Anda di halaman 1dari 3

Metode penemuan hukum

Metode penemuan hukum dapat juga dikatakan adalah cara atau teknik untuk
menemukan hukum. Adapun cara untuk menemukan hukum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu
harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam ke-3 unsur-unsur penemuan hukum antara lain
adalah Sumber Penemuan Hukum, Subyek Penemuan Hukum, dan Metode penemuan hukum itu
sendiri.

Metode penemuan hukum bukan merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh Mahkamah
Agung atau Undang-undang, tetapi merupakan hasil penelitian yang tidak secara khusus
dilakukan dari yurisprudensi yang ada selama ini atau pengamatan-pengamatan dari putusan
pengadilan. Dapat disimpulkan dari yurisprudensi bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan
menggunakan metode penemuan hukum.

Adapun penemuan hukum dapat disistemisasi atau dikategorikan menjadi sebagai berikut :
a. Metode interpretasi atau penafsiran
Metode ini merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan
secara gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa hukum konkrit.

Metode Interprstasi ini adalah alat atau sarana untuk mengetahui makna undang-undang.
Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan
bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang
diperoleh.

Metode interpretasi atau penafsiran terdiri dari sebagai berikut :


1. Interpretasi Gramatikal
Metode ini merupakan metode yang disesuaikan dengan bahasa umum sehari-hari.
Artinya adalah suatu metode yang dipakai dengan cara penafsiran atau penjelasan yang paling
sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susun kata atau bunyinya. Contoh misalnya antara penggelapan Pasal 41 KUHP
adakalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.

2. Interpretasi Sistematis/Logis
Metode ini merupakan metode dimana dalam melakukan penafsiran undang-undanglah
yang dijadikan dasar dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain, dalam hal ini
tidak boleh keluar dari konteks peraturan perundang-undangan. Contoh misalnya berbicara
tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup
hanya mencari ketentaun-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal
278 KUHP.

3. Interpretasi Historis
Metode ini merupakan sutau metode yang mana dalam penerapannya mengacu kepada
sejarah terbentuknya suatu undang-undang begitu juga dengan sejarah terebentuknya hukum.
Untuk dapat mengetahui bagaimana proses terbentuknya hukum bisa saja diliat dari sejarah-
sejarah pada zaman romawi kuno atau pada zaman yunani, kemudian untuk mengetahui proses
terbentuknya peraturan perundang-undangan ditinjau ketika DPR bersama dengan
pendukungnya dalam menentapkan suatu undang-undang.

4. Interpretasi Teleologis/Sosiologis
Metode ini yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Dengan Interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi
sudah buram atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan
dan kepentingan masa kini tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya
undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Disini peraturan peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.

Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk
memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang.
Peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru : peraturan yang lama
dibuat aktual. Interpretasi teleologis ini dinamakan juga Interpretasi sosiologis. Metode tersebut
dapat digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai
cara. Contoh misalnya pencurian dalam hal tenaga listrik apakah hal tersebut masuk didalam
rumusan Pasal 362.

5. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah
penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari
kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari
perjanjian internasional ini penting karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan
hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaidah hukum untuk
beberapa negara. Diluar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.

6. Interpretasi Futuristis
Interpretasi Futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman kepada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum.

Dari Metode Interpretasi-interpretasi tersebut diatas dapat dikelompokkan menjadi beberapa


bagian yaitu antara lain :

a. Interpretasi Restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi.


Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup ketentuan itu dibatasi.
Menururt interpretasi gramatikal ”tetangga” menurut Pasal 666 KUHPerdata dapat
diartikan setiap tetangga, termasuk seorang penyewa dari pekarangan sebelahnya. Kalau
tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa, ini merupakan Interpretasi
Restriktif.

b. Interpretasi Ekstensif dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Interpretasi


Gramatikal. Sebagai contoh dapat disebutkan penafsiran kata ”menjual” dalam
Pasal 1567 BW oleh Hoge Raad menafsirkan luas dalam bukunya Sudikno
Mertokusumo yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli saja, tetapi juga
”peralihan” atau pengasingan.

b. Metode Argumentasi
Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak
jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus
memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini hakim
menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi,
sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan alasan tidak ada
hukumnya atau tidak lengkap hukumnya apabila mengacu pada Pasal 5 Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 sekarang 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam hal ini hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum.

Berkaitan dengan hal diatas, maka Metode Argumentasi dapat dibagi menjadi 2 golongan antara
lain :

1). Argumentum Per Analogiam (Analogi)


Metode tersebut merupakan metode dalam menemukan hukum, yang dicari adalah
peristiwa khusus yang mirip, karena yang ditonjolkan adalah kemiripan. Contoh Pasal 1576
KUHPerdata yang berbicara tentang penjualan apabila dikaitkan dengan antara tukar menukar
dengan jual beli.

2). Argumentum A Contrario (A Contraria)


Metode tersebut dalam mencari hukumnya bagi peristiwa khusus, dimana hukumnya tidak
ada, maka dicari adalah peraturan lain yang mengatur peristiwa khusus konkrit yang mirip, tetapi
terdapat perbedaan. Yang paling menonjol dalam metode ini adalah perbedaannya.

Contoh berbicara mengenai janda dan duda, dimana hanya janda yang diberikan batasan dalam
hal perkawinan setelah bercerai. Sementara bagi seorang duda yang ingin kawin lagi setelah
bercerai tidak ada aturan yang mengatur tentang batasan-batasan yang diberikan.

c. Penyempitan Hukum
Penyempitan Hukum terjadi apabila peraturan yang dijadikan sebagai dasar ruang
lingkupnya terlau umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk duterapkan terhadap suatu
peristiwa tertentu.

Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-


penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Disini peraturan yang sifatnya
umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau
konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contohnya adalah ditinjau dari pasal 1365 KUHperdata.

Anda mungkin juga menyukai