Anda di halaman 1dari 3

Daun-Daun Waru di Samirono

….

Semua orang sudah mengetahuinya. Hanya pendatang baru yang tidak mengenalnya, dan akan
bertanya siapa Mbah Jum itu?

Tidak ada yang tahu berapa usia Mbah Jum sebenarnya, pak Lurah setempat hanya memberinya
tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Karena waktu itu sudah ada pendataan yang dilakukan
sekretaris kelurahan.

Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik
belakang rumah Bu Guru. Mbah Jum merupakan seorang yang hidup sebatang kara akibat dari
korban kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga dan juga korban merapi yang
menghancurkan desa-desa di lerengnya. Kecelakaan itu pula yang menyebabkan Mbah Jum hilang
ingatan dan tidak mengetahui siapa keluarganya. Kemudian Mbah Jum diajak Bu Guru untuk
tinggal bersamanya di kota Raja. Disana dia hanya mampu mengikuti pelajaran hingga kelas tiga
Sekolah Rakyat. Kemudian ia turut mengasuh anak-anak Bu Guru hingga mereka sudah dewasa
dan menikah, hingga Bu Guru meninggal. Seiring berjalan waktu, seorang dari cucu Bu Guru juga
menjadi pengajar di salah satu sekolah tinggi.

Di usia KTP 78 tahun, dia menjadi nenek bagi seisi kampung. Apa pun yang dipanggil-panggilkan
warga kepadanya, dia selalu menoleh dan menanggapi.

Sejak tabrakan bus, Mbah Jum tidak dapat mengerjakan apa pun yang membutuhkan kekuatan
pundak, punggung, dan pinggul. Makanan tidak sulit dia dapatkan, orang-orang memberi sepincuk
nasi bersama lauk beserta minuman. Sedangkan di dapur keluarga Bu Guru, Mbah Jum
mendapatkan sajian di atas papan rak. Di saat ada hajatan, Mbah Jum pun sering membantu
tetangganya, walaupun hanya sekedar mengupas, membersihkan atau mengiris sayur. Namun,
pekerjaan tetapnya adalah mencari daun waru.

Pembuat tempe dan tahu berderet sepanjang kampung, tetapi yang membuat tempe gembus hanya
satu. Mbah Jum merupakan satu-satunya pemasok daun waru sebagai pembungkus tempe gembus.
Daun pisang sudah sering digunakan tetapi untuk menghemat pengeluaran, limbah tersebut dapat
dibungkus dengan daun waru.
Beberapa tukang becak yang berada di kelokan jalan bergantian menyapa ramah Mbah Jum.

“Daunnya hari ini bersih-bersih, Mbah” kata seorang dari mereka sambil menyerahkan galah.

“Nuwun, Mas, Nuwun” balas Mbah Jum sambil melepas pengikat gendongan, lalu meletakkannya
di dalam keranjang.

Tanpa menunggu, dia langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting,
dan berjatuhanlah daun-daun waru. Mbah Jum pun berpindah ke sisi jalan Colombo. Beberapa
ranting tersangkut di pagar seng.

“Sebentar lagi terik, Mbah” kata seorang kuli bangunan yg mengaduk pasir dan semen. “Ini sedang
kemarau. Kalau tidak diambil, nanti kering” jawab Mbah Jum masih sibuk. “Biar nanti saya bantu”
kata kuli yang lain.

Mbah Jum mendengar itu, tetapi tidak peduli. Dia terus melanjutkan aktifitasnya mengambil daun
waru itu. Untuk mendapatkan Rp3.000 timbunan ranting harus setinggi lutut. Meskipun begitu,
dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu dapur kondangan. Lebaran
mendatang, dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.

Pedagang tempe sekarang sudah hampir semua tidak menggunakan daun pisang, dan memilih
meniru orang-orang di kampung lain. Mereka telah menggunakan kantongan plastik ukuran kecil.
Jika itu terjadi, Mbah Jum akan kehilangan andalan pemasukan nafkahnya.

Semut-semut ngangrang merah berjalan dan merambat turut jatuh. Sesekali Mbah Jum
menebaskan tangannya ke tubuh untuk mengusir semut-semut itu dari pakaiannya. Kepalanya
terasa basah oleh keringat. Terik matahari dan udara yang panas membuat peluh menetes di pelipis
dan dahinya.

“Hari ini tidak bawa caping, Mbah?” kuli itu bersuara lagi.

“Sudah bolong dan jepitan pinggirannya lepas,” sahut Mbah Jum.

Kemudian terdengarlah perdebatan antara kuli bangunan itu. Mereka berdebat tentang dimana
harus membeli caping, di pasar Ndemangan atau Beringharjo.

Percakapan itu lamat-lamat sampai di telinga Mbah Jum. Mendadak terasa tusukan ribuan jarum
di dada kirinya.
“Lho Mbah! Ada apa?” seru dua kuli itu mendekat, menggotong dan membaringkan wanita itu.
Mereka berdua panik, kemudian memercikan air dan memanggil tukang-tukang becak yang berada
disitu. Barangkali mereka mengetahui dimana rumah Mbah Jum.

Sayup-sayup Mbah Jum merasakan kain yang basah disentuhkan, digosokkan di leher, kemudian
dikompreskan ke dahinya. Dia sempat berpikir bahwa ujung selendangnya yang telah dicelupkan
ke ember. Setelah itu, Mbah Jum tidak merasakan apa pun. Tidak mendengar apa pun.

Anda mungkin juga menyukai