Anda di halaman 1dari 15

STUDI ISLAM TENTANG TEOLOGI NORMATIF

Oleh: Raden Mas Apin Suluhrogojati

BAB I

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai dengan

munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, maka menjadi sebuah

keniscayaan untuk memahami agama sesuai dengan zamannya. Oleh karena itu, berbagai

pendekatan dalam memahami agama yang bersumber dari Alquran dan Hadits memiliki

peran yang sangat strategis. Dengan demikian pemahaman umat Islam dan pemerhati

agama akan semakin komprehensif dan akan bersikap sangat toleran dengan perbedaan

pemahaman.

Saat ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam

memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya

sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah,

melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam

memecahkan masalah.

Agama Islam adalah agama yang sempurna. Allah telah menjadikan Islam sebagai

pedoman hidup umat manusia agar manusia juga menjadi manusia yang sempurna.

Manusia yang tidak hanya memiliki hubungan vertikal yang baik tetapi juga menjadi

manusia yang memiliki hubungan horizontal yang baik pula. Bahkan manusia diharapkan

dapat menjadi khalifatul fil ardl, yang dapat mengelola bumi sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh khalik-nya. Karena itu, agama bukan hanya sekedar lambang kesalehan

umat atau topik pembahasan dalam kitab suci umat beragama.


Secara konsepsional kehadiran agama semakin dituntut aktif untuk menunjukkan

cara-cara paling efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat

manusia, baik masalah-masalah keagamaan itu sendiri, masalah sosial, ekonomi, budaya,

dan sebagainya. Tuntutan kehidupan yang semakin komplek dan rumit itu, menuntut

kearifan umat Islam dalam menyikapinya.

Tuntutan yang demikian itu akan mudah dijawab oleh seorang muslim tatkala ia

memahami “agamanya sendiri” secara mendalam. Bagi seorang muslim, pemahaman yang

mendalam dan kaaffah akan agama Islam sangat diperlukan agar ia dapat menjadi manusia

yang berpandangan luas, bijaksana dan dapat melihat perbedaan-perbedaan yang muncul

dalam menyikapi permasalahan-permasalah dalam kehidupan dunia.

Untuk mengarah pada pemahaman yang holistik itu, dikenal berbagai macam

pendekatan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan teoligis

normatif. Pendekatan teologis normatif pada prinsipnya adalah pendekatan yang

mengedepankan pemahaman kerangka

keagamaan yang wujudnya dianggap paling benar. Konsekuensinya selain yang

diyaknininya adalah salah. Jika demikian, bagaimana pendekatan ini dapat menyelesaikan

masalah-masalah perbedaan sudut pandang keIslaman?


Bagaimana pula pendekatan teologis normatif dapat mengatasi permasalahan-

permasalahan perbedaan faham dan sudah pandang pada diri umat Islam?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teologi

Secara etomologis, kata teologi diartikan ilmu agama, ilmu tentang Tuhan berkaitan

dengan sifat-sifatnya, khususnya berkaitan dengan kitab suci. Sedangkan dalam arti istilah

teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, sifat-sifat wajibNya,

sifat-sifat mustahilNya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pembuatanya. Dengan

demikian teologi adalah istilah ilmu agama yang membahas ajaran ajaran dasar dari suatu

agama atau suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin

memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam

agama yang diyakininya.

Adapun kata normatif berasal dari bahasa Ingris norm yang berarti norma, ajaran,

acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang

tidak boleh dilakukan. Sedangkan istilah normatif adalah prinsip-prinsip atau pedoman

pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup bermasyarakat.

Di sini Al-Quran juga menjelaskan, bahwa Al-Quran menamakan agama dengan

istilah ”dien”, bahwasanya selain islam sebagai satu-satuya agama yang di akui ALLAH

ada lagi berbagai agama lain yang di anut oleh manusia dalam kehidupan.dengan agama itu

mereka menyusun masyarakat di mana berlaku hukum dan pengabdian, nyatalah bahwa

yang di katakan agama atau dien itu adalah pengaturan dan pengabdian.

Menurut pengertian umum yang di maksud dengan agama adalah ajaran khusus

yang datang dari Tuhan di mana di cantumkan hukum muamalah dan ubudiyah, sebaliknya
ajaran yang berdasarkan pengalaman dan pemikiran di namakan filsafah, doktrin atau

ideology di mana tidak termasuk cara ubudiyah.

Kini teranglah bahwa setiap doktrin atau suatu yang di namakan falsafah hidup

adalah agama dalam pengertian sebenarnya. Sebagai bukti orang dapat memperhatikan

betapa banyaknya agama yang di anut dan berkembang di antara manusia bumi, sebagian

besar tidak di dasarkan Kitab Suci yang turun dari Tuhan dan tidak mengandung garis

hukum hidup yang di redhai-NYA. Hal itu telah berlangsung semenjak purbakala di zaman

pre-history bahwa ada golongan manusia yang melakukan penyembahan dengan cara

tertentu di dasarkan atas hasil pengalaman dan pemikiran semata, setengahnya di pusakai

dari nenek moyang nya yang secara turun temurun.1

Dan kita percaya bahwa akan ada pertanyaan ; bagaimana sesuatu ideology di

namakan agama padahal di antaranya tidak ada terkandung unsur iman selaku unsur utama

bagi sesuatu yang di namakan agama?

Di sini di kaitakan iman, iman artinya kepercayaan. Di dalam bahasa inggris si

sebut trust atau belief. Setiap peganut ideology pasti beriman pada ideology-nya. Dia

percaya bahwa ideology itulah yang akan membawanya kepada hidup sempurna,

ideologynya itulah yang benar. Setiap hal yang berlawanan dengan ideology itu akan di

patahkan sampai ke akarnya, hingga ideologynya sajalah satu-satunya falsafah hidup yang

harus berlaku dalam masyarakat ramai. Demikian iman yang ada pada setiap penganut

ideology dan begitu pula iman pada setiap penganut Islam, Yahudi, Kristen, dan lain-lain.

Oleh karenanya tidak mungkin seorang islam, yahudi, kristen, menganut pula satu ideology

lain dari agmanya masing-masing, karena sebagai Muslim dan lainya dia beriman dengan

1
Nazwar syamsu,Tauhid dan logika perbandingan agama (Al-qran dan bible).1977, jakarta timur,
Ghalia indonesia, hal 9-10.
hukum hidup tertentu dan mengabdi untuk itu, bagaimana pula dia hendak menganut

hukum lain apalagi komunisme selaku doktrin yang yang menyatakan Tuhan yang kuasa

itu ada. Alhasil unsur iman ada pada setiap ideology dan agama, karena ideology itu adalah

agama.2

B. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis sering disebut juga sebagai perpektif timur. Pendekatan

teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri,

dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif Tuhan sendiri. Realitas sejati dari

agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing agama. Pendekatan seperti

ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan agama yang

diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang

dipeluknya itu.

2
Ibid hal 11.
Yang termasuk kedalam penelitian teologis ini adalah penelitian-penelitian yang

dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu objek masalah dalam agama

yang menjadi tanggung jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari

jama’ah maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu

mazhab yang sudah ada. Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau

pemahaman yang menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu

keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar

dibandingkan dengan yang lainnya.

Amin Abdullah dalam bukunya Metodologi Studi Islam mengatakan, bahwa

teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu.

Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta

penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai

pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang

menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing

bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang

paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan

fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lain nya salah, sehingga

memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian

pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya

sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling

mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan

aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah

ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.


Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata

tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-

lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya

memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan

sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial,

politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan

mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi

dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya

menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama.

Di sini juga di jelaskan Integrasi ilmu dengan agama. Di luar daerah islam,

hubungan antara ilmu dan agama pernah mengalami kontrofersi yang hebat di mana

masing-masing punya daearh pendirian yang tak dapat di pertemukan. Dan sesungguhnya

dewasa ini hal konfrontasi tersebut masih kita bisa dapati, yaitu hal pertentangan dan

perlawanan antara ilmu dan agama.

Peristiwa konfrontasi itu di sebabkan atas dasar doktrin agama yang bersangkutan

sendiri, atau di lain pihak adalah karena kekeliruan orang dalam memahami agama. Hal

tersebut dapat kita lihat dalam sejarah dunia barat pada khususnya. Dalam sejarah dunia

barat keadaan ini terdapat pada masa Zaman Tengah. Tiap-tiap keterangan ilmu yang tidak

sesuai dengan pham gereja di batalkan oleh kepala gerejanya. Jika keterangan mengenai

masalah agama semata-mata hal itu mudah di mengerti. Tapi juga di larang, apabila

menurut paham gereja keterangan-keterangan itu melemahkan otoritetnya dan karena itu

mungkin juga menyesatkan orang dari jalan agama.

Akibat dari itu terjadilah perkembangan sebaagai berikut;

a) Bertambah tebalnya rasa individualisme.


b) [Bertambah luasnya pengajaran rakyat jelata.

c) Bertambah tebalnya keinginan untuk demokrasi.3

3
Nasrudin Razak, Dienul Islam, 1989, Bandung, PT Alma’arif Bandung, hal 27-28
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam

memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan

mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku

keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas

diperlukan. Antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi

sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal

menurut pesan dasar agama. Tetapi, ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami

pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang “hanif’ lalu terkubur oleh simbol-simbol

yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada taraf ini sangat

mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama yang mereka buat sendiri,

bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari.

Sikap eksklusifisme (ketertutupan) teologis dalam memandang perbedaan dan

pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi

juga merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit

masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih

kaya dengan nuansa agama.

Sementara itu, pendekatan normatif erat kaitannya dengan pendekatan teologis.

Pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya.

Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar dan menjunjung nilai-nilai luhur.

Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,

kesetia-kawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.

Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan

saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong

pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya,


menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan,

lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya, agama tampil sangat ideal dan yang

dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

Dan contoh lain seperti di amerika, amerika itu sebuah negara yang di bangun

berdasrkan sekularisme. Mereka mengambil dasar itu karena pengalaman di eropa. Bahwa

mereka terus-menerus terlibat dalam konflik agama. Sehingga pada waktu agama protestan

tertindas, kerika orang-orang katolik berkuasa. Dalam keadaan begitu banyak di antara

orang-orang protestaan, kemudian be[rmigrasi ke AS, dan membangun dunia baru atas

dasar sekularisme. Dengan kata lain mereka menjadi trauma terhadap pengalaman di

Eropa. Karena keterlibatan agama protestan atau katolik dalam kekuasaan yang

mengakibatkan penindasan terhadap agama lain.4

C. Ciri – ciri Pendekatan Teologis Normatif

Sebagai sebuah bentuk pendekatan, Pendekatan teologis normatif mempunyai ciri-

ciri yang malekat, yakni:

1. Loyalitas terhadap diri sendiri

Yang dimaksud loyalitas terhadap diri sendiri adalah bahwa kebenaran keagaaman

dimaknai dengan kebenaran sebagaimana dipahami oleh dirinya sendiri. Kebenaran

sebagaimana diyakni oleh seseorang merupakan kebenaran yang tidak bisa lagi di ungkit-

ungkit dan konsekuensinya kebenaran yang ditunjukkan orang lain dianggap kurang benar

atau salah sama sekali.

2. Komitmen

4
Abdullah Musa, kebebasan beragama mengapa di soal lagi, 1954, bangil jawa timur, yayasan
almuslimun, hal 100.
Pendekatan teologis normatif menghasilkan orang-orang yang berkomitment tinggi

terhadap kepercayaan. Seseorang yang telah meyakini kebenaran yang diyakini siap

“berjuang” mempertahankan keyakinannya itu, siap berkorban, siap menghadapi tantangan

dari pihak-pihak lain yang mencoba menyerang kebenaran yang telah mereka yakini secara

mutlak.

3. Dedikasi

Hasil dari loyalitas dan komitmen yang tinggi tersebut akan menghasilkan dedikasi

yang tinggi dari penganut agama sesuai dengan kebenaran yang diyakini. Dedikasi itu

diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap ritual keagamaan, antusiasme menjalankan

keyakinan dan menyebarkannya, kerelaan untuk berkorban demi pengembangan

keyakinannya dan sebagainya.

Secara umum, pendekatan teologis normatif menggunakan cara berpikir deduktif

yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,

karena ajaran yang berasal dari tuhan sudah pasti benar, sehingga tidak perlu

dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat

dengan dalil- dalil dan argumentasi.

D. Kelebihan dan Kekurangan

Sebagai sebuah metode, pendekatan teologis normative tentunya memiliki

kelebihan dan kekurangan, yaitu:

Kelebihan

Kelebihan dari pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan ini seorang

akan memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh kepada agama

yang diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lain.
Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama

yang dianutnya

Kekurangan

1. Bersifat eksklusif

Ketika seseorang meyakini sesuatu dengan kebenaran yang mutlak dan meyakini

orang lain salah, maka ia akan menjadi pribadi yang tertutup, tidak mau menerima

pendapat dan pemahaman orang lain, dan seterusnya. Dengan demikian, orang-orang yang

memahami Islam dengan pendekatan teologis normatif akan “menutup” dirinya dari

kebenaran yang dibawa orang lain. Namun demikian jika sikap ekskusif itu hanya

berkaitan dengan masalah ke-tauhidan, maka hal itu bukan lagi menjadi suatu kekurangan.

2. Dogmatis

Pengertian dogma adalah pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang baik

dan benar, tidak perlu dipertanyakan lagi, tidak boleh dibantah dan diragukan. Orang-orang

yang memahami Islam dengan pendekatan teologis normatif cenderung menganggap

ajarannya sebagai ajaran yang tidak boleh dipertanyakan lagi kebenarannya, tidak boleh

dikritisi dan dipertanyakan lagi.

3. Tidak mengakui kebenaran orang lain

pendekatan teologis normatif menghasilkan orang-orang yang tidak mengakui

kebenaran orang lain, karena menurut mereka yang mereka yakini adalah benar dan yang

tidak sama dengan yang mereka yakini adalah salah.

E. Solusi dalam menyelesaikan teologis normatif

Agama yang di ajarkan oleh yang Esa ( Allah Swt), jadi yang pokok dalam

agamaitu adalah keyakinan yang hanief seperti yang di ajarkan dalam agama ibrahim. Bila

ada perbedaan cara mendekatinya itu hanyalah perbedaan idiom, sehingga tidaklah
esensial. Shalat harus di definisikan sebagai forum komunikasi spiritual di mana melaui

ungkapan dan gerak tertentu seorang hamba memperbaharui ikrar kepasrahanya kepada

Allah, Tuhan yang esa ( bukan seperti yang di ajarkan oleh foqaha secara khas yakni

ucapan dan gerakan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam). Dengan

pendekatan seperti maka para pembaharu berpesan bahwa pada hakekatnya semua agama

itu sama baiknya atau sama benarnya, yang penting adalah bertuhan yang esa secara

hanief, apapun nama agama itu, apakah islam, kristen, hindu, budha, atau lainya

sekalipun.5

5
Abdullah Musa, Studi islam ala barat, 1954, bangil jawa timur, yayasan almuslimun, hal 47.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan

peneliti itu sendiri. pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama

untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran

keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu. Sikap eksklusifisme (ketertutupan)

teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas

tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena sikap

semacam itu sesungguhnya mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa

membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan nuansa.

Pendekatan normatif erat kaitannya dengan pendekatan teologis.pendekatan

normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok

dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2002. Metodologi Study Islam. Yogjakarta : Pustaka Pelajar.

Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Musa Abdullah, Studi islam ala barat, 1954, bangil jawa timur, yayasan

almuslimun.

Musa Abdullah, kebebasan beragama mengapa di soal lagi, 1954, bangil

jawa timur, yayasan almuslimun.

Razak Nasrudin, Dienul Islam, 1989, Bandung, PT Alma’arif Bandung.

Syamsu Nazwar, Tauhid dan logika perbandingan agama (Al-qran dan

bible).1977, jakarta timur, Ghalia indonesia.

Anda mungkin juga menyukai