BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui pada
praktek sehari‐hari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang dijumpai pada praktek
umum dan 60% pada praktek gastroenterologi merupakan dispepsia. Dispepsia
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit tentunya terutama penyakit lambung.1 Dispepsia
bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa namun gejala–gejala tersebut
terjadi dalam waktu lama. Dispepsia merupakan suatu masalah penting apabila
mengakibatkan penurunan kualitas hidup individu tersebut. Meskipun demikian,
sebagian besar kasus merupakan dispepsia fungsional dan dispepsia tersebut jarang
berakibat fatal. Dispepsia memberikan dampak yang kuat terhadap health‐related
quality of life karena perjalanan alamiah penyakit dispepsia berjalan kronis dan
sering kambuh dan pemberian terapi kurang efektif untuk mengontrol gejala.2
Gejala‐gejala dispepsia dapat mengganggu aktifitas sehari‐ hari dan mengakibatkan
suatu dampak yang bermakna terhadap kualitas hidup dan peningkatan biaya
pengobatan.3
Menurut profil data kesehatan tahun 2011, dispepsia termasuk dalam sepuluh
besar penyakit rawat inap di rumah sakit, sedangkan untuk sepuluh besar penyakit
rawat jalan di rumah sakit dispepsia berada pada urutan ke‐ 6 dengan angka kejadian
kasus sebesar 34.981 kasus pada pria dan 53.618 kasus pada wanita, jumlah kasus baru
sebesar 88.599 kasus.7 sindroma dispepsia didiagnosis dengan gejala rasa penuh yang
terganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar
pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai
dengan satu atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah
gastroduodenal.
2
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam laporan kasus ini adalah
1.3.Tujuan
Laporan kasus ini disusun untuk membantu penulis mengetahui dan
memahami tentang:
1.4.Manfaat
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. M
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jebres, Solo
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Suku : Jawa
2.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
Nyeri Ulu Hati
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Umum RS Dr. Moewardi dengan keluhan nyeri pada
ulu hati. Keluhan dirasakan sejak kurang lebih tiga hari yang lalu. Keluhan
hilang timbul terutama jika pasien telat makan. Pasien mengatakan jika
sering telat makan saat mengerjakan pekerjaan rumah. Sebelumnya pasien
pernah mengalami keluhan seperti ini kurang lebih 4-5 bulan yang lalu. Saat
keluhan timbul selama 4-5 bulan ini, pasien mengonsumsi obat yang dibeli
sendiri di warung dan keluhannya membaik. Namun 3 hari belakangan ini
nyeri yang dirasakannya lebih berat sehingga pasien terganggu dalam
mengerjakan kegiatan rumah. Keluhan lain yang dirasakan adalah dada
terasa panas. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat pengobatan
pasien sejak 1 tahun belakangan sering mengonsumsi obat anti nyeri untuk
keluhan pusing-pusing yang dibeli sendiri di warung.
Riwayat DM : disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Pengobatan:
- Panadol untuk keluhan pusing dalam 1 tahun terakhir
- Promag untuk keluhan nyeri perut dalam 4-5 bulan terakhir
Riwayat Sosial Ekonomi:
Penghasilan Suami Ny. M cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Ny. M dan keluarga sering berinteraksi dengan tetangganya.
Riwayat gizi:
Pasien makan sehari-hari biasanya 2 kali (namun sering terlambat)
sehari dengan lauk-pauk tahu, tempe, telor, atau daging, dan sayur-mayur
Medikamentosa
a. Omeprazole 20 mg tab, (4-8 minggu) merupakan golongan PPI diminum
satu kali sehari sebelum makan
b. Sucralfat 500mg/5cc larutan suspensi ,2 sdt 2-4x/hari, (4 minggu)
merupakan obat dengan mekanisme kerja membentuk lapisan pada
lambung untuk melindungi tukak dari pengaruh agresif asam lambung
dan pepsin diminum dua hingga 4 kali sehari 2 sendok takar.
7
2.8 PROGNOSIS
∫ 1 dd tab I a.c
D
Pro : Ny.M
Umur : 48 th
Alamat : Jebres, Solo
8
BAB III
TIINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein
(pencernaan)4. Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical
Investigators, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang
terutama dirasakan di daerah perut bagian atas5.
Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-
an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat
kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di
dada. Menurut Kriteria Roma III terbaru dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala yaitu perasaan
perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang
berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala
sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis6.
3.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan yang dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun.
Sebagai contoh dalam masyarakat di negara-negara barat dispepsia dialami oleh
sedikitnya 25% populasi. Diperkirakan sekitar 15-40% populasi di dunia
memiliki keluhan dispepsia kronis atau berulang, sepertiganya merupakan
dispepsia organik (struktural). Di negara-negara Asia belum banyak data tentang
dispepsia tetapi diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi
umum. Data Departemen Kesehatan tahun 2004 menempatkan dispepsia di
urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di
Indonesia dengan proporsi 1,3%. Angka di Indonesia sendiri, penyebab dispepsi
adalah 86% dispepsia fungsional, 13% ulkus dan 1% disebabkan oleh kanker
lambung.7
Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan
prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada
9
tahun 2003. Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan
primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1
dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori
yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan6.
3.3 Etiologi
Dispepsia tidak hanya disebabkan oleh karena gangguan atau penyakit dalam
lumen saluran cerna, tetapi dispepsia dapat juga disebabkan oleh banyak hal
beberapa diantaranya merupakan penyebab tersering terjadinya dispepsia.
d. System Bilier
Cholesistitis
Batu kandung empedu
d. Hati
Hepatitis akut/kronis
Ca hepar
2. Dispepsia Fungsional
Dispepsia Fungsional yaitu kelompok di mana sarana penunjang
diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi,
laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan
dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu
terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.
Tabel 2. Kriteria dispepsia fungsional tipe nyeri epigastrium.11
apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai
dispepsia nonspesifi k. Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit
membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang
timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55
tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.12
Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of
Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional.
Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS,
khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan
pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala
saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya,
pada pasien dispepsia, sering kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran
pencernaan bawah yang menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli
mengemukakan sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di
perut yang terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat
didiferensiasi. Quigley et al. mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu
dengan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum
penyakit fungsional saluran cerna.13
14
3.7 Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan
potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam
lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan
hipersensitivitas viseral. Beberapa penelitian menegaskan bahwa patofisiologi
dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian
masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan
bermakna, seperti di bawah ini14 :
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume
lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang
lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan
depresi.
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-
rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.6
Selain itu peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan
infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk
melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori
positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku6.
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan
beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan
pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum,
kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi
melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan
lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks,
16
3.10 Tatalaksana
Manajemen dispepsia dimulai dengan upaya identifikasi berdasarkan
patofisiologi dan faktor etiologi. Perawatan dispepsia sudah bisa dimulai
berdasarkan dominasi gejala klinis dan perawatannya selanjutnya dilanjutkan
konsisten dengan hasil pemeriksaan.16
a. Dispepsia Organik
Ketika lesi mukosa ditemukan, dan adanya temuan pada endoskopi, terapi
akan diberikan berdasarkan pada kelainan yang telah ditemukan. Kelainan yang
termasuk dalam dispepsia organik adalah gastritis,hemoragik gastritis,
duodenitis, ulkus lambung, ulkus duodenum atau proses keganasan. Pada ulkus
peptikum, obat yang bisa diberikan adalah kombinasi PPI seperti rabeprazole 2 x
20 mg atau lanzoprazole 2 x 30 mg dan mukoprotektor seperti rebamipide 3 x
100 mg.16
20
Disipepsia tidak
teridentikisi dalam 3 bulan
atau lebih
Menemukan gejala
b. Dispepsia Fungsional
Ketika tidak ditemukan adanya kerusakan mukosa setelah penyelidikan,
perawatan tetap dapat diberikan dengan penggunaan prokinetik seperti
metoklopramide, domperidone, cisapride, itopride dan lainnya untuk
memperbaiki gejala pasien dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
pengosongan lambung yang lambat sebagai salah satu patofisiologi dispepsia
fungsional. Data tentang penggunaan antidepresan atau antianxiolytic pada
pasien dispepsia fungsional masih sangat terbatas. Studi terbaru di Jepang telah
menunjukkan peningkatan yang signifikan gejala pada pasien dengan dispepsia
fungsional yang telah menerima -agonis [5-HT1] dibandingkan dengan plasebo.
Di sisi lain, penggunaan venlafaxin, inhibitor serotonin dan norepinephrin, tidak
tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan placebo. Masalah
psikologis serta gangguan tidur dan kurangnya sensiivitas serotonin sentral dapat
21
menjadi faktor penting dalam respon terapi antidepresan pada pasien dengan
dispepsia fungsional.16
Dispepsia Fungsional
Modifikasi diet
Gejala Predominan
PPI dengan/tanpa
prokinetik, Prokinetik dengan / tanpa
Cytoprotectors,PPI- PPI
down regulation
No - Coba dengan No
Respon 4-8 antidepresan /anxiolytic Respon 4-
minggu - Coba dengan terapi 8 minggu
hebal
No Respon
Yes Ke spesialis Yes
Stop terapi
H. Pilori positif
3.11 Prognosa
Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan kambuhan, dengan
periode asimptomatik diikuti episode relaps Berdasarkan studi populasi pasien
dispepsia fungsional, 15-20% mengalami gejala persisten, 50% mengalami
perbaikan gejala, dan 30-35% mengalami gejala fluktuatif. Pada studi di Cina,
prognosis dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal; kurang tidur
dan status pernikahan buruk memiliki prognosis negatif, sedangkan personalitas
ekstrovert memiliki prognosis positif. Meskipun dispepsia fungsional
berlangsung kronis dan mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti
menurunkan harapan hidup.17
Penelitian Mahadeva menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional
memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu
dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih
sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap
bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap
pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
gangguan psikiatris.18
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Dispepsia Fungsional
Modifikasi diet
Gejala Predominan
PPI dengan/tanpa
prokinetik,Cytoprotector Prokinetik dengan / tanpa
s,PPI-down regulation PPI
No - Coba dengan No
Respon 4-8 antidepresan /anxiolytic Respon 4-
minggu - Coba dengan terapi 8 minggu
hebal
No Respon
Yes Ke spesialis Yes
Stop terapi
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dispepsia keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Dispepsia
dibagi menjadi organik dan fungsional. Terdapat berbagai macam keadaan yang
dapat menyebabkan terjadinya dispepsia fungsional, yaitu akibat adanya penyakit
sistemik lain yang diderita pasien, infeksi bakteri khususnya H. pylori,
penggunaan obat-obat tertentu, konsumsi alkohol dan sebagainya. Namun
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Diagnosis dispepsia fungsional dapat
bertumpang tindih dengan gejala penyakit lainnya seperti IBS dan GERD. Namun
pada disepsia tidak ditemukan kelainan organik yang dapat mengarah kepada
penyakit-penyakit tertentu. Untuk mendiagnosis dispepsia fungsional, digunakan
kriteria Roma III. Dispepsia biasanya berlangsung kronis dengan periode gejala
asimptomatis diikuti dengan relaps, namun meskipun terjadi secara kronis,
dispepsia masih memiliki prognosa yang baik. Karena meski dapat menurunkan
kualitas hidup jika tidak ditangani, dispepsia tidak memburuk sehingga dapat
menurunkan harapan untuk hidup.
5.2 Saran
1. Bagi penulis
Penulis diharapkan memahami dan selalu menambah pengetahuan
mengenai dispepsia dan tatalaksananya.
2. Bagi akademisi
Dalam contoh laporan kasus ini dibahas sebagian kecil dari penjelasan
mengenai dispepsia, sehingga laporan kasus ini dapat digunakan sebagai
pelengkap dan penunjang untuk referensi dispepsia.
27
Daftar Pustaka