Anda di halaman 1dari 8

Bioteknologi adalah pemanfaatan prinsip-prinsip ilmiah dengan menggunakan mikroorganisme atau

system hayati (enzim, sel, mikroorganisme, tumbuhan, hewan, dan manusia) untuk menghasilkan
produk atau jasa guna kepentingan manusia. Di dalam bioteknologi 3 dilakukan rekayasa organisme atau
komponen organisme untuk menghasilkan barang dan jasa untuk meningkatkan kesejahteraan manusia
(Syamsuri 2004).

TEMPE
Sebagai kapang filamen dari kelas Zygomycetes, Rhizopus sp. dikenal sebagai jamur yang penting dalam
pembuatan makanan maupun pakan. Sebagai agen fermentasi, Rhizopus sp. sebagai komponen utama
ragi tempe, sudah sangat dikenal dalam pembuatan makanan fermentasi asli Indonesia, yakni tempe
kedelai. Pemanfaatan Rhizopus sp. juga telah meluas hingga mencakup bahan baku nonkedelai dan
dilakukan di berbagai negara seperti kacang polong liar in India (Niveditha and Sridhar 2014), jewawut di
Swedia (Feng et al. 2007), soba di Polandia (Wronkowska et al. 2015), jelai di India (Sandhu and Punia
2017), kacang rumput di Polandia (Starzyńska-Janiszewska et al. 2015), sereal di Swedia (Eklund-Jonsson
et al. 2006), dan kacang lupin di Indonesia (Priatni et al. 2013). Selain makanan untuk manusia, Rhizopus
sp. juga dikembangkan sebagai makanan hewan atau pakan, baik sebagai agen fermentasi untuk
memperbaiki kualitas nutrisi bahan pakan (Umam et al. 2015; Kurniati et al. 2017; Valdez-González et al.
2017), maupun sebagai biomassa atau komponen bahan pakan kaya nutrisi, khususnya protein (Ferreira
et al. 2013; Abro et al. 2014a; Abro et al. 2014b; Langeland et al. 2016; Satari et al. 2016; Vidakovic et al.
2016; FazeliNejad et al. 2016; Souza Filho et al. 2017). Selain perubahan secara biokimiawi, pengaruh
berubahan fisik substrat akibat fermentasi Rhizopus sp. telah diteliti pula. Handoyo dan Morita (2006)
meneliti struktur tempe kedelai hasil fermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus, dimana terjadi
disorganisasi organel sel-sel kedelai selama fermentasi berlangsung sedemikian hingga dinding sel,
sitoplasma, dan vakuola sulit dibedakan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa struktur tempe yang
difermentasi selama 48 jam memiliki modulus elastisitas (1,02 x 109 Pa), dan titik luluh (8,17 x 106 Pa)
yang nilainya lebih tinggi daripada tempe yang difermentasi selama 48 dan 72 jam. Varzakas (1998)
mengukur tingkat penetrasi hifa Rhizopus oligosporus ke dalam substrat butiran utuh kedelai dan
substrat tepung bungkil kedelai pasca fermentasi selama 40 jam. Pengamatan yang dilakukan secara
histologis tersebut menunjukkan bahwa benang-benang hifa menembus kedua jenis substrat tersebut
masing-masing hingga kedalaman 2 mm dan 5–7 mm. Kekuatan benang-benang hifa Rhizopus dalam
mengikat keping biji kedelai meningkat hingga setelah sekitar 30 jam diinkubasi, dan melemah seiring
tempe tersebut semakin matang dan mengalami penuaan (Ariffin et al. 1994). Menggunakan strain
Rhizopus dan perlakuan kedelai yang berbeda prafermentasi untuk mengembangkan metode
pengukuran tingkat pelunakan kedelai selama fermentasi tempe, Manurukchinakorn dan Fujio (1997)
mengemukakan persamaan F = C(∆ɛ) n berdasarkan kurva gaya-deformasi kedelai yang difermentasi
Rhizopus. Nilai n, yakni pangkat dari persamaan tersebut, merupakan estimasi tingkat pelunakan
(maserasi) kedelai fermentasi, yang bergantung pada strain Rhizopus yang digunakan. Hasil penelitian
tersebut, yang melibatkan fermentasi selama 60 jam pada suhu 30C, menunjukkan bahwa nilai n
kurang dari 1,5 dianggap sebagai derajat pelunakan yang sangat tinggi oleh aktifitas Rhizopus.
Olanipekun et al. (2009) meneliti perubahan fisik pada ekstrak pati tepung kedelai akibat fermentasi
butiran kedelai oleh Rhizopus oligosporus antara jam ke-0 hingga ke-72. Hasilnya adalah, antara lain,
terjadinya peningkatan kemampuan mengembang, kelarutan, daya serap, dan daya ikat air seiring
dengan semakin bertambah lamanya waktu fermentasi. Namun, trend sebaliknya terjadi pada
karakteristik pasta, dimana durasi fermentasi berpengaruh negatif terhadap nilai viskositas. Fermentasi
menggunakan kapang Rhizopus sp. memunculkan kemampuan mengapung pada permukaan air (Umam
et al. 2015; Pradana et al. 2017). Karakteristik ini dapat diterapkan, antara lain, dalam pengapungan
pakan ikan. Pakan ikan yang mengapung memudahkan pemberian pakan sesuai kebutuhan. Pakan yang
tersisa dalam kolam karena tidak habis dimakan ikan akan mengalami penguraian oleh bakteri
heterotrofik yang mengonsumsi oksigen dalam air. Proses ini juga menaikkan konsentrasi amonia dan
nitrit pada taraf yang dapat bersifat toksik terhadap ikan dalam waktu cepat (Somerville et al. 2014).

Fermentasi merupakan suatu cara yang telah dikenal dan digunakan sejak lama sejak
jaman kuno. Fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi produk tertentu
yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba. Bioteknologi berbasis fermentasi
sebagian besar merupakan proses produksi barang dan jasa dengan menerapkan teknologi
fermentasi atau yang menggunakan mikroorganisme untuk memproduksi makanan dan minuman
seperti: keju, yoghurt, minuman beralkohol, cuka, sirkol, acar, sosis, kecap, dll (Nurcahyo,
2011).
Menurut Suprapti (2003) dalam Sukardi (2008) Tempe merupakan salah satu hasil
fermentasi kedelai yang sudah cukup dikenal sebagai makanan yang bermanfaat bagi kesehatan.
Tempe mengandung vitamin B12 yang biasanya terdapat dalam daging dan juga merupakan
sumber protein nabati selain sebagai sumber kalori, vitamin dan mineral (Suprapti, 2003 dalam
Sukardi, 2008).
Kata “tempe” diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada masyarakat Jawa Kuno
terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi . Makanan
bernama tumpi tersebut terlihat memiliki kesamaan dengan tempe segar yang juga berwarna
putih. Boleh jadi, ini menjadi asal muasal dari mana kata “tempe” berasal (PUSIDO Badan
Standardisasi Nasional, 2012).
Tempe merupakan makanan yang terbuat biji kedelai atau beberapa bahan lain yang
diproses melalui fermentasi dari apa yang secara umum dikenal sebagai “ragi tempe”. Lewat
proses fermentasi ini, biji kedelai mengalami proses penguraian menjadi senyawa sederhana
sehingga mudah dicerna (PUSIDO Badan Standardisasi Nasional, 2012).
Secara umum tahu dan tempe dibuat dari bahan baku kedelai. Sekitar 80% kedelai
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industry tahu dan tempe sedangkan sisanya digunakan
oleh berbagai macam industry seperti kecap, susu kedelai, makanan ringan dan sebagainya.
Dalam beberapa tahun terakhir produksi kedelai di Indonesia terus berkurang dan tidak mampu
memenehui kebutuhan (Haliza, 2007).
Tempe merupakan olahan kedelai dengan fermentasi kapang Rhizopus. Kapang yang
sering digunakan dalam pembuatan tempe, adalah Rhizopus microsporus dan R. oryzae. Kedua
kapang tersebut mempunyai aktivitas enzim β-glukosidase berbeda. Aktivitas enzim β-
glukosidase R. microsporus var. chinensis lebih kuat daripada R. oryzae (Purwoko et al., 2001
dalam Purwoko, 2004).
Proses pembuatan tempe dapat terbilang membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga
diperoleh hasil jadi tempe, waktu yang dibutuhkan yaitu minimal 24 jam dan maksimal 72 jam.
Lamanya proses pembuatan tempe karena proses fermentasi. Fermentasi akan berlangsung baik
dan cepat bila dibantu dengan kondisi suhu yang optimal, jumlah ragi yang tepat dan pH yang
asam (±4-5) (Widayati, 2002 dalam Lumowa, 2014).
Waktu fermentasi memberikan pengaruh dalam kualitas produk suatu produk, produk
fermentasi adalah produk yang dapat diterima baik secara kenampakan, aroma serta nutrisi yang
dihasilkan. Fermentasi dibantu oleh mikroorganisme yang memiliki fase hidu logaritmik.
Sehingga untuk mendapatkan produk fermentasi yang terbaik harus mengetahui fase
pertumbuhan optimal dari mikroorganisme yang dimanfaatkan tersebut (Darajat. 2014).
1. Membersihkan kedelai, kacang tanah, dan kacang merah dari kotoran-kotoran kemudian
direndam dengan air bersih selama 12-18 jam.
2. Melepaskan kulit biji kedelai, kacang tanah, dan kacang merah yang telah lunak, kemudian
mencucinya dengan menggunakan air bersih.
3. Mengukus masing-masing kedelai, kacang tanah, dan kacang merah tersebut sampai empuk.
4. Setelah biji kedelai, kacang tanah, dan kacang merah terasa empuk, menuangkan masing-masing
biji tersebut pada talang yang telah dibersihkan, lalu diangin-anginkan dengan kipas sambil
diaduk hingga biji tersebut menjadi hangat.
5. Menaburkan ragi tempe pada masing-masing kedelai, kacang tanah, dan kacang merah sedikit
demi sedikit sambil diaduk-aduk supaya merata.
6. Menyiapkan kantong plastik kemudian memberi lubang dengan menggunakan jarum
7. Memasukkan masing-masing kedelai, kacang tanah, dan kacang merah yang telah diberi ragi ke
dalam pembungkus yang berbeda setiap jenis kacang. Mengatur ketebalannya sesuai dengan
selera dan simpan ke dalam kardus untuk proses fermentasi.
8. Proses fermentasi kedelai, kacang tanah, dan kacang merah ini pada suhu kamar selama satu atau
dua hari hingga seluruh permukaan kacang kedelai tertutupi jamur.

Youghurt
PENDAHULUAN Produk makanan dan minuman hasil fermentasi dari berbagai bahan telah lama dibuat
dan dikenal manusia. Salah satu produk fermentasi adalah yoghurt. Yoghurt merupakan minuman
fermentasi dari susu sapi murni. Mengkonsumsi yoghurt secara teratur akan merangsang pertumbuhan
dan aktivitas bakteri bersahabat (friendly bacteria) di dalam usus (Sulandari dkk., 2001). Produk yoghurt
pada umumnya diproduksi dari susu sapi, namun susu kedelai sebagai sumber protein nabati dapat
menjadi alternatif untuk pembuatan yoghurt. Untuk itu perlu dilakukan kombinasi penggunaan susu sapi
dengan susu kedelai sehingga dapat diketahui pengaruh kombinasi kedua jenis susu tersebut pada
yoghurt yang terbentuk. Probiotik adalah suplemen dalam makanan yang mengandung bakteri yang
sangat menguntungkan. Beberapa probiotik terdapat secara alami, contohnya seperti Lactobacillus
dalam yogurt. Probiotik umumnya diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh . Banyak
penelitian yang membuktikan bahwa probiotik akan membentuk koloni sementara yang dapat
membantu aktivitas tubuh dengan fungsi yang sama dengan mikroflora alami dalam saluran pencernaan
(Surajudin, 2005). Mikroflora usus tidak hanya akan membantu kesehatan pencernaan dan Jurnal Ilmu
dan Teknologi Hasil Ternak, Maret 2011, Hal 13 - 17 Vol. 6, No. 1 ISSN : 1978 - 0303 14 kekebalan tubuh,
tapi juga dapat mencegah konstipasi, mengurangi insomnia, dan diduga memiliki pengaruh
menguntungkan untuk keadaan stres ketika sakit. Perbaikan fungsi pencernaan tersebut dapat juga
membantu mengurangi risiko kanker kolon. Selain itu, beberapa strain dari Lactobacillus acidophilus
diketahui dapat mengurangi kolesterol dan memperbaiki rasio LDL dan HDL dalam tubuh (Lanny, 2004).
Meskipun penggunaan formula probiotik dapat meningkatkan aktivitas mikroflora dalam usus, namun
akan lebih efektif jika dibantu juga dengan prebiotik seperti inulin, oat, dan gandum. Hal itu akan
menyebabkan mekanismenya menjadi lebih baik karena tanpa sumber makanan yang tepat dalam
pencernaan, maka mikroorganisme probiotik akan mati (Anonymous, 2007). Beberapa jenis probiotik
yang sering digunakan yaitu Bifidobacterium bifidus, Bifidobacterium brevis, Bifidobacterium infantis,
Bifidobacterium longum, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus plantarum,
Lactobacillus rhamnosus, dan Streptococcus thermophilus. Bentuk umum untuk probiotik adalah produk
dairy (susu) dan makanan yang difortifikasi dengan probiotik (seperti yogurt) (Sugiono dan Mahenda,
2004). Pembuatan yoghurt secara komersial banyak dilakukan dengan menggunakan dua jenis starter
bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus, isolat bakteri bakteri
asam laktat yang lain seperti Lactobacillus casei dan Lactobacillus plantarum dapat juga digunakan
sebagai starter dalam produksi yoghurt sehingga perlu diketahui pengaruh pemanfaatan kedua jenis
bakteri ini pada pembuatan yoghurt.

Prinsip pembuatan yoghurt adalah fermentasi susu dengan cara penambahan bakteri-
bakteri Laktobacillus bulgaris dan Streptoccus thermophillus. Dengan fermentasi ini
maka rasa yoghurt akan menjadi asam, karena adanya perubahan laktosa menjadi asam
laktat oleh bakteri-bakteri tersebut. Apabila tidak diinginkan rasa yang tidak terlalu
asam, tambahkan zat pemanis (gula, sirup) maupun berbagai flavour buatan dari buah-
buahan strawberry, nenas, mangga, jambu, dan sebagainya.

Minuman lactobacillus yang banyak dijual di pasaran dan yoghurt ternyata punya
perbedaan. Menurut Carmen, dalam proses pembuatannya,
minuman lactobacillus hanya menggunakan satu bakteri yaitu Lactobacillus bulgaricus.
Sedangkan prinsip pembuatan yoghurt adalah fermentasi susu dengan menggunakan
bakteri Lactobacillus bulgaricus danStreptococcus thermophilus. Kedua macam bakteri
tersebut akan menguraikan laktosa (gula susu) menjadi asam laktat dan berbagai
komponen aroma dan citarasa. Lactobacillus bulgaricus lebih berperan pada
pembentukan aroma, sedangkan Streptococcus thermophilus lebih berperan pada
pembentukan cita rasa yoghurt.

Proses fermentasi yoghurt berlangsung melalui penguraian protein susu. Sel-sel bakteri
menggunakan laktosa dari susu untuk mendapatkan karbon dan energi dan memecah
laktosa tersebut menjadi gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa dengan bantuan
enzim β-galaktosidase. Proses fermentasi akhirnya akan mengubah glukosa menjadi
produk akhir asam laktat.

Laktosa → Glukosa+Galaktosa →Asam piruvat → Asam laktat+CO2+H2O

Adanya asam laktat memberikan rasa asam pada yoghurt. Hasil fermentasi susu ini
merubah tekstur susu menjadi kental. Hal ini dikarenakan protein susu terkoagulasi
pada suasana asam, sehingga terbentuk gumpalan. Proses ini memakan waktu 1-3 hari
yang merupakan waktu tumbuh kedua bakteri, dan bekerja menjadi 2 fasa, kental dan
bening encer dan rasanya asam.
Tahap pembuatan yoghurt secara singkat adalah sebagai berikut (Septia, 2010):

1. Susu segar dipanaskan sampai suhu 90 °C dan selalu diaduk supaya proteinnya tidak
mengalami koagulasi. Pada suhu tersebut dipertahankan selama 1 jam. Apabila
dilakukan pasteurisasi maka suhu pemanasannya adalah 70 – 75 °C dan pemanasan
dilakukan sebanyak dua kali.
2. Setelah dipanaskan, selanjutnya dilakukan pendinginan sampai suhunya 37- 45 °C.
Pendinginan tersebut dilakukan dalam wadah tertutup.
3. Setelah suhu mencapai 37-45 °C maka dilakukan inokulasi / penambahan bakteri ke
dalam susu tersebut sejumlah 50 – 60 ml/liter susu. Penambahan bakteri dilakukan
dengan teknik aseptic (di dekat api).
4. Setelah ditambah bakteri, selanjutnya diperam pada ruangan hangat (30-40 °C), dalam
keadaan tertutup rapat selama 3 hari.
5. Tahap selanjutnya adalah filtrasi. Hal ini dilakukan untuk memisahkan bagian yang
padat / gel dengan bagian yang cair. Pada waktu pemisahan ini diusahakan dilakukan di
dekat api sehingga bagian yang cair (sebagai stater berikutnya) terhindar dari
kontaminasi. Bagian yang padat inilah yang siap dikonsumsi (yoghurt). Bagian yang cair
berisi bakteri Lactobacillus bulgaricus yang dapat digunakan untuk menginokulasi susu
yang segar.
6. Supaya yoghurt lebih lezat rasanya dapat ditambah dengan potongan buah-buahan yang
segar, cocktail, nata de coco atau dibekukan menjadi es, dapat pula dicampur dengan
berbagai buah-buahan untuk dibuat juice (minuman segar).
Sebagian besar senyawa alam terdegradasi oleh beberapa jenis mikroba dan bahkan
banyak senyawa buatan manusia juga diserang oleh bakteri. Terjadi dalam lingkungan
tanpa oksigen (atau kondisi untuk reaksi redoks yang cocok), degradasi ini
mengakibatkan terjadinya fermentasi.

Tape
Tape singkong adalah tape yang dibuat dari singkong yang difermentasi.Makanan ini populer di
Jawa dan dikenal di seluruh tempat, mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Di Jawa Barat,
tapai singkong dikenal sebagai peuyeum (bahasa Sunda).

Pembuatan tapai melibatkan umbi singkong sebagai substrat dan ragi tapai (Saccharomyces
cerevisiae) yang dibalurkan pada umbi yang telah dikupas kulitnya. Ada dua teknik pembuatan
yang menghasilkan tapai biasa, yang basah dan lunak, dan tapai kering, yang lebih legit dan
dapat digantung tanpa mengalami kerusakan

Tape merupakan makanan tradisional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia,
terutama orang sunda. Tape ini dibuat dengan cara difermentasikan selama 2-3 hari, dengan
bantuan bakteri saccharomyces cerivisiae. Mucor chlamidosporus dan Endomycopsis fibuligera.
3.4 Langkah Kerja

1. Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan.


2. Kupas singkong dan kikis bagian kulit arinya hingga kesat.
3. Potong singkong yang telah dikupas sesuai keinginan.
4. Cuci hingga bersih singkong yang telah dipotong.
5. Sementara menunggu singkong kering, masukkan air ke dalam panci sampai kira-kira
terisi seperempat lalu panaskan hingga mendidih.
6. Setelah air mendidih masukkan singkong ke dalam panci kukus, lalu kukus hingga singkong
¾ matang, kira-kira ketika ‘daging’ singkong sudah bisa ditusuk dengan garpu.
7. Setelah matang, angkat singkong yang telah ¾ masak lalu taruh di suatu wadah, kemudian
didinginkan.
8. Sambil menunggu Singkong dingin, siapkan wadah sebagai tempat untuk mengubah
singkong menjadi tape. Wadah itu terdiri dari baskom yang bawahnya dilapisi dengan daun
pisang.
9. Setelah singkong benar-benar dingin, masukkan singkong ke dalam wadah lalu taburi
dengan ragi yang telah dihaluskan dengan menggunakan saringan.
10. Singkong yang telah diberi ragi ini kemudian ditutup kembali dengan daun pisang. Singkong
ini harus benar-benar tertutup agar mendapatkan hasil yang maksimal.
11. Setelah singkong ditutupi dengan daun pisang, diamkan selama 1-3 hari hingga sudah terasa
lunak dan manis. Saat itulah singkong telah menjadi tape.

Pembuatan tape memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar singkong dapat
menjadi lunak karena proses fermentasi yang berlangsung dengan baik. Ragi adalah bibit jamur
yang digunakan untuk membuat tape. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan
bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak . Alat-alat yang
berminyak jika dipakai untuk mengolah bahan tape bisa menyebabkan kegagalan fermentasi.
Air yang digunakan juga harus bersih.

Perubahan biokimia yang penting pada fermentasi tape adalah hidrolisis pati menjadi glukosa
dan maltosa yang akan memberikan rasa manis serta perubahan gula menjadi alkohol dan asam
organik. Reaksi dalam fermentasi berbeda - beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan
produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling
sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5O H).
Persamaan Reaksi Kimia:
C6H12O6 + 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP
Penjabarannya:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) + Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi
Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang terlibat, tetapi
umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awal respirasi aerobik
pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang
dihasilkan.
Nata de coco
Nata merupakan hasil fermentasi dari bakteri Acetobacter xylinum yang
ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa. Menurut Pambayun (2002)
bakteri Acetobacter xylinum dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam media
yang sudah diperkaya karbon (C) dan nitrogen (N) melalui proses yang terkontrol.
Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasikan enzim ekstraseluler
yang dapat menyusun zat gula (dalam hal ini glukosa) menjadi ribuan rantai
(homopolimer) atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam media
tersebut, akan dihasilkan lembar benang – benang selulosa yang akhirnya nampak
padat putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata. Jenis nata yang beredar
di masyarakat adalah nata de coco, yaitu nata yang terbuat dari air kelapa. Tetapi
ada bahan baku lain untuk membuat nata, misalnya dari sari buah – buahan, air leri
(air cucian beras). Seiring perkembangan teknologi, bahan membuat nata semakin
beragam, dapat dibuat dari ampas tahu, buah semu jambu mete, lidah buaya atau
kulit nanas. Komponen yang berperan membentuk nata dari bahan baku tersebut
adalah gula, asam organik dan mineral yang diubah menjadi selulosa sintetik oleh
Acetobacter xylinum. Nata sangat baik apabila diolah menjadi makanan atau
minuman penyegar, karena nata mengandung serat pangan (dietary fiber). Seperti
halnya selulosa alami, nata sangat berperan dalam proses pencernaan makanan yang
terjadi di usus halus dan penyerapan air di usus besar, sehingga sangat bermanfaat
dalam pencernaan makanan dan secara tidak langsung sangat baik bagi kesehatan.
Selain selulosa, tentu saja nata juga mengandung protein terutama yang berasal
dari bakteri Acetobacter xylinum yang terperangkap di antara susunan benang –
benang selulosa. Lama inkubasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan
hasil dari pembuatan nata de coco, selain lama inkubasi pembuatan nata de coco juga
menggunakan starter atau biakan bakteri Acetobacter xylinum untuk fermentasi
nata. Dalam pembuatan nata de coco pada umumnya 2 – 4 minggu, minggu ke empat
dari waktu fermentasi merupakan waktu maksimal produksi nata, yang berarti lebih
dari 4 minggu produksi nata akan menurun. Perbedaan lama waktu fermentasi
tentunya juga akan berpengaruh dalam pemanenan nata de coco yang sudah jadi.
Pada pengaruh lama inkubasi yang berbeda kemungkinan mempunyai hasil yang
berbeda pula terhadap pemanenan nata, kecepatan pembentukan dan sifat fisik
yang dihasilkan pada masing-masing nata de lontar tersebut. Nira lontar hampir
sama seperti nira aren atau air kelapa, sehingga sangat mungkin dapat difermentasi
untuk menghasilkan nata. Saat ini nata yang diproduksi dari air kelapa telah menjadi
komuditas yang dipasarkan secara meluas baik dalam negeri maupun ekspor,
sehingga ada peluang bila nira lontar dapat diolah menjadi produk nata, juga akan
menghasilkan komoditi yang dapat dipasarkan. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH LAMA FERMENTASI &
JENIS SUMBER NITROGEN TERHADAP PRODUKTIVITAS & SIFAT FISIK
NATA DE LONTAR (Borassus flabellifer)”.

Anda mungkin juga menyukai