Anda di halaman 1dari 2

Ilusi Pendidikan Tinggi

15 October 2016 Hasanudin Abdurakhman 0 Comments


http://abdurakhman.com/ilusi-pendidikan-tinggi/

Ini adalah cerita yang biasa kita saksikan. Satu keluarga petani, tinggal di desa. Mereka punya sawah
atau kebun, hidup cukup dengan hasil darinya. Dengan hasil kebun itu mereka menyekolahkan anak,
hingga ke perguruan tinggi. Tidak sedikit dari mereka yang menjual sebagian sawah atau ladang untuk
keperluan itu.

Ketika anaknya selesai kuliah, ia tak menjadi apa-apa. Ia tidak mendapat kerja di perusahaan atau
lembaga pemerintah. Ia kembali ke kampung, bertani lagi. Atau bekerja sebagai buruh. Tidak terlihat
sesuatu yang membedakan dirinya dengan orang-orang yang tak kuliah. Tidak sedikit pula yang bahkan
tidak sanggup mandiri seperti orang tua mereka, sekedar menumpang hidup dari harta yang didapat
oleh orang tua.

Apa yang sedang terjadi? Apa yang salah pada perguruan tinggi kita?

Dalam masa 20-30 tahun terakhir ini kita sedang mengalami berbagai jenis transformasi. Ada
transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Juga transformasi demografis dari
desa menjadi urban. Akses ke dunia pendidikan sedang bertransofrmasi menjadi lebih mudah. Dalam
situasi itu seharusnya terjadi pergeseran pola pikir. Tapi sering kali terjadi situasi yang tidak sinkron
antara situasi yang dihadapi dengan pola pikir yang dipakai.

Di masa lalu sekolah adalah tiket untuk pindah dari domain petani-desa-wong cilik menjadi pegawai-
kota-priyayi. Seperti digambarkan oleh Umar Kayam dalam novel “Para Priyayi’, sekolah membuat
para wong cilik yang tadinya harus menerima status wong cilik sebagai suratan takdir, bisa
bertransformasi menjadi priyayi. Anak orang desa, sekolah, menjadi pegawai pemerintah atau swasta,
kemudian menjadi orang kaya dan terhormat di kota.

Proses ini yang dipercayai oleh banyak orang. Mereka terjebak dalam ilusi, bahwa sekolah, khususnya
perguruan tinggi adalah mesin pencetak priyayi. Siapapun yang masuk ke situ akan keluar sebagai
sosok yang digambarkan di atas. Dengan modal gelar sarjana dan ijazah, mereka berharap bisa pindah
dari domain wong cilik menjadi priyayi.

Di masa lalu hal itu memang berlaku. Siapapun yang pernah kuliah nyaris bisa dipastikan akan
mendapat pekerjaan. Tapi sekarang situasi sudah berubah. Fakta menunjukkan bahwa ada begitu
banyak pengangguran sarjana, fenomenanya diwakili oleh cerita di awal tulisan ini tadi. Diperkirakan
saat ini ada 500 ribu sarjana yang menganggur.

Orang tua menyekolahkan anak-anak mereka berdasar pada ilusi tadi. Mereka tidak menimbang
kemampuan intelektual anak. Pokoknya kuliah. Kalau tidak bisa masuk jurusan favorit, cari jurusan
lain. Tidak bisa masuk ke perguruan tinggi besar, masuk ke perguruan tinggi kecil pun tak apa. Tak bisa
masuk ke negeri, ke swasta pun boleh. Tak bisa masuk ke PTS mahal, cari yang murah.

Sebagian besar anak-anak yang dikuliahkan juga berpikir seperti itu. Masih banyak yang mengira
bahwa ijazah dan gelar sarjana akan menjamin masa depan mereka. Mereka tidak tahu soal apa yang
dibutuhkan untuk merebut kesempatan kerja yang sudah semakin menyempit. Mereka kuliah tanpa
rencana dan target.

Adapun perguruan tinggi, mereka sekedar menangkap situasi ini sebagai pasar yang harus digarap.
Orang-orang membuka berbagai perguruan tinggi swasta, untuk menampung luberan peminat kuliah
yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri. Maka kita menyaksikan perguruan tinggi berdiri
hingga ke pelosok negeri. Tak mau kalah dengan swasta, perguruan tinggi negeri menyelenggarakan
program extention, untuk menampung orang-orang yang tak lulus dalam seleksi reguler.

Orang-orang juga menjadi gila gelar. Lulusan sekolah vokasi yang tadinya tidak perlu menyandang
gelar sarjana, memaksa diri pindah ke jalur akademik, agar punya gelar. Tidak punya gelar dianggap
seperti cacat. Orang merasa lebih tidak nyaman dalam status tanpa gelar ketimbang tanpa keahlian.

Situasi ini harus diubah. Orang-orang harus dibangunkan dari ilusi. Sekolah atau perguruan tinggi
bukan mesin pencetak priyayi. Harus disadari bahwa tidak semua orang harus kuliah. Juga tidak semua
orang harus jadi sarjana. Menguliahkan anak harus didahului dengan pemikiran tentang apa potensi
yang dimiliki anak, dan perencanaan soal akan jadi apa anak itu kelak.

Juga harus disadarkan bahwa masa priyayi sudah selesai. Sekarang orang bisa hidup terhormat sebagai
petani yang makmur. Atau jadi pedagang, perajin, dan pengusaha. Tidak selalu harus jadi pejabat
negara atau perusahaan. Anak-anak bisa dikuliahkan dengan mempertimbangkan potensi yang ia
miliki, juga aset yang dimiliki keluarganya. Seorang anak petani, misalnya, bisa belajar untuk
mengelola pertanian orang tuanya secara modern, berikut aspek bisnis pertanian tersebut.

Poin terpentingnya adalah bahwa kuliah itu tempat belajar. Belajar dengan suatu tujuan, dan target.
Mau jadi apa seseorang dengan kuliah, maka jurusan yang ia pilih disesuaikan dengan tujuan itu.
Kemudian selama kuliah ia secara terstruktur dan terencana belajar soal hal-hal yang ia butuhkan.

Anda mungkin juga menyukai