PENDAHULUAN
Menurut WHO (2013), kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua yang
Diperkirakan 7,5 juta orang meninggal akibat kanker, dan lebih dari 70% kematian
terjadi di negara miskin dan berkembang. Berdasarkan data WHO (2015), di seluruh
dunia terdapat 14,1 juta kasus kanker baru, 8,2 juta kematian akibat kanker, 32,6 juta
orang yang hidup dengan kanker (dalam waktu 5 tahun dari diagnosis) dan hampir 87%
kasus terjadi di Negara berkembang. Angka kejadian kanker serviks tertinggi di Afrika
yaitu lebih dari 45 per 100.000 orang per tahun, di susul Asia Tenggara 30-44,9 per
(IARC), diketahui pada tahun 2015 terdapat 14.067.894 kasus baru kanker dan 8.201.575
kematian akibat kanker di seluruh dunia. Di Asia, dilaporkan 312.990 adalah kasus
kanker serviks (59%) dan 50% mengalami kematian. Angka kejadian kanker serviks di
Insidens kanker di Indonesia masih belum dapat diketahui secara pasti, karena
belum ada registrasi kanker berbasis populasi yang dilaksanakan. Berdasarkan data
hasil registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta tahun 2005-2007, Kanker Leher
Rahim menempati urutan ke 2 (insidens 9,25 per 100.000). Sedangkan dari Sistim
Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia tahun 2010 diketahui bahwa Kanker Leher
Rahim berada di urutan 2 yaitu sebanyak 5.349 orang (12,8%). Kanker Leher Rahim
menjadi salah satu masalah utama pada kesehatan perempuan di dunia, terutama pada
Virus Human Pappiloma Virus (HPV) yang menyerang leher rahim dan
menyebabkan kanker serviks ini sering ditemukan pada wanita usia 40 tahun, apabila
tidak disadari dan tidak dicegah maka tidak menutup kemungkinan usia dibawah 40
tahun dapat terserang (Depkes, 2007). Penyebabnya yang lain adalah karena kurangnya
ditambah lagi faktor kebersihan lingkungan, pola hidup bersih dan sehat serta
lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kegiatan dan perilaku seks yang berisiko
promosi dan edukasi pola hidup sehat bersih dan menghindari faktor risiko, serta
melakukan vaksinasi HPV dan juga melakukan skrining untuk deteksi awal kanker
Vaksinasi HPV merupakan salah satu program pemerintahan dalam pengendalian dan
pencegahan kanker serviks secara dini. Sesuai dengan pedoman dari WHO (2013) yang
menjadi target utama untuk vaksin HPV untuk program imunisasi nasional adalah gadis
berusia antara 9 tahun dan 13 tahun. WHO, United Nations Populations Fund (UNFPA),
dan Obstetricians (FIGO) dan organisasi lain yang mempengaruhi kebijakan kesehatan
masyarakat global telah mendukung vaksin HPV sebagai pilihan pencegahan kanker yang
efektif. Sudah saatnya para pembuat kebijakan tentang kesehatan membuat keputusan
dan lebih serius lagi mempertimbangkan pengenalan vaksinasi HPV dan skrining ini
diselenggarakan sebagai bagian dari program pengendalian kanker serviks (Basu, Partha,
2013).
Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat kanker serviks merupakan masalah
yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Guna mewujudkan penanggulangan kanker
melalui salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah dalam menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat kanker di Indonesia. Salah satunya dengan mendapatkan
perhatian khusus pada peningkatan usaha promotif dan preventif untuk peningkatan
kesadaran masyarakat tentang kanker dan pengembangan upaya deteksi dini kanker pada
perempuan Indonesia untuk periode 2015-2019 (Kemenkes RI, 2005). Tingginya jumlah
membantu pencegahan kanker itu sendiri dengan skrining tanda dan gejala sejak dini dan
diperlukan trainer di setiap wilayah Indonesia untuk memberikan pelatihan kepada tenaga
masih sangat rendah di antara wanita usia subur, terbukti dari 34 provinsi di Indonesia
angka cakupan pemeriksaan IVA hanya sebesar 2,978% atau sebanyak 3.040.116
sedangkan target yang harus di skrining yaitu sebanyak 37.415.483. Terdapat 5 Provinsi
yang memiliki populasi wanita usia subur terbanyak namun cakupan pemeriksaan IVA
masih rendah yaitu Jawa Barat memiliki sasaran sebanyak 6.838.318 dan yang diperiksa
hanya sebanyak 307.357 (1,006%), Jawa Timur memiliki sasaran sebanyak 6.012.729 dan
yang diperiksa hanya sebanyak 634.710 (3,810%), Sumatra Utara memiliki sasaran
sebanyak 1.853.941 dan yang diperiksa hanya sebanyak 164.318 (1,288%), Banten
memiliki sasaran sebanyak 1.822.567 dan yang diperiksa hanya sebanyak 36.336
(1,106%) dan DKI Jakarta memiliki sasaran sebanyak 1.665.148 dan yang diperiksa
secara dini karena gejala-gejala kanker serviks tidak terlihat sampai stadium yang lebih
parah. Pemerikaan dengan menggunakan metode IVA ini merupakan pemeriksaan yang
dilakukan untuk mendeteksi dini kanker serviks yang cukup efisien dan efektif dengan
biaya yang lebih murah. Pentingnya melakukan deteksi dini sebagai upaya untuk
kerjasama serta dukungan yang baik dari semua pihak (Juanda, Desby dan Kesuma,
2015).
Salah satu metode skrining dengan sensivitas relatif tinggi adalah inspeksi visual
dengan asam asetat (IVA). Pengetahuan harus disediakan oleh layanan kesehatan tentang
pencegahan dan skrining kanker serviks. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
merupakan metode yang sederhana dari skrining dengan biaya yang relatif murah dan
pelaksanaan yang mudah. Melalui metode ini tidak memerlukan teknologi tinggi dan
berkembang (Wright & Kuhn, 2012). Metode skrining ini juga memungkinkan untuk
pemeriksaan leher rahim dan payudara pada wanita usia 30-50 tahun sebanyak 70.200
(3,99%). Cakupan pemeriksan IVA dan SADANIS di Jakarta Pusat sebanyak 6.461orang
(4,05%), Jakarta Utara sebanyak 10.056 orang (3,38%), Jakarta Barat sebanyak 27.921
orang (6,75 %) , Jakarta Selatan sebanyak 11.147 orang (2,84%), Jakarta Timur sebanyak
14.290 orang (2,89%) dan Kepulauan Seribu sebanyak 325 orang (23,50%). Dari lima
wilayah DKI Jakarta, Jakarta Timur menjadi wilayah tertinggi pertama dengan hasil IVA
Positif yaitu sebanyak 418 orang (2,93%) dari 14.290 (28,9%), kedua Jakarta Utara yaitu
sebanyak 243 orang (2,33%), ketiga Jakarta Selatan yaitu sebanyak 83 orang (0,74), ke-
empat Kepulauan Seribu yaitu sebanyak 3 orang (0,92) dan ke-lima Jakarta Barat
dinyatakan IVA negatif. Dari data diatas, cakupan skrining melalui IVA masih rendah,
padahal cakupan skrining yang dilakukan efektif dalam menurunkan angka kesakitan dan
Rendahnya kunjungan deteksi dini kanker serviks dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut antara lain yaitu ekonomi, kurangnya kesadaran diri akan bahaya
kanker serviks dan akses informasi serta dukungan keluarga. Karakter yang
faktor ekonomi, paritas, perdarahan segera setelah berhubungan seks yang mungkin
menjadi tanda dari kanker serviks, jumlah anggota keluarga, riwayat anggota keluarga
dengan kanker, serta jumlah mitra seksual (Elkanah Omenge, et al, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Nova Ari dkk pada tahun 2012 tentang karakteristik
wanita yang melakukan pemeriksaan IVA membagi bahasan karakteristik dari umur,
status pernikahan, paritas, kontrasepsi dan tingkat pengetahuan. Dari data yang
pemeriksaan IVA sebagian besar adalah wanita yang berumur 30-40 tahun, responden
telah menikah satu kali, memiliki 2 anak, menggunakan kontrasepsi suntik dan memiliki
tingkat pengetahuan yang cukup tentang kanker dan cara deteksi dininya (Pangesti, Nova
Ari, 2012).
Wanita yang memiliki pengetahuan dan sadar akan tanda gejala dan faktor risiko
dalam kanker serviks akan pergi ke pelayanan kesehatan untuk melakukan skrining
serviks bahkan jika mereka harus membayar sebagai penanganan dini apabila positif
dengan diagnosa kanker (Elkanah Omenge, et all, 2016). Pengetahuan merupakan salah
satu dari bagian perilaku yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kanker serviks akan cenderung
mengabaikan atau tidak mengetahui pentingnya deteksi dini kanker serviks salah satunya