Anda di halaman 1dari 19

Pendekatan Klinis pada Penderita Tinea Cruris

Dicky Kurniawan
102015090 / A5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: dicky.2015fk090@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Tinea cruris merupakan salah satu penyakit pada kulit daerah lipatan paha atau genital yang disebabkan
oleh adanya infeksi jamur dermatophyte. Dermatophyte sendiri terdiri dari beberapa genus, yaitu
Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Beberapa spesies diantaranya yang menyebabkan
penyakit tinea cruris adalah, Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Epidermophyton
floccosum. Morfologi dari ketiga spesies ini hampir sama, yaitu berkoloni filamen dan terdiri dari
mikrokonidia dan makrokonidia. Dalam sediaan mikroskopik, mikrokonidia pada T. rubrum dan T.
mentagrophytes terlihat jelas dengan bentuknya yang lonjong dan bulat, sedangkan makrokonidianya
berbentuk speerti pensil yang tersusun dari beberapa sel. Kemudian E. floccosum memiliki ciri khas
yaitu makrokonidianya yang tebal dan berbentuk seperti gada dengan jumlah 3-4 sel, sedangkan
mikrokonidia tidak terlihat pada sediaan. Penyakit tinea cruris bermanifestasi klinis seperti lesi
kemerahan disertai papula dan terlihat bagian pinggir lesi lebih aktif dan bagian tengah lesi terdapat
“central healing”. Penyakit ini harus bisa dibedakan dari dermatitis seboroika, dermatitis intertriginosa,
kandidiasis inguinal, eritrasma inguinal, dan psoriasis inversa. Terapi yang dapat digunakan untuk tinea
cruris adalah dengan menggunakan obat topical derivate imidazole ataupun menggunakan obat sistemik
golongan imidazole ataupun alil amin. Penggunaan kortikosteroid topical sangat tidak dianjurkan
bahkan dikontraindikasikan karena dapat memperparah infeksi jamur dengan menekan system imun
penderita.
Kata Kunci: tinea cruris, dermatophyte, central healing, imidazole, alil amin

Abstract
Tinea cruris is a disease in the skin folds of the thighs or genital area, caused by the presence of
dermatophyte fungal infection. Dermatophyte consists of several genera, such as Trichophyton,
Epidermophyton, and Microsporum. Some species of which are causing disease tinea cruris is
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, and Epidermophyton floccosum. The morphology
of this species is almost the same, namely to colonize the filament and consists of mikrokonidia and
makrokonidia. In microscopic preparations, mikrokonidia on T. rubrum and T. mentagrophytes is
clearly visible with its oblong and rounded, while the makrokonidianya most notably the pencil-shaped,
composed of several cells of E. floccosum. then have the characteristic that is thick and
makrokonidianya shaped like a rod with a number of 3-4 cells, whereas mikrokonidia is not visible on
the preparations. Disease tinea cruris manifests clinically as reddish lesions accompanied papules and
visible part of the edge of the more active lesions and lesions of the central part there is "central
healing". This disease should be indistinguishable from dermatitis, seboroika dermatitis, candidiasis
inguinal intertriginosa, inguinal, eritrasma and psoriasis inversa. A therapy that can be used for tinea
cruris is to use drugs or using topical imidazole derivate systemic remedy the imidazole or allylamine.
The use of topical corticosteroids is strongly discouraged even contraindicated because it can
aggravate yeast infections by suppressing the immune system.
Keywords: tinea cruris, dermatophyte, dentral healing, imidazole, allylamine

1
Pendahuluan
Kehidupan manusia adalah kehidupan yang kompleks dimana banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kehidupan itu sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
manusia adalah faktor dari tubuh manusia itu sendiri. seperti yang telah kita ketahui, tubuh
manusia tersusun dari bermilyar-milyar sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-
beda.1-3 Semua sel-sel itu akan menyusun suatu bentuk yang lebih kompleks yang dinamakan
sebagai sebuah jaringan.4 Semua jaringan itu akan membentuk suatu organ, yang pada akhirnya
semua organ itu akan saling berkolaborasi dalam suatu sistem yang sangat teliti dan terampil
dalam menjalankan proses kehidupan.4,5
Homeostasis adalah suatu istilah yang merupakan keadaan stasis dan seimbang dimana
keadaan inilah yang dapat dianggap sebagai patokan dalam menentukan apakah seseorang
dapat dikatakan sehat dan tidak. Keadaan seimbang ini dicapai dengan cara mengkolaborasikan
berbagai jenis sistem organ yang kompleks dalam tubuh manusia yang menunjang kehidupan
manusia yang bersangkutan.1-3
Sesuai dengan pengertian homeostasis pada umumnya, tentunya terdapat berbagai
faktor yang dapat mengganggu homeostasis itu sendiri, baik yang berasal dari dalam atau luar
tubuh. Salah satu seperti yang disebutkan dalam skenario adalah keadaan gatal pada kulit di
daerah lipatan paha. Rasa gatal yang timbul merupakan suatu pertanda ketidaknormalan system
tubuh, khususnya kulit. Pernyataan tersebut didasarkan pada bahwa dalam keadaan normal,
rasa gatal tersebut seharusnya tidak ada. Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi medik
dalam rangka mengembalikan keadaan tersebut ke keadaan semula, yang dalam hal ini adalah
menghilangkan rasa gatal tersebut.
Berdasarkan skenario, yaitu seorang laki-laki berusia 30 tahun mengalami gatal pada
kedua lipatan paha serta berwarna coklat sejak 4 minggu yang lalu. Untuk dapat mendiagnosis
sesuai dengan skenario, maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu anamnesis
yang baik, dimana anamnesis akan memberikan data-data yang diperlukan mengenai penyakit
tersebut. Kemudian dari hasil anamnesis tersebut kita dapat memperkirakan penyakit yang
diderita pasien. Informasi yang dapat diambil tidak hanya dari pembicaraan secara verbal saja,
namun dapat pula diambil dari aspek nonverbal, seperti gaya bicara pasien, mimic wajah, dan
sebagainya.6-7 Kemudian akan dilakukan berbagai pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang apabila perlu yang akan membantu memastikan diagnosis penyakit yang diderita
tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai berbagai langkah-
langkah diagnosis penyakit sesuai dengan skenario dan berbagai hal terkait.

2
Anamnesis
Mengumpulkan data-data dalam anamnesis biasanya ialah hal yang pertama dan sering
merupakan hal yang terpenting dari interaksi dokter dengan pasien. Dokter mengumpulkan
banyak data yang menjadi dasar dari diagnosis, dokter belajar tentang pasien sebagai manusia
dan bagaimana mereka telah mengalami gejala-gejala dan penyakit, serta mulai membina suatu
hubungan saling percaya. Anamnesis dapat diperoleh sendiri (auto-anamnesis) dan atau
pengantarnya disebut allo-anamnesis.
Ada beberapa cara untuk mencapai sasaran ini. Cobalah untuk memberikan lingkungan
yang bersifat pribadi, tenang, dan bebas dari gangguan. Dokter berada pada tempat yang dapat
diterima oleh pasien, dan pastikan bahwa pasien dalam keadaan nyaman.
Dengan anamnesis yang baik dokter dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien.
Anamnesis yang baik harus lengkap, rinci, dan akurat sehingga dokter bkan saja dapat
mengenali organ atau sistem apa yang terserang penyakit, tetapi kelainan yang terjadi dan
penyebabnya.
Anamnesis dilakukan dan dicatat secara sistematis. Ia harus mencakup semua hal yang
diperkirakan dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Ada beberapa point penting yang
perlu ditanyakan pada saat anamnesis, antara lain:
1. Identitas Pasien : Nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.
2. Keluhan Utama: Pasien laki-laki berusia 30 tahun mengalami gatal pada kedua lipatan
pahanya dan berwarna coklat sejak 4 minggu yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
- Waktu dan lama keluhan berlangsung: muncul sejak 4 minggu yang lalu
- Keluhan penyerta: tidak ada
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya? Cari
tahu riwayat penyakit dahulu dari kondisi medis apapun yang signifikan.
- Menanyakan pernahkah mengalami masalah gatal dengan karakteristik yang sama
sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan yang
dialami oleh pasien.

3
6. Riwayat Sosial dan Pribadi
- Tidak ada

Secara ringkas hasil anamnesis yang didapatkan sebagai berikut. Seorang laki-laki
berusia 30 tahun merasa gatal pada kedua lipatan pahanya sejak 4 minggu yang lalu disertai
dengan adanya bercak kecoklatan. Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan informasi bahwa
gatal terutama dirasakan saat panas dan saat berkeringat banyak. Pasien juga sudah mengobati
sendiri dengan salep hidrokortison tapi keadaannya malah memburuk dan meluas.

Pemeriksaan Fisik
Hasil dari pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut. Tingkat kesadaran pasien adalah
kompos mentis dengan keadaan umum sakit ringan. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dalam
batas normal. Tidak didapatkan hasil pemeriksaan dermatologis, namun seharusnya
pemeriksaan ini dilakukan.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling dianjurkan untuk kasus ini adalah pemeriksaan
mikroskopik dimana pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat jenis mikroorganisme yang
menginfeksi pasien tersebut. Karena infeksi pada kulit bisa disebabkan oleh banyak jenis
mikroorganisme, seperti jamus, bakteri, dan virus, maka pemeriksaan mikroskopik dilakukan
dengan berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, dimana tanda khas yang ditemukan
pada lesi kulit pasien akan menentukan pemeriksaan mikroskopik seperti apakah yang akan
dilakukan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan lain, yaitu dengan menggunakan Wood’s light.
Wood’s light terutama dilakukan untuk mendiagnosis beberapa penyakit dengan melihat
pendaran cahaya pada lesi setelah disinari dengan sinar ultraviolet. Kemudian juga dapat
dilakukan kultur. Teknik kultur yang dilakukan juga harus sesuai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dermatologis, karena teknik kultur akan berbeda untuk setiap jenis
organisme, misalnya antara bakteri dan jamur.

Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja yang paling tepat untuk kasus ini adalah tinea cruris.

4
Diagnosis Banding
Deformitas Gejala Klinis Investigasi Banding

Kandidiasis inguinal Infeksi jamur oleh Candida Pemeriksaan mikroskopis


albicans yang menyebabkan KOH dan kultur
gambaran lesi merah, basah,
dan lesi bersifat
korimbiformis.
Eritrasma inguinal Gambaran kemerahan pada Wood’s lamp
daerah inguinal yang
disebabkan oleh adanya
infeksi bakteri
Corynebacterium
minutissimum yang disertai
rasa gatal dan terbakar pada
daerah lesi.
Dermatitis intertriginosa Radang pada kulit khususnya Pada pemeriksaan kultur
pada daerah intertriginosa ataupun wood’s lamp tidak
atau daerah lipatan dan ditemukan kelainan
terdapat daerah kulit yang
saling menempel,
menyebabkan inflamasi kulit
pada kedua daerah kulit
tersebut.
Psoriasis inversa Salah satu type psoriasis Terdapat riwayat psoriasis
yang memiliki gejala klinis pada pasien dengan
berbeda dari psoriasis pada ditemukannya plak
umumnya, yaitu lesi ada eritematosa dengan
pada daerah fleksural dan skuama tebal berwarna
intertriginosa dan dilapisi perak
skuama tipis.

5
Definisi
Tinea atau yang biasa disebut sebagai ringworm adalah suatu infeksi jamur pada kulit,
yang disebabkan oleh jamur dermatophyta. Secara umum, dermatophyte terdiri dari tiga genus
jamur, yaitu Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Ketiga jenis genus ini
menyebabkan infeksi dengan berbagai ciri khas pada kulit, seperti gambaran eritema, dengan
sisi pinggir lesi lebih aktif dibandingkan dengan sisi tengahnya, yang biasa sudah diikuti
dengan fase penyembuhan.6,7 Sesuai dengan namanya, yaitu tinea cruris, yaitu tinea atau
ringworm yang menginfeksi daerah tungkai, namun lokasi spesifiknya adalah pada daerah
lipatan paha dan sekitarnya, bukan pada daerah cruris (tibia dan fibula).(lihat gambar 1 dan
2)7,8

Gambar 1. Tinea cruris8

Gambar 2. Tinea cruris8

6
Etiologi dan Epidemiologi
Tinea cruris disebabkan oleh jamur dermatophyte, diantaranya adalah berasal dari
genus Trichophyton dan Epidermophyton. Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum adalah etiologi utama penyakit ini.9 Penyakit
ini merupakan penyakit yang ada di seluruh dunia, dimana biasanya orang yang terkena adalah
laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan yang cukup signifikan. Jamur penyebabnya
melakukan invasi ke lapisan stratum korneum dan bagian ujung rambut pada daerah yang
terinfeksi.10 Setelah terinfeksi, “scale” atau skuama yang telah terbentuk dan bersifat infeksius
akan mudah menyebar ke orang lain secara kontak langsung, atau secara tidak langsung dengan
cara skuama yang dipindahkan secara tidak sengaja melalui sebuah objek.11 Transmisi ini
terutama terjadi karena terdapat artrokonidia yang disebar oleh hospes atau penderita melalui
skuama pada kulitnya.12 terjadinya tinea cruris ini tidak menutup kemungkinan untuk terjadi
autoinokulasi pada daerah lain pada penderita, yang dapat menyebabkan tinea pada lokasi
lain.13
Berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat infektivitas janur yang bersangkutan
adalah usia, jenis kelamin, pakaian, musim, kelembaban udara, obesitas, dan penggunaan obat
yang salah.
Yang pertama adalah faktor usia. Berdasarkan penelitian pada anak di Brazil, dimana
ditemukan 10 kasus tinea cruris pada anak dibawah usia 12 tahun dari 137 kasus.14 Umumnya,
kasus tinea cruris terjadi pada interval usia diatas usia pubertas sampai pada puncak usia sekitar
16-30 tahun untuk pria, dan 26-40 tahun untuk wanita.15,16
Faktor kedua adalah jenis kelamin, dimana kasus tinea cruris ebih banyak menyerang
laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan yang cukup signifikan, yaitu 4:1.16
Faktor ketiga adalah pakaian. Pakaian yang lebih ketat berisiko lebih tinggi untuk
terinfeksi jamur penyebab tinea cruris.17,18 Pada wanita, dimana menggunakan celana yang
ketat dbandingkan menggunakan rok adalah suatu perbedaan yang mendasar.19 Terdapat
beberapa hal yang menyebabkan tinea cruris bisa menginfeksi, yaitu yang pertama adalah
faktor pakaian yang ketat dapat menyebabkan peningkatan kelembaban kulit pada daerah yang
bersangkutan yang merupakan media tumbuh yang baik bagi jamur. Kedua adalah pakaian
yang dipakai tidak dibersihkan dengan baik sehingga terdapat spora jamur yang bisa
menginfeksi. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah dengan merebus pakaian penderita
untuk mencegah terjadinya reinfeksi.20

7
Faktor keempat adalah musim. Insidensi tinea cruris meningkat pada musim panas dan
dingin.16 Namun, penelitian di AS membuktikan bahwa tinea cruris lebih sering terjadi pada
saat musim panas.17,18
Faktor kelima adalah kelembaban. Beberapa hal membuktikan bahwa kelembaban
mempengaruhi tingkat infektivitas tinea penyakit ini.19,21 kelembaban dapat terjadi akibat
menggunakan pakaian yang terlalu ketat sehingga mengganggu penyerapan keringat ataupun
sebum daerah tersebut. Kemudian ditambah lagi dengan musim yang berkontribusi, yaitu
musim panas salah satunya, yang meningkatkan produksi keringat tubuh. Hal ini merupakan
salah satu faktor yang meningkatkan kemungkinan jamur dapat tumbuh, membentuk koloni,
dan menjadi pathogen pada kulit.21
Faktor keenam adalah obesitas. Hal ini penting, mengingat obesitas menyebabkan
penumpukan lemak berlebih pada tubuh, menyebabkan terbentuknya lipatan lemak. Daerah
lipatan lemak tersebut akan memiliki suasana yang baik bagi jamur untuk bertumbuh.15,22
Faktor ketujuh adalah penggunaan obat kortikosteroid terutama jangka panjang dan
penggunaan obat-obatan lain yang bersifat imunosupresif dapat menekan system imun yang
malah dapat meningkatkan keparahan penyakit tinea.23,24

Trichophyton
Genus Trichophyton adalah suatu genus jamur yang menyebabkan penyakit tinea.
Salah satu penyebabnya adalah Trichophyton rubrum. Spesies ini merupakan etiologi dari
penyakit tinea cruris. Jamur ini tergolong dalam jamur antropofilik. Jamur ini menyebabkan
penyakit kulit dengan berbagai gambaran, seperti putih, coklat, merah dengan kontur kulit yang
kasar, halus, ataupun berbulu. Jamur ini termasuk jamur yang cukup sulit untuk didiagnosis
karena jamur ini sangat mirip dengan jamur dermatophyte lainnya. Trichophyton rubrum
Trichophyton juga memilki sifat yang sama seperti jamur dermatophyte lainnya, yaitu bersifat
keratinofilik.27 (lihat Gambar 3)

8
Gambar 3. Mikrokonidia dan makrokonidia pada T. rubrum27

Trichophyton tidak memiliki mRNA yang sempurna. Dikarenakan kurangnya


identifikasi biokimia dan teknik pemeriksaan yang sesuai, sifat pleomorfik dan tenik kultur
yang berbeda-beda untuk masing-masing dermatophyte, pengetahuan mengenai T. rubrum
masih sangat jauh dari cukup. Namun, sampai saat ini genom T. rubrum sudah dapat
diidentifiksi, yang dikelompokkan dalam 5 kromosom.27
Isolasi T. rubrum didapatkan koloni seperti kapas (filamen) berwarna putih. Di bagian
bawah koloni biasanya berwarna merah, terkadang berwarna kuning atau kecoklatan. T.rubrum
tumbuh lambat pada kultur dengan mikrokonidia di sisi lateral dari hifa fertile. Makrokonidia
juga ada, yang berbentuk seperti pensil. Pertumbuhannya terhambat oleh sulfur, nitrogen, dan
fosfor. T.rubrum juga diketahui menghasilkan penicillin invitro dan invivo.28
Trichophyton mentagrophytes merupakan salah satu dermatophyte, juga dapat
menyebabkan penyakit tinea cruris. Pada banyak negara, T. mentagrophytes lebih sering
diisolasi daripada T. rubrum. Koloni pada kultur ditemukan gambaran lembab, dan kaya akan
karbon. Koloninya rata dengan warna putih sampai cream dan bau khas. Bagian bawah koloni
berwarna kuning kemerahan sampai coklat. Terdapat mikrokonidia (spora) dan makrokonidia
berbentuk seperti rokok tersusun dari 4-5 sel. Dibanding T.rubrum, T.mentagrophytes
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat.(lihat Gambar 4)29

9
Gambar 4. Trichophyton mentagrophytes
Sumber: http://www.mold.ph/trichophyton-mentagrophytes.htm

Meskipun faktor dari hospes menentukan, terdapat juga faktor lain yang ikut
berpengaruh, seperti kaki yang lembab dan abrasi. Penggunaan handuk yang sama ataupun
seprai, diduga dapat menyebarkan T.mentagrophytes. Karena spesies ini termasuk zoofilik,
maka jamur ini dapat menyebar dari hewan ke manusia melalui kontak langsung dan biasanya
terlihat dengan cincin cacing infeksi.29

Epidermophyton floccosum
Jamur ini juga termasuk dalam kelompok dermatophyte yang bersifat antropofilik.
Infeksi oleh jamur ini akan menghasilkan penyakit yang tenang, berjalan kronis dan
berlangsung lama. E. floccosum berkoloni filamen kasar, dan berwarna kuning ataupun kuning
kecoklatan. Bagian tengah koloni menimbul dan lebih tinggi dari pinggirnya. E. floccosum
mengandung lipid yang belum diketahui fungsinya, yaitu 1(3),2-diasilgliseril-3(1)-O-4′-
(N,N,N-trimetil)homoserin. Yang biasa terlihat pada sediaan adalah makrokonidia dengan
gambaran dindingnya tebal, berbentuk seperti gada dengan isi sel 3-4. Hampir tidak pernah
ditemukan mikrokonidia pada sediaan mikroskopik.

10
Gambar 5. Epidermophyton floccosum
Sumber: https://phil.cdc.gov/phil/home.asp

Jamur ini juga termasuk salah satu etiologi tinea cruris dan cara penyebarannya pun
hampir sama dengan jamur lainnya. Kontak langsung dengan sumber infeksi secara langsung
ataupun tidak langsung berkontribusi dalam meningkatnya insidensi tinea cruris ec. E.
floccosum.28

Transmisi
Transmisi penyakit tinea cruris bisa terjadi melalui berbagai cara. Yang pertama adalah
dengan proses autoinokulasi. Proses ini dapat terjadi karena sebelumnya pasien tersebut sudah
terinfeksi oleh jamur dermatophyte atau belum terinfeksi namun memiliki spora yang siap
untuk diinokulasikan. Pasien bisa saja memiliki spora atau artrokonidia jamur pada kakinya,
dimana pasien mungkin hanya menggunakan satu handuk untuk digunakan pada seluruh
tubuhnya termasuk kakinya. Pada saat elemen jamur telah berada pada daerah lipatan paha
yang lembab dan hangat sebagai faktor utama tumbuhnya jamur, maka telah terjadi
autoinokulasi yang menyebabkan pasien terinfeksi dermatophyte.25
Transmisi juga bisa terjadi pada saat berhubungan seksual. Daerah kulit yang berkontak
saat berhubungan seksual dapat menyebabkan jamur berpindah dan menginfeksi pasangan
berhubungan seksual.26

Manifestasi Klinis
Pasien penderita tinea cruris akan mengeluh gatal dan adanya bercak atau rash pada
daerah selangkangan. Informasi tambahan mengenai riwayat pasien adalah biasanya pasien
sempat mengunjungi daerah tropis atau panas, atau menggunakan pakaian yang ketat untuk

11
jangka waktu yang lama, menggunakan pakaian yang sama dengan orang lain, berolahraga,
atau memiliki riwayat diabetes melitus dan obesitas. Orang dalam ruangan yang sama di
penjara, tantara, atlet, ataupun yang memakai pakaian ketat berisiko lebih tinggi untuk terkena
infeksi jamur dermatophyte.6
Tinea cruris bermanisfestasi sebagai suatu rash kemerahan simetris pada daerah
lipatahn paha, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2. Terlihat gambaran eritema
dengan bagian tengah yang menyembuh (central healing) pada daerah inguinal dan menyebar
ke arah distal di sisi medial paha dan ke arah proksimal pada daerah hypogastrium dan daerah
pubis. Terlihat gambaran skuama pada daerah perifer. Pada tinea cruris yang akut, lesi mungkin
kelihatan basah dan bereksudat. Pada infeksi kronis, tampak daerah lesi kering berwarna merah
atau coklat, dengan daerah pinggir lesi lebih aktif disertai dengan papul anular dan arciner.
Bagian central healing biasanya mengalami hiperpigmentasi dan terdapat papul kemerahan dan
ada skuama. Penis dan skrotum biasanya tidak terinfeksi, tapi langsung ke daerah perineum
dan daerah glutea. Kemudian setelah infeksi akut, biasanya pasien akan menggaruk daerah lesi
karena gatal, dan akan muncul lesi sekunder berupa ekskoriasi, likenifikasi, dan impetigenisata.
Infeksi kronis akan memiliki perjalanan penyakit yang berubah apabila pasien mengobati
sendiri dengan menggunakan salep kortikosteroid yang berefek pada meningkatnya perjalanan
penyakit pada pasien. Tampilan lesi pada pengguna kortikosteroid biasanya adalah lebih merah
atau lebih eritema, sedikit skuama, dan terdapat folikulitis berpustula.6
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa setengah jumlah pasien tinea cruris
juga memiliki infeksi tinea di lokasi lain, yaitu di pedis. Terdapat plak eritematosa berskuama
dan plak eritematosa likenifikasi pada hasil penelitian pada daerah Brazil.6

Diagnosis Diferensial
Beberapa penyakit juga dapat terjadi pada daerah lipatan paha, yaitu kandidiasis
inguinal, eritrasma, dermatitis seboroika, dermatitis intertriginosa, dan psoriasis inversa. Pada
bagian ini akan dijelaskan secara singkat tentang masing-masing penyakit dan cara
membedakannya dengan tinea cruris.
Yang pertama adalah kandidiasis inguinal. Kandidiasis adalah suatu penyakit dengan
etiologi jamur, yaitu jamur Candida albicans. Jamur ini dicirikan sebagai suatu jamur yang
memiliki blastospora, berhifa semu, dan berkoloni seperti ragi. Jamur ini tergolong jamur
oportunistik dan bersifat pathogen pada daerah tumbuhnya, yaitu yang bersifat lembab dan
hangat, sama seperti jamur lainnya. Daerah inguinal juga merupakan daerah yang memenuhi

12
kriteria tempat tumbuh yang optimal bagi jamur ini. Oleh karena itu candidiasis inguinal juga
merupakan salah satu diagnosis diferensial untuk kasus pada scenario. Untuk membedakannya
dengan tinea cruris, maka dapat dilakukan berbagai pemeriksaan, seperti pada inspeksi, infeksi
oleh jamur ini akan menghasilkan lesi berwarna merah dan terlihat basah. Kemudian yang khas
dari lesi candidiasis adalah terdapat lesi satelit di sekitar lesi utama atau korimbiformis.
Pemeriksaan kolonisasi dan identifikasi menggunakan larutan KOH juga dapat digunakan
untuk mendiagnosis.7

Gambar 6. Kandidiasis inguinal


Sumber: https://www.dermquest.com

Yang kedua adalah penyakit eritrasma inguinal. Eritrasma adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum dan menyebabkan gambaran patch
eritematosa tanpa gejala lain, kecuali adanya rasa gatal dan terbakar pada daerah
inguinal.(Gambar 7) Cara mendiagnosis penyakit ini adalah dengan menggunakan lampu
Wood untuk melihat fluoresensi dari lesi. Hasilnya adalah terdapat pendaran cahaya kemerahan
seperti koral merah karena adanya porfirin.7(Gambar 8)

13
Gambar 7. Eritrasma inguinal
Sumber: http://diseasespictures.com/erythrasma/

Gambar 8. Pemeriksaan Woods pada eritrasma


Sumber: http://diseasespictures.com/erythrasma/

Yang ketiga adalah penyakit dermatitis seboroika. Dermatitis seboroika adalah


peradangan pada kulit pada beberapa daerah predileksi seperti kulit kepala, alis, bulu mata,
nasolabial, inguinal, glutea, umbilical, dan sebagainya. Gambaran klinis dari penyakit ini
adalah adanya scaling pada daerah yang eritematosa. Warna skuama biasanya kuning dan
kelihatan berminyak. Rasa gatal mulai dari ringan sampai berat. Gambaran lesi ini bisa
berkembang menjadi eritroderma.7

14
Gambar 9. Dermatitis seboroika
Sumber: http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/seborrheicdermatitis58.html

Yang keempat adalah dermatitis intertriginosa. Dermatitis intertriginosa atau intertrigo


adalah suatu dermatitis yang terjadi pada dua daerah kulit yang saling bersentuhan. Sebagai
hasil dari gesekn, kulit yang lembab dan panas, daerah yang bersangkutan dapat terjadi eritema
dan maserasi, kemudian terinfeksi.(Gambar 10) Dapat juga terjadi erosi fisura, dan sebagainya
dengan keluhan gatal dan rasa terbakar. Sebagai hasil dari maserasi yang terjadi, dapat terjadi
infeksi sekunder baik oleh bakteri ataupun jamur lain, dan biasanya terjadi juga pada daerah
predileksi intertrigo, yaitu pada daerah lipatan yang sering bergesekan. Pada daerah inguinal,
intertrigo juga dapat dibarengi dengan candidiasis inguinal ataupun tinea cruris sebagai infeksi
sekunder. Cara membedakannya dengan tinea cruris adalah harus diketahui dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan biasanya karena infeksi sekunder, penyakit ini tidak terdiagnosis.7

Gambar 10. Intertrigo


Sumber: http://www.aafp.org/afp/2005/0901/p833.html
Yang kelima adalah psoriasis inversa. Penyakit ini adalah type dari psoriasis yang
merupakan suatu penyakit kronis herediter dan inflamatif ditandai dengan adanya lesi plak
eritematosa dengan skuama tebal berwarna perak. Psoriasis memiliki daerah predileksi pada

15
daerah ekstensor, lumbosacral, dan biasanya simetris. Namun pada psoriasis inversa,
predileksinya adalah pada lokasi fleksor, intertriginosa termasuk daerah lipatan paha, dan
skuama telihat tipis.(lihat Gambar 11) Cara membedakannya dengan tinea cruris adalah dengan
menanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit psoriasis berupa plak eritematosa dengan
skuama tebal dan berwarna perak.7

Gambar 11. Psoriasis inversa


Sumber: http://www.healthline.com/health/inverse-psoriasis#pictures2

Terapi
Seperti kebanyakan kasus infeksi jamur, terapi topical masih bisa digunakan, tetapi
pengobatan sistemik juga kadang diperlukan apabila mengenai area tubuh yang luas, insidensi
kronik atau rekuren, atau ketika infeksi terjadi pada orang yang sedang dalam keadaan
imunokompromis.30 Tinea cruris sangat merespon terapi topical, seperti dericat azol
(sukonazol, oksikonazol, mikonazol, clotrimazole, ekonazol, dan ketokonazol); alil amin
(naftilin dan terbinafine); benzilamin (butenafine); dan hidroksipiridon (siklopiroks olamin).
Bagaimanapun juga, penggunaan secara luas pada kulit tidak selalu menghasilkan efek terapi
yang baik bagi pasien.24 (lihat Tabel 1)
Penggunaan ketokonazol oral dibatasi karena berefek hepatotoksisitas. Griseofulvin
juga mudah terlepas dari stratum korneum karena sifat keratofiliknya yang lemah mengikat
keratin. Pasien berisiko besar mengalami infeksi rekuren. Dosis terbinafine 250 mg/ hari
diberikan selama 2-4 minggu. Itrakonazol dan flukonazol, juga aman dan efektif digunakan
untuk tinea cruris. Flukonazol memperlihatkan efek terapi hanya dalam penggunaan satu
minggu. Itrakonazol efektif jika diberikan sebanak 200 mg selama 7 hari. Terkadang, pasien
akan mengobati sendiri dan yang biasa dipakai adalah obat topical kortikosteroid seperti
betametason atau hidrokortison topical, yang justru malah memperparah penyakit karena lesi
yang ditimbulkan jamur bukan sebagai hasil dari reaksi alergi, namun sebagai hasil dari invais
jamur tersebut. Apabila system imun ditekan dengan menggunakan obat golongan

16
kortikosteroid, maka jamur akan berkembang biak dengan lebih mudah dan dapat menyebar ke
daerah tubuh yang lebih luas.24

Tinea infection Griseofulvin Terbinafine Itraconazole Fluconazole Ketoconazole


Tinea corporis 250 mg twice daily 250 mg/d for 2 to 200 mg/d for 150–300mg/wk 200 mg/d for 4 to
and cruris until cure is reached 4 weeks 1 wk for 2 to 4 wk 8 weeks
Tabel 1. Penggunaan obat antifungal sistemik pada tinea cruris24

Pencegahan dan Kontrol


Tinea cruris adalah suatu kelompok infeksi jamur dermatophyte yang umum pada
daerah yang kelebihan kalor dan kelembaban. Lingkungan yang kering dan dingin akan
berkontribusi penting dalam mengurangi infeksi. Kemudian, pencegahan kontak langsung
dengan hewan ternak dan orang lain yang terinfeksi tinea cruris akan membantu mengurangi
risiko terinfeksi. Pada orang dengan onikomikosis, sudah dilakukan penelitian bahwa mereka
berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit tinea cruris; hal ini dapat terjadi karena terjadinya
autoinokulasi dan autoinfeksi dari kukunya ke daerah genitalnya. Hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi terjadinya insidensi autoinokulasi dan autoinfeksi adalah dengan menutup
kuku jari kaki yang terkena infeksi jamur dengan kaus kaki, kemudian baru menggunakan
celana dalam, agar pada saat menggunakan celana dalam, bagian kuku yang terinfeksi tidak
menyebarkan spora dan koloni jamur yang bersangkutan ke bagian celana dalam.24

Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
pasien tersebut didiagnosis menderita tinea cruris dan akan diterapi dengan menggunakan obat
topical berupa golongan imidazole seperti ketokonazol, flukonazol, ataupun itrakonazol serta
apabila perlu, dapat digunakan obat antifungal sistemik yang berspektrum spesifik untuk
golongan jamur dermatophyte.

17
Daftar Pustaka
1. Ramadhani D, Ong HO, editors. Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. 8th ed.
Diterjemahkan dari: Sherwood L. Introduction to human physiology. 8th ed. Jakarta: EGC;
2012. P. 4-6. P.326-38.
2. Albert B, Johnson A, Lewis J, Morgan D, Raff M, Robert K, et al. Molecular biology of
the cell. 6th ed. New York: Garland Science; 2015. P. 1-4, 963-6.
3. Goodman SR. Medical cell biology. 3rd ed. California: Elsevier; 2012. P. 1-6.
4. Clark DP, Pazdernik NJ. Molecular biology. 2nd ed. Oxford: Elsevier; 2013. P. 3-9.
5. Karp G. Cell and molecular biology. Concepts and experiments. Oxford. P. 19.
6. Gupta A, Chaudhry M, Elewski B. Tinea corporis, tinea cruris, tinea nigra, and piedra.
Dermatologic Clinics. 2003; 21(3): 395-400.
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ disease of clinicl dermatology. 10th ed.
Canada: Elsevier; 2006.
8. Wiederkher M, Elston DM. Tinea cruris treatment and management. Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-treatment
9. Faergemann J, Mo¨rk NJ, Haglund A, O¨ dega˚rd A. A multicentre (double-blind)
comparative study to assess the safety and efficacy of fluconazole and griseofulvin in the
treatment of tinea corporis and tinea cruris. Br J Dermatol 1997;136:575–7.
10. Hay RJ, Moore M. Mycology. In: Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM,
editors. Textbook of dermatology. 6th edition. United Kingdom: Blackwell Science; 1998.
p. 1277–376.
11. Drake LA, Dinehart SM, Farmer ER, Goltz RW, Graham GF, Hordinsky MK, et al.
Guidelines of care for superficial mycotic infections of the skin: tinea corporis, tinea cruris,
tinea faciei, tinea manuum, and tinea pedis. J Am Acad Dermatol 1996;34:282–6. [4] Kohl
TD, Lisney M. Tinea gladiatorum. Sports Med 2000;29:439–47.
12. Sadri MF, Farnaghi F, Danesh-Pazhooh M, Shokoohi A. The frequency of tinea pedis in
patients with tinea cruris in Tehran, Iran. Mycoses 1998;43:41–4.
13. Ginter G. Microsporum canis infections in children: results of a new oral antifungal therapy.
Mycoses 1996;39:265–9.
14. Fernandes NC, Akiti T, Barreiros MG. Dermatophytoses in children: study of 137 cases.
Rev Inst Med Trop São Paulo. 2001;43:83-85.

15. Martin ES, Elewski BE. Cutaneous fungal infections in the elderly. Clin Geriatr Med.
2002;18:59-75.

18
16. Silva-Tavares H, Alchorne MM, Fischman O. Tinea cruris epidemiology (São Paulo,
Brazil). Mycopathologia. 2001;149:147-149.

17. Vander Straten MR, Hossain MA, Ghannoum MA. Cutaneous infections dermatophytosis,
onychomycosis, and tinea versicolor. Infect Dis Clin North Am. 2003;17:87-112.
18. Zuber TJ, Baddam K. Superficial fungal infection of the skin: where and how it appears
help determine therapy. Postgrad Med. 2001;109:117-120, 123-126, 131-132.
19. Otero L, Palacio V, Vαzquez F. Tinea cruris in female prostitutes. Mycopathologia.
2002;153:29-31.
20. Hawranek T. Cutaneous mycology. Chem Immunol. 2002;81:129-166.
21. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Physician. 2003;67:101-108.
22. Scheinfeld NS. Obesity and dermatology. Clin Dermatol. 2004;22:303-309
23. Trent JT, Federman D, Kirsner RS. Common viral and fungal skin infections. Ostomy
Wound Manage. 2001;47:28-34.
24. Gupta AK. Uncommon localization or presentation of tinea infection. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2001;15:7-8.
25. Pray WS. Pray JJ. Tinea cruris in men: bothersome but treatable. Downloaded from:
http://www.medscape.com/viewarticle/512992
26. Aridogan IA, Ates A, Izol V, Ilkit M. Tinea cruris in routine urology practice. Urol Int.
2005;74:346-348.
27. Trichophyton rubrum. Downloaded from:
https://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Trichophyton_rubrum
28. Kane, Julius. Laboratory handbook of dermatophytes : a clinical guide and laboratory
handbook of dermatophytes and other filamentous fungi from skin, hair, and nails.
Belmont, CA: Star Pub. 1997.
29. Trichophyton mentagrophytes fact sheet. Downloaded from:
http://www.infectionpreventionresource.com/files/Trichophyton%20mentagrophytes.pdf
30. Farag F, Taha M, Halim S. One-week therapy with oral terbinafine in cases of tinea
cruris/corporis. B J Dermatol 1994;131:684–6.

19

Anda mungkin juga menyukai