Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan postpartum atau perdarah pasca-salin (PPS) secara umum
didefinisikan sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah
melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.
Perdarahan postpartum dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor (>1000
ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml) atau berat
(>2000 ml).2
2.2 Klasifikasi
Perdarahan postpartum dibagi dalam :
- Perdarahan postpartum dini bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama
- Perdarahan postpartum lambat bila perdarahan terjadi setelah 24 jam
pertama 2
2.3 Epidemiologi
Perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian maternal yang penting
meliputi hampir 1/4 dari seluruh kematian maternal di seluruh dunia. Selain itu, PPS
merupakan bentuk perdarahan obstetri yang paling sering dan sebagai penyebab
utama morbiditas serta mortalitas maternal. Perdarahan obstetri merupakan
penyebab kematian utama maternal baik di negara berkembang maupun negara

4
maju.3Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di
Indonesia asih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan,
hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun proporsinya telah berubah,
dimana perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK

proporsinya semakin meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu di Indonesia pada
tahun 2013 disebabkan oleh HDK.4
Gambar 1. Grafik penyebab kematian ibu 4
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab dari PPS adalah 4T yang merupakan singkatan dari Tone, Trauma,
Tissue dan Thrombin. Tone merupakan masalah pada 70% kasus PPS, yaitu
diakibatkan oleh atonia dari uterus. Sedangkan, 20% kasus PPS disebabkan oleh
trauma. Trauma dapat disebabkan oleh laserasi serviks, vagina dan perineum,
perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri dan trauma non traktus
genitalia, seperti ruptur subkapsular hepar. Sementara itu, 10% kasus lainnya dapat
disebabkan oleh faktor tissue yaitu seperti retensi produk konsepsi, plasenta
(kotiledon) selaput atau bekuan, dan plasenta abnormal. Faktor penyebab dari

5
thrombin diantaranya abnormalitas koagulasi yang sangat jarang terjadi yaitu
sekitar <1% kasus.3
Gambar 2. Faktor risiko perdarahan pasca-salin3

6
Semua perempuan yang memiliki riwayat seksio sesarea sebelumnya harus
diketahui lokasi implantasi plasentanya dan konfirmasi akreta/prekreta melalui
ultrasonografi dan Doppler (USG). Perempuan dengan plasenta akreta/ perkreta

berada dalam risiko tinggi PPS. Jika hal ini didiagnosis saat antepartum, sebaiknya
persalinan direncanaan secara multidisiplin. . Bila memungkinkan, persalinan
dilakukan oleh spesialis obstetri yang berpengalaman dan spesialis anestesi, serta
dipersiapkan kemungkinan transfusi darah. Waktu serta lokasi persalinan yang
dipilih harus memenuhi hal-hal tersebut dan memiliki akses perawatan intensif.1
Gambar 3. Frekuensi paritas, berat bayi lahir, jarak kehamilan dan riwayat
perdarahan postpartum pada ibu yang melahirkan di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi
Blitar tahun 2014. 5
Menurut Sarwono (2008) , berikut dibawah ini penjelasan dari masing-masing
hal yang telah disebutkan diatas yang dapat menyebabkan terjadinya PPP.8

1. Atonia Uteri

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang


menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Perdarahan oleh karena atonia
uteri dapat dicegah dengan :

 Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden PPP akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 mikrogram) segera
setelah bayi lahir.

7
Faktor presdiposisinya adalah sebagai berikut :
 Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion,
atau anak terlalu besar.
 Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
 Kehamilan grande-multipara
 Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita
penyakit menahun
 Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
 Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
 Ada riwayat pernah atonia sebelumnya

Atonia uteri dapat didiagnosis bila setelah bayi lahir danplasenta lahir
ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada
saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan
dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

Banyaknya darah yang hilang akan memperngaruhi keadaan umum pasien.


Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat
hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan
kliniknya.
2. Robekan jalan lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan

8
hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya
robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena
ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara inspeksi
pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber
perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut
nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau
kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan
tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus
di klem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis hingga
perdarahan berhenti.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, aetesia lokal, penerangan lampu
yang cukup, serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita
kesakita dan tidak kooperatif, perlu mengunadang sejawat anestisia untuk
ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.
3. Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut dengan retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuar antara plasenta
dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta apabila implantasi menembus desidua
dan Nitabuch Layer, disebut plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus
miometrium dan disebut plasenta perkreta bila villi korialis sampai menembus
perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas
seksio sesarea, pernah kuret berulang, multiparitas. Bila sebagian kecil dari
plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului
dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai dengan perdarahan
pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tapi tidak
keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi,
plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka
tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah terlepas dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus

9
diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum
lewat setengah jam.
Sisa placenta bisa diduga bila kala uri berlangsung idak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledn yang tidak lengkap
pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium
uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah
terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan
setelah perdarahan dapat diberi tranfusi darah dengan keperluannya.
4. Inversi Uterus
Kegawatandaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan
adalah terjadinya inversi uteri. Inversi uteri adalah keadaan dimana lapisan dalam
uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat
bersifat inkomplit sampai komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia
uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus
ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta, atau perkreta, yang tali
pusatnya ditarik keras dari bawah), atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas
(manuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya
batuk keras atau bersin). Melakukan traksi umbilikus pada pertolongan aktif kala
III dengan uterus yang masih atonia memungkinkan terjadinya inversio uteri.
Inversio uteri ditandai dengan :
 Syok karena kesakitan
 Perdarahan banyak bergumpal
 Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang
masih melekat
 Bila baru terjadi maka prognosis cukup baik akan tetapi apabila terjadinya
cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis dan, infeksi.
Secara garis besar, menurut WHO tindakan yang dilakukan sebagai berikut :
 Memanggil bantuan anestesia dan memasang infus untuk
cairan/darah pengganti dan pemberian obat

10
 Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan
uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu
mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus
melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi
normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta dapat terlepas
atau tidak.
 Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil diberikan uterotonika lewat infus
atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali
normal dan tangan operator baru dilepaskan.
 Pemberian antibiotika dan tranfusi darah sesuai dengan
kebutuhannya
 Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan manuver diatas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan
laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi
bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

5. Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah


Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penyebab yang lain bisa disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah
terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau
timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga
hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis
yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,
trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin
degradation produts) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial
tromboplastin time).
Presdiposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, eklamsia, emboli cairan dalam ketuban, dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar,
trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino

11
eproic acid). Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan
memudahkan penyelenggara pelayan kesehatan untuk menata strategi pelayanan
ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas
kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumahsakit rujukan. Akan tetapi pada saat
proses persalinan, semua kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi
persalinan, salah satunya adalah perdarahan postpartum. Antisipasi terhadap hal
tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
 Persiapan sebelum hamil untuk memperpaiki keadaan umum dan mengatasi
setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut dalam keadaan optimal.
 Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil
kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya, dan
kehamilan resiko tinggi lainnya yang resikonya akan muncul saat
persalinan.
 Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
 Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di rumah sakit rujukan.
 Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan
mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.8

2.5 Manifestasi Klinis


Kehilangan Tekanan Tanda & gejala Derajat Syok
darah darah
(sistolik)
500-1000 ml Normal Palpitasi, pusing, Terkompensasi
(10-15%) takikardi
1000-1500 ml Sedikit Kelemahan, berkeringat, Ringan
(15-25%) menurun (80- takikardi
100 mmHg)
1500-2000 ml Menurun (50- Gelisah, pucat, oliguria Sedang
(25-35%) 70 mmHg)

12
2000-3000 ml Sangat Kolaps, air hunger, Berat
(35-45%) menurun (50- anuria
70 mmHg)
Tabel 1. Manifestasi klinis perdarahan postpartum 1
2.6 Diagnosis
 Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada
perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. Apabila hal ini
dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok.
Perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai
predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya
perdaraha post partum.
 Perdarahan yang terjadi disini dapat deras atau merembes saja. Perdarahan
yang deras biasanya akan segera menarik perhatia, sehingga cepat
ditangani, sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang nampak
seringkali tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Perdarahan yang
bersifat merembes ini bila berlangsung lama akan mengakibatkan
kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan,
maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
 Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluarg dari vagina, tetapi
menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaang ini biasanya diketahui
karena adanya kenaikan dari tingginya fundus uteri setelah uri keluar.
 Untuk menetukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan
pemeriksaan yang lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum,
pemeriksaan abdomen, dan pemeriksaan dalam.
 Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi
abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi
jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik, sehingga pada palpasi teraba
uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksploraso vagina,
uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya
robekan dari serviks, vagina, hematoma, dan adanya sisa plasenta. 2

13
2.7 Penatalaksanaan

Tindakan pada perdarahan postpartum mempunyai dua tujuan, yaitu


mengganti darah yang hilang dan menghentikan perdarahan. Pada umumnya kedua
tindakan dilakukan bersama-sama, tetapi apabila keadaan tidak mengijinkan maka
penggantian darah yang hilang yang diutamakan. 2
Perdarahan biasanya disebabkan oleh tonus, tissue, trauma atau thrombin.
Bila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus. Bila kausa
perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa plasenta. Lakukan
penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi faktor pembekuan bila
terdapat gangguan pada thrombin.1
2.7.1 Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu:
Ask for HELP
Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan di
bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan hematologis
menjadi sangat penting.
Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan
pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data
yang penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.
Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin
dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah
darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate dan
bersikap menunggu/pasif.
Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas
memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor.
Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera diambil
spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah,
elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT =
Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan

14
darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan koloid
secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics
(Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan
etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen,
bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau
bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus
dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil
dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat
seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri
hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae
sering terjadi pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea. Bila hal
ini sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan Queen Charlotte
Hospital (Labour ward course) menyarankan untuk tidak berupaya
melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian
dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan
abdominal.
Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam,
dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan
operasi/laparotomi.

15
Tabel 2. Manajemen perdarahan postpartum dengan uterotonika

Massage the uterus


Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera ditangani
dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila uterus
tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna dengan menggunakan
kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks anterior sehingga terdorong
ke atas dan telapak tangan di luar melakukan penekanan pada fundus
belakang sehingga uterus terkompresi.
Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin
dengan kecepatan 125 cc/jam (peringkat bukti IA, rekomendasi A). Hindari
kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema
otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia.
Hal ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan
oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan sangat
esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan
secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan),
dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian
dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1
mg atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu
preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi (peringkat bukti IA,
rekomendasi A). Bila PPS masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan
misoprostol per rektal 800-1000ug.
Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga
diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor
pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15
mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu
diberikan transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi
DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).
Shift to theatre – exclude retained products and trauma/
bimanual compression (konservatif; non-pembedahan)

16
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang
operasi. Pastikan pemeriksaan untuk
menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada
sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat
dilakukan selama ibu dibawa ke ruang operasi

Gambar 4. KBI

Gambar 5. KBE
Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)
(peringkat bukti II, rekomendasi B)

17
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya
koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat
membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi
kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test
dengan menggunakan Tube Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi
positif 87% untuk menilai
keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut mampu
menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih
lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube, perdarahan masih tetap masif,
maka pasien harus menjalani tindakan bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah
dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat
menghentikan perdarahan dan mencegah koagulopati karena perdarahan masif
serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak
membaik dengan terapi medis.
Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan
tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan untuk
mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon
tamponade Bakri dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin sehingga
dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati tekanan sistolik untuk
menghentikan perdarahan.
Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan hematologis
sambil menyiapkan ruang ICU

18
Gambar 6. A. Tampon balon hanscoen B. Tampon SOS Bakri
Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif)
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara
mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum
mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai ulang keadaan pasien
berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang masih
berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya.
Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informed
consent terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di ruang
operasi. Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai
kemampuan pasien bertahan lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah upaya
konservatif gagal. Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan
untuk dilakukan histerektomi.
Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali
diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Benang yang dapat dipakai adalah
kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya
komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan B-Lynch ini harus
didahului tes tamponade yaitu upaya menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan
cara kompresi bimanual uterus secara langsung di meja operasi.
Teknik penjahitan uterus metode B-lynch& B-lynch Modifikasi (Metode
Surabaya) dapat dilihat pada Lampiran 1. Prosedur Penjahitan Uterus Metode
Surabaya dan Lampiran 2. Prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya

prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya.1

19
Gambar 7. B-lynch suturing
Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal
iliac
(pembedahan konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika. Teknik
ligasi (checklist, gambar)
Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization
(pembedahan konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)
(peringkat bukti II, rekomendasi B)

20
Gambar 4. Algoritma penatalaksaan perdarahan postpartum1
2.7.2 Gangguan Faal Pembekuan Darah
1. Seringkali perdarahan postpartum yang persisten adalah akibat dari gangguan
pembekuan darah. Biasanya untuk mengetahui adanya gangguan ini dilakukan
Clott observation test. Cara melakukan sebagai berikut:: 5 cc darah dimasukkan
dalam tabung gelas, kemudian diobservasi dan dicatat kapan terjadi pembekuan
darah. Setelah terjadi pembeuan masih dilakukan observasi untuk melihat apakah
masih terjadi lisis bekuan darah tersebut.

21
2. Perdarahan akibat gangguan pembekuan darah ini umumnya dapat diatasi
dengan pemberian darah segar. Dalam keadaan ini setiap tindakan akan menambah
perdarahan.2
2.7.3 Sisa Plasenta atau Selaput Janin
Perdarahan postpartum dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa
plasenta atau selaput janin. Bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara
manual atau dikuret, disusul dengan pemberian obat-obatan oksitosika intravena.2
2.7.4 Robekan Jalan Lahir
1. Robekan Perineum
Robekan perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana kepala janin
terlalu cepat lahir, persalinan tidak dipimpin sebagaimana semestinya, sebelumnya
pada perineum terdapat banyak jaringan parut, pada persalinan dengan distosia
bahu.
Robekan perineum terdaapat 4 tingkat.
-tingkat I: robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum sedikit
-tingkat II: robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput
lendir vagina juga mengenai musculus perinei transversalis, tapi tidak
mengenai sfingter ani
-tingkat III: robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai
mengenai otot-otot sfingter ani.
-tingkat IV: robekan terjadi pada seluruh perineum dan sfingter ani yang
meluas sampai ke mukosa rectum.2
Penjahitan robekan perineum.
Tingkat I: penjahitan robekan perineum tingkat dapat dilakukan hanya
dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture)
atau dengan cara angka delapan (figure of eight)
Tingkat II: sebelum dilakukan penjahitan pada robekan tingkat II maupun
tingkat III, jika dijumpai pinggiran robekan yang tidak rata atau bergerigi,
maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir
robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing di klem dulu, kemudian
digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka

22
roebekan. Mula-mula otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir
vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan
selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum
dijahit dengan benag suture terputus-putus.
Tingkat III: mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian
fasia perirectal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik,
sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otor sfingter ani yang terpisah oleh
karena robekan diklem dengan klem Pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-
3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan
dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.
2. Robekan Vagina
Penanganan robekan dinding vagina. Pada luka robek yang kecil dan
superfisial, tidak diperlukan penanganan khusus. Pada luka robek yang lebar dan
dalam, perlu dilakukan penjahitan secara terputus-putus atau jelujur. Biasanya
robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva maupu perineum.
Jika robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke arah rongga
panggul, sehingga kavum Douglasi menjadi terbuka. Keadaan ini disebut
kolporesis.2
3. Robekan Serviks
Teknik menjahit robekan serviks.
-pertama tama pinggir robekan sebelah kiri dan kana dijepit dengan klem,
sehingga perdarahan menjadi berkurang atau berhenti.
-kemudian serviks ditarik sedikit, sehingga lebih jelas kelihatan dari luar.
-jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum dijahit, pinggir tersebut
diratakan dulu dengan jalan menggunting pinggir yang bergerigi tersebut.
-setelah itu robekan dijahit dengan catgut khromik nomor 00 atau 000. Jahitan
dimulai dari ujung robekan dengan cara jahitan teprutus-terputus atau jahtian
angka delapan.
-pada robekan yang dalam, jahitan harus dilakukan lapis demi lapis. Ini
dilakukan untuk menghindarkan terjadinya hematoma dalam rongga di bawah
jahitan.2
2.8 Pencegahan

23
Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor
resiko merupakan salah satu langkah mengantisipasi perdarahan postpartum.
Stratifikasi kehamilan berdasarkan resiko memudahkan penataan strategi pelayanan
kesehatan terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas rujukan. Berbagai hal dapat
dilakukan dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, antara lain:

1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan sebelum bersalin, misalnya


mengatasi anemia, mengobati penyakit kronis, memperbaiki keadaan umum
dan lain-lain.
2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum
maupun intrapartum, sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tempat rujukan dengan fasilitas
memadai.
3. Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama
perdarahan postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.

Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif


kala tiga berhasil menurunkan insidens perdarahan postpartum. Manajemen aktif
kala tiga mencakup: pemberian uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi
lahir, penegangan tali pusat terkendali disertai penekanan uterus ke arah
dorsokranial (manuver Brandt-Andrew), dan masase uterus melalui dinding
abdomen pasca kelahiran plasenta. Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan
menghasilkan kontraksi uterus yang baik sehingga mempersingkat waktu dan
mengurangi perdarahan pada kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif
(fisiologis), termasuk mengurangi permintaan transfusi, dan menurunkan angka
kematian maternal.

Tertinggalnya sisa plasenta dan bekuan darah dalam kavum uteri dapat
dicegah dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan segera
mengevakuasinya secara manual bila ditemukan

24
Gambar 8. Memeriksa kelengkapan plasenta8

Robekan jalan lahir dapat dicegah dengan menghindari pimpinan persalinan


pada saat pembukaan serviks belum lengkap, menghindari pertolongan persalinan
yang manipulatif dan traumatik. Robekan jalan lahir dapat terjadi saat kepala dan
bahu dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Pengendalian kecepatan dan
pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dengan menyokong perineum
dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan hati-hati dapat
mengurangi regangan berlebihan pada vagina dan perineum. Episiotomi rutin untuk
mencegah robekan berlebihan pada perineum tidak didukung oleh bukti-bukti
ilmiah yang cukup sehingga tidak dianjurkan sebab justru meningkatkan resiko
robekan derajat tiga atau empat, meningkatkan jumlah darah yang hilang dan
resiko hematom. 6,7

25
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama Istri : Ny. Y
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : IRT
Alamat : Labensari 147
Pendidikan Terakhir : SMA
Status Menikah : Menikah
Tanggal Datang : 07 Desember 2017

Nama Suami : Tn. G


Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Labensari 147
Pendidikan Terakhir : S- 1
3.2 Anamnesis
Keluhan utama: Keluar darah dari jalan lahir

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke VK RSU Haji Surabaya dengan keluhan keluar darah dari jalan
lahir sejak 3 minggu yang lalu setelah melahirkan anak pertama. Darah berupa
gumpalan berwarna merah segar. Dalam sehari pasien 3x ganti pembalut. Pasien
juga mengeluhkan perut bagian bawah terasa sakit. Badan terasa lemas, mual (-)
muntah (-) sakit kepala (-) pusing (-). BAB dan BAK dalam batas normal.

Riwayat penyakit terdahulu


Belum pernah mengalami keluhan seperti ini
Riwayat operasi disangkal.

26
Diabetes Melitus (-)
Hipertensi (-)
Riwayat hepatitis (-)
Alergi debu (+)
Asma (+)
Riwayat penyakit dalam keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal.
Diabetes melitus (-)
Riwayat alergi keluarga (+)
Riwayat gangguan pembekuan darah di keluarga disangkal.
Riwayat keganasan pada keluarga disangkal.

Anamnesis khusus
Riwayat menstruasi
 Menarche: umur 16 tahun.
 Siklus: 28 hari .
 Lama menstruasinya: 7 hari.
 HPHT: 09/02/2017
 TP : 16 november 2017
 Uk : 38-39 minggu
 Saat haid, ganti pembalut sekitar 2 kali sehari
 Pada saat menstruasi pasien mengalami nyeri perut saat awal menstruasi.
Riwayat obstetri
1.Pr/aterm/spt B/ bidan/3500g/4 mgg

Riwayat pernikahan
Pasien menikah 1x, selama 2 tahun
Riwayat KB
(-)

3.3 Pemeriksaan Fisik

27
Status Present
KU : cukup
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
TD : 120/80 mmHg
N : 70x/menit
RR : 20x/menit
Tax : 36,2 oC
Tinggi badan : 149 cm
Berat badan : 46 kg
BMI : 20,7
Status general
Kepala : Oedem kelopak mata - / -
Konjunctiva anemis - /-
Sclera icterus - / -
Cyanosis - / -
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax : Bentuk normal, gerak simetris
Pulmo Suara nafas vesikuler, Rh - / - , Whz - / -
CorS1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
• Inspeksi : flat -, distensi -, gambaran pembuluh darah collateral –
• Auskultasi: bising usus + normal
• Palpasi : Nyeri tekan +
• Perkusi : Timpani
• Extremitas: Akral hangat, merah, kering (+/+), edema (-)
Status Ginekologi
I = perut membesar, cembung, simetris, striae gravidarum (+), Linea alba (+)
P = nyeri tekan suprasymphisis (+), his tidak adekuat
VT Gynecologi :
• Vulva : edema (-), nyeri tekan (-), hiperemi (-)
• Vagina : edema (-), nyeri tekan (-), hiperemi (-), bleeding (+)
• Portio : permukaan licin, warna merah muda

28
• Uterus : posisi antefleksi
• Adneksa kanan dan kiri : nyeri goyang portio (-), masa (-)
• Cavum dauglas : masa (-), nyeri (-)

3.6 Resume
Ny. Y 32 thn, keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 3 minggu yang lalu
setelah melahirkan anak pertama. Darah berupa gumpalan berwarna merah segar.
Dalam sehari pasien 3x ganti pembalut. Pasien juga mengeluhkan perut bagian
bawah terasa sakit. Badan terasa lemas, mual (-) muntah (-) sakit kepala (-) pusing
(-). BAB dan BAK dalam batas normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU dan tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan generalis umum dalam batas normal. VT gyn perdarahan (+)

3.7 Diagnosis kerja


P1001 Late HPP

3.8 Planning
Planning Diagnosis
 DL, USG
Planning terapi
 Inf. RL 28 tpm
 O2 nasal 4 lpm
 Konsul SpOG Pro Kuretase
Planning monitoring
• Keadaan umum
• TTV
• Perdarahan
Planning edukasi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai kondisi dan penyakit yang diderita
- Menjelaskan kepada pasien pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk
mengetahui sebab perdarahan
- Menjelaskan mengenai penatalaksanaan yang akan diberikan

29
BAB IV
KESIMPULAN

Yang paling dikenal sebagai tiga penyebab klasik kematian ibu disamping
infeksi dan preeklamsi adalah perdarahan. Perdarahan postpartum (PPP)
merupakan perdarahan yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta,
robekan jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab
kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.1
PPP merupakan salah satu penyebab tersering kematian ibu di dunia terhitung
dengan angka kejadiannya mencapai 127.000.2 PPP yang merupakan hilangnya
darah lebih dari 500 ml setelah melahirkan terjadi lebih dari 18% kelahiran dan
merupakan penyebab terbanyak morbiditas ibu di negara maju.4 Meskipun faktor-
faktor risiko dan strategi pencegahan sudah lama didokumentasikan, namun tidak
semua kasus dapat diprediksi dan diatasi kejadiannya.4
PPP bila tidak mendapatkan penanganan yang semestinya akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali. Dengan berbagai
kemajuan pelayanan obstetri di berbagai tempat di Indonesia maka telah terjadi
pergeseran kausal kematian ibu bersalin dengan perdarahan dan infeksi yang
berkurang tetapi penyebab eklampsia dan penyakit medik non-kehamilan semakin
menonjol.4

30

Anda mungkin juga menyukai