Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui pada
praktek sehari‐hari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang dijumpai pada praktek
umum dan 60% pada praktek gastroenterologi merupakan dispepsia. Dispepsia
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit tentunya terutama penyakit lambung.1 Dispepsia
bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa namun gejala–gejala tersebut
terjadi dalam waktu lama. Dispepsia merupakan suatu masalah penting apabila
mengakibatkan penurunan kualitas hidup individu tersebut. Meskipun demikian,
sebagian besar kasus merupakan dispepsia fungsional dan dispepsia tersebut jarang
berakibat fatal. Dispepsia memberikan dampak yang kuat terhadap health‐related
quality of life karena perjalanan alamiah penyakit dispepsia berjalan kronis dan
sering kambuh dan pemberian terapi kurang efektif untuk mengontrol gejala.2
Gejala‐gejala dispepsia dapat mengganggu aktifitas sehari‐ hari dan mengakibatkan
suatu dampak yang bermakna terhadap kualitas hidup dan peningkatan biaya
pengobatan.3

Menurut profil data kesehatan tahun 2011, dispepsia termasuk dalam sepuluh
besar penyakit rawat inap di rumah sakit, sedangkan untuk sepuluh besar penyakit
rawat jalan di rumah sakit dispepsia berada pada urutan ke‐ 6 dengan angka kejadian
kasus sebesar 34.981 kasus pada pria dan 53.618 kasus pada wanita, jumlah kasus baru
sebesar 88.599 kasus.7 sindroma dispepsia didiagnosis dengan gejala rasa penuh yang
terganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar
pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai
dengan satu atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah
gastroduodenal.
2

Perlu penatalaksanaan secara menyeluruh terhadap dispepsia untuk


mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu, dibutuhkan partisipasi dan dukungan
pelaku rawat keluarga yang optimal dalam memotivasi, mengingatkan, serta
memperhatikan pasien dalam penatalaksanaan penyakitnya.

1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam laporan kasus ini adalah

1. Bagaimanakah penegakan diagnosis kasus dispepsia?


2. Bagaimana terapi yang seharusnya diberikan pada kasus dispepsia?

1.3.Tujuan
Laporan kasus ini disusun untuk membantu penulis mengetahui dan
memahami tentang:

1. Mengetahui penegakan diagnosis kasus dispepsia?


2. Mengetahui terapi yang seharusnya diberikan pada kasus dispepsia?

1.4.Manfaat

Laporan kasus ini bermanfaat sebagai resume dari beberapa referensi


tentang dispepsia yang diharapkan dapat mempermudah pemahaman penulis
tentang dispepsiamulai dari definisi, etiologi, faktor resiko, patofisiologi,
manifestasi klinis penatalaksanaannya dan pencegahannya.
3

BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. M
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jebres, Solo
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Suku : Jawa

2.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
Nyeri Ulu Hati
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Umum RS Dr. Moewardi dengan keluhan nyeri pada
ulu hati. Keluhan dirasakan sejak kurang lebih tiga hari yang lalu. Keluhan
hilang timbul terutama jika pasien telat makan. Pasien mengatakan jika
sering telat makan saat mengerjakan pekerjaan rumah. Sebelumnya pasien
pernah mengalami keluhan seperti ini kurang lebih 4-5 bulan yang lalu. Saat
keluhan timbul selama 4-5 bulan ini, pasien mengonsumsi obat yang dibeli
sendiri di warung dan keluhannya membaik. Namun 3 hari belakangan ini
nyeri yang dirasakannya lebih berat sehingga pasien terganggu dalam
mengerjakan kegiatan rumah. Keluhan lain yang dirasakan adalah dada
terasa panas. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat pengobatan
pasien sejak 1 tahun belakangan sering mengonsumsi obat anti nyeri untuk
keluhan pusing-pusing yang dibeli sendiri di warung.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Alergi : disangkal

 Riwayat DM : disangkal

 Riwayat Asam Urat : disangkal


4

 Riwayat Kolesterol : disangkal

 Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : Disangkal

 Riwayat DM : Disangkal

 Riwayat Hipertensi : Disangkal

Riwayat Pengobatan:
- Panadol untuk keluhan pusing dalam 1 tahun terakhir
- Promag untuk keluhan nyeri perut dalam 4-5 bulan terakhir
Riwayat Sosial Ekonomi:
Penghasilan Suami Ny. M cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Ny. M dan keluarga sering berinteraksi dengan tetangganya.

Riwayat gizi:
Pasien makan sehari-hari biasanya 2 kali (namun sering terlambat)
sehari dengan lauk-pauk tahu, tempe, telor, atau daging, dan sayur-mayur

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, GCS 456.
Vital Sign :
 TD : 120/80mmHg BB:55 kg
 Nadi : 86 x/ menit TB: 160 cm
 RR : 23x/ menit
 Suhu : 36,1 0C
Pemeriksaan Fisik Interna:
 Kulit : Kulit sawo matang, pucat (-), erithema (-), vesikel (-),
papul (-) dan mengelupas (-), ptechiae (-).
 Kepala : Simetris, normocephal, rambut tidak rontok, luka pada
kepala (-), benjolan/borok (-).
5

 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-), radang (-), reflek


cahaya (+/+), katarak (-/-), gerakan bola mata normal, lapang pandang
normal
 Hidung : Nafas cuping hidung (-), simetris, perforasi (-), epistaksis (-),
deformitas hidung (-)
 Telinga : Daun telinga simetris
 Mulut : simetris, mulut kering (-), sianosis (-), bibir pucat (-), bibir
kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah hiperemis (-),
gusi berdarah (-), lidah simetris
 Tenggorokan : Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
 Leher : JVP tidak meningkat, trakea di tengah, pembesaran, kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-).
 Thorax : Simetris, bentuk normochest, retraksi interkostal (-), retraksi
subkostal (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
 Cor
I : ictus cordis tak tampak
P : ictus cordis kuat angkat
P : batas kiri atas : ICS II 1 cm lateral LPSS
batas kanan atas : ICS II LPSD
batas kiri bawah : ICS V 1 cm lateral LMCS
batas kanan bawah : ICS IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I–II intensitas normal, regular, bising (-),mur-mur(-), Gallop (-)
 Pulmo
I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
P : fremitus raba kanan sama dengan kiri
P : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan wheezing (-/-) , ronki
(-/-)
 Abdomen
I : dinding perut sejajar dengan dinding dada
A : peristaltik (+) normal
6

P : Timpani seluruh lapang perut


P : supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba
membesar.
2.4 RESUME
Pasien datang ke RSUD Dr Moewardi dengan keluhan nyeri pada ulu hati,
dada juga terasa panas. Pasien juga mengatakan jika pasien sering makan tidak
teratur. Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan epigastrium.

2.5 DIAGNOSA BANDING


- Dispepsia
- IBS
- GERD
2.6 DIAGNOSA KERJA
 Dispepsia
2.7 PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
Pasien diberikan edukasi, yaitu :

1. Menginformasikan tentang penyakitnya secara lengkap (definisi


dispepsia, penyebab, faktor risiko, perjalanan penyakitnya, dan
komplikasi).
2. Pasien diminta untuk makan secara teratur setiap hari.
3. Pasien diminta untuk mengurangi konsumsi makanan yang bersifat asam
dan pedas.
4. Pasien dianjurkan untuk mengurangi stres

Medikamentosa
a. Omeprazole 20 mg tab, (4-8 minggu) merupakan golongan PPI diminum
satu kali sehari sebelum makan
b. Sucralfat 500mg/5cc larutan suspensi ,2 sdt 2-4x/hari, (4 minggu)
merupakan obat dengan mekanisme kerja membentuk lapisan pada
lambung untuk melindungi tukak dari pengaruh agresif asam lambung
dan pepsin diminum dua hingga 4 kali sehari 2 sendok takar.
7

2.8 PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad functionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

Dr. Dinar Halwa Candra


SIP : 216.041.01xxx
Jl. Aja jadian Nggak, No 1 Solo.Telv.: 08500xxx
Praktek : Senin-Jumat pukul 18.00-20.00

Solo, 10 Oktober 2018


Alergi : Ya / Tidak

R / Omeprazole tab mg 20 No XXX

∫ 1 dd tab I a.c
D

R/ Sucralfat suspensi 500mg/5cc No. XII


∫ 2 dd cth 2 a.c
D

Pro : Ny.M
Umur : 48 th
Alamat : Jebres, Solo
8

BAB III

TIINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein
(pencernaan)4. Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical
Investigators, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang
terutama dirasakan di daerah perut bagian atas5.
Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-
an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat
kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di
dada. Menurut Kriteria Roma III terbaru dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala yaitu perasaan
perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang
berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala
sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis6.
3.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan yang dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun.
Sebagai contoh dalam masyarakat di negara-negara barat dispepsia dialami oleh
sedikitnya 25% populasi. Diperkirakan sekitar 15-40% populasi di dunia
memiliki keluhan dispepsia kronis atau berulang, sepertiganya merupakan
dispepsia organik (struktural). Di negara-negara Asia belum banyak data tentang
dispepsia tetapi diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi
umum. Data Departemen Kesehatan tahun 2004 menempatkan dispepsia di
urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di
Indonesia dengan proporsi 1,3%. Angka di Indonesia sendiri, penyebab dispepsi
adalah 86% dispepsia fungsional, 13% ulkus dan 1% disebabkan oleh kanker
lambung.7
Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan
prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada
9

tahun 2003. Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan
primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1
dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori
yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan6.
3.3 Etiologi
Dispepsia tidak hanya disebabkan oleh karena gangguan atau penyakit dalam
lumen saluran cerna, tetapi dispepsia dapat juga disebabkan oleh banyak hal
beberapa diantaranya merupakan penyebab tersering terjadinya dispepsia.

Tabel 1. Etiologi dispepsia8

3.4 Faktor Resiko


Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia
yaitu diantaranya faktor diet misalnya konsumsi kafein berlebihan,cepat saji,
makanan berlemak, dan makanan pedas; selanjutnya yaitu faktor pola hidup
seperti minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS,
dan kurangnya olahraga; serta faktor lingkungan misalny berdomisili di daerah
dengan prevalensi H. pylori tinggi8.
10

Rokok dianggap menurunkan efek perlindungan mukosa lambung, sedangkan


alkohol dan obat antiinflamasi berperan meningkatkan produksi asam lambung.
Studi di India pada penderita dispepsia rerata usia 20,43±1,05 tahun, secara
signifikan terkait dengan faktor gaya hidup seperti konsumsi makanan berlemak,
rokok, NSAID, dan aktivitas fisik yang rendah.4 Studi di Arab menganalisis
hubungan pola hidup dan diet pada dispepsia. Sekitar 77 (43,8%) dari 176
pelajar rerata usia 20,67±2,57 tahun menderita dispepsia, dan terdapat korelasi
bermakna dispepsia dengan merokok, kurang tidur, stres, faktor akademis
(p<0,05) sementara alkohol, obat antinyeri, faktor diet (makanan cepat saji, asin,
pedas, kopi, buah, sayur, air) dan tingkat aktivitas fisik tidak memiliki hubungan
bermakna dengan dispepsia.9
3.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, dispepsia dapat dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:6
1. Dispepsia organik yaitu dispepsia yang disebabkan oleh kelompok
penyakit organik seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu,
dan lainnya.
a. Saluran cerna bagian atas:
Esofagitis refluks
Gastritis/duodenitis
Tukak pep tik (esofagus, lambung, duodenum)
Tukak anastomose Karsinoma gaster
Dilatasi gaster
Hipertropi pylorus
Gastroptosis
Divertikulum gaster/duodenum
Duodenal ileus, TBC usus, adhesi usus/mesentriu
b. Saluran cerna bagian bawah :
Karsinoma kolon
c. Pankreas:
Pankreatitis kronis
Karsinoma pancreas
11

d. System Bilier
Cholesistitis
Batu kandung empedu
d. Hati
Hepatitis akut/kronis
Ca hepar
2. Dispepsia Fungsional
Dispepsia Fungsional yaitu kelompok di mana sarana penunjang
diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi,
laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan
dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu
terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.
Tabel 2. Kriteria dispepsia fungsional tipe nyeri epigastrium.11

Tabel 3.Kriteria dispepsia fungsional tipe distress postprandial.11


12

Sedangkan berdasarkan gejala klinis, dispepsia dibagi atas:10

1. Dispepsia akibat gangguan motilitas


Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling menonjol
adalah perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah makan, cepat merasa
kenyang disertai sendawa.
2. Dispepsia akibat tukak
Pasien tukak peptik memberikan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu hati,
rasa tidak nyaman/ discomfort disertai muntah. Pada tukak duodeni rasa
sakit timbil waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan
pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat
antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Rasa sakit tukak gaster
timbul setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak
setelah makan, rasa sakit tukak gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak
duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu
titik (pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini
kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami
komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pankreas.
3. Dispepsia akibat refluks
Pada dispepsia akibat refluks keluhan yang menonjol berupa perasaan
nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar, harus disingkirkan adanya pasien
kardiologis.
4. Dispepsia tidak spesifik
3.6 Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila
kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding
dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun,
dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa
dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya
terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat
organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional
diklasifikasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia;
13

apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai
dispepsia nonspesifi k. Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit
membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang
timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55
tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.12
Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of
Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional.
Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS,
khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan
pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala
saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya,
pada pasien dispepsia, sering kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran
pencernaan bawah yang menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli
mengemukakan sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di
perut yang terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat
didiferensiasi. Quigley et al. mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu
dengan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum
penyakit fungsional saluran cerna.13
14

Tabel 4. Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional13


15

3.7 Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan
potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam
lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan
hipersensitivitas viseral. Beberapa penelitian menegaskan bahwa patofisiologi
dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian
masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan
bermakna, seperti di bawah ini14 :
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume
lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang
lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan
depresi.
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-
rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.6
Selain itu peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan
infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk
melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori
positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku6.
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan
beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan
pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum,
kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi
melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan
lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks,
16

sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi


penyebab tunggal adanya gangguan motilitas.5
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau
duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami.
Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada
semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan
dispepsia fungsional. Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji
klinis pada tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan
ke dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil
tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia
fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofi
siologi dispepsia. 6
Disfungsi autonom Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya
neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.6
Selain itu adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi
peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.6
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal.6
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibanding kasus kontrol.6
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian
17

stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya


menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya
kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan
jiwa pada kasus dispepsia fungsional.6
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan
terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara
polimorfi sme gengen terkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori
pada pasien dengan dispepsia fungsional.6
3.8 Pemeriksaan Penunjang6
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Dari hasil pemeriksaan
darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga
menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya
dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas
perlu diperiksa CA 19-9.
2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus
dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk
bila penderita makan.
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau
usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan
lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk
mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
18

a. CLO (rapid urea test)


b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
4. Pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi
Helicobacter pylori, dan urea breath test. Pemeriksaan radiologis dilakukan
terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda.
Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esophagus yang
menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang
masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan
terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi
kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan
tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk
dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen,
yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign),
atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinel
loops.
5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi
kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam.
3.9 Diagnosa Banding
Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia
berhasil dieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya
mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifi k organik yang
mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala
dispepsia yang dikeluhkan pasien.15
19

Tabel 5. Diagnosa Banding Dispepsia15

3.10 Tatalaksana
Manajemen dispepsia dimulai dengan upaya identifikasi berdasarkan
patofisiologi dan faktor etiologi. Perawatan dispepsia sudah bisa dimulai
berdasarkan dominasi gejala klinis dan perawatannya selanjutnya dilanjutkan
konsisten dengan hasil pemeriksaan.16
a. Dispepsia Organik
Ketika lesi mukosa ditemukan, dan adanya temuan pada endoskopi, terapi
akan diberikan berdasarkan pada kelainan yang telah ditemukan. Kelainan yang
termasuk dalam dispepsia organik adalah gastritis,hemoragik gastritis,
duodenitis, ulkus lambung, ulkus duodenum atau proses keganasan. Pada ulkus
peptikum, obat yang bisa diberikan adalah kombinasi PPI seperti rabeprazole 2 x
20 mg atau lanzoprazole 2 x 30 mg dan mukoprotektor seperti rebamipide 3 x
100 mg.16
20

Disipepsia tidak
teridentikisi dalam 3 bulan
atau lebih

Pemeriksaan fisik, anamnesis

Alarm Signs Terapi empiris

Respon setelah Melanjutkan


UGT Endoscopy
2 minggu terapi

Menemukan gejala

Indikasi: dari tes darah, kimia


darah, dan foto abdomen

Gejala dari Dispepsia


Dispepsia Organik
hasil lab fungsional

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Dispepsia16

b. Dispepsia Fungsional
Ketika tidak ditemukan adanya kerusakan mukosa setelah penyelidikan,
perawatan tetap dapat diberikan dengan penggunaan prokinetik seperti
metoklopramide, domperidone, cisapride, itopride dan lainnya untuk
memperbaiki gejala pasien dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
pengosongan lambung yang lambat sebagai salah satu patofisiologi dispepsia
fungsional. Data tentang penggunaan antidepresan atau antianxiolytic pada
pasien dispepsia fungsional masih sangat terbatas. Studi terbaru di Jepang telah
menunjukkan peningkatan yang signifikan gejala pada pasien dengan dispepsia
fungsional yang telah menerima -agonis [5-HT1] dibandingkan dengan plasebo.
Di sisi lain, penggunaan venlafaxin, inhibitor serotonin dan norepinephrin, tidak
tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan placebo. Masalah
psikologis serta gangguan tidur dan kurangnya sensiivitas serotonin sentral dapat
21

menjadi faktor penting dalam respon terapi antidepresan pada pasien dengan
dispepsia fungsional.16

Dispepsia Fungsional

Modifikasi diet

Gejala Predominan

Nyeri epigastrik “rasa Perut terasa penuh setelah


terbakar” makan, mual, muntah

PPI dengan/tanpa
prokinetik, Prokinetik dengan / tanpa
Cytoprotectors,PPI- PPI
down regulation

No - Coba dengan No
Respon 4-8 antidepresan /anxiolytic Respon 4-
minggu - Coba dengan terapi 8 minggu
hebal

No Respon
Yes Ke spesialis Yes

Stop terapi

Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Dispepsia Fungsional16

c. Dispepsia Tidak Terinvestigasi


Pemberantasan Hp dapat memberikan remisi jangka panjang gejala
dyspepsia. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan pada 21 pasien
menemukan bahwa terapi eradikasi telah memperbaiki gejala pada sebagian
besar pasien dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebanyak 76% dan
81% memiliki hasil Hp negatif ketika mereka dievaluasi menggunakan UBT.
22

Penelitian lain menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp menggunakan terapi tiga


(rabeprazole, amoxicillin dan clarithromycin) selama 7 hari lebih baik daripada
terapi 5 hari. Di daerah di mana resistensi terhadap klaritromisin tinggi, kami
menyarankan untuk melakukan tes kultur dan resistansi ( menggunakan
spesimen endoskopi) sebelum terapi. Tes molekuler juga dapat dilakukan untuk
mendeteksi Hp dan resistensi terhadap klaritromisin dan / atau fluoroquinolone
secara langsung melalui biopsi lambung. Setelah memberikan terapi eradikasi,
tes konfirmasi harus dilakukan dengan menggunakan tes antigen monoklonal
tinja UBT atau H. pylori. Tes ini dapat dilakukan setidaknya dalam 4 minggu
setelah akhir perawatan.16

H. Pilori positif

Area dengan resisten Area dengan resisten


rendah terhadap tinggi terhadap
clarithromycin clarithromycin

PPI-clarithromycin- Bismuth quadrupletau


amoxicilin/metronidazole apabia tidak ada
atau bismuth quadruple menggunakan quadruple
non-bismuth

bismuth quadrupleatau PPI- levofloxacin-


levofloxacin-amoxicilin amoxicilin

Dilakukan tes reistensi obat

Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Infeki H.Pilori16


23

3.11 Prognosa
Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan kambuhan, dengan
periode asimptomatik diikuti episode relaps Berdasarkan studi populasi pasien
dispepsia fungsional, 15-20% mengalami gejala persisten, 50% mengalami
perbaikan gejala, dan 30-35% mengalami gejala fluktuatif. Pada studi di Cina,
prognosis dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal; kurang tidur
dan status pernikahan buruk memiliki prognosis negatif, sedangkan personalitas
ekstrovert memiliki prognosis positif. Meskipun dispepsia fungsional
berlangsung kronis dan mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti
menurunkan harapan hidup.17
Penelitian Mahadeva menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional
memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu
dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih
sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap
bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap
pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
gangguan psikiatris.18
24

BAB IV
PEMBAHASAN

4. 1. Dasar Penegakkan Diagnosis


4. 1. 1. Resume
Ny. M, usia 48 th, perempuan, sudah menikah datang ke poli umum dengan
keluhan nyeri pada ulu hati. Nyeri hilang timbul terutama jika pasien telat makan
saat sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Keluhan yang sama pertama kali
dirasakan 4-5 bulan yang lalu, dan diberi obat pereda nyeri yang dibeli di
warung. Keluhan membaik setelah diberi obat. Keluhan lain yang dirasakan
adalah dada terasa panas.
Riwayat penyakit dahulu disangkal, untuk penyakit keluarga tidak ditemukan,
riwayat pengobatan pasien sering mengonsumsi obat pusing yang dibeli di
warung, riwayat gizi pasien sering telat makan sehingga pola makan tidak
teratur.
4. 1. 2. Prinsip Penegakkan Diagnosis
1. Hasil anamnesa
- Nyeri ulu hati sejak 4-5 bulan dan memberat 3 hari yang lalu
- Dada terasa panas
- Nyeri hilang timbul jika telat makan
- Sering konsumsi obat pusing yang dibeli di warung sejak 1 tahun terakhir
2. Hasil pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen supel, nyeri tekan
3. Hasil pemeriksaan penunjang
(-)
4. 2. Diagnosa
Dispepsia
4. 3. Diagnosa Banding
- IBS
- GERD
25

4. 4. Dasar Perencanaan Tatalaksana

Dispepsia Fungsional

Modifikasi diet

Gejala Predominan

Nyeri epigastrik “rasa Perut terasa penuh setelah


terbakar” makan, mual, muntah

PPI dengan/tanpa
prokinetik,Cytoprotector Prokinetik dengan / tanpa
s,PPI-down regulation PPI

No - Coba dengan No
Respon 4-8 antidepresan /anxiolytic Respon 4-
minggu - Coba dengan terapi 8 minggu
hebal

No Respon
Yes Ke spesialis Yes

Stop terapi

- Omeprazole 20 mg 1x sehari selama 4 minggu


- Sukralfat larutan suspensi 500mg/5ml 2x sehari selama 4 minggu
26

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dispepsia keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Dispepsia
dibagi menjadi organik dan fungsional. Terdapat berbagai macam keadaan yang
dapat menyebabkan terjadinya dispepsia fungsional, yaitu akibat adanya penyakit
sistemik lain yang diderita pasien, infeksi bakteri khususnya H. pylori,
penggunaan obat-obat tertentu, konsumsi alkohol dan sebagainya. Namun
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Diagnosis dispepsia fungsional dapat
bertumpang tindih dengan gejala penyakit lainnya seperti IBS dan GERD. Namun
pada disepsia tidak ditemukan kelainan organik yang dapat mengarah kepada
penyakit-penyakit tertentu. Untuk mendiagnosis dispepsia fungsional, digunakan
kriteria Roma III. Dispepsia biasanya berlangsung kronis dengan periode gejala
asimptomatis diikuti dengan relaps, namun meskipun terjadi secara kronis,
dispepsia masih memiliki prognosa yang baik. Karena meski dapat menurunkan
kualitas hidup jika tidak ditangani, dispepsia tidak memburuk sehingga dapat
menurunkan harapan untuk hidup.

5.2 Saran
1. Bagi penulis
Penulis diharapkan memahami dan selalu menambah pengetahuan
mengenai dispepsia dan tatalaksananya.
2. Bagi akademisi
Dalam contoh laporan kasus ini dibahas sebagian kecil dari penjelasan
mengenai dispepsia, sehingga laporan kasus ini dapat digunakan sebagai
pelengkap dan penunjang untuk referensi dispepsia.
27

Daftar Pustaka

1. Pardiansyah, dkk. Upaya Pengelolaan Dispepsia dengan Pendekatan


Pelayanan Dokter Keluarga. Universitas Lampung. 2013.
2. Dharmika, D. Pendekatan Klinis Penyakt Gastrointestinal. Dalam: Aru,
WS., Bambang S., Idrus A., Marcellus SK., Siti S., editor :Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi ke-6. Jakartaa: Balai Penerbit FKUI, 201. Hlm.285.
3. Mahadeva, S. Goh, KL. Epidemiologyof Functional Dypepsia: a global
perspective. World J Gastroententerol. 2006; 12(17):2661-6.

4. Bonner GF. Upper gastrointestinal evaluation related to the pelvic fl oor.


In: Davila GW, Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor
Dysfunction. 1st ed. Springer-Verlag London Limited; 2016. p. 67-8.
5. Talley NJ, Colin-Jones D, Koch KL, Koch M, Nyren O, Stanghellini V.
Functional dyspepsia: a classifi cation with guidelines for diagnosis and
management. Gastroenterol Int. 1991;4:145
6. Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. p. 354-6
7. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan
Tahun 2007. Edisi 2010. Accessed from:
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&
id
8. Lee SW, Lien HC, Lee TY, Yang SS, Yeh HZ, Chang CS. Etiologies of
dyspepsia among a Chinese population: One hospital-based study. Open
Journal of Gastroenterology 2014;4:249-54.
9. Jaber N, Oudah M, Kowatli A, Jibril J, Baig I, Mathew E, et al. Dietary
and lifestyle factors associated with dyspepsia among pre-clinical medical
students in Ajman, United Arab Emirates. Central Asian Journal of Global
Health 2016;5(1):1-16
10. Tarigan, P., 2009. Tukak Gaster. In Sudoyo AW et al, ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing. 516-517.
28

11. Otero W, Zuleta MG, Otero L. Update on approaches to patients with


dyspepsia and functional dyspepsia. Rev Col Gastroenterol.
2014;29(2):129-34
12. Montalto M, Santoro L, Vastola M, Curigliano V, Cammarota G, Manna
R, et al. Functional dyspepsia: defi nition, classifi cation, clinical and
therapeutic management. [Article in Italian]. Ann Ital Med Int. 2004 Apr-
Jun;19(2):84-9
13. Appendix B: Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal
disorders. Am J Gastroenterol. 2010;105:798–801.
14. Tack J, Bisschops R, Sarnelli G. Pathophysiology and treatment of
functional dyspepsia. Gastroenterology. 2004;127:1239-55.
15. Kaji M, Fujiwara Y, Shiba M, Kohata Y, Yamagami H, Tanigawa T, et al.
Prevalence of overlaps between GERD, FD and IBS and impact on health-
related quality of life. J Gastroenterol Hepatol. 2010;25(6):1151-6.
16. Syam,AF., et al. National Consensus on Management of Dyspepsia and
Helicobacter pylori Infection. The Indonesian Society of
Gastroenterology, Jakarta, Indonesia. Acta Med Indones - Indones J Intern
Med, Vol 49, Number 3, July 2017.
17. Basandra S, Bajaj D. Epidemiology of dyspepsia and irritable bowel
syndrome in medical students of Northern India. Journal of Clinical and
Diagnostic Research 2014; 8(12):13-6
18. Talley NJ, Ford AC. Functional dyspepsia. New England Journal of
Medicine 2015; 373(19):1853-63

Anda mungkin juga menyukai