Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan
yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

B. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu:
1. Faktor Internal
a.Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi: asam lambung, enzym-
enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya: IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
b.Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus: faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.
C. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, di mana sel T tersebut
yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi (Ig E) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan
nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun,
kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
D. Klasifikasi
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler.
3. Hipersensitivitas tipe III
Merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya
pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal
ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel
atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag.
Gangguan
No. Tipe Mekanisme Imun
Prototipe
Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang Anafilaksis,
antibody IgE  beberapa bentuk
pelepasan amino asma bronchial
1. vasoaktif dan
mediatorlain dari basofil
dan sel mast rektumen
sel radang lain
Antibodi terhadap IgG atau IgM berikatan Anemia
antigen jaringan dengan antigen pada hemolitik
tertentu permukaan autoimun,
sel fagositosis sel eritroblastosis
2. target atau lisis sel target fetalis, penyakit
oleh komplemen atau Goodpasture,
sitotosisitas yang pemfigus
diperantarai oleh sel yang vulgaris
bergantung antibodi
Penyakit Kompleks Kompleks antigen- Reahsi Arthua,
Imun antibodi mengaktifkan serum sickness,
 komplemen menarik lupus
3. perhatian nenutrofil eritematosus
menjadikan pelepasan sistemik, bentuk
enzim lisosom, radikal tertentu
bebas oksigen, glumerulonefriti
dll s akut
Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,
Selular (Lambat) pelepasan sitokin dan dermatitis
4. sitotoksisitas yang kontak,
diperantarai oleh sel T penolakan
transplant
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

E. Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam
sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini,
yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang
cendrung terkena alergi (atopi).
Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh
makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke permukaannya,
sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan
mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan
mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini
akan berikatan di reseptor FC-εR di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan
dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel
mast dan basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal.
Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang
melekat di reseptor FC-εR sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa
sehingga membuat semacam jembatan silang (crosslinking) antar dua IgE di permukaan
(yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal
inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara
kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan
pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin,
heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, dan platelet activating factor (PAF). Selain itu,
peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk
substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator
utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan
kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan
permeabilitas vaskular, edema pada mukosa dan hipersekresi.
Terdapat juga beberapa litertaur disebutkan bahwa hipersensitivitas tipe 1 merupakan
suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit)
stelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibody IgE yang sebelumnya berikatan pada
permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan
masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar
mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak
pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).

F. Fase Reaksi
Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh
reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor
Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-
mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik

G. Tahap Reaksi
Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat
ditentukan secara jelas:
1. Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme otot
polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajan
oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.
2. Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel radang
akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan
penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
H. Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator
lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease
netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen
komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya),
C3a).

I. Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin.
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid
membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam
arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam
arakhidonat dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien
tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada
dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mucus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang
sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

J. Manifestasi Klinis
Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local.
Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau
obat (misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan
anafilaksis. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan
muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti
kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.
Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic,
dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi
terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma)
seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic
atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan
dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

K. Tanda dan Gejala


Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu
yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas.
Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).

L. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.
3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng
yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat).

M. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti.
N. Diagnostik
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya: stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi,
cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi.

O. Terapi
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin (epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol) dan nonkatelomin (efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka
lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.
Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk
pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai
pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus,
permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro.
Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang
lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang
mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati
bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak
melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

P. Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun
biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut
gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila
gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang
terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi
makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan
bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya
akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan
tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang
tanah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya non imunogenik.
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari
1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi
tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik
seseorang yang cendrung terkena alergi (atopi).
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu
yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU SITOLITIK

Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan
bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan
metabolisme sel dilibatkan.

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel
NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.

Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal.
Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan
mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc
neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM
mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang
dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit
teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet
reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat
pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan
dihancurkan oleh fagosit penjamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa
secara langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor
hormon yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan
menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon
fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi
sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.

Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi
antijaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuensi
jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada kasus yang parah, plasmaferesis digunakan
untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba
pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal. dengan antagonis yang memblok
ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B dependen sel Th).

Reaksi transfusi

Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila
darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh
karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan
darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat
biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui
ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin
yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea,
bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi
berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu
pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah
golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.

Tiga Mekanisme Utama Hipersensitivitas Tipe II

Hemolytic diseases of the newborn (HDN)

Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang
berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi
permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi
apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai janin dengan Rhesus positif.
Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN
umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan
membentuk anti-D IgG yang dapat menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan
faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).

Anemia hemolitik

Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi


nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis
dengan dan anemia progresif.

Anda mungkin juga menyukai