Anda di halaman 1dari 8

Evaluasi dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV

Pendahuluan
Infeksi pada rongga pleura merupakan salah satu penyakit tertua dan seringkali sulit
untuk diobati. Drainase rongga pleura pertama kali dilakukan oleh Hippocrates sekitar 2000
tahun yang lalu untuk mengobati empiema. Selama masa pandemic influenza tahun 1917-1919,
drainase pleura tertutup banyak digunakan dalam terapi empiema post-pneumonia. Pengenalan
dini sangat penting dalam penatalaksanaan empiema, karena meskipun sudah mendapatkan
terapi yang sesuai, mortalitas pasien dengan empiema masih tetap berksar antara 15-20% dan
bahkan lebih tinggi pada pasien dengan gangguan imunitas.1
Definisi empiema adalah adanya pus / nanah di rongga pleura. 1, 2
Kelainan ini dapat
menyerang semua kelompok usia, tanpa memandang jenis kelamin maupun ras tertentu. Insiden
empiema di berbagai belahan dunia dilaporkan meningkat, seiring dengan meningkatnya angka
penderita HIV/AIDS dan penggunaan obat-obat imunosupresan serta resipien transplantasi
organ. Empiema juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari trauma toraks dan tindakan
pembedahan (cth: reseksi paru, reseksi esophagus).1
Light memperkenalkan klasifikasi efusi parapneumonik pada tahun 1995, berdasarkan
parameter klinis, radiologis, laboratorium dan penatalaksanaannya (Tabel 1). 3 Yang termasuk
dalam pembahasan ini adalah empiema toraks sesuai kelas IV – VII menurut klasifikasi Light.
Klasifikasi lain membagi empiema berdasarkan etiologinya, yaitu empiema primer dan empiema
sekunder. Empiema sekunder dapat terjadi pasca reseksi paru (dengan atau tanpa fistula
bronkopleura), pasca pembedahan lain, dan pasca trauma.2

Etiologi dan Patofisiologi


Mikroorganisme penyebab empiema tidak selalu dapat diidentifikasi. Prevalensi pus yang
dari rongga toraks yang ternyata steril pada pemeriksaan mikrobiologi berkisar antara 47-56%.2
Apabila berhasil diisolasi, jenis mikroorganismenya pun berbeda-beda antara satu pusat
kesehatan dengan pusat kesehatan lainnya. Karena itu data pola mikroorganisme di suatu pusat
kesehatan mutlak diperlukan sebagai bagian dari tatalaksana empiema yang paripurna.
Umumnya, mikroorganisme famili Streptococcus mendominasi temuan pada empiema toraks.1
Tabel 1. Klasifikasi Light3

Kelas Nama Kriteria


I Efusi parapneumonik non signifikan Ukuran kecil, tebal < 10 mm
Tidak memerlukan torakosintesis
II Efusi parapneumonik tipikal Tebal > 10 mm
Glukosa > 40 mg/dL, pH > 7,20
Pulasan Gram dan kultur negatif
Antibiotik saja
III Efusi parapneumonik perbatasan dengan komplikasi 7,00 < pH < 7,20 dan/atau
LDH > 1000 dan Glukosa > 40 mg/dL
Pulasan Gram dan kultur negative
Antibiotik + Torakosintesis serial
IV Efusi parapneumonik simple dengan komplikasi pH < 7,00 dan/atau Glukosa < 40 mg/dL
Pewarnaan Gram dan kultur positif
Tidak ada lokulasi dan pus nyata
WSD + Antibiotik
V Efusi parapneumonik kompleks dengan komplikasi pH < 7,00 dan/atau Glukosa < 40 mg/dL
Pewarnaan Gram dan kultur positif
Multilokulasi
WSD + Trombolitik
VI Empiema simple Pus nyata terlihat
Satu lokulasi atau “free flowing”
WSD +/- Dekortikasi
VII Empiema kompleks Pus nyata terlihat
Multilokulasi
WSD + Trombolitik
Torakoskopi atau dekortikasi

Terjadinya empiema yang berawal dari infeksi parapneumonik atau proses iatrogenik
dapat diterangkan sebagai berikut. Infeksi parenkim paru merangsang aktivasi proses imun lokal
di pleura, antara lain migrasi netrofil, pelepasan sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-8 dan
TNF-a. Mediator-mediator ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel-sel mesotel yang
berperan dalam peningkatan akumulasi cairan di rongga pleura. Dengan inflamasi yang terus
menerus, disertai peningkatan permeabilitas kapiler dan mesotel, terjadilah ekstravasasi plasma
ke dalam rongga pleura. Aktivasi dari cascade koagulasi dalam rongga pleura inilah yang
menyebabkan terjadinya efusi parapneumonik dengan komplikasi atau ‘fibropurulen” yang
ditandai oleh penumpukan fibrin pada kedua permukaan pleura dan multilokulasi akibat adanya
septa-septa fibrin.1

Diagnosis
Kriteria diagnostic empiema toraks, terlepas dari etiologi dan kuman penyebabnya,
adalah jika ditemukan2:
1. Pus yang nyata terlihat pada torakosintesis atau terdeteksinya mikroorganisme (Gram
atau kultur), atau uji-uji lain positif untuk:
2. pH < 7,20, glukosai < 40 mg/dL, LDH > 1000 IU/ml, protein > 3g/ml dan leukosit >
15000 sel/mm3.
3. Tanda klinis, radiologis dan laboratorium sesuai dengan gambaran klinis empiema

Pemeriksaan Klinis
Dalam anamnesis pasien-pasien dengan kecurigaan empiema, harus ditanyakan mengenai
riwayat infeksi paru yang mungkin terjadi, lengkap dengan pengobatan yang sudah pernah
dijalani. Selain itu, riwayat trauma maupun pembedahan juga tidak boleh luput dari kajian
anamnesis.
Pemeriksaan fisik yang menonjol adalah demam, nyeri pleuritik terlokalisasi, batuk
berdahak dan leukositosis. Selain itu perlu diwaspadai juga tanda-tanda sistemik seperti
penurunan berat badan disertai hilangnya nafsu makan, terutama bila pasien tersebut diduga
menderita tuberculosis.
Pemeriksaan Radiologis
Semua pasien dengan gejala pneumonia atau yang tidak berespon terhadap terapi
antibiotika dan/atau yang memiliki opasitas di proyeksi pleura pada foto polos toraks AP, perlu
menjalani pemeriksaan radiologi lanjutan. Foto polos toraks lateral sangat bermanfaat pada
empiema toraks dengan memperlihatkan sudut kostofrnikus posterior yang tumpul atau tidak
terlihatnya hemidiafragma.1
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat memperlihatkan lokulasi dan septasi, di
samping itu juga meningkatkan angka keberhasilan torakosintesis pada kasus tersebut. Pasien-
pasien dengan septasi yang nyata terlihat pada USG memiliki prognosis yang lebih buruk, angka
perawatan ICU dan mortalitas yang lebih tinggi.1
CT-scan dada menyediakan informasi yang lengkap mengenai kondisi infiltrate parenkim
paru, keberadaan abses paru dan posisi drain toraks, walaupun kadangkala pemeriksaan ini juga
tidak mampu memprediksi fase empiema yang sedang terjadi, akibatnya tidak cukup informatif
untuk memperkirakan tingkat kesulitan dari tindakan operasi yang akan dikerjakan, berkaitan
dengan kondisi organ dan berat-ringannya perlekatan yang sudah terjadi.1
Pemeriksaan Laboratorium
Analisa cairan pleura yang didapatkan dari torakosintesis atau produksi WSD sangat
penting untuk dikerjakan. Aktivitas fagositosis netrofil dengan produksi protease dan lisis
dinding sel, menyebabkan turunnya pH cairan pleura, disertai turunnya kadar glukosa.
Peningkatan sel-sel inflamasi dalam rongga pleura menyebabkan kadar lactate dehydrogenase
(LDH) ikut meningkat, bahkan kadangkala sampai tiga kali nilai normal.

Terapi
Prinsip penatalaksanaan empiema adalah1, 2:
1. Evakuasi pus
2. Obliterasi rongga empiema dan pengembangan paru
3. Eradikasi kuman
Ketiga hal tersebut seling terkait. Kontrol infeksi dengan melakukan eradikasi kuman
tidak akan serta merta tercapai tanpa menghilangkan “dead space” dalam rongga pleura. Tujuan
tersebut dicapai dengan kombinasi dari beragam metode mulai terapi medikamentosa, drainase
tertutup, fibrinolitik, dan pembedahan.
Drainase tertutup
Evakuasi pus dilakukan dengan torakosintesis atau bila perlu menggunakan drain toraks
yang disambung ke sistem WSD (lihat klasifikasi Light). Pada kasus-kasus empiema yang sudah
mengalami multilokulasi, dapat dipasang beberapa drain sekaligus, yang pemasangannya
difasilitasi dengan bantuan USG.2 Penggunaan kateter drainase berukuran kecil sering menjadi
masalah karena akan mudah tersumbat, meskipun dari segi kenyamanan pasien jauh lebih baik.
Untuk menyiasati hal tersebut, dapat diupayakan irigasi rongga pleura, baik dengan metode
siklik maupun irigasi kontinu (menggunakan 2 atau lebih drain).1

Antibiotika
Segera setelah pus berhasil dievakuasi, antibiotika spectrum luas harus segera diberikan.
Pilihan jenis antibiotika disesuaikan dengan pola kuman di pusat kesehatan setempat .
Rekomendasi British Thoracic Society menganjurkan penggunaan kombinasi cefuroxime dan
metronidazole atau co-amoxiclav ditambah meropenem untuk kasus-kasus yang hospital based.1

Fibrinolitik
Adanya septa-septa seringkali menghambat evakuasi pus dari rongga pleura, sehingga
memperpanjang lama waktu perawatan dan penggunaan drain toraks, bahkan juga meningkatkan
angka pembedahan. Untuk mengatasi masalah ini, dapat diberikan terapi fibrinolitik yang
bertujuan untuk meningkatkan drainase rongga pleura tersebut. Namun demikian, walaupun
penggunaan streptokinase atau urokinase bermanfaat untuk meningkatkan volume drainase,
namun secara keseluruhan tidak memperbaiki hasil akhir pada pasien. Uji pada binatang
menunjukkan bahwa streptokinase justru merangsang akumulasi cairan, bahkan pada rongga
pleura yang normal, sehingga menjelaskan terjadinya peningkatan produksi pleura yang dramatis
setelah instilasi fibronolitik. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian fibrinolitik
intrapleura tidak menurunkan mortalitas dan perlunya tindakan bedah pada empiema toraks.1, 2

Pembedahan
Pembedahan seyogyanya tidak dijadikan sebagai terapi pamungkas, sehingga hanya
dikerjakan setelah terapi yang lain mengalami kegagalan. Keputusan untuk melakukan intervensi
bedah justru harus dibuat sedini mungkin, karena akan berpengaruh pada hasil akhir dan
prognosis pasien tersebut.2 Pembedahan yang “terlambat” dikerjakan, yaitu setelah perlekatan
intrapleura menjadi hebat, dan fungsi paru menjadi sangat menurun, akan berujung pada
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Pasien yang gagal mengalami kemajuan setelah pengobatan antibiotik dan drainase
tertutup, serta terus mengalami gejala infeksi seperti demam dan leukositosis, merupakan
kandidat kuat untuk menjalani pembedahan.2
Jenis pembedahan yang dikerjakan pada empiema antara lain dekortikasi (dengan
torakotomi maupun torakoskopi / VATS), torakoplasti, maupun torakostomi open window.
Pilihan jenis pembedahan dilakukan berdasarkan stadium klinis, kondisi pasien, fasilias kamar
operasi dan kebiasaan ahli bedah.

Dekortikasi
Dekortikasi dikerjakan apabila parenkim paru tidak mampu mengembang (trapped lung)
oleh karena adanya lapisan radang tebal (pleural peel) pada pasien yang dapat mentoleransi
pembedahan mayor. Metode ini amat bergantung pada elastisitas paru untuk mengisi rongga
pleura, dengan membebaskan parenkim dari pleural peel yang menekannya. Jika empiema sudah
berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan demikian sudah berada pada stadium III, operasi ini
hanya boleh dikerjakan pada pasien yang dapat mentoleransi tindakan mayor. Mortalitas pasca
dekortikasi beriksar antara 1,3 – 6,6%.2
Pasien dengan empiema stadium III mengalami penurunan perfusi paru 20-25% pada sisi
yang terkena. Dekortikasi dapat memperbaiki hal ini, dan meningkatkan kapasitas vital paru dari
62% menjadi 80% serta FEV1 dari 50% menjadi 69%. 2 Namun demikian, karena kerusakan
paru yang sudah terjadi, fungsi paru yang terkena tetap tidak membaik, meskipun parameter-
paremeter tersebut diatas mengalami peningkatan. Oleh karenanya, pada pasien dengan infeksi
parapneumponik lama dan/atau penderita tuberculosis, hasil akhir dekortikasi seringkali sulit
diramalkan. Pada pasien yang jelas memiliki gejala, dekortikasi akan memberikan hasil yang
baik, namun perbaikan yang signifikan mungkin tidak akan tampak pada pasien yang
asimtomatik.
Selain dari pendekatan bedah terbuka, dekortikasi dapat pula dikerjakan dengan bantuan
torakoskopi (VATS), tentu saja dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari segi teknis
pembedahan.2, 4, 5 Angka keberhasilannya 68-93% dengan angka konversi ke bedah terbuka 5-8%
pada stadium I, dan meningkat menjadi 10-25% pada stadium II.2 Pasien dengan riwayat
perjalanan penyakit kurang dari 4 minggu memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami
perbaikan klinis hanya dengan VATS saja, sementara yang lebih dari 5 minggu biasanya
memerlukan dekortikasi dengan pembedahan terbuka.2, 4
Kelebihan dari VATS dibanding
pembedahan terbuka adalah dalam hal kenyamanan pasien dan nyeri yang lebih ringan.2, 5
Sebagai alternatif dari VATS, dapat dilakukan pembedahan terbuka dengan torakotomi
muscle sparring (aksilaris) yang agresivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan pembedahan
konvensional metode Fowler-Delorme. Kemungkinan terjadinya fistula bronkopleural maupun
pleurokutaneus juga semakin mengurangi agresivitas dalam hal reseksi paru parenchyma
sparring sampai 10,1% kasus.2

Torakoplasti
Terapi kolaps, dengan melakukan remodeling dinding osteomuskular rongga toraks
dengan tujuan mengendalikan proses inflamasi, merupakan salah satu terapi efektif pertama
dalam bidang bedah toraks.2 Di masa kini, terapi ini digunakan untuk “mengisi” rongga yang
semula diisi oleh empiema, baik dengan menghilangkan jarak antara parenkim paru
(mengkolapskan atap rongga dada) dan/atau mentransposisikan jaringan hidup (cth: otot,
omentum) untuk mengisi rongga tersebut.2, 6
Selain berfungsi sebagai bahan untuk mengisi
rongga empiema, otot atau omentum yang ditransposisikan tersebut dapat pula bermanfaat untuk
“memperkuat” stump bronkus dalam mencegah atau mengobati fistula bronkopleura atau
esofagopleura. Otot yang dapat dipergunakan antara lain adalah m. Latissimus dorsi, m.
Trapezius, m. Rhomboid dan m. Serratus anterior.6
Tindakan ini dapat dikerjakan secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan metode
terapi bedah yang lain. Untuk menghindari morbiditas jangka panjang, seperti skoliosis dan
deformitas lain, diperlukan perencanaan yang matang dan teknik pembedahan yang baik dalam
melakukan torakoplasti.2

Open Window
Pada keadaan dimana torakoplasti tidak mungkin dikerjakan, sedangkan drainase dengan
atau tanpa dekortikasi tidak mampu mengontrol penyakit, dapat dikerjakan torakostomi open
window.2 Torakostomi, dengan melakukan marsupialisasi rongga empiema melalui reseksi iga
dan drainase terbuka, dapat merupakan terapi definitif maupun terapi antara sebelum dilakukan
torakoplasti. Tindakan ini merupakan pilihan utama pada kasus dimana terjadi “supply”
mikroorganisme terus menerus ke dalam rongga empiema, seperti yang terjadi pada fistula
bronkopleura. Kegagalan torakoplasti berhubungan dengan keganasan, fungsi yang buruk dan
infeksi lokal yang terus menerus dan tidak dapat dikendalikan.2
Indikasi utama dari tindakan ini adalah empiema pasca operasi, biasanya disertai fistula
bronkopleura, dan jarang dikerjakan pada kasus parapneumonik dan pasca trauma. Dikenal
beberapa macam metode antara lain Elloesser, Clagett, dan Weder.2

Rangkuman
Penatalaksanaan pleura yang paripurna memerlukan kajian yang mendalam mengenai
riwayat penyakit, stadium klinis dan kondisi fisik pasien. Tiga prinsip yang harus diperhatikan
adalah evakuasi pus, eradikasi mikroorganisme dan obliterasi rongga empiema. Pilihan metode
terapi saat ini cukup beragam, disesuaikan dengan kebutuhan pasien, fasilitas yang tersedia serta
kemampuan dan kebiasaan ahli bedah yang mengerjakannya.
Prognosis

1. Brims, F., et al., Empyema thoracis: new insights into an old disease. Eur Respir Rev, 2010.
19(117): p. 220-8.
2. Molnar, T., Current surgical treatment of thoracic empyema in adults. Eur J Cardiothoracic Surg
2007. 32: p. 422-30.
3. Light, R., A new classification of parapneumonic effusions and empyema. Chest, 1995. 108: p.
299-301.
4. Yamaguchi, M., et al., VATS for fibropurulent thoracic empyema. Ann Thorac Cardiovasc Surg
2009. 15: p. 368-72.
5. Chen, D., et al., Surgical treatment of empyema thoracic: is VATS better than thoracotomy. Ann
Thorac Surg, 2007. 84: p. 225-31.
6. Krassas, A., et al., Current indications and results for thoracoplasty and intrathoracic muscle
transposition. Eur J Cardiothoracic Surg, 2010. 37: p. 1215-20.

Anda mungkin juga menyukai