbeda. Hal yang berbeda terjadi pada inklusifitas pertumbuhan dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja di IBB dan IBT seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 menunjukkan bahwa 37,50 persen provinsi di IBB memiliki
pertumbuhan yang inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja di IBT adalah sebesar 29,41 persen. Baik di IBB maupun IBT, persentase provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja menurun pada tahun 2009. Hanya 6,25 persen provinsi di IBB yang pertumbuhannya inklusif, sedangkan di IBT sedikit lebih besar yaitu 11,76 persen. Pada tahun 2010, terdapat 50 persen provinsi dalam IBB yang pertumbuhannya inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan di IBT, angkanya sedikit lebih rendah yaitu 47,06 persen. Di IBB pada tahun 2011, hanya 6,25 persen provinsi yang pertumbuhannya inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Bahkan pada tahun 2012, tidak satupun provinsi dalam kawasan tersebut yang memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan di IBT, meskipun terjadi penurunan, persentase provinsi dengan pertumbuhan yang inklusif masih lebih besar dibanding IBB yaitu 35,29 persen pada tahun 2011 dan 11,76 persen pada tahun 2012. Dari Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4 dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang masuk dalam IBT memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif untuk setiap indikator dibandingkan di IBB. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya orientasi dan perhatian yang lebih besar terhadap kawasan IBT sebagai konsekuensi prinsip pemerataan pembangunan. Meskipun demikian, di IBT terdapat kecenderungan adanya penurunan jumlah provinsi yang pertumbuhannya inklusif untuk setiap indikator terutama sejak tahun 2011. Perlu diingat pula bahwa meskipun di IBT persentase jumlah provinsi yang pertumbuhannya inklusif lebih besar dibanding IBB, namun persentase tersebut disumbang Oleh provinsi yang berbeda antar tahun.