LAPORAN KASUS
KEDOKTERAN KELUARGA
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. J
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
Alamat : Jl.Racing Centre
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pasien : BPJS
Waktu pemeriksaan : 27 Maret 2018
1
IV. KEADAAN RUMAH/LINGKUNGAN
1. Jenis bangunan : Permanen
2. Lantai rumah : Keramik
3. Luas Rumah : 8 x 10 m2
4. Tempat mencari pelayanan kesehatan : Klinik
5. Penerangan : Cukup
6. Kebersihan : Baik
7. Ventilasi : Baik
8. Dapur : Ada
9. Jamban keluarga : Ada
10. Sumber air minum : PDAM
11. Sumber pencemaran air : Tidak ada
12. Pemanfaatan pekarangan : Ada
13. Sistem pembuangan limbah : Ada
14. Temapat pembuangan sampah : Ada
15. Sanitasi lingkungan : Baik
V. SPIRITUAL KELUARGA
1. Ketaatan beribadah : Baik
2. Keyakinan tentang kesehatan : Baik
IX. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Sering buang air kecil
b. Keluhan tambahan :-
c. Riwayat penyakit sekarang
Dialami sejak 4 bulan yang lalu dan memberat dalam 3 minggu terakhir.
Keluhan dirasakan sepanjang hari dan semakin berat apabila pasien beristirahat
pada malam hari. Saat ini pasien mengeluhkan ngilu di bagian ujung-ujung jari
tangan dan kaki. Keluhan yang juga dirasakan ialah sering merasa kehausan dan
juga pasien merasa makan dalam jumlah yang berlebihan karena sering merasa
lapar meskipun sudah makan sesuai kebutuhan sehari-hari. Demam tidak ada,
batuk tidak ada, sesak tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Buang Air
Besar lancar dengan konsistensi lunak dan warna kuning kecoklatan. Selain itu,
pasien menyangkal mengalami penurunan berat badan sejak mengalami keluhan.
d. Riwayat pengobatan : Pasien tidak mengonsumsi obat sebelumnya untuk
mengurangi keluhan yang dideritanya
e. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat didiagnosis oleh dokter dengan Diabetes
Melitus type 2 sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat hipertensi disangkal, riwayat
penyakit asam urat disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal.
f. Riwayat penyakit keluarga : Ibu pasien memiliki penyakit yang serupa
dengan pasien.
g. Riwayat Alergi : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi.
h. Riwayat kehidupan sosial dan kebiasaan hidup:
1. Pasien suka mengonsumsi makanan yang manis sejak masih muda.
2. Riwayat mengonsumsi alkohol disangkal.
3
3. Sejak bekerja sebagai wiraswasta, pasien mengaku kuantitas dan kualitas
olahraganya jarang dilakukan. Saat ini, beliau hanya melakukan aktivitas
pekerjaanya seperti rutinitas biasa tanpa olahraga di sela kegiatannya setiap
minggu.
X. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum:
Sakit sedang/gizi normal/composmentis
GCS 15 : E4M6V5
Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 84 kali/menit
Frekuensi napas : 22kali/menit
Suhu (aksilla) : 37 °C
SpO2 : 99%
Mata:
Kornea : Jernih, refleks kornea (+)
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Bundar, isokor 2,5 mm/2,5 mm
Leher:
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
DVS : R+1 cmH2O
Pembuluh darah : Bruit (-)
Kaku kuduk : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Paru:
Inspeksi : Simetris kiri sama dengan kanan
Palpasi : Tidak teraba massa, nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak
ada, vocal fremitus normal
4
Perkusi
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru hepar : ICS-VI dextra anterior
Batas paru belakang kanan : Vetb.Th IX dextra posterior
Batas paru belakang kiri : Vetb. Th X sinistra posterior
Auskultasi
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung:
Abdomen:
5
Anus dan rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Dari pemeriksaan fisis didapatkan status gemeralisata sakit ringan, gizi cukup,
sadar. Dari tanda vital didapatkan tekanan darah, yaitu 130/80 mmHg, frekuensi nadi
yaitu 84 kali/menit, frekuensi napas yaitu 22kali/menit ; Suhu (aksilla) yaitu 37
°C; serta SpO2 yaitu 99%. Dari pemeriksaan penunjang Gula Darah Sewaktu yakni 235
mg/dl.
XIII. DIAGNOSIS
Diabetes Mellitus Tipe II
6
XIV. TATA LAKSANA
a. Promotif : Menerangkan kepada pasien beserta keluarga untuk mangatur pola
hidup yang sehat dengan mengurangi kebiasaan buruk baik itu dari segi
aktivitas fisik maupun dari asupan nutrisi. Pasien juga perlu dijelaskan
mengenai penyakit Diabetes Melitus type 2 dan kaitannya dengan pentingnya
untuk senantiasa menjaga pola hidup yang sehat. Dari segi aktivitas fisik dan
psikis pasien perlu senantiasa melakukan olahraga ringan, istirahat yang cukup,
serta menghindari minuman beralkohol dan stress. Begitu pula dari segi asupan
nutrisi yakni mengurangi makanan yang mengandung karbohidrat dan gula.
Olehnya itu, pasien juga dianjurkan senantiasa rutin untuk mengontrol gula
darah maupun tekanan darah mengetahui bahwa usia pasien yang tergolong
dalam usia lanjut.
d. Rehabilitatif :
XV. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad. Fungsionam : Dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Seorang perempuan umur 65 tahun terdaftar sebagai anggota program pelayanan
terpadu di Klinik Health & Nutrition Centre. Keluhan utama sering buang air kecil
terutama malam hari (+/- 8 kali). Dialami sejak 4 bulan yang lalu dan memberat dalam 3
minggu terakhir. Keluhan dirasakan sepanjang hari dan semakin berat apabila pasien
beristirahat pada malam hari. Saat ini pasien mengeluhkan ngilu di bagian ujung-ujung
jari tangan dan kaki. Keluhan yang juga dirasakan ialah sering merasa kehausan dan juga
pasien merasa makan dalam jumlah yang berlebihan karena sering merasa lapar
meskipun sudah makan sesuai kebutuhan sehari-hari. Demam tidak ada, batuk tidak ada,
sesak tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Buang Air Besar lancar dengan
konsistensi lunak dan warna kuning kecoklatan. Selain itu, pasien menyangkal
mengalami penurunan berat badan sejak mengalami keluhan. Dari pemeriksaan fisis
didapatkan status gemeralisata sakit ringan, gizi cukup, sadar. Dari tanda vital didapatkan
tekanan darah, yaitu 130/80 mmHg, frekuensi nadi yaitu 84 kali/menit, frekuensi napas
yaitu 22kali/menit ; Suhu (aksilla) yaitu 37 °C; serta SpO2 yaitu 99%. Dari pemeriksaan
penunjang Gula Darah Sewaktu yakni 235 mg/dl.
8
beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus . Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM tipe 2 ini dengan obesitas atau kegemukan
dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
BAB II
PENDAHULUAN
9
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia
dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin
secara adekuat yang atau karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara
efektif atau keduaduanya.1 Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, yang dikenal
sebagai insulin dependent, dimana pankreas gagal menghasilkan insulin ditandai dengan
kurangnya produksi insulin dan DM tipe 2, yang dikenal dengan non insulin dependent,
disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin secara efektif yang dihasilkan oleh
pankreas.1,3 Diabetes tipe 2 jauh lebih umum dan menyumbang sekitar 90% dari semua kasus
diabetes di seluruh dunia. Hal ini paling sering terjadi pada orang dewasa, namun juga semakin
meningkat pada remaja.1,3
Prevalensi menurut World Health Organization (WHO), bahwa sekitar 150 juta orang
menderita diabetes melitus di seluruh dunia, dan jumlah ini mungkin dua kali lipat pada tahun
2025. Sebagian besar kenaikan ini akan terjadi di negara-negara berkembang dan akan
disebabkan oleh pertumbuhan populasi, penuaan, diet tidak sehat, obesitas dan gaya hidup. Pada
tahun 2025, sementara kebanyakan penderita diabetes di negara maju yang berusia 65 tahun atau
lebih, di negara-negara berkembang kebanyakan berada di kelompok usia 45-64 tahun dan
terpengaruh pada usia produktif mereka. 1 Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada
semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi
pada tingkat mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan
kardiomiopati) maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular
disease).2,3 Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat
mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian
dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetik.2,3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
A. Definisi
B. Epidemiologi
11
C. Klasifikasi
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering
lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada
atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan
75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
4. DM Gestasional
D. Faktor Resiko
1. Obesitas
12
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi
200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi
pembuluh darah perifer.
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa
bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif
tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250
mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl)
sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000 gram.
13
mengganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.
E. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus
yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering
kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit
terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau
kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.6,7
F. Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama adalah
hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan glukosa darah ke
dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200
mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen
hati sebagai respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini
juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar meningkat
(polifagi). Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.7,8
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya hiperosmolaritas
ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke ekstrasel akan menyebabkan
terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus terusmenerus dan membuat penderita sering
minum (polidipsi). Dehidrasi dapat berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat
kurangnya tekanan filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah
kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai dengan kolapsnya
sirkulasi. Dan perubahan volume sel akibat keadaan hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari
intrasel dapat mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.5,6,7
14
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati batas ambang
bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dalam
filtrat meningkat kira-kira diatas 225 mg/menit, maka glukosa dalam jumlah bermakna mulai
dibuang atau terekskresi ke dalam urin yang disebut glukosuria. Keberadaan glukosa dalam urin
menyebabkan keadaan diuresis osmotik yang menarik air dan mencegah reabsorbsi cairan oleh
tubulus sehingga volume urin meningkat dan terjadilah poliuria. Karena itu juga terjadi
kehilangan Na dan K berlebih pada ginjal.8,9
G. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk
diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah
beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang
abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.4,6,7
15
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia >
45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostic dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.4,5,6
16
Gambar 2. Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
H. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,
dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai terjadi
sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara resistensi
insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira
20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan
DM tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel. Hal yang mendasar
dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup yaitu pola makan yang
baik dan olahraga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang
dan olahraga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.9,10,11
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
17
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.10,11
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda
dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
18
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani.
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.9,10,11
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan
hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
19
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi
pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
v. DPP-IV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
20
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja
enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin= GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 – 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1. Insulin 10,11
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal
atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di
atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan
diberikan terapi kombinasi insulin.
22
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai
dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2
kali dalam setahun.
23
c. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada
pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glu-kosa
renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien
yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal
dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.10,11
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada
penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah>300 mg/dL). Peme-riksaan
benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin
mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta
hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat
dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat
darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0
mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda ke-ton secara
mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD. 8,9
I. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko,
yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok
24
intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat,
latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan
fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer .
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada
pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan
yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan
ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang
pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya
kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan
penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat
dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah
80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli
di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
25
DAFTAR PUSAKA
26
11. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al. Medical
Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus Algorithm for the
Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the American Diabetes
Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2008;
31:1-11.
27