Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan hasil tersebut akan diperoleh setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui panca indera manusia, yakni indera pengelihatan, penciuman rasa, dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2008), semakin banyak informasi

dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang, dan dengan

pengetahuan menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berprilaku

sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Pengetahuan merupakan hasil dari mengingat suatu hal, termasuk

mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun

tidak dan terjadi setelah seseorang melakukan kontak atau pengamatan tehadap

suatu objek (Mubarak, 2007) dalam(Arini, 2011). Pengetahuan merupakan ialah

segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan dan harapan -

harapan yang diperoleh melalui pengalaman indrawi, intuisi, wahyu logika atau

kegiatan yang bersifat coba-coba (Maryati & Suryawati, 2006).


2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoadmodjo (2007)

adalah :

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha mengembangkan kepribadian

dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur

hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan

yang dimiliki seseorang makin mudah untuk menerima informasi.

Pendidikan adalah proses untuk mempelajari dan meningkatkan ilmu yang

diperoleh, pendidikan yang lebih tinggi secara otomatis akan berbanding

lurus dengan pengetahuan yang dimiliki.

Marilayani (2010) memiliki pendapat bahwa baiknya pengetahuan

tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

pendidikan tenaga kesehatan, pendidikan sangat mempengaruhi terhadap

pengetahuan seseorang karena pendidikan merupakan suatu proses

pembelajaran pola pikir seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari

jenjang pendidikan ini lah dapat diketahui pola pikir seseorang, semakin

tinggi pendidikan maka ilmu yang diperoleh akan semakin banyak.

2. Media massa/Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non

formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek, sehingga

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Menurut

Mubarak (2011) dalam Heriati (2013) yang menyatakan jika kemudahan

untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang


memperoleh pengetahuan pengetahuan yang baru. Informasi yang

diperoleh sesorang akan dapat merangsang pikiran dan kemampuan

seseorang akan merangsang pikiran dan kemampuan seseorang serta

menambah pengetahuan. Sehingga semakin mudah dan banyak informasi

yang diperoleh seseorang maka pengetahuan seseorang akan suatu hal

akan semakin banyak. Aswar (2009) dalam Puspadewi (2013)

berpendapat pada dasarnya pesan atau informasi akan lebih efektif apabila

disampaikan secara langsung (face to face).

3. Sosial budaya dan ekonomi

Tradisi dan kebiasan dilakukan masyarakat tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Status ekonomi seseorang dapat

menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegitan

tertentu, sehingga status sosial ekonomi dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar

individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan

berperngaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu

yang berada dalam lingkungan tersebut.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan menjadi cara untuk

memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan

yang diperoleh dalam pemecahan masalah yang dihadapi di masa lalu.

Semakin lama responden bekerja maka pengalaman kerja yang sudah


diperoleh dapat memperluas pengetahuan responden. Pengalaman yang

dimiliki seperti memperoleh pelatihan sangat penting, menurut pendapat

yang dikemukakan oleh Joeharno (2008) bahwa pelatihan yang diberikan

kepada petugas kesehatan memberi pengaruh terhadap peningkatan

pengetahuan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

Menurut Ismail (2013) selain melalui pendidikan formal,

pengetahuan seseorang dapat juga dipengaruhi oleh pelatihan - pelatihan

atau seminar kesehatan yang pernah ia ikuti, dengan adanya pelatihan

seseorang dapat lebih terampil dalam melakukan suatu pekerjaan karena

dengan pelatihan dan tugas-tugas yang terkait dengan kemampuan

koginitif dapat mempengaruhi perilaku dan pola pikir yang lebih positif.

Elita (2008) dalam Ismail (2013) berpendapat dimana masa kerja

merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi pengetahuan serta

keterampilan, karena seseorang yang memiliki masa kerja yang lama

secara otomatis akan terbentuk pengalaman kerja yang memadai serta

tercipta pola kerja yang efektif dan dapat menyelesaikan berbagai

persoalan berdasarkan pengalaman, ketrampilan, serta pengetahuannya.

6. Umur

Umur mempengaruhi daya tangkap serta pola pikir seseorang.

Semakin bertambahnya umur akan menyebabkan meningkatnya daya

tangkap dan pola pikir, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin

membaik.
Menurut Ismail (2013) selain melalui pendidikan formal,

pengetahuan seseorang dapat juga dipengaruhi oleh pelatihan - pelatihan

atau seminar kesehatan yang pernah ia ikuti, dengan adanya pelatihan

seseorang dapat lebih terampil dalam melakukan suatu pekerjaan karena

dengan pelatihan dan tugas-tugas yang terkait dengan kemampuan

koginitif dapat mempengaruhi perilaku dan pola pikir yang lebih positif.

Elita (2008) dalam Ismail (2013) berpendapat dimana masa kerja

merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi pengetahuan serta

keterampilan, karena seseorang yang memiliki masa kerja yang lama

secara otomatis akan terbentuk pengalaman kerja yang memadai serta

tercipta pola kerja yang efektif dan dapat menyelesaikan berbagai

persoalan berdasarkan pengalaman, ketrampilan, serta pengetahuannya.

7. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan.

Angka dari luar negeri menunjukan wanita memiliki angka kesakitan yang

lebih tinggi dan pria memiliki angka kematian lebih tinggi juga pada semua

golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut

perbedaan angka kematian ini dapat dipengaruhi faktor-faktor intrinsik

(Notoadmojo, 2003)

8. Pekerjaan

Pekerjaan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

pengetahuan dimana pekerjaan merupakan suatau kegiatan atau aktifitas

seseorang untuk memperoleh penghasilan agar kebutuhan dapat terpenuhi.

Pekerjaan/karyawan adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau


institusi dengan gajih atau upah (Notoadmojo, 2003). Profesi merupakan

suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan yang

dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian. Profesi merupakan pekerjaan

yang menuntut pendidikan keahlian intelektual tingkat tinggi serta

tanggung jawab etis yang mandiri dalam praktiknya (Cahyo, 2015). Dalam

penelitian ini profesi yang peneliti jadikan sampel yaitu dokter, bidan,

perawat yang terdapat di puskemas yang ingin diketahui pengetahuannya

dalam manajemen penatalaksanaan pasien keracunan arak methanol.

Menurut Syafrudin (2009) bidan diakui sebagai profesi/tenaga profesional

yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberi dukungan, asuhan,

dan nasehat selama hamil hingga masa nifas, termasuk memberikan

penjelasan tentang hal-hal yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu dan

membantu ibu untuk memulai pemberian ASI.

2.1.3 Kategori Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2007) untuk mengetahui tingkat pengetahuan

seseorang berdasarkan kualitas yang dimlikinya dapat dibagi menjadi empat

tingkat yaitu :

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai mencapai 76-100%

b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai mencapai 56-75%

c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai <56%.


2.2 Sikap

2.2.1 Definisi

Sikap merupakan suatu reaksi terhadap kepercayaan pada sebuah obyek

atau situasi. Sikap bersifat situasional, bila suatu pelajaran dianggap baik (situasi

baik) maka pelajaran itu akan diterima oleh siswa. Sehingga sikap dan situasi

dibutuhkan sebagai peningkatan efisiensi pembelajaran (Oroujlou, 2011).

Menurut Maramis, sikap merupakan bentuk respon atau tindakan yang memiliki

nilai positif dan negatif terhadap suatu objek atau orang yang disertai dengan

emosi (Avrilinda, 2016).

Sikap seseorang dapat diartikan mampu merespon ketika dia mampu

menjawab saat diberikan pertanyaan dan mengerjakan tugas yang diberikan,

namun sikap sendiri dapat berubah-ubah karena berkenaan dengan suatu obyek

tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas, atau dengan kata lain sikap dapat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, tingkat budaya, dan berdasarkan apa yang

diketahui dan mendapat pengaruh dari beberapa aspek tertentu. Seseorang yang

mempunyai tingkat pengetahuan yang baik belum tentu sejalan dengan sikapnya

meskipun faktor pendidikan seseorang berpengaruh terhadap sikap seseorang.

Atau belum tentu sikap secara prakteknya sama dengan apa yang diketahuinya

(Laenggeng A. H., Lumalang Y., 2015).

Menurut penelitian sebelumnya oleh Raffic and Itrat (2017) sanitasi yang

baik adalah dengan membersihkan rumah, membuang sampah di tempat

pembuangan yang tepat, dan pelaksanaan jamban yang aman (Mohd, 2017).

Pendapat yang berbeda dinyatakan Meikawati dkk, 2010, bahwa pengetahuan

tidak memegang peran penting terhadap higiene sanitasi makanan. Hal ini
mungkin disebabkan karena responden kurang mengetahui benar tentang higiene

sanitasi makanan, kurang mengatahui manfaat pemakaian perlengkapan kusus

seperti pakaian kerja, penutup rambut dan celemek (Meikawati, 2010).

Menurut azwar (2012) sikap dapat digolongkan menjadi tiga aspek yaitu :

1) Aspek Kognitif Aspek kognitif ini berisi kepercayaan, pengetahuan

dan keyakinaan individu yang terbentuk melalui pengalaman-

pengalaman yang dialami baik secara langsung terhadap maupun

tidak langsung terhadap kesehatan fisik, psikis, sosial dan

rohaninya.

2) Aspek Afektif Aspek afektif disini merupakan perasaan-perasaan

yang dimiliki oleh individu yang berhubungan dengan kesehatan

mengenai sesuatu yang patut ataupun tidak patut dilakukan

sehubungan dengan kesehatan fisik, psikis, sosial dan rohaninya.

3) Aspek Konatif Aspek konatif merupakan kecenderungan atau

kesiapan individu untuk berbuat ataupun bertindak sesuatu selaras

dengan kepercayaan dan perasaan terhadap sesuatu sehubungan

dengan kesehatan fisik, psikis, sosial dan rohaninya.

Dari aspek-aspek diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek

sikap terhadap kesehatan terdiri dari : aspek kognitif, aspek afektif dan aspek

konatif sehubungan dengan kesehatan fisik, psikis, sosial dan rohan(Azwar,

2012). Banyak kajian dilakukan tentang sikap dan kaitannya dengan efek dan

perannya dalam pembentukan karakter manusia (Handayani NMA, 2015). Mastini

(2013) juga memilah komponen pembentuk sikap.


Tiga komponen pokok yang akan bersama-sama membentuk sikap yang

utuh yaitu:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

2.2.2 Ciri Sikap

Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat

menggerakan perbuatan atau tingkahlaku terhadap objek diluar dirinya. Akan

tetapi tidak semua sikap muncul sama dengan sikap yang dimiliki oleh orang lain

walaupun objeknya sama. Menurut Walgito (2011), ada beberapa ciri sikap yaitu :

a. Sikap tidak dibawa sejak lahir Pada saat manusia dilahirkan belum

membawa sikap tertentu terhadap suatu objek. Sikap terbentuk dalam

perkembangan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu sikap itu

terbentuk, maka sikap itu dapat dipelajari, dan karenanya sikap dapat

berubah.

b. Sikap itu selalu berhubungan dengan objek sikap. Sikap selalu terbentuk

atau dipelajari dalam hubungannya dengan objekobjek tertentu, yaitu

melalui proses persepsi terhadap objek tersebut. Hubungan positif atau

negatif antara individu dengan objek tertentu, akan menimbulkan sikap

tertentu dari individu terhadap objek tersebut.

c. Sikap tertuju pada satu objek saja, tetapi dapat juga tertuju pada

sekumpulan objek-objek. Bila seseorang mempunyai sikap negatif pada

seseorang. Orang tersebut akan mempunyai kecenderungan untuk,

menunjukan sikap yang negatif pula, kepada kelompok dimana seseorang


tersebut tergabung didalamnya. Disini terlihat adanya kecenderungan

untuk menggeneralisasi objek sikap.

d. Sikap bisa berlangsung lama atau sebentar. Bila suatu sikap telah terbentuk

dan merupakan nilai dalam kehidupan seseorang, secara relatif sikap itu

akan lama bertahan pada diri orang yang bersangkutan. Sikap tersebut

akan sulit berubah, dan walaupun dapat berubah akan memakan waktu

yang relatif lama. Akan tetapi, sebaliknya bila sikap itu belum begitu

mendalam, dan ada pada dalam diri seseorang, maka sikap tersebut secara

relatif tidak bertahan lama, dan sikap tersebut akan mudah berubah.

e. Sikap mengandung perasaan dan motivasi Sikap terhadap suatu objek

tertentu akan selalu diikuti oleh perasaan tertentu yang dapat bersifat

positif (yang menyenangkan) tetapi juga dapat bersifat negatif (yang tidak

menyenangkan) terhadap ojek tersebut.

2.2.3 Tingkat Sikap

Menurut Notoatmodjo (2010) Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini

terdiri dari berbagai tingkatan.

a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang

terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap

ceramah-ceramah tentang gizi.

b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu

indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab


pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan

itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya,

saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke

posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si

ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu

yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling

tinggi. Misalnya, seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun

mendapat tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

2.3 Perilaku

2.3.1 Definisi

Menurut Kurt Lewin, perilaku adalah fungsi karakteristik individu (motif,

nilai-nilai, sifat kepribadian, dll) dan lingkungan, faktor lingkungan memiliki

kekuatan besar dalam menentukan perilaku, terkadang kekuatannya lebih besar

daripada karakteristik individu sehingga menjadikan prediksi perilaku lebih

komplek (suharyat, 2009).

2.3.2 Perilaku Kesehatan

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme

tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara

umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan penentu
dari perilaku makhluk hidup termasuk manusia. Hereditas atau faktor keturunan

adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup

itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk

perkembangan perilaku. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor dalam

rangka terbentunya perilaku tersebut disebut proses belajar (Notoatmodjo.S,

2010).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap

stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, serta lingkungan. Perilaku kesehatan itu mencakup:

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Tingkat pencegahan

penyakit:

a. Perilaku peningkatan pemeliharaan kesehatan

b. Perilaku pencegahan penyakit

c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan

d. Perilaku pemulihan kesehatan

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan.

3. Perilaku terhadap makanan

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui

melalui persepsi. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui

panca indera. Belajar adalah suatu perubahan perilakku yang didasari oleh

perilaku terdahulu.

Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,

motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mangolah rangsangan dari luar.
Sedangan faktor ekstern meiputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik

seperti iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.

(Notoatmodjo.S, 2007).

2.3.3 Batasan perilaku

Menurut Skiner (1938) dalam Notoadmodjo (2007) Merumuskankan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi terhadap stimulus (rangsangan dari

luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap

organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini

disebut teori “ S-O-R” atau stimulus organisme. Skiner membedakan adanya dua

respons yaitu:

a) Respondenst respon atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan- rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

eliciting stimulation karena menimbulkan respons-rspons yang relatif

tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk

makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya.

Respondens respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya

mendengar berita musibah menjadi lebih sedih atau menangis, lulus ujian

meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.

b) Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul

dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena

memperkuat respons. Misalnya apabila seseorang petugas kesehatan

melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau


job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasanya (stimulus

baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam

melaksanakan tugasnya.

Menurut Notoatmodjo (2007) dilihat dari bentuk respon stimulus ini maka

perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Perilaku tertutup (covert behavior) Respon atau reaksi terhadap stimulus

ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum

dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon terhadap stimulus tersebut sudah

jelas dalam atau praktik (practice) yang dengan mudah diamati atau dilihat

orang lain.

2.3.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku

diperilaku oleh 3 faktor utama, yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor ini mencakup

pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan

kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan,sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat

sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup

ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat,

misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan

tinja, ketersediaan makanan bergizi, dsb. Termasuk juga fasilitas


pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,

polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dsb. Termasuk

juga dukungan sosial, baik dukungan suami maupun keluarga.

3. Faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap

dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toma), sikap dan

perilaku pada petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang

peraturanperaturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang

terkait dengan kesehatan. (Notoatmodjo, S, 2010).

2.3.5 Perubahan-perubahan Perilaku

Perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan

kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan lainnnya.

1. Teori Stimulus-Organisme-Respon

Teori ini mendasarkan asumsi bahwa peyebab terjadinya perubahan

perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi

dengan organisme. Selanjutnya teori ini mengartikan bahwa perilaku dapat

berubah hanya apabila stimulus yang diberikan benar-benar melebihi dari

stimulus semula.

2. Teori Festinger (Dissonance Theory)

Teori ini berarti bahwa keadaan kognitif dissonance merupakan

keadaan ketidak seimbangan psikologis yang yang diliputi oleh

ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali.

Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka berarti sudah

tidak terjadi ketegangan diri lagi, dan keadaan ini disebut keseimbangan.

3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu

tergantung kepada keutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat

mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut

dapat mengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Katz berasumsi

bahwa:

a) Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan

memberikan pelayanan terhadap kebutuhan.

b) Perilaku dapat berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi

lingkungannya.

c) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti.

d) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dalam diri seseorang dalam

menjawab suatu situasi.

4. Teori Kurt Lewin Kurt

Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah suatu keadaan

yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-

kekuatan penahan. Ada 3 kemungkinan terjadinya perubahan perilaku

dalam diri seseorang yaitu :

a) Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat, karena stimulus yang

mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku.

b) Kekuatan-kekuatan penahan menurun, karena adanya stimulus

yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.

c) Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun.

( Notoatmodjo, 2009).
2.4 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah bentuk perwujudan

paradigma sehat dalam budaya individu, keluarga, dan masyarakat yang

berorientasi sehat dengan tujuan untuk meningkatkan, memelihara, dan

melindungi kesehatannya baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial (Depkes RI,

2006).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam rumah tangga adalah

upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu

melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan

kesehatan di masyarakat. PHBS merupakan salah satu strategi yang dilakukan

untuk menghasilkan kemandirian di bidang kesehatan baik di masyarakat maupun

keluarga. Sasaran PHBS di rumah tangga adalah seluruh anggota keluarga, yaitu

pasangan usia subur, ibu hamil dan menyusui, anak dan remaja, usia lanjut, serta

pengasuh anak (Depkes RI, 2007).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam rumah tangga memiliki

banyak manfaat bagi rumah tangga maupun masyarakat. Manfaat PHBS bagi

rumah tangga antara lain setiap anggota keluarga menjadi sehat dan tidak mudah

sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas, produktifitas keluarga meningkat, dan

pengeluaran biaya rumah tangga ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga,

pendidikan dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga. Sedangkan

manfaat PHBS bagi masyarakat antara lain mampu mengupayakan lingkungan

sehat, mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan, mampu

mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) (Depkes RI,

2011).
Terdapat 10 indikator PHBS dalam rumah tangga, yaitu :

1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

Yang dimaksud dengan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

adalah pertolongan persalinan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh

bidan, dokter, dan tenaga paramedis lainnya. Tenaga kesehatan menolong

persalinan tentu dengan menggunakan peralatan yang aman, bersih, dan

steril sehingga terhindar dari infeksi dan bahaya kesehatan lainnya

(Promkes Depkes RI, 2011).

2. Bayi diberi ASI Eksklusif

Adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI tanpa tambahan

makanan atau minuman lain. ASI adalah makanan alamiah berupa cairan

dengan kandungan gizi yang cukup dan sesuai untuk kebutuhan bayi,

sehingga bayi tumbuh dan berkembang dengan baik (Promkes Depkes

RI, 2011).

3. Penimbangan bayi dan balita setiap bulan

Penimbangan bayi dan balita bertujuan untuk memantau

pertumbuhan dan status gizi bayi dan balita setiap bulannya.

Penimbangan bayi dan balita dilakukan setiap bulannya mulai usia 1

bulan sampai 5 tahun di Posyandu. Hasil penimbangan dicatat di buku

KIA atau di Kartu Menuju Sehat (KMS).

4. Menggunakan air bersih

Air yang kita pergunakan sehari-hari untuk minum, memasak,

mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci


pakaian, dan kegiatan lainnya haruslah bersih, agar kita terhindar dari

penyakit. Keamanan cara penyimpanan air yang telah diolah penting

untuk mencegah rekontaminasi melalui penyimpanan air yang tidak

aman (Joe Brown, 2013). Syarat-syarat air bersih antara lain air tidak

berwarna, tidak keruh, harus bebas dari pasir, debu, lumpur, sampah,

busa dan kotorann lainnya, air tidak berasa dan harus bebas dari bahan

kimia beracun, serta air tidak berbau seperti bau amis, anyir, busuk atau

bau belerang. Air bersih dapat diperoleh dari mata air, air sumur atau air

sumur pompa, air ledeng/perusahaan air minum, air hujan, dan air dalam

kemasan.

5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun

Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri

penyebab penyakit. Bila digunakan, kuman dapat berpindah ke tangan dan

saat makan kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh sehingga dapat

menimbulkan penyakit. kita harus mencuci tangan saat setiap kali tangan

kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang, berkebun, dan

lain-lain), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi atau anak,

sebelum makan dan menyuapi anak, sebelum memegang makanan, dan

sebelum menyusui bayi. Cara mencuci tangan yang benar adalah dengan

menggunakan air bersih yang mengalir dan memakai sabun.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jessica H. et al (2017)

menyebutkan bahwa lebih dari 60% responden dilaporkan mencuci tangan

dengan sabun lebih dari 5 kali setiap hari terbukti menurunkan resiko

terkena penyakit infeksi.


6. Menggunakan jamban sehat

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan

kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk

dengan leher angsa atau tanpa leher angsa yang dilengkapi dengan unit

penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. Standar utama

dari tempat pembuangan kotoran adalah lingkungan tempat tinggal, tempat

produksi makanan, temapt umum dan sumber air minum terbebas dari

kontaminasi kotoran manusia (Murat Ersel, 2015). Penggunaan jamban

bertujuan untuk menjaga lingkungan bersih, sehat, tidak berbau, tidak

mencemari sumber air yang ada disekitarnya, serta tidak mengundang

datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit, seperti

diare, kolera, disentri, thypoid, kecacingan, penyakit saluran pencernaan,

dan penyakit kulit. Adapun syarat jamban sehat yaitu tidak mencemari

sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang

penampungan minimal 10 meter), tidak berbau, kotoran tidak dapat

dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah di sekitarnya,

mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap

pelindung, penerangan dan ventilasi cukup, lantai kedap air dan luas

ruangan memadai, serta tersedia air, sabun, dan alat pembersih.

7. Memberantas jentik di rumah seminggu sekali

Pemberantasan jentik dilakukan agar rumah bebas jentik. Yang

dimaksud dengan rumah bebas jentik adalah rumah tangga yang setelah

dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala tidak terdapat jentik nyamuk.

Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) adalah pemeriksaan tempat-tempat


perkembangbiakan nyamuk (tempat-tempat penampungan air) yang ada di

dalam rumah seperti bak mandi/WC, vas bunga, dan lain-lain, dan di luar

rumah seperti talang air, alas pot kembang, lubang pohon, pagar bambu,

dan lain-lain yang dilakukan secara teratur setiap minggu. Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara 3M plus (Menguras,

Menutup, Mengubur, plus Menghindari gigitan nyamuk). Sarana tempat

pembuangan sampah yang baik di setiap rumah hendaknya memiliki tutup

serta kedap air, terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak

mudah rusak, ditempatkan di luar rumah. Hal ini berfungsi agar bibit

penyakit tidak mudah ditularkan oleh vektor pembawa bibit penyakit

seperti lalat dan tikus (Matthew, 2017).

8. Makan buah dan sayur setiap hari

Makan sayur dan buah setiap hari sangat penting, karena

mengandung vitamin dan mineral yang mengatur pertumbuhan dan

pemeliharaan tubuh, serta mengandung serat yang tinggi. Setiap anggota

rumah tangga mengkonsumsi minimal 3 porsi buah dan 2 porsi sayuran

atau sebaliknya setiap hari. Banyak vitamin yang terkandung di dalam

sayur dan buah, seperti vitamin A, D, E, K, C, B, dan B12. Selain

mengandung vitamin, sayur dan buah mengandung serat yang berguna

untuk memelihara usus.

9. Melakukan aktifitas fisik setiap hari

Aktifitas fisik adalah melakukan pergerakan anggota tubuh yang

menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan

kesehatan fisik, mental, dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap


sehat dan bugar sepanjang hari. Setiap anggota keluarga diharapkan

melakukan aktifitas fisik paling sedikit 30 menit dalam sehari. Jenis

aktifitas fisik yang dilakukan bisa berupa kegiatan sehari-hari, seperti

berjalan kaki, berkebun, mencuci pakaian, mencuci mobil, mengepel

lantai, naik turun tangga, membawa belanjaan, serta bisa berupa

olahraga, seperti lari ringan, main bola, berenang, senam, dan lain-lain.

Aktifitas fisik sebaiknya dilakukan secara bertahap mulai dari gerakan

ringan, sebelum makan atau 2 jam setelah makan, diawali dengan

pemanasan dan peregangan.

10. Tidak merokok di dalam rumah

Rokok ibarat pabrik bahan kimia. Dalam satu batang rokok yang

dihisap akan dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya,

diantaranya yang paling berbahaya adalah nikotin, tar, dan Carbon

Monoksida (CO).

2.5 Klinik Sanitasi


Klinik sanitasi adalah upaya atau kegiatan yang mengintegrasikan

pelayanan kesehatan antara promotif, preventif dan kuratif yang difokuskan

pada penduduk yang beresiko tinggi untuk mengatasi masalah penyakit berbasis

lingkungan dan masalah kesehatan lingkungan pemukiman yang dilaksanakan

oleh petugas bersama masyarakat yang dapat dilaksanakan secara pasif dan aktif
di dalam dan di luar gedung puskesmas (Depkes RI, 2003).

Klinik sanitasi juga merupakan wahana masyarakat untuk mengatasi

masalah kesehatan lingkungan dan masalah penyakit berbasis lingkungan dengan

bimbingan, penyuluhan dan bantuan teknis dari petugas puskesmas. Klinik

sanitasi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri, akan tetapi sebagai

bagian integral dari kegiatan puskesmas dalam melaksanakan program ini

berkerjasama dengan lintas program dan lintas sektoral yang ada diwilayah kerja

puskesmas (Depkes RI 2000).

Dengan klinik sanitasi diharapkan dapat memperkuat peran dan

meningkatkan efektifitas puskesmas dalam melaksanakan pelayanan sanitasi

dasar guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan semua masalah yang

ada kaitannya dengan kesehatan lingkungan khususnya pengendalian penyakit

berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000).

Klinik sanitasi pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh

Puskesmas Wanasaba kabupatan Lombok Timur provinsi NTB sejak bulan

Nopember tahun 1995 dan selanjutnya kegiatan ini diikuti oleh beberapa

puskesmas yang ada di provinsi Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Sumatera

Selatan dan Kalimantan Selatan, pada tahun 2000 kegiatan klinik sanitasi sudah

sampai ke seluruh puskesmas di Indonesia (Depkes RI, 2000).

Dalam pelaksanaan program klinik sanitasi menjaring pasien/klien di

puskesmas dengan keluhan penyakit berbasis lingkungan dan lingkungan yang

tidak sehat sebagai media penularan dan penyebab penyakit yang dialami oleh

masyarakat selanjutnya dilaksanakan konseling dan kunjungan lapangan atau

kunjungan rumah untuk mencari jalan keluar akibat masalah kesehatan


lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan yang muncul di masyarakat

(Depkes RI, 2000).

Sesuai dengan Visi Indonesia Sehat 2010 tujuan jangka panjang yang

harus dicapai oleh setiap kabupaten diharapkan penduduk hidup dalam

lingkungan yang sehat, memiliki perilaku hidup sehat, bebas penularan penyakit

serta akses kepada pelayanan kesehatan yang adil, merata dan berkualitas

(Achmadi, 2008). Dengan demikian salah satu tujuan Pemerintah

kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan adalah membebaskan

penduduk dari penularan atau transmisi penyakit dengan cara menghilangkan

sumber penyakit dengan menciptakan lingkungan yang optimum, melakukan

penyehatan lingkungan, dan meningkatkan perilaku hidup sehat penduduk serta

memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit (Achmadi, 2008).

Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah keadaan lingkungan yang

optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan

yang optimal pula, ruang lingkup kesehatan lingkungan antara lain : perumahan,

pembuangan kotoran manusia, penyediaan air bersih, pembuangan sampah,

pembuangan air kotor dan pencemaran ruang lingkup tersebut harus dijaga untuk

mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar menjadi media yang baik

untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di

dalamnya (Notoatmodjo, 2007). Masalah kesehatan lingkungan menjadi sangat

komplek seperti urbanisasi penduduk dari desa ke kota, pembuangan sampah

yang dilakukan secara dumping tanpa adanya pengolahan, penyediaan air bersih

hanya 60% penduduk Indonesia mendapatkan air dari PDAM, tingkat

pencemaran udara sudah melebihi nilai ambang batas khususnya di kota-kota


besar, pembuangan limbah industri dan limbah rumah tangga yang tidak dikelola

dengan baik, bencana alam serta perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah

yang sering kali menimbulkan masalah baru bagi kesehatan lingkungan (Candra,

2007).

Ada beberapa pengertian yang harus di pahami dalam pelaksanaan

program klinik sanitasi selain pengertian klinik sanitasi itu sendiri (Depkes RI,

2001) yaitu :

2.5.1. Pengertian Pasien Klinik Sanitasi

Pasien klinik sanitasi adalah penderita penyakit yang diduga berkaitan

erat dengan kesehatan lingkungan yang dirujuk oleh petugas medis ke ruang

klinik sanitasi.

2.5.2. Pengertian Klien Klinik Sanitasi

Klien klinik sanitasi adalah masyarakat umum bukan penderita penyakit

yang dating ke puskesmas untuk berkonsultasi mengenai masalah yang

berkaitan dengan kesehatan lingkungan.

2.5.3. Pengertian Konseling

Adalah kegiatan wawancara mendalam dan penyuluhan yang bertujuan

untuk mengenal masalah lebih rinci kemudian diupayakan pemecahannya yang

dilakukan oleh petugas klinik sanitasi sehubungan dengan konsultasi

penderita/pasien yang datang ke puskesmas (Depkes RI, 2000).

2.6 Tujuan Klinik Sanitasi

2.6.1 Tujuan Umum Program Klinik Sanitasi


Klinik sanitasi bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat melalui upaya preventif, kuratif dan promotif yang dilakukan secara

terpadu, terarah dan terus menerus (Depkes RI, 2003).

2.6.2 Tujuan Khusus Program Klinik Sanitasi

1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat (pasien dan klien

serta masyarakat disekitarnya) akan pentingnya lingkungan sehat dan

perilaku hidup bersih dan sehat.

2. Masyarakat mampu memecahkan masalah kesehatan yang berhubungan

dengan kesehatan lingkungan.

3. Terciptanya keterpaduan lintas program-program kesehatan dan lintas

sector terkait, dengan pendekatan penanganan secara holistik terhadap

penyakit-penyakit berbasis lingkungan.

4. Untuk menurunkan angka penyakit berbasis lingkungan dan

meningkatkan penyehatan lingkungan melalui pemberdayaan

masyarakat.

5. Meningkatkan kewaspadaan dini terdapat penyakit-penyakit berbasis

lingkungan melalui Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) secara

terpadu (Depkes RI 2000).

2.7 Ruang Lingkup Klinik Sanitasi


Ruang lingkup kegiatan klinik sanitasi mencakup berbagai upaya antara lain

(Depkes RI, 2000) :

1. Penyediaan dan penyehatan air bersih/jamban dalam rangka

pencegahan penyakit diare, kecacingan dan penyakit kulit.

2. Penyehatan perumahan/pemukiman dalam rangka pencegahan

penyakit ISPA, TB-Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan

Malaria.

3. Penyehatan lingkungan tempat kerja dalam rangka pencegahan

penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau penyakit akibat

kerja.

4. Penyehatan makanan dan minuman dalam rangka pencegahan

penyakit saluran pencernaan atau keracunan makanan.

5. Pengamanan pestisida dalam rangka pencegahan dan penanggulangan

keracunan pestisida.

6. Pengamanan penyakit atau gangguan lainnya yang berhubungan

dengan kesehatan lingkungan.

2.8 Sasaran Program Klinik Sanitasi

Program klinik sanitasi dalam pelaksanaannya mempunyai sasaran sebagai

berikut (Depkes RI, 2000) :

1. Penderita penyakit yang berhubungan dengan masalah kesehatan

lingkungan yang datang ke puskesmas.

2. Masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah kesehatan

lingkungan yang datang ke puskesmas.


3. Lingkungan penyebab masalah bagi pasien/klien dan masyarakat

sekitarnya.

2.9 Sumber Daya Program Klinik Sanitasi

Dalam melaksanakan program klinik sanitasi diperlukan sumber daya untuk

mencapai tujuan program, sumber daya dalam program klinik sanitasi adalah

sebagai berikut (Depkes RI, 2000) :

2.9.1 Tenaga Pelaksana

Adapun tenaga yang dibutuhkan untuk melaksanakan program klinik

sanitasi adalah terdiri dari tenaga inti di bidang kesehatan lingkungan seperti

Sanitarian atau Diploma III Kesehatan Lingkuangan, disamping itu dalam

pelaksanaan program klinik sanitasi ini juga dibutuhkan tenaga pendukung seperti

dokter, bidan, perawat dan petugas gizi yang telah ditunjuk oleh pimpinan

puskesmas dalam pelaksanaan program, tenaga- tenaga tersebut diatas telah

mendapat pelatihan dan orientasi tentang program klinik sanitasi.

2.9.2 Prasarana dan Sarana Program Klinik Sanitasi

Prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program klinik

sanitasi adalah ruangan sebagai tempat petugas sanitasi melakukan kegiatan-

kegiatan penyuluhan, konsultasi, konseling, demonstrasi, pelatihan atau perbaikan

sarana sanitasi dasar dan penyimpanan peralatan kerja. Peralatan-peralatan klinik

sanitasi berupa alat-alat peraga penyuluhan, cetakan sarana air bersih dan jamban

keluarga, alat pengukur kualitas lingkungan (air, tanah dan udara), alat

transportasi untuk mendukung kegiatan program klinik sanitasi yang dilaksanakan

baik di dalam maupun di luar gedung puskesmas. Alat peraga dan media
penyuluhan yang digunakan dalam melaksanakan program klinik sanitasi antara

lain berupa maket, media cetak, sound system, media elektronik dan formulir

untuk pencatatan dan pelaporan hasil kegiatan (Depkes RI, 2000).

2.9.3 Sumber Dana Program Klinik Sanitasi

Untuk mendukung tercapainya cakupan program klinik sanitasi

dibutuhkan dana, adapun dana ini diperoleh dari APBD (Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah)

kabupaten/kota, APBD provinsi BLN (Bantuan Luar Negeri), kemitraan dan

swadaya masyarakat. Besarnya dana yang dibutuhkan sangat berbeda di masing-

masing puskesmas, tergantung masalah kesehatan lingkungan yang ditangani di

wilayah kerja puskesmas (Depkes RI, 2000).

2.10 Strategi Operasional

Agar program klinik sanitasi dapat mencapai tujuan seperti yang telah

ditetapkan, maka perlu adanya strategi operasional adalah sebagai berikut :

1. Penajaman masalah kesehatan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat

dan mengatasi dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitataif secara terpadu dan berkesinambungan.

2. Masalah dalam tiap puskesmas tidak lah sama, baik antar lingkungan

ataupun antar kelurahan oleh sebab itu harus dipahami benar peta

masalah kesehatan yang berkenaan dengan kesehatan lingkungan,

sehingga penanganannya menjadi lebih spesifik dan berorientasikan pada

hasil.

3. Membuat skala perioritas penanganan masalah kesehatan lingkungan

dengan mempertimbangkan segala sumber daya yang ada, karena sulit


untuk menangani semua masalah yang ada dalam waktu bersamaan, baik

luas wilayah maupun jenis penyakitnya.

4. Dilaksanakan secara terpadu dan bekerjasama dengan lintas program dan

lintas sektor di wilayah kerja puskesmas.

5. Menumbuh kembangkan peran serta masyarakat melalui kelembagaan

yang sudah ada seperti PKK, LSM, LKMD.

6. Mengutamakan segi penyuluhan, bimbingan teknis dan pemberdayaan

untuk menciptakan kemandirian masyarakat, penyuluhan juga dilakukan

dengan pemberian contoh dan keteladanan.

7. Mengupayakan dukungan dana dengan meningkatkan swadaya

masyarakat termasuk swasta selain sumber dana dari pemerintah (Depkes

RI, 2000).

2.11 Kegiatan Klinik Sanitasi

2.11.1 Dalam Gedung Puskesmas

Semua pasien yang mendaftar di loket pendaftaran, setelah mendapat kartu

stastus kemudian diperiksa oleh petugas medis, paramedis puskesmas, apabila

didapat penderita penyakit yang berhubungan erat dengan faktor lingkungan

maka pasien tersebut dirujuk ke klinik sanitasi. Di ruang klinik sanitasi petugas

mewawancarai pasien mengalami penyakit yang dialami dikaitkan dengan

lingkungan, petugas mencatat keterangan pasien, serta memberikan penyuluhan

dan data yang diperlukan ditulis dalam kartu status kesehatan lingkungan,

petugas juga membuat janji dengan pasien untuk melakukan kunjungan rumah
untuk melihat langsung faktor resiko penyakit yang dialami pasien tersebut

(Depkes RI, 2000).

Kegiatan lain didalam gedung adalah petugas membahas segala

permasalahan kesehatan lingkungan, cara pemecahan masalah, hasil monitoring

atau evaluasi dan pelaksanaan klinik sanitasi dalam mini loka karya puskesmas

yang melibatkan seluruh penanggungjawab kegiatan dan dilaksanakan satu bulan

sekali, dengan demikian diharapkan dapat dilakukan penanganan klinik sanitasi

secara integratif dan komprehensif (Depkes RI, 2000).

2.11.2 Kegiatan Klinik Sanitasi di Luar Gedung Puskesmas

Kegiatan luar gedung ini adalah kunjungan rumah atau lokasi sebagai rencana

tindak lanjut kunjungan pasien/klien ke klinik sanitasi di puskesmas, kunjungan

rumah ini untuk mempertajam sasarannya karena pada saat kunjungan petugas

telah memiliki data pasti adanya sarana lingkungan bermasalah yang perlu

diperiksa dan faktor-faktor perilaku yang berperan besar dalam proses terjadinya

masalah kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan.

Dalam kunjungan rumah petugas klinik sanitasi bekerjasama dengan lintas

program dan lintas sektor, apabila dibutuhkan suatu perbaikan atau pembangunan

sarana sanitasi dasar dengan biaya besar, seperti pembangunan sistem perpipaan

untuk air bersih yang kurang terjangkau oleh masyarakat setempat, maka petugas

dapat bekerjasama dengan lintas sektor, perlu diingat bantuan yang diberikan

berupa stimulan masyarakat harus dimotivasi untuk swadaya sehingga menjadi

sarana sanitasi dasar yang lengkap (Depkes RI, 2000).


2.12 Kriteria Keberhasilan Program Klinik Sanitasi

Lingkungan mempunyai dua unsur pokok yang sangat erat kaitannya satu

sama lain yaitu unsur fisik dan sosial, lingkungan fisik dapat mempunyai

hubungan langsung dengan kesehatan dan perilaku sehubungan dengan kesehatan

seperti akibat pengelolaan limbah yang tidak memenuhi syarat dapat

menimbulkan penyakit antara lain ISPA, DBD, diare, Malaria, TBC serta

penyakit kulit. Lingkungan sosial seperti ketidakadilan social yang menyebabkan

kemiskinan yang berdampak terhadap status kesehatan masyarakat yang

mengakibatkan timbulnya penyakit berbasis lingkungan (Depkes RI, 2001).

Keberhasilan pelaksanaan program klinik sanitasi ini dapat ditunjukkan

dengan meningkatnya persentase keluarga menghuni rumah yang memenuhi

syarat kesehatan menjadi 80%, persentase keluarga menggunakan air bersih

menjadi 85%, persentase keluarga menggunakan jamban yang memenuhi syarat

kesehatan menjadi 80% dan persentase tempat-tempat umum yang sehat menjadi

80% (Depkes RI, 2006).

Selain itu indikator keberhasilan program klinik sanitasi dibagi dua yaitu

(Depkes RI, 2000) :

2.12.1 Indikator Keberhasilan Langsung

a. Meningkatkan kunjungan klien dan menurunkan angka penderita penyakit

berbasis lingkungan.

b. Makin meningkat pembangunan sarana kesehatan lingkungan dengan

swadaya masyarakat.
2.12.2 Indikator Tidak Langsung

a. Penurunan angka kejadian penyakit yang menjadi prioritas penanganan

seperti diare, kecacingan, penyakit kulit, ISPA, TB-Paru, DBD, Malaria,

penyakit akibat kerja, penyakit saluran pencernaan dan keracunan.

b. Terciptanya hubungan dan kerjasama yang baik antara lintas program dan

lintas sektor di wilayah kerja puskesmas.

c. Terbentuknya kelembagaan di tingkat desa/kelurahan yang aktif dalam

melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan secara swadaya dan

berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai