Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konstipasi

2.1.1 Definisi Konstipasi

Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya


frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya buang air besar, terdapat rasa
sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Disepakati bahwa buang air besar
yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Dalam praktek
sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau
3 hari tidak buang air besar atau buang air besar diperlukan mengejan secara
berlebihan (Djojoningrat, 2009).

Konstipasi berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus besar dan sering
disebabkan oleh sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desenden yang
menumpuk karena absorpsi cairan yang berlebihan (Guyton, 2007).

Penyedia layanan kesehatan biasanya menggunakan frekuensi buang air besar


(yaitu, kurang dari 3 x buang air besar per minggu) untuk mendefinisikan konstipasi.
Namun, kriteria Roma, awalnya diperkenalkan pada tahun 1988 dan kemudian diubah
dua kali untuk menghasilkan kriteria Rome III, telah menjadi definisi standar
konstipasi dalam penelitian ini.

Menurut kriteria Roma III untuk konstipasi, pasien harus mengalami setidaknya
2 dari gejala berikut selama 3 bulan sebelumnya:
buang air besar <3 kali per minggu
Mengejan

Universitas Sumatera Utara


Tinja Lunak atau keras
Sensasi Tersumbat
Sensasi buang air besar yang tidak lampias
Bantuan manual yang diperlukan untuk buang air besar

2.1.2 Epidemiologi konstipasi

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna yang terbanyak pada usia lanjut.
Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-40% orang berusia di
atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30% orang berusia 60 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia, sekitar
20% dari populasi berusia di atas 60 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan lebih
banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang melibatkan
3000 orang berusia diatas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% perempuan dan 26 %
pria yang mengeluh konstipasi (Pranaka, 2009).

Konstipasi mempengaruhi 2% hingga 27% (rata-rata 14,8%) dari populasi


orang dewasa di Amerika Utara sekitar 63 juta orang. Konstipasi lebih mempengaruhi
perempuan dari pada laki-laki dan kulit hitam lebih sering dari pada kulit putih. Hal
ini terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada mereka yang
berusia lebih dari 65 tahun dan umur dibawah 4 tahun (Orenstein, 2008).

Konsensus menyimpulkan bahwa konstipasi kronis memiliki estimasi


prevalensi 5-21% di wilayah Amerika latin, dengan rasio perempuan dan laki-laki 3:1.
Individu dengan Konstipasi, 75% menggunakan beberapa jenis obat. (Weissermann,
2008).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Etiologi konstipasi
Adapun etiologi dari konstipasi sebagai berikut :

1. Pola hidup ; diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang
tidak teratur, kurang olahraga.
a. Diet rendah serat :
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses
sehingga menghasilkan produk sisa yang tidak cukup untuk merangsang
refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti ; beras, telur dan
daging segar bergerak lambat di saluran cerna. Meningkatnya asupan
cairan dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan makanan
tersebut (Siregar, 2004).
Diet rendah serat : Dietary Reference Intake (DRI) serat
berdasarkan National Academy of Sciences (Drummond and Brefere,
2007):
1. Anak-anak
a. 1 – 3 tahun : 19 gram/hari
b. 4 – 8 tahun : 25 gram/hari
2. Pria
a. 9 – 13 tahun : 31 gram/hari
b. 14 – 18 tahun : 38 gram/hari
c. 19 – 30 tahun : 38 gram/hari
d. 30 – 50 tahun : 38 gram/hari
e. >50 tahun : 30 gram/hari
3. Wanita
a. 9 – 13 tahun : 26 gram/hari
b. 14 – 18 tahun : 26 gram/hari
c. 19 – 30 tahun : 25 gram/hari
d. 30 – 50 tahun : 25 gram/hari
e. >50 tahun : 21 gram/hari

Universitas Sumatera Utara


b. Kurang cairan/minum :
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah)
yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk
mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang kolon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses
yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat
perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningktakan
reabsorbsi dari chyme (Siregar, 2004).

c. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur :


Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi
adalah kebiasaan BAB yang tidak teratur. Refleks defekasi yang normal
dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini terkondisi untuk menjadi
semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi
habis.
Anak pada masa bermain bisa mengabaikan refleks-refleks ini;
orang dewasa mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan.
Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buar air besar
karena malu menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang tidak
nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam
konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah
membiasakan BAB teratur dalam kehidupan (Siregar, 2004).

2. Obat – obatan ;
banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di
antaranya seperti ; morfin, codein sama halnya dengan obat-obatan adrenergik
dan antikolinergik, melambatkan pergerakan dari kolon melalui kerja mereka
pada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan konstipasi yang lainnya
seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal

Universitas Sumatera Utara


pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai
efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang (Siregar,
2004).
3. Kelainan struktural kolon ; tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum,
magakolon.
4. Penyakit sistemik ; hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus.
5. Penyakit neurologik ; hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati otonom.
6. Disfungsi otot dinding dasar pelvis.
7. Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis
8. Irritable Bowel syndrome tipe konstipasi (Djojoningrat, 2009).

2.1.4 Patofisiologi konstipasi

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum
diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk menghindari pengeluaran feses
secara spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsangan
keinginan untuk buang air besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk
relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot
dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter
dan otot-otot levator ani (Pranaka, 2009).

Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras.
Konstipasi akan timbul, dimana dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihan
dalam usus besar (kolon) keluar dari otot, membentuk kantong kecil yang disebut
divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat
defekasi (Wardlaw, Hampl, and DiSilvestro, 2004). Hampir 50% dari pasien dengan
penyakit divertikular atau anorektal, ketika ditanya, menyangkal mengalami
konstipasi/sembelit. Namun, hampir semua pasien ini memiliki gejala ketegangan atau
jarang defekasi (Basson, 2010)

Universitas Sumatera Utara


Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebab multipel mencakup beberapa
faktor yaitu:

1. Diet rendah serat , karena motalitas usus bergantung pada volume isi usus.
semakin besar volume akan semakin besar motalitas.

2. Gangguan refleks dan psikogenik. Hal ini termasuk (1) fisura ani yang terasa
nyeri dan secara refleks meningkatkan tonus sfingter ani sehingga semakin
meningkatnya nyeri; (2) yang disebut anismus (obstruksi pintu bawah
panggul), yaitu kontraksi (normalnya relaksasi) dasar pelvis saat rektum
terenggang.

3. Gangguan transport fungsional, dapat terjadi karena kelainan neurogenik,


miogenik, refleks, obat-obatan atau penyebab iskemik (seperti trauma atau
arteriorsklerosis arteri mesentrika).

4. Penyebab neurogenik. Tidak adanya sel ganglion di dekat anus karena


kelainan kongenital (aganglionosis pada penyakit Hirschsprung) menyebabkan
spasme yang menetap dari segmen yang terkena akibat kegagalan relaksasi
reseptif dan tidak ada refleks penghambat anorektal (sfingter ani internal gagal
membuka saat rektum mengisi).

5. Penyakit miogenik. distrofi otot, sklerosisderma, dermatomiosistis dan lupus


eritamatosus sistemik.

6. Obstruksi mekanis di lumen usus (misal, cacing gelang, benda asing, batu
empedu).

7. Pada beberapa pasien konstipasi dapat terjadi tanpa ditemukannya


penyebabnya. Stress emosi atau psikis sering merupakn faktor memperberat
keadaan yang disebut irritable colon (Silbernag, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2.1.5 Gambaran klinis

Beberapa keluhan yang berhubungan dengan konstipasi adalah :

1. Kesulitan memulai atau menyelesaikan buang air besar.


2. Mengejan keras saat buang air besar.
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar.
4. Perasaan tidak tuntas saat buang air besar.
5. Sakit pada daerah rektum saat buang air besar.
6. Adanya pembesaran feses cair pada pakaian dalam.
7. Menggunakan bantuan jari- jari untuk mengeluarkan feses.
8. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa buang air besar (Pranaka, 2009).

2.1.6 Diagnosis

1. Anamnesis
Anamnesis terperinci merupakanhal terpenting untuk mengungkapkan adakah
konstipasi dan faktor penyebab.
Kriteria Rome-III untuk diagnosis konstipasi fungsional

1. Harus mencakup dua atau lebih hal berikut :


a. Mengedan 25% dari buang air besar.
b. Tinja lunak atau keras 25% dari buang air besar.
c. Rasa tidak lampias 25% dari buang air besar.
d. Rasa tersumbat 25% dari buang air besar.
e. Menggunakan bantuan manual 25% dari buang air besar (misalnya
mengeluarkan tinja dengan jari atau dengan menopang dasar panggul).
f. Buang air besar kurang dari tiga kali per minggu.
2. Mencret jarang terjadi tanpa menggunakan obat pencahar.
3. Kriteria cukup untuk sindrom iritasi usus besar (Rome-III).

Universitas Sumatera Utara


2. Pemeriksaan fisik meliputi :

a. Inspeksi perineal mencari lesi yang nyeri dan lain-lain.


b. Pemeriksaan rektal perhatikan tonus anus, tekanan menjepit dan apakah
rektum kosong atau terisi dan penuh dengan feses.
c. Pemeriksaan abdomen untuk melihat ada massa atau jaringan parut.
d. Pemeriksaan neurologik.
e. Pemeriksaan vagina untuk mengobservasi adanya rektokel.
3. Sigmoidoskopi untuk mencari lesi lokal
4. Pemeriksaan darah lengkap, LED
5. Urea, elektrolit, kalsium darah, tes fungsi tiroid.
6. Radiologi
a. Foto otot polos penting pada kecurigaan adanya obstruksi.
b. Barium enema merupakan indikasi pada semua kasus (Cooper).

2.1.7 Diagnosis banding


Diagnosis banding konstipasi :
1. Idiopatik/diet.
2. Neoplasma kolorektal.
3. Depresi.
4. Hipotiroidisme.
5. Hiperkalsemia.
6. Megakolon.
7. Penyakit Hirscsprung (Davey, 1998).

2.1.8 Penatalaksanaan konstipasi


Sebagian tergantung pada pandangan pasien mengenai masalahnya
1. Diet dan Hidrasi
Pada pasien dengan gejala yang menggangu, langkah pertama adalah
mengoptimalkan asupan serat dan cairan.
2. Obat-obat pencahar, ada 4 tipe golongan obat pencahar
a. Memperbesar dan melunakkan masa feses, antara lain : Cereal,
Methyl Selulose, Psilium.

Universitas Sumatera Utara


b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah
penyerapan air. Contoh Minyak Kasto, Golongan docusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman
digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain :
Sorbitol, Lactulose, Glycerin.
d. Merangsang peristaltik sehingga meningkatkan motilitas usus besar
(Pranaka, 2009).

2.2 Stres
2.2.1 Definisi Stres

Menurut Hawari (2001), yang dimaksud dengan stres adalah respon tubuh yang
sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban. Misalnya bagaimana respon
tubuh seseorang mana kala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang
berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi
organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres, tetapi
sebaliknya bila ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga
yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik,
maka ia disebut mengalami stres.

2.2.2 Teori Stres

Hans Selye (1907-1982) mengembangkan suatu model stres yang ia sebut


sindrom adaptasi umum. Model ini terdiri atas tiga fase: (1) reaksi alarm; (2) tahap
resistensi, idealnya adaptasi dicapai; dan (3) tahap kelelahan, adaptasi atau resistensi
yang didapati bisa hilang. Ia menganggap stres sebagai respons tubuh yang tudak
spesifik terhadap tuntutan apapun yang disebabkan baik oleh keadaan menyenangkan
atau tidak menyenangkan. Seyle yakin bahwa stres, menurut definisi, tidak harus
selalu menyenangkan. Ia menyebut stres yang tidak menyenagkan sebagai
“penderitaan”. Untuk menerima kedua jenis stres - menyenangkan atau tidak
menyenagkan – membutuhkan adaptasi (Kaplan, 2002).

Universitas Sumatera Utara


Sindrom adaptasi umum merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh
terhadap stres. Respon yang terlibat di dalamnya adalah sistem saraf otonom dan
sistem endokrin. Di beberapa buku teks sindrom adaptasi umum sering disamakan
dengan Sistem Neuroendokrin. Sistem adaptasi umum terdiri dari beberapa fase, yaitu
:
a. Fase alarm (Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran
untuk menghadapi stressor. Reaksi fisiologis “fight or flight” dan reaksi
fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat,
darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas.
Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stres memengaruhi denyut nadi,
ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh
seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah
dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya
dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk
menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin
dan norepineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan
peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan ambilan O2 dan
meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan
“respons melawan atau menghindar”. Respon ini bisa berlangsung dari
menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk
ke dalam fase resistensi.
b. Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan
psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada
keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab
stress. Bila teratasi gejala stress menurun atau normal tubuh kembali
stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out put.

Universitas Sumatera Utara


Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil
tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu
tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari syndrom adaptasi umum
yaitu : Fase kehabisan tenaga.
c. Fase Exhaustion (Kelelahan)
Meruapakan fase perpanjangan stress yang belum dapat teratnggulangi
pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala
penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan
mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak lagi dapat
diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian. Tahap ini
cadangan energi terlah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu
lagi menghadapi stress. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan
diri (Sumiati et al, 2010).

2.2.3 Sumber Stres

a. Perubahan (Change)
Perubahan sering dikaitkan dalam usaha atau proses untuk perubahan
hidup yang lebih baik. Dalam hal ini juga berkaitan dengan kesempatan,
kemampuan, kemauan, dan keteguhan hati. Orang-orang yang teguh hatinya
menghadapi perubahan dengan ringan dan mudah. Sebaliknya, orang yang
tidak memiliki keteguhan hati akan menghadapi masalah dalam perubahan
seperti ini. Dia akan mudah stres dan tujuan untuk perbaikan tidak pernah
tercapai.
Dalam menghadapi perubahan ini setiap orang diharapkan dapat mengontrol
kehidupannya masing-masing. Mereka juga harus tetap fokus dan berorientasi
pada tujuan hidupnya. Apabila kondisi kesehatan mengalami perubahan,
sebaiknya konsumsi vitamin dan zat-zat penambah nutrisi yang dianjurkan.
Akan sangat baik kalau latihan aerobik dan relaksasi dilakukan.
Pada lingkungan yang baru mengalami perubahan, sebaiknya seseorang
yang baru saja pindah mencari kawan-kawan baru yang sesuai. Selain itu,

Universitas Sumatera Utara


seseorang sangat perlu memiliki rasa humor agar dapat membaur dengan
lingkungan baru dengan cepat. Yang tidak kalah penting adalah mengamalkan
dan menggunakan nilai-nilai religius untuk menghadapi perubahan.

b. Frustrasi (Frustration)
Frustrasi bisa disebabkan adanya berbagai faktor, yang membuat seseorang
terserang stres. Berikut ini adalah hal-hal yang bisa membuat orang frustrasi.
1. Suasana yang overcrowding atau terlalu ramai, sibuk, dan bising.
Dalam kondisi seperti ini orang rawan frustrasi yang menyebabkan dia
mengalami stres. Kondisi seperti ini membuat orang mudah cemas,
bingung, dan panik – pemicu munculnya stres.
2. Diskriminasi. Lingkungan yang sarat dengan diskriminasi akan
membuat orang merasakan ketidakadilan. Pihak yang mengalami
diskriminasi akan cepat stres.
3. Faktor-faktor sosial ekonomi. Kekuatan sosial ekonomi membuat
seseorang merasa kokoh dan merasa memiliki nilai. Namun
sebaliknya, kekurangan dan masalah-masalah sosial ekonomi juga
membuat orang frustrasi. Biaya hidup yang tinggi, tetangga dan
lingkungan yang tidak baik, kawan yang tidak sejalan, dan lain-lain
semuanya sangat memudah memicu stres.
4. Birokrasi. Meskipun terlihat tidak ada masalah, tetapi birokrasi yang
berbelit-belit, ribet, dan tidak segera selesai membuat orang
frustrasi.terlebih kalau urusantidak cepat kelar dan masih tertunda
karena birokrasi yang rumit.

c. Kelebihan Beban (Overload)


Beban yang berlebihan pada diri seseorang yang tidak sesuai dengan
keadaan dan kemampuannya akan menjadikan orang ini kelebihan beban.
Beban yang berlebihan bisa terjadi pada masyarakat perkotaan yang hidupnya
penuh dengan target dan persaingan. Di dalam pekerjaan juga sangat sering
ditemukan beban kerja yang berlebihan. Anak-anak hingga mahasiswa juga

Universitas Sumatera Utara


sering frustrasi karena adanya beban dan target yang tinggi di bidang
akademis.
Demikian juga dengan urusan di dalam rumah tangga dan kehidupan
sehari-hari. Beban dan tuntutan yang berlebihan dalam suatu rumah tangga
juga bisa menimbulkan frustrasi bagi seluruh penghuninya. Itulah sebabnya,
masing-masing orang harus menyadari apa yang terbaik bagi diri masing-
masing. Selain itu, mereka juga harus menyadari berapa kemampuan maksimal
yang masih dapat ditoleransi sehingga tugas dan tanggung jawab tidak menjadi
beban yang berlebihan.

d. Kebosanan dan Kesendirian ( Boredom and Loneliness)


Kebosanan dan kesendirian yang terus-menerus dan dalam waktu yang
lama akan membuat orang frustrasi. Kondisi ini akan memicu kemarahan,
menjadi mudah tersinggung, dan perasaan tidak berharga. Oleh karena itu,
seseorang harus membentuk lingkungannya agar tidak membosankan.
Bersosialisasi dan berkumpul dengan teman-teman atau masyarakat sekitar
sangat perlu agar seseorang tidak sendirian terlalu lama (Mumpuni dan
Wulandari, 2010).

2.2.4 Stres Pada Mahasiswa

Kurikulum sekolah kedokteran dari College of Medicine, King Saud University,


Riyadh, Arab Saudi, telah dikembangkan untuk lulus menjadi dokter yang kompeten
dan profesional untuk melayani masyarakat secara efisien. Pendidikan kedokteran
dianggap sebagai stres, seperti yang ditandai oleh banyak perubahan psikologis pada
mahasiswa.

Penelitian telah menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran mengalami


tingkat stres yang tinggi selama sarjana mereka. Tingkat stres yang tinggi mungkin

Universitas Sumatera Utara


memiliki efek negatif pada kognitif dan belajar mahasiswa dalam sekolah kedokteran.
Hasil studi menunjukkan bahwa kesehatan mental memburuk setelah siswa mulai
sekolah kedokteran dan selama pelatihan.
Di banyak sekolah kedokteran, lingkungan itu sendiri adalah situasi tekanan
semua yang berlaku, menyediakan sistem yang otoriter dan kaku, salah satu yang
mendorong kompetisi daripada kerjasama antara peserta didik. Hal ini tidak hanya
masa studi sarjana yang membawa stres tetapi terus selama magang, masa studi
pascasarjana, dan kemudian ke kehidupan praktisi dokter (Abdulghani et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai