Wa0000
Wa0000
A. PENGERTIAN
Leptospirosis adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit
zoonosis yang paling sering di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama floodfever atau demam
banjir karena memang muncul karena banjir. Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama
demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola,
penyakit swineherd, demam rawa atau demam lumpur (Judarwanto, 2009)
B. ETIOLOGI
1. Patogen L Interrogans
Terdapat pada hewan dan manusia. Mempunyai sub group yang masing-masing terbagi lagi atas
berbagai serotip yang banyak, diantaranya; L. javanica, L. cellodonie, L. australlis, L. Panama dan lain-
lain.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya tikus, babi, anjing,
kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko adalah kambing
dan sapi. Resevoar utamanya di seluruh dunia adalah binatang pengerat dan tikus.
C. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis,
sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi
serologis positif. Masa inkubasi 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari. Sekitar 90% penderita ikterus
ringan, 5-10% ikterus berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit leptospira
terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemia dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari
kondisi penderita membaik (Judarwanto, 2009).
1. Fase awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi
dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Fase awal sekitar 4-7 hari,
ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya. Manifestasi klinisnya demam,
menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit
tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, nyeri kepala frontal, fotofobia, gangguan
mental, dan meningitis. Pemeriksaan fisik sering mendapatkan demam sekitar 400C disertai
takikardi. Subconjunctival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan, mild
jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular,
eritematus, urticari, atau rash juga didapatkan pada fase awal penyakit.
2. Fase kedua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibody dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urine; mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau
cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin lebih ringan dibandingkan fase awal
selama 3 hari sampai beberapa minggu. Sekitar 77% penderita mengalami nyeri kepala terus
menerus yang tidak responsif dengan analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal
meningitis selain delirium. Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan
termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan demensia.
D. PATOFISIOLOGI
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat
masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang
ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama
terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari
infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman
leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan
penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis
disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman
leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif,
dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga
terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu
hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin
in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman
leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan
oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami
hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini
sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan
iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di
aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh.
Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah.
Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan
mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.
Pathways
E. KOMPLIKASI
Pada leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal, miokarditis,
meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi selalu
menyebabkan kematian.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui gangguan organ
tubuh dan komplikasi yang terjadi.
1. Urine yang paling baik diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urine sejak awal
penyakit dan akan menetap hingga minggu ke tiga. Cairan tubuh lainnya yang mengandung
leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk isolasi kuman sangat
pendek Isolasi kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita adalah standar
kriteria baku. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi kuman tetapi isolasi
leptospira lebih sulit dan membutuhkan beberapa bulan.
2. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tetapi
lambat karena serum akut diambil 1-2 minggu setelah timbul gejala awal dan serum konvalesen
diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic
agglutination test (MAT).
3. Titer MAT tunggal 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap
dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.
4. Pemeriksaan complete blood count (CBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin dapat terjadi
pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen
DIC. Blood urea nitrogen dan kreatinin serum dapat meningkat pada anuri atau oliguri
tubulointerstitial nefritis pada penyakit Weil.
5. Peningkatan bilirubin serum dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Peningkatan
transaminase jarang dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan meningkat
pada disfungsi hati atau DIC. Serum creatine kinase (MM fraction) sering meningkat pada gangguan
muskular.
6. Analisis CSF bermanfaat hanya untuk eksklusi meningitis bakteri. Leptospires dapat diisolasi
secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak mengubah tatalaksana penyakit.
7. Pemeriksaan pencitraan foto polos paru dapat menunjukkan air space bilateral. Juga dapat
menunjukkan kardiomegali dan edema paru pada miokarditis. Perdarahan alveolar dan patchy
multiple infiltrate dapat ditemukan. Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis
akalkulus.
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Dengue Fever
3. Hepatitis
4. Malaria
5. Meningitis
6. Mononucleosis, influenza
7. Enteric fever
8. Rickettsial disease
9. Encephalitis
Obat antibiotika yang biasa diberikan adalah penisillin, strptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin dan siproflokasasin. Obat pilihan utama adalah penicillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam
selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah pemeberian penicilin G terlihat reaksi Jarisch Hecheimmer
yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira> obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari namun
kurang bermanfaat bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal
ginjal dan meningitis. Tindakan suporatif diberikan sesuai denan keparahan penyakit dan komplikasi
yang timbul.
I. PROGNOSIS
Tergantung keadaan umum klien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya kekebalan yang
didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat seperti gagal ginjal
atau perdarahan dan terlambatnya klien mendapat pengobatan.
J. PENGKAJIAN
1. Identitas
Keadaan umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat kejadiannya sama.
2. Keluhan utama
Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal) mata merah,
fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah, diare, batuk, sakit dada,
hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva. Demam ini berlangsung 1-3 hari.
3. Riwayat keperawatan
b. Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit susunan saraf
akut, fever of unknown origin.
c. Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti bepergian di
hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
a. Fisik
Review of sistem :
1) Sistem pernafasan
2) Sistem cardiovaskuler
Penuruanan kesadaran, sakit kepala terutama dibagian frontal, mata merah.fotofobia, injeksi
konjunctiva,iridosiklitis
4) Sistem perkemihan
5) Sistem pencernaan
6) Sistem muskoloskletal
b. Laboratorium
3) Proteinuria, leukositoria
8) Trombositopenia
9) Hiporptrombinemia
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
L. RENCANA KEPERAWATAN
No Tujuan dan Criteria
Diagnosa Keperawatan Intervensi (NIC)
Hasil (NOC)
1 Hipertermia berhubungan NOC : Thermoregulation NIC :
dengan peningkatan Kriteria Hasil : Fever treatment
metabolisme tubuh, Suhu tubuh dalam rentang Monitor suhu sesering
proses penyakit normal mungkin
Nadi dan RR dalam rentang Monitor IWL
normal Monitor warna dan suhu
Tidak ada perubahan warna kulit
kulit dan tidak ada pusing, Monitor tekanan darah,
merasa nyaman nadi dan RR
Monitor penurunan
tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan
Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik
Berikan pengobatan
untuk mengatasi
penyebab demam
Selimuti pasien
Lakukan tapid sponge
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi
udara
Berikan pengobatan
untuk mencegah
terjadinya menggigil
Temperature regulation
Monitor suhu minimal tiap
2 jam
Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu
Monitor TD, nadi, dan RR
Monitor warna dan suhu
kulit
Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan
akibat panas
Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negatif dari
kedinginan
Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan
penanganan emergency
yang diperlukan
Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan
penanganan yang
diperlukan
Berikan anti piretik jika
perlu