Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan UU no 18 tahun 2012 tentang pangan dijelaskan bahwa


Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam UU ini juga dijelaskan bahwa negara berkewajiban mewujudkan
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup,
aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah
hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan,
dan budaya local. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pangan
merupakan komoditi penting. Sehingga ketersediaanya wajib diatur oleh negara.
Bukan hanya menjamin ketersediaannya tetapi juga menjamin keamanan pangan
bagi warga negaranya.

Keamanan pangan di atur dalam UU no 18 tahun 2012 tentang adalah


kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Ketentuan
mengenai keamanan pangan telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Ditetapkannya undang-undang tentang keamanan pangan bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari ancaman kesehatan akibat makanan yang tercemar.

Cemaran sendiri adalah bahan yang tidak dikehendaki ada dalam makanan
yang mungkin berasal dari lingkungan atau sebagai akibat proses produksi
makanan, dapat berupa cemaran biologis, kimia dan benda asing yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan
Cemaran biologis adalah cemaran dalam makanan yang berasal dari bahan hayati,
dapat berupa cemaran mikroba atau cemaran lainnya seperti cemaran protozoa
dan nematoda (BPOM,2009).

Meskipun telah dibuat undang-undang dan peraturan BPOM, kejadian luar


biasa (KLB) yang diakibatkan oleh konsumsi makanan yang tercemar masih
sering terjadi. kejadian keracunan pangan dikategorikan KLB apabila korban
keracunan pangan lebih dari 10 orang. Berdasarkan data BPOM, pada tahun 2016
telah terjadi 110 kasus KLB keracunan pangan yang dilaporkan oleh media dan 60
kasus KLB yang dilaporkan oleh 31 BB/BPOM diseluruh indonesia. Sebanyak
65% dari kejadian tersebut diduga disebabkan oleh mikroba dan 21.67% telah
dikonfirmasi disebabkan oleh mikroba.

Salah satu KLB akibat cemaran biologis yaitu ditemukannya cacing pada
sarden kemasan. Sarden kemasan merupakan salah satu bahan pangan hasil
olahan. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan (BPOM). Sebelum
diedarkan, pangan olahan harus memenuhi persyaratan dan mutu keamanan yang
telah diatur oleh BPOM. Seperti yang dijelaskan dalam peraturan kepala BOPM
tentang pangan olehan. Pangan Olahan yang diproduksi, diimpor dan diedarkan
di wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi
pangan serta persyaratan keamanan Pangan Olahan harus dipenuhi untuk
mencegah Pangan Olahan dari kemungkinan adanya bahaya mikroba (BPOM
2016). Melihat besarnya masalah yang dapat terjadi akibat cemaran biologis pada
makanan, maka upaya pencegahan dan penanganan dirasa perlu. Oleh karena itu,
akan dianalisa lebih lanjut mengenai penyebab dan upaya penanganan yang dapat
dilakukan.

1.2 Rangkuman Berita

Pada tanggal 22 Maret 2018 terdapat temuan cacing pada produk ikan
kaleng. Menurut Sapari sebagai Kepala BPOM Surabaya mengungkapkan bahwa
temuan parasite cacing terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Surabaya
dilakukan sampling terhadap produk-produk ikan makarel dalam kemasan.
Setelah dilakukan sampling ditemukan sejumlah 27 produk ikan makarel yang
mengandung parasit cacing baik produk lokal ataupun impor. Badan POM
menyatakan sampai sejauh ini cacing ditemukan dari makerel produk Cina atau
berasal dari perairan Cina. Terdapat parasit di ikan makarel produk impor dan di
produk dalam negri dengan bahan baku impor.
Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan,
Tarigan menyampaikan bahwa kemungkinan cacing dalam kaleng bersumber dari
ikannya. Temuan pada makanan yang dikonsumsi sejak lama oleh masyarakat
Indonesia ini dipandang jelas-jelas melanggar sejumlah peraturan hukum yang
dapat menyebabkan pelakunya didenda maksimal dua miliar rupiah dan penjara
lima tahun.
Sehubungan dengan beredarnya pemberitaan di media daring tentang cacing
yang ditemukan dalam ikan makarel kemasan kaleng, BPOM RI memberikan
penjelasan dengan melakukan koordinasi dengan dinas terkait di Provinsi Riau
untuk melakukan penelusuran dan pemeriksaan guna memastikan adanya dugaan
cacing dalam ikan makarel dalam kaleng. Hasil pemeriksaan dan pengujian
BPOM RI menemukan adanya cacing dengan kondisi mati pada produk ikan
makarel dalam saus tomat dalam kaleng ukuran 425 g dengan merek Farmerjack,
IO, dan Hoki. BPOM RI memerintahkan kepada importir untuk menarik produk
FARMERJACK, IO dan HOKI dengan bets tersebut di atas dari peredaran dan
melakukan pemusnahan. Produk yang mengandung cacing tidak layak dikonsumsi
dan pada konsumen tertentu dapat menyebabkan reaksi alergi (hipersensitifitas)
pada orang yang sensitif. BPOM RI terus memantau pelaksanaan penarikan dan
pemusnahan serta meningkatkan sampling dan pengujian terhadap peredaran bets
lainnya dan semua produk ikan dalam kaleng lainnya baik produk dalam maupun
luar negeri. Selain itu, masyarakat juga dihimbau untuk lebih cermat dan hati-hati
dalam membeli produk pangan. Selalu ingat cek “KLIK” (Kemasan, Label, Izin
Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi produk pangan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penemuan Cacing Pada Ikan Kemasan Kaleng

Penemuan cacing pada ikan laut sebelumnya pernah terjadi sudah lama
yaitu penemuan cacing anisakis pada satu kontainer ikan dalam kaleng pada tahun
2000. Berbagai penelitian juga telah dilakukan sejak saat itu dan menunjukkan
bahwa prevalensi cacing anisakis meningkat dari tahun ke tahun. Namun, saat itu
media sosial masih belum ramai seperti sekarang.
Produk ikan kemasan kaleng sebelumnya sudah lolos dalam pemeriksaan
Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Kementrian Kelautan
dan Perikanan (BKIPM) dan bahkan telah diberi izin edar oleh BPOM. Namun,
uji yang dilakukan BKIPM masih belum menyertakan uji parasit, karena tidak
masuk dalam parameter utama standar uji yang diterapkan Badan Standar
Nasional (BSN).
Temuan adanya cacing dalam produk ikan kaleng, menurut Kepala Bidang
Kesehatan Masayarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis, Irawadi
menyebutkan bahwa adanya sejumlah kemungkinan penyebab munculnya cacing
pada ikan dalam kaleng. Salah satunya yaitu karena pengolahan produk makanan
industri tersebut tidak higienis. Selain itu, cacing dapat muncul karena kerusakan
kemasan kaleng yang membuat kualitas penyimpanan ikan tidak lagi bagus. Hal
ini dapat terjadi karena kontaminasi udara yang membawa bakteri masuk kedalam
kaleng yang telah rusak hingga menyebabkan timbul adanya cacing.
Menurut catatan FAO, jumlah cacing anisakis saat ini semakin melimpah
dan daerah keberadaan cacing ini semakin meluas. Menurut Dosen Perikanan
Universitas Gadjah Mada (UGM), Eko Setyobudi mengatakan bahwa tingkat
prevalensi dan intensitas infeksi cacing anisakis pada suatu jenis ikan dipengaruhi
oleh wilayah geografis, habitat dan musim. Ikan yang hidup atau migrasi ke
daerah endemik anisakis berpeluang lebih besar terhadap terkena infeksi.
Awal mula cacing anisakis hidup pada ikan-ikan subtropis seperti ikan
salmon, cod, hering, namun saat ini cacing tersebut pindah habitat ke ikan-ikan
tropis. Menurut dosen parasitologi Universitas Gajah Mada (UGM), Wisnu
Nurcahyo mengatakan bahwa cacing anisakis yang ada pada produk ikan kaleng
merupakan jenis cacing golongan nematoda yang hidup di dalam tubuh ikan air
laut. Sedangkan, di Indonesia cacing ini kini banyak dijumpai dan berhabitat
hidup hampir disemua ikan-ikan air laut yaitu ikan kakap, kerapu, kembung, kawe
dan berbagai macam jenis ikan karnivora lainnya. Habitat hidup cacing dapat
bervariasi, mulai dari otot, organ dalam, usus dan sebagainya.
Menurut pakar standarisasi mutu produk perikanan dari Institut Pertanian
Bogor, Sunarya mengatakan bahwa asal-usul terjadinya adanya cacing pada
produk ikan kaleng itu disebabkan karena faktor lingkungan hidup disekitar ikan,
dimana cacing tersebut tidak dapat dipisahkan dari tubuh ikan dan hal itu
merupakan fenomena alamia yang terjadi secara natural. Cacing yang dimaksud
yaitu cacing anisakis, dimana cacing tersebut berwarna putih dan memiliki
panjang 3 milimeter dan lebar 0,24 meter. Cacing anisakis hidup di dalam tubuh
mamalia laut, seperti ikan paus, lumba-lumba dan biasanya terdapat pada ikan
yang hidupnya berada di lautan Eropa. Cacing tersebut menjadi parasit di tubuh
hewan mamalia laut. Namun, tidak sepanjang waktu cacing tersebut hidup di
dalam mamalia laut, melainkan pada saat musim-musim tertentu. Keberadaan
cacing anisakis pada ikan menandakan bahwa ikan tersebut tekontaminasi atau
terinfeksi cacing tersebut. Ikan yang terinfeksi cacing akan berproduksi
mengeluarkan telur hingga akhirnya telur cacing tersebut tersebar di lautan yang
menempel pada kotoran mamalia. Kotoran atau feses mamalia tersebut
mengandung telur cacing anisakis yang pada akhirnya telur ini menjadi larva di
permukan laut. Telur cacing tersebut memiliki siklus hidup yaitu stadium satu, dua
dan tiga bahkan bisa sampai stadium empat. Telur-telur yang telah menetas harus
mencari inang baru untuk tetap bertahan hidup. Biasanya mereka menjadi
makanan udang-udang kecil. Ketika udang-udang kecil tersebut penuh dengan
larva cacing anisakis kemudian menjadi makanan ikan laut seperti ikan hering
atau makarel, dimana larva-larva tersebut dilepaskan pada perut ikan. Larva
tersebut menembus dinding lambung
dan akhirnya
terbungkus dalam usus atau
daging
ikan

inangnya,
hingga ikan

tersebut
diproduksi
dalam

bentuk kaleng. Produk ikan kaleng diedarluaskan di pasaran dan menjadi


konsumsi masyarakat. Asal usul terjadinya cacing dapat dilihat pada gambar
berikut ini :
Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), cacing-cacing
tersebut ditemukan dalam kondisi mati. Keberadaan cacing-cacing mati tersebut
dianggap tidak memenuhi standar mutu produk ikan kaleng. Apabila kondisi
cacing dalam keadaan hidup dapat membahayakan dan menginfeksi manusia.
Menurut Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpPark dari Departemn
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa
manusia yang megonsumsi ikan tersebut dalam keadaan mentah atau ikan yang
diawetkan, diasinkan atau dimasak tidak sampai matang yang mengandung larva
stadium tiga atau stadium empat dapat terinfeksi cacing anisakis. Larva stadium
tiga yang dimaksud yaitu larva berukuran 100-200 mikron yang menumpang
tinggal pada organ pencernaan ikan laut. Warna larva ini putih kemerahan dan
pada bagian anterior terdapat gigi pengebor sebagai senjata untuk menyusup ke
tubuh inangnya. Larva cacing yang terkonsumsi melalui produk ikan kaleng
tersebut tidak menjadi dewasa dan melekat di mukosa lambung dan usus. Kasus
infeksi cacing ini disebut anisakiasis. Gejala dari anisakiasis dapat dilihat pada

gambar

berikut

ini :

Gejala anisakiasis lambung timbul dalam 1-7 jam setelah mengonsumsi


makanan ikan laut yang mengandung larva anisakis. Apabila larva menembus
dinding lambung, maka dapat timbul radang lambung dengan gejala nyeri hebat di
perut bagian atas, mual, muntah, diare dan urtikaria (bentol-bentol). Apabila
menyerang pada bagian esofagus (kerongkongan) dan menempel pada faring
(tenggorokan) maka respon tubuh yang keluar yaitu batuk dan rasa gatal
bersamaan dengan pengeluaran air liur dan buang air besar. Selain itu, apabila
anisakiasis terjadi di organ bagian usus (anisakiasis intestinal) akan menyebabkan
gejala nyeri perut mendadak yang disertai mual, muntah dan iritasi peritoneal
(selaput tipis di perut dimana terjadinya proses pembuangan dari dalam darah).
Gejala-gejala tersebut biasa terjadi 1-5 hari setelah mengonsumsinya. Gejala
lainnya juga yaitu buang air besar dengan campuran darah segar.
Pada umumnya, masyarakat yang mengidap penyakit anisakisasis ini dapat
sembuh sendiri, namun karena larva yang dapat menembus usus dan menuju
organ lainnya maka diperlukan adanya gastrokopi. Gastrokopi merupakan
tindakan pemeriksaan pada bagian perut yang menggunakan sebuah alat bernama
endoskop yang dimasukkan melalui mulut. Tindakan ini diperlukan untuk
mengindifikasi adanya larva cacing anisakis. Sedangkan, untuk mengatasi reaksi
inflamasi yang teradi yaitu ditekankan mengonusmis kortikosteroid atau obat
albendazol.
Kasus adanya cacing pada produk ikan kaleng ini tidak berbahaya. Hal ini
dikatakan oleh dr. Saleha (Departemn Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia), karena cacing tersebut sudah dalam keadaan mati dalam
proses pengalengan. Artinya, cacing sudah melalui proses pemanasan. Larva
cacing akan mati dalam proses pembekuan -200 derajat celcius selama 24-60 jam
atau melalui porses pemanasan pada suhu lebih dari 60-65 derajat celcius.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa konsumsi produk ikan pada kaleng tidak
berbahaya apabila diolah dengan proses masak yang benar dan benar.

2.2 Regulasi Pemerintah


Konsumen dan pelaku usaha merupakan kedua belah pihak yang masing-
masing memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dua belah pihak ini
diatur dalam UU No. 8 tahun 1999. Undang-undang tersebut mengatur segala hak
dan kewajiban, perbuatan yang dilarang pelaku usaha, ketentuan pencantuman
klausula baku, tanggung jawab pelaku usaha, badan perlindungan konsumen
nasional, dsb. Salah satu hal yang dicermati adalah pentingnya keamanan dan
keselamatan konsumen, termasuk di dalamnya keamanan produk pangan.
Keamanan pangan juga merupakan hal yang mendapatkan perhatian khusus
sehingga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004. Pada Peraturan
Pemerintah tersebut juga terdapat bahasan mengenai pangan tercemar dimana
salah satu poinnya adalah setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang
mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan
nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga
menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia. Salah satu contoh pangan
tercemar adalah temuan cacing pada produk ikan kaleng makarel di Indonesia.
Indonesia memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk melaksanakan
kebijakan teknis operasional di bidang pengawasan obat dan makanan.
Berdasarkan Peraturan Presiden pasal 2 Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan, tugas utama BPOM adalah:
1. Menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga.
2. Obat dan Makanan yang dimaksud meliputi obat, bahan obat, narkotika,
psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan,
kosmetik dan pangan olahan.

Temuan cacing dalam produk ikan kaleng menjadi kasus yang telah
mendapatkan perhatian dari BPOM. BPOM RI mengeluarkan kebijakan untuk
menarik produk yang bersangkutan dari peredaran di Indonesia. BPOM RI
melarang importir untuk memasukkan produk tersebut ke dalam wilayah
Indonesia sementara ini dan menghentikan proses produksi merek produk dalam
negeri hingga audit komprehensif selesai dilakukan.
Selain menindaklanjuti pelaku usaha dan importir terkait, BPOM RI juga
melakukan koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk
memperkuat pengawasan sepanjang rantai produksi ikan; sejak penangkapan dan
penangan bahan baku hingga produk jadi. Pemerintah Indonesia juga telah
memberikan notifikasi kepada Pemerintah China terkait bahan baku ikan yang
mengandung parasit cacing.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Keamanan pangan di atur dalam UU no 18 tahun 2012
2. Cemaran sendiri adalah bahan yang tidak dikehendaki ada dalam
makanan yang mungkin berasal dari lingkungan atau sebagai akibat
proses produksi makanan
3. Penyebab ditemukannya cacing pada ikan kalenga yaitu karena
pengolahan produk makanan industri tersebut tidak higienis, kerusakan
kemasan kaleng yang membuat kualitas penyimpanan ikan tidak lagi
bagus, kontaminasi udara yang membawa bakteri masuk kedalam kaleng
yang telah rusak hingga menyebabkan timbul adanya cacing.
4. Cacing anisakis yang ada pada produk ikan kaleng merupakan jenis
cacing golongan nematoda yang hidup di dalam tubuh ikan air laut
5. Gejala anisakiasis lambung timbul dalam 1-7 jam setelah mengonsumsi
makanan ikan laut yang mengandung larva anisakis.
6. gejala yang timbul nyeri hebat di perut bagian atas, mual, muntah, diare
dan urtikaria (bentol-bentol), batuk, rasa gatal bersamaan dengan
pengeluaran air liur dan buang air besar, iritasi peritoneal (selaput tipis di
perut dimana terjadinya proses pembuangan dari dalam darah)
7. Mengatasi reaksi inflamasi yang teradi yaitu ditekankan mengonusmis
kortikosteroid atau obat albendazol
8. Konsumen dan pelaku usaha merupakan kedua belah pihak yang masing-
masing memiliki hak dan kewajiban diatur dalam UU No. 8 tahun 1999
9. Kebijakan yang dilakukan BPOM RI menarik produk yang bersangkutan
dari peredaran di Indonesia, melarang importir untuk memasukkan
produk tersebut ke dalam wilayah Indonesia dan menghentikan proses
produksi merek produk dalam negeri hingga audit komprehensif selesai
dilakukan.
10. Melakukan koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan
untuk memperkuat pengawasan sepanjang rantai produksi ikan
3.2 Saran
1. Perlunya kebijakan khusus dalam seleksi penerimaan barang-barang impor
khususnya makanan yang datang ke Indonesia sehingga barang tersebut
benar-benar aman dan layak dikonsumsi.
2. Perlunya dilakukan peningkatan edukasi kepada masyarakat terkait
pengecekan label makanan sebelum membelinya dengan cara
“KLIK”(Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa)
3. Pada perusahaan pengolahan ikan kemasan semakin meningkatkan
kualitas hygiene dan sanitasi dalam pengolahan produk serta proses
pengolahan yang tepat sehingga tidak menimbulkan permasalahan pada
produk yang dihasilkan
4. Pemerintah rutin melakukan pengecekan terhadap makanan yang beredar
di masyarakat sehingga kejadian seperti ini tidak berlangsung lama dan
segera diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Baranews. “Tanda-Tanda Infeksi Anisakis, Cacing yang Ditemukan dalam
Makarel”. (http://wap.mi.baca.co.id/19983004?
origin=relative&pageId=85999c17-4c61-44e2-8f3f-
0cf438e3f930&PageIndex=3). Diakses pada tanggal 02 April 2018 Pukul
09:14 WIB.

Badan POM. “Penjelasan BPOM RI tentang Temuan Cacing pada Produk Ikan
Kaleng”.
(https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/83/PENJELASAN-
BPOM-RI---TENTANG--TEMUAN-CACING-PADA-PRODUK-IKAN-
KALENG.html). Diakses pada 29 November 2018 pk 13.52 WIB

Bbc.com. “BPOM: Makarel dari Cina mengandung cacing.


(https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43586324). Diakses pada 29
November 2018 pk. 13.41 WIB.

Detik.Com. “Tanda-Tanda Infeksi Anisakis yang Ditemukan dalam Makarel”.


(https://m.detik.com/health/berita-detikhealth/d-3948313/tanda-tanda-
infeksi-anisakis-cacing-yang-ditemukan-dalam-makarel). Diakses pada
tanggal 02 April 2018 Pukul 08:55 WIB.

Kompas.Com. “Mengenal Gejala Infeksi Anisakis Simpex yang Ada pada


Makarel Kaleng”.
(https://sains.kompas.com/read/2018/04/03/080500623/mengenal-gejala-
infeksi-anisakis-simplex-yang-ada-pada-makarel-kaleng). Diakses pada
tanggal 03 April 2018 Pukul 08:05 WIB.

Kompas.Com. “Pakar: Kemunculan Cacing Anisakis di Ikan Makarel Fenomena


Natural”.
(https://megapolitan.kompas.com/read/2018/03/31/17100921/pakar-
kemunculan-cacing-anisakis-di-ikan-makarel-fenomena-natural). Diakses
pada tanggal 31 Maret 2018 Pukul 17:10 WIB.

Kompas.Com. “Tak Selalu Bahaya, Ini Catatan FAO tentang Cacing pada Makarel
Kaleng”. (https://sains.kompas.com/read/2018/04/02/173500123/tak-
selalu-bahaya-ini-catatan-fao-tentang-cacing-pada-makarel-kaleng).
Diakses pada tanggal 02 April 2018 Pukul 17:35 WIB.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik


Indonesia Nomor Hk.00.06.1.52.4011 Tahun 2016 Tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik


Indonesia Nomor Hk.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 Tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan

Surabaya tribunnews. “Penjelasan BBPOM Surabaya terkait Temuan Cacing


dalam Ikan Makarel Kemasan Kaleng”.
(http://surabaya.tribunnews.com/2018/03/29/video-penjelasan-bbpom-
surabaya-terkait-temuan-cacing-dalam-ikan-makarel-kemasan-kaleng).
Diakses pada tanggal 29 November 2018 pk. 13.18 WIB.

(http://bisnis.tempo.co/amp/1071848/dinas-kesehatan-jelaskan-temuan-cacing-di-
sarden-kalengan). Diakses pada tanggal 21 Maret 2018 Pukul 16:34
WIB.

Tirto.Id. “ Penjelasan Ahli Parasitologi Soal Cacing Anisakis di Makarel Kaleng”.


(https://amp.tirto.id/penjelasan-ahli-parasitologi-soal-cacing-anisakis-di-
makarel-kaleng-cG1J). Diakses pada tanggal 31 Maret 2018.
Tirto.id. “Mengenal Makarel : Ikan Kmasan Kaleng yang Mengandung Cacing”.
(https://amp.tirto.id/ikan-makarel-bercacing-diduga-dari-bahan-baku-
2016-cGWG). Diakses pada tanggal 30 Maret 2018

Tribunnews.com. “Ini Asal-Usul Cacing Anisakis Pada Ikan Makarel Kaleng”.


(http://m.tribunnews.com/metropolitan/2018/03/31/ini-asal-usul-cacing-
anisakis-pada-ikan-makarel-kaleng?page=3). Diakses pada tanggal 31
Maret 2018 Pukul 17:17 WIB.

Tribunnews. com. “Cacing Pita dalam Kaleng sarden Diduga Berasal dari
Ikannya”. (http://www.tribunnews.com/regional/2018/03/18/cacing-pita-
dalam-kaleng-sarden-diduga-berasal-dari-ikannya). Diakses pada 29
November 2018 pk 13.27 WIB.
Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2012 tentang Pangan

Anda mungkin juga menyukai