T asawuf atau dikenal sebagaimistisisme Islam adalah feno-mena universal yang menggambarkan
upaya manusia untuk meraih kebenaran. Tasawuf juga dikenal sebagaipengetahuan intuitif tentang
Tuhan atau Realitas Ultim yang diraih melaluipengalaman keagamaan personal. Yaknikesadaran akan
realitas transenden atau Tuhan melaluimeditasiatau kontemplasibatin. Atau disebut juga sebagaisesuatu
yang memilikimakna tersembunyiatau makna simbolik yang mengilhamipencarian atas sesuatu yang
misteridan dahsyat. Sedangkan sufiialah orang yang berusaha mencapaikesatuan dengan Tuhan
melaluikontemplasispiritual.
Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of Islam, A. J. Arberry (1950: 11) menyatakan bahwa
kaum orientalis dan 140 Zakyuddn Badhawy
sejarawan agama melihat tasawuf dengan cara seragam. Tasawuf dipandang sebagaifenomena dunia
yang permanen dan tunggal. Arberry menegaskan bahwa pengamatan atas fenomena tasawuf atau
mistisisme sebagaitunggal dan serupa, apa pun agama yang dianut oleh seorang sufi/mistikus, adalah
suatu pemahaman yang banal.
Para sarjana kontemporer berjuang untuk memahamikeragaman dan dinamika yang ada dalam
fenomena mistik sebagaimana termanifestasidalam berbagaitradisi. Mereka berupaya
menelusuriberbagaimakna dan ragam kesimpulan tentang tasawuf yang diambil dariberbagaikonteks.
Clifford Geertz (1971: 23-24) menyatakan bahwa penggunaan konsep-konsep tentang
tasawuf/mistisisme harus berdasarkan pada studimengenaikeragaman “sebagaimana yang kita jumpai”,
bukan memformulasigeneralisasiyang seragam dan definisiyang berlaku untuk semua. Dengan cara
demikian, konsep-konsep sepertimistisisme dan mistikus, tasawuf dan sufimen-jadisangat kaya dan
berakar. Kita perlu menganalisis hakikat keragaman sebagaimana adanya, kemudian menelusuriberba-
gaimakna dan konseo-konsep itu. Karena itu kajian semacam inisetidaknya akan mempelajarifakta-
fakta yang ada dalam keragaman itu. Sementara sarjana lain sepertiRhys Davids yang ahlidalam kajian
Budha, kebingungan dengan kompleksitas dan keragaman dalam konsep-konsep mistikus atau
mistisisme sehingga ia berkesimpulan bahwa menggunakan istilah-istilah tersebut lebih banyak
membingungkan daripada membantu (Awn, 1983).
Perdebatan semacam inimuncul daridua mazhab pemikir-an yang berbeda, antara mereka yang
cenderung melakukan generalisasidan esensialisasi. Jika kita menggeneralisir maka 141 Model Kajan
Tasawuf
kita akan terperangkap dalam marjinalisasi, jika bukan pe-ngabaian atas idiosinkresidan partikularitas
konsep yang ada dalam berbagaikonteks dan tradisi. Jika kita tidak melakukan generalisasi, lalu
terjebak pada esensialisasi, maka kita tidak akan menemukan kesamaan landasan dimana agama-
agama dan tradisi-tradisibesar berjumpa. Jadiperlu dinyatakan secara lantang bahwa esensialisasidan
generalisasi, keduanya merupakan alat analisis perbandingan yang tidak terelakkan. Kemanusiaan
tidak dapat berkomunikasitanpa generalisasi, dan tidak dapat berada tanpa esensialisasi. Keduanya
bukan hanya alat analisis yang diperkenankan bahkan juga penting dan tak mungkin dihindarkan.