Oleh:
Siti Munawarah, S.Kep
NIM. 1730913320060
Oleh:
Siti Munawarah, S.Kep
NIM. 1730913320060
Mengetahui,
Eka Santi, S. Kep., Ns., M. Kep. Ayu Susanti, S. Kep., Ns., M. Kep
NIP. 19780615 200812 2 001 NIP. 19800930 200312 2 005
I. PENDAHULUAN
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai kembali kerumah. Selama
proses tersebut anak dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut
beberapa hasil penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang traumatik dan
penuh dengan stress (Supartini, 2010).
Stres utama dari hospitalisasi yang dialami anak antara lain adalah
cemas akibat perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri. Reaksi
anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan
anak, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau
hospitalisasi, ketrampilan yang mereka miliki atau didapatkan, keparahan
diagnosis, dan sistem pendukung yang ada (Wong, 2009). Terapi bermain
tersebut anak dapat melepaskan ketakutan, kecemasan, mengekspresikan
kemarahan dan permusuhan, bermain merupakan koping yang efektif untuk
mengurangi kecemasan. Prinsip bermain adalah agar anak dapat melanjutkan
fase tumbuh kembang secara optimal, kreativitas dan anak dapat beradaptasi
secara lebih efektif terhadap stress. Permainan yang dilakukan sesama anak
dapat menjadi sebuah terapi yang disebut terapi bermain (Nursalam, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Angriani (di RSUD
Kota Makasar dengan jumlah responden 36 (100%) orang, yang kemudian
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
yang masing-masing sebanyak 18 (50%) responden. Diketahui bahwa dari
total 18 (50%) responden yang diberikan program bermain (kelompok
perlakuan) sebelum pemberian obat, 12 (33,3%) orang responden diantaranya
berespon kooperatif. Dan 6 (16,7%) orang responden lainnya berespon tidak
kooperatif. Sedangkan dari total 18 (50%) orang responden 4 yang tidak
diberikan program bermain (kelompok kontrol) sebelum tindakan
pemberian obat, 4 (11,1%) orang responden kooperatif dan 14 (38,9%) orang
responden lainnya berespon tidak kooperatif.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakuka oleh penulis pada tanggal 16-
20 April 2016 di ruang Hematologi Onkologi Anak rumah sakit Ulin
Banjarmasin banyak anak-anak yang sedang mengalami perawatan dirumah
sakit menolak untuk dilakukan perawatan misalnya saat pemberian obat
berlangsung, banyak anak-anak berespon menolak, ada yang menangis
ketakutan tidak mau minum obat atau tidak mau dilakukan tindakan oleh
perawat. Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan terapi
bermain puzzle yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan stress pada
anak, selain itu melalui bermain puzzle anak dapat mengungkapkan
perasaannya sebagai salah satu bentuk komunikasinya. Dan dengan bermain
puzzle pula anak dapat berkomunikasi dengan orang lain terutama perawat
sehingga stress anak menjadi berkurang karena anak tidak lagi beranggapan
bahwa perawat tidak selalu menyakiti akan tetapi bisa juga bermain
dengannya.
II. TUJUAN
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan terapi bermain pada anak di ruang perawatan anak
Hemato Onkologi RSUD Ulin Banjarmasin selama 30 menit, diharapkan
dapat menurunkan kecemasan anak, anak merasa tenang selama perawatan
dirumah sakit dan tidak takut lagi terhadap perawat, serta dapat melanjutkan
tumbuh kembang anak yang normal atau sehat.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mendapatkan terapi bermain satu (1) kali diharapkan anak mampu:
a. Merasa tenang selama dirawat.
b. Ketakutan dan kejenuhan selama dirawat di rumah sakit menjadi
berkurang.
c. Anak bisa merasa senang dan tidak takut lagi dengan dokter dan
perawat.
d. Mau melaksanakan anjuran dokter dan perawat.
e. Menstimulasi perkembangan aspek kognitf, afektif dan psikomotorik
anak.
f. Sarana untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran anak.
g. Memperkenalkan warna kepada anak.
3) Aspek afektif
a. Anak dapat memberi respon rangsangan dari pembimbing.
Menyampaikan perasaan setelah melakukan kegiatan. (anak
merasa gembira)
b. Anak menyatakan rasa senangnya (misalnya: sangat senang
karena mendapatkan kertas bergambar)
4) Aspek psikomotor
Anak mampu menyesuaikan bentuk puzzle dengan pasangan puzzle
yang sesuai.
5) Aspek social
Anak dapat berinteraksi dengan ibu dan pembimbing.
Perkiraan hambatan :
a) Jadwal terapi bermain yang kurang sesuai (lebih lambat dari yang di
jadwalkan
b) Anak rewel atau ingin keluar dari terapi bermain
Antisipasi hambatan/masalah
a) Jadwal terapi bermain disesuaikan (tidak pada waktu terapi)
b) Melakukan kerjasama dengan orang tua untuk mendampingi anak selama
program terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Supartini, Yupi. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta.
EGC
Wong. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak. Jakarta : Salemba Medika.
Hasanah. S, Hasan. N. (2016). Terapi Bermain Puzzle Terhadap Respon
Penerimaan Obat Pada Anak Usia Prasekolah. Mahasiswa Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh