Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM MINERALOGI

ACARA I
7 SISTEM KRISTAL

Oleh
Try Mulyo Suseno
12.2016.1.00290

LABORATORIUM GEOLOGI DINAMIK


JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA
2016
A. Maksud dan Tujuan
1. Dapat mengetahui sistem kristalografi, berupa sumbu-sumbu, sudut-sudut
dan dasar pembagian sistem kristal.
2. Dapat menentukan sistem kristal dari jumlah, perbandingan dan letak
sumbu kristalografi, serta dari nilai sumbu vertikalnya.
3. Dapat menggambarkan semua bentuk kristal dan memberi simbol-simbol
setiap kristal.

B. Alat dan Bahan


1. Busur Derajat
2. Penggaris Segi Tiga (1 set)
3. Pensil warna
4. Pensil
5. Peraga Kristal
6. Lembar kerja kristal

C. Metode Praktikum
1. Sebelum melakukan praktikum, kita harus memahami pengertian
kristalografi, dan mengetahui 7 sistem kristal.
2. Sebelum penggambaran dilakukan, ketahui terlebih dahulu, sumbu dan
sudut dari kristal yang akan di gambar.
3. Lakukanlah penggambaran mulai dari sistem kristal isometrik sampai
terakhir yaitu triklin sesuai dengan sumbu dan sudutnya masing-masing.
4. Dan berilah warna nama, klas dan simbol-simbol nya.

D. Tinjauan Pustaka
Kristalografi adalah Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat geometri
dari kristal terutama perkembangan, pertumbuhan, kenampakan bentuk luar,
struktur dalam (internal) dan sifat-sifat fisis lainnya.
 Sifat Geometri
Memberikan pengertian letak, panjang dan jumlah sumbu kristal yang menyusun
suatu bentuk kristal tertentu dan jumlah serta bentuk luar yang membatasinya.
 Perkembangan dan pertumbuhan kenampakkan luar
Mempelajari kombinasi antara satu bentuk kristal dengan bentuk kristal lainnya
yang masih dalam satu sistem kristalografi.
 Struktur dalam
Mempelajari susunan dan jumlah sumbu-sumbu kristal juga menghitung
parameter dan parameter rasio.
 Sifat fisik Kristal
Sangat tergantung pada struktur (susunan atom-atomnya). Besar kecilnya kristal
tidak mempengaruhi, yang penting bentuk dibatasi oleh bidang-bidang kristal:
sehingga akan dikenal 2 zat yaitu kristalin dan non kristalin.
Kristal adalah padatan yang secara esensial mempunyai pola difraksi tertentu
(Senechal, 1995 dalam Hibbard,2002).
Kristal adalah suatu benda dengan bentuk yang polihedral (bidang banyak),
dibatasi oleh bidang yang rata, yang merupakan senyawa kimiawi, terbentuk dari
suatu zat cair atau gas yang memadat (John Wiley and Sons, 1999).
Kristal dapat diartikan sebagai bahan padat yang secara kimia homogen
dalam bentuk geometri tetap, sebagai gambaran dari susunan atom yang teratur,
dibatasi oleh bidang banyak (Polyhedron), jumlah dan kedudukan dari bidang-bidang
kristalnya tertentu dan teratur.

1. Sistem Kristalografi
a. Sumbu, Sudut dan Dasar Pembagian Sistem Kristal
Sumbu Kristalografi adalah sutau garis lurus yang dibuat melalui pusat
kristal yang mempunyai bentuk 3 (tiga) dimensi, yaitu panjang, lebar dan tinggi
(tebal).
Sudut kristalografi adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan sumbu-
sumbu kristalografi pada titik potong (pusat kristal).
c+

a-



b- b+

a+

c-

Gambar 2.1 Sudut kristalografi


Keterangan Gambar 2.1 :
 Sumbu a : sumbu yang tegak lurus pada bidang kertas.
 Sumbu b : sumbu yang horisontal pada bidang kertas.
 Sumbu c : sumbu yang vertikal pada bidang kertas.
 Sudut α : sudut yang dibentuk antara sumbu b+ dan c+
 Sudut β : sudut yang dibentuk antara sumbu a+ dan c+
 Sudut γ : sudut yang dibentuk antara sumbu a+ dan b+
Sistem Kristalografi dibagi menjadi 7 sistem yang didasarkan pada :
 Jumlah sumbu Kristalografi
 Perbandingan panjang sumbu-sumbu Kristalografi.
JPLN
 Letak atau posisi sumbu Kristalografi.
 Nilai sumbu c atau sumbu vertikal.

b. Sistem Kristal
1. Sistem Kristal Isometrik (Reguler = Cubic = Tesseral = Tessular)
Jumlah sumbu kristalnya ada 3 yang saling tegak lurus satu dengan yang
lainnya, dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing
sumbunya. Pada kondisi sebenarnya sistem kristal isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu c. Memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚,
hal ini berarti pada sistem ini semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus
satu sama lain (90˚).

c+

a-

300
b- b+

a+

c-

Gambar 2.2 Sumbu Sistem Kristal Isometrik


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan
sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Gambar 2.3 Sistem Kristal Isometrik Klas Hexaoctahedron


Contoh mineral sistem kristal reguler klas hexaoctahedron adalah Galena
(PbS), Emas (Au), Pyrite (FeS2), Halite (NaCl), dan lain-lain.

2. Sistem Kristal Tetragonal (Quadratic)


Sama dengan sistem Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu
kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan
panjang sama, sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih
pendek.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b ≠ c, artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama
dengan sumbu c. Memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚, hal ini berarti,
semua sudut kristalografinya (α , β dan γ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

c+

a-
300
b- b+

a+

c-

Gambar 2.4 Sumbu Sistem Kristal Tetragonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Gambar 2.5 Sistem Kristal Reguler Klas Ditetragonal Dipyramid
Contoh mineral sistem kristal tetragonal klas Ditetragonal Dipyramid
adalah Zircon (ZrSiO4), Cassiterite (SnO2), dan lain-lain

3. Sistem Kristal Hexagonal


Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus
terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk
sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama,
sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya
lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c, artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu
b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Memiliki sudut
kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚, hal ini berarti, sudut α dan β saling tegak lurus
dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Hexagonal memiliki perbandingan sumbu d : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu
d ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, sumbu c
ditarik garis dengan nilai 6 dan sumbu a dapat lebih panjang atau lebih pendek
dari sumbu c (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Sudut antar sumbunya
a+^bˉ = 20˚; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki
nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu
b+.

c+

d+ a-

b- b+
40 0
a+ d-

c-

Gambar 2.6 Sumbu Kristal Hexagonal


Gambar 2.7 Sistem Kristal Hexagonal Klas Dihexagonal Dipyramid
Contoh mineral sistem kristal Hexagonal klas Dihexagonal Dipyramid
adalah Beryl Be3Al2(SiO3), Covelite (CuS), dan lain-lain

4. Sistem Trigonal (Rhombohedral)


Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama
lain yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam
sistem kristal Hexagonal, demikian pula cara penggambarannya juga sama.
Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang
terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik
sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b = d ≠ c, artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama
dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Memiliki sudut kristalografi α
= β = 90˚ ; γ = 120˚, hal ini berarti, sudut α dan β saling tegak lurus dan
membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Trigonal sama dengan sistem Hexagonal perbedaannya hanya pada sumbu
c bernilai “3”, penarikan sumbu a sama dengan sistem Hexagonal.

Gambar 2.8 Sistem Kristal Hexagonal Klas Trigonal Trapezohedron

Contoh mineral sistem kristal Hexagonal klas Trigonal Trapezohedron


adalah Quarts SiO2, Cinnabar (HgS), dan lain-lain.

5. Sistem Orthorombik (Rhombic = Prismatic = Trimetric)


Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri
kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c, artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang
sama panjang atau berbeda satu sama lain. Memiliki sudut kristalografi α = β = γ
= 90˚. Hal ini berarti, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 4 : 6. Artinya pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3 dan
sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan).
Sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚, hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

c+

a-

300
b- b+

a+

c-

Gambar 2.9 Sumbu Kristal Orthorhombik

Gambar 2.10 Sistem Kristal Orthorhombik Klas Rhombic Dipyramid


Contoh mineral sistem kristal orthorhombik klas rombhic dipyramid
adalah Barite (BaSO4), Bornite (Cu5FeS4), dan lain-lain.
6. Sistem Monoklin (Oblique = Monosymetric = Clinorhombic =
Hemiprismatik)
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga
sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu b; b tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga
sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang
paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c, artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang
sama panjang atau berbeda satu sama lain. Memiliki sudut kristalografi α = β =
90˚ ≠ γ, hal ini berarti, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak
tegak lurus (miring).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 4 : 6. Artinya pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3 dan
sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan).
Sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.

Gambar 2.11 Sumbu Sistem Monoklin


Gambar 2.12 Sistem Kristal Monoklin Klas Spenoid
Contoh mineral sistem kristal monoklin klas spenoid adalah wollastonite
(CaSiO3)

7. Triklin (Anorthic = Asymetric = Clinorhombohedral)


Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya
tidak saling tegak lurus, demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Memiliki sudut kristalografi
α ≠ β ≠ γ ≠ 90˚, hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 4 : 6. Artinya pada sumbu a ditarik
garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3 dan sumbu c ditarik
garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan) Sudut antar
sumbunya a+^cˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu cˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.

Gambar 2.13 Sumbu Sistem Kristal Triklin

Gambar 2.14 Sistem Kristal Triklin Klas Pinacoid


Contoh mineral sistem kristal monoklin klas spenoid adalah albite (NaAlSi308)
2. Simetri Kristal
Unsur simetri kristal meliputi : Bidang simetri, Sumbu Simetri dan Pusat
Simetri.
a. Bidang Simetri
Bidang datar yang dibuat melalui pusat kristal dan membelah kristal
menjadi 2 bagian sama besar, dimana bagian yang satu merupakan pencerminan
dari bagian belahan yang lain, dinotasikan dengan huruf “m”.
Bidang simetri dapat dikelompokan menjadi 2:
1) Bidang Simetri Utama (Axial)
Bidang yang dibuat melalui 2 buah sumbu simetri utama kristal dan
membagi 2 bagian yang sama besar.
Bidang simetri utama ini ada 2 yaitu :
 Bidang simetri utama horizontal dinotasikan dengan huruf h (bidang ABCD)
 Bidang simetri utama vertikal dinotasikan dengan huruf v (bidang KLMN dan
SPQR)

Gambar 2.15 Bidang Simetri Utama


2) Bidang Simetri Tambahan (Intermediet/Diagonal)
Bidang simetri diagonal merupakan bidang simetri yang dibuat melalui satu
sumbu simetri utama kristal. Bidang ini sering disebut dengan bidang diagonal
saja dengan notasi d.
Gambar 2.16 Bidang Simetri Tambahan
b. Sumbu Simetri
Sumbu simetri adalah garis lurus yang dibuat melalui pusat kristal, dimana
apabila kristal tersebut diputar 360° dengan garis tersebut sebagai porosnya, maka
pada kedudukan tertentu, kristal tersebut akan menunjukan kenampakan-
kenampakan yang semula (sama). Jenis-jenis sumbu simetri : sumbu simetri rotasi
(Rotational), sumbu cermin (reflection) dan sumbu putar inversi (rotoinversion).
 Sumbu Simetri Rotasi (Rotational)
Apabila kristal diputar 3600, kenampakan kristal pada sudut tertentu akan
kembali seperti kedudukan semula (sama/berulang). Dinotasikan dengan huruf
“L” (Linier) atau “g” (Gyre).
Berikut adalah beberapa simbol sumbu simetri rotasi :

Pada sudut 1800 kenampakan kristal seperti kedudukan semula


(2 kali kenampakan yang sama), disebut “Digyre (2)”.
Dinotasikan dengan : L2 = L2
Pada sudut 1200 kenampakan kristal seperti kedudukan semula
(3 kali kenampakan yang sama), disebut “Trigyre (3)”.
Dinotasikan dengan : L3 = L3

Pada sudut 900 kenampakan kristal seperti kedudukan semula


(4 kali kenampakan yang sama), disebut “Tetragyre (4)”.
Dinotasikan dengan : L4 = L4
Pada sudut 600 kenampakan kristal seperti kedudukan semula (6
kali kenampakan yang sama), disebut “Tetragyre (6)”.
Dinotasikan dengan : L6 = L6

 Sumbu Simetri Cermin (Reflection)


Sumbu pencerminan kearah suatu bidang cermin yang tegak lurus dengan
sumbu tersebut. Dinotasikan dengan huruf “S”, apabila terdapat 2 pencerminan
disebut Digyroid (S2), ada 3 Trigyroid (S3), ada 4 Tetragyroid (S4), da nada 6
Hexagyroid (S6).
 Sumbu Simetri Putar Inversi (Rotoinversion)
Sumbu ini merupakan hasil perputaran dengan sumbu tersebut sebagai
porosnya, dilanjutkan dengan menginversikan (membalik) melalui titik/pusat
simetri pada sumbu tersebut (centrum inversi). Dinotasikan : 3 , 4 dan 6
sebagainya, tanda (-) diatas angka dibaca “bar”.

c. Pusat Simetri atau Titik Simetri (Centrum : C)


Pusat simetri adalah titik dalam kristal, dimana melaluinya dapat dibuat
garis lurus, sedemikian rupa sehingga pada sisi yang satu dengan yang lain
dengan jarak yang sama, dijumpai kenampakan yang sama (tepi, sudut, bidang).

3. Indeks Weiss – Miller Bidang Kristal


Indeks Miller dan Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya
perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-bidang atau sisi-sisi sebuah kristal.
Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan menentukan salah satu bidang
atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang tersebut memotong
sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.
Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang
harus dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss
itu sendiri. Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan
sumbu yang dilalui oleh sisi atau bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana
sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu kristal.
Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda, karena apa
yang dijelaskan dan cara penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau
bidang dengan sumbu simetri kristal, yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai
indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang telah didapat sebelumnya
dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan satu. Maka pada
Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut sama
dengan satu. Pada indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks
tidak terbatas, yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai
perpotongan sumbu sama dengan nol), pada umumnya nilai tidak terbatas ( ~ )
tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan tidak mempunyai nilai (0).
Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer (sistem) bentuk. Hal ini
adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan
bidang-bidang yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama
kristalny(Gambar 2.17).
Gambar 2.17 Letak Bidang Kristal terhadap Susunan Sumbu Kristalografi

4. Klas Kristal dan Simbol Kristalografi


Berdasarkan pada unsur simetri kristal masing-masing sistem kristal dapat
dibagi lebih lanjut menjadi klas-klas kristal yang semuanya berjumlah 32 klas.
Penentuan klas-klas kristal tergantung dari banyaknya unsur-unsur simetri yang
terkandung di dalamnya. Secara umu pembagian klas-klas kristal secara
internasional menggunakan Simbol Herman-Mauguin (Hm) dan Simbol
Schoenflish (Sn).
a. Simbol Herman-Mauguin (Hm)
Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau
tidaknya bidang simetri dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-
sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati
sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.
Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing
sistem kristal, cara penentuannya pun berbeda pada tiap sistem kristal.
1) Sistem Isometrik (Reguler / Cubic)
 Bagian I : menerangkan nilai sumbu utama (sumbu a,b,c) mungkin
bernilai 4/2.
 Bagian II : menerangkan nilai sumbu tambahan (diagonal), mungkin
bernilai 3.
 Bagian III : menerangkan nilai sumbu tambahan (horizontal), yang
terletak tepat diantara dua sumbu utama horizontal.
Apabila pada Bagian I, II dan III terdapat bidang simetri yang tegak lurus
terhadap sumbu-sumbu tersebut, dinotasikan dengan huruf “m” (mirror).
Simbol Hm
No Nama Klas
I II III
1 Diploid 2/m 3
2 Gyroid 4 3 2
3 Hexoctahedron 4/m 3 2/m
4 Hextetrahedron 4 3 m
5 Tetratoid 2 3

2) Sistem Tetragonal
 Bagian I : menerangkan nilai sumbu utama c, mungkin bernilai 4.
 Bagian II : menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
 Bagian III : menerangkan nilai sumbu tambahan (horizontal), yang
terletak tepat diantara dua sumbu utama horizontal.
Apabila pada Bagian I, II dan III terdapat bidang simetri yang tegak lurus
terhadap sumbu-sumbu tersebut, dinotasikan dengan huruf “m” (mirror).
Simbol Hm
No Nama Klas
I II III
1 Tetragonal Dipyramid 4/m
2 Tetragonal Disphenoid 4
3 Ditetragonal Dipyramid 4/m 2/m 2/m
4 Ditetragonal Pyramid 4 m m
5 Tetragonal Pyramid 4
6 Tetragonal Scalenohedron 4 2 m
7 Tetragonal Trapezohedron 4 2 2
3) Sistem Hexagonal dan Trigonal (Rombhohedral)
 Bagian I : menerangkan nilai sumbu utama c, mungkin bernilai 6 / 3
 Bagian II : menerangkan nilai sumbu utama horisontal
 Bagian III : menerangkan ada tidaknya sumbu tambahan (horizontal)
yang terletak tepat diantara sumbu utama horizontal.
Apabila pada Bagian I, II dan III terdapat bidang simetri yang tegak lurus
terhadap sumbu-sumbu tersebut, dinotasikan dengan huruf “m” (mirror).
Simbol Hm
No Nama Klas
I II III
1 Hexagonal Dihexagonal Dipyramid 6/m 2/m 2/m
2 Hexagonal Dihexagonal Pyramid 6 m M
3 Hexagonal Ditrigonal Dipyramid 6 m 2
4 Hexagonal Dipyramid 6/m
5 Hexagonal Pyramid 6
6 Hexagonal Trapezohedron 6 2 2
7 Hexagonal Trigonal Dipyramid 6
8 Trigonal Ditrigonal Pyramid 3 m
9 Trigonal Hexagonal Scalenohedron 3 2/m
10 Trigonal Pyramid 3
11 Trigonal Rhombohedron 3
12 Trigonal Trapezohedron 3 2

4) Sistem Orthorombik
 Bagian I : menerangkan nilai sumbu utama a
 Bagian II : menerangkan nilai sumbu utama b
 Bagian III : menerangkan nilai sumbu utama c
Apabila pada Bagian I, II dan III terdapat bidang simetri yang tegak lurus
terhadap sumbu-sumbu tersebut, dinotasikan dengan huruf “m” (mirror).
Simbol Hm
No Nama Klas
I II III
1 Dipyramid 2/m 2/m 2/m
2 Disphenoid 2 2 2
3 Pyramid m m 2

5) Sistem Monoklin
Hanya ada satu bagian, yaitu menerangkan nilai sumbu utama b dan ada
tidaknya bidang simetri yang tegak lurus tersebut, dinotasikan dengan huruf “m”.
No Nama Klas Simbol Hm
1 Dome m
2 Prismatic 2/m
3 Sphenoid 2

6) Sistem Triklin
Sistem ini hanya mempunyai 2 klas simetri :
No Nama Klas Simbol Hm
1 Pedion 1
2 Pinacoid 1

b. Simbol Schoenflish (Sn)


Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol
pada unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang
simetri. Simbol Schoenflish akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan
menggunakan huruf-huruf dan angka yang masing-masing akan berbeda pada
setiap kristal.
Berbeda dengan Simbol Herman-Mauguin (Hm) yang pemberian
simbolnya berbeda-beda pada masing-masing sistemnya, pada Simbol Schoenflish
(Sn) yang berbeda hanya pada sistem Isometrik, sedangkan pada sistem-sistem
yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik (Reguler / Cubic)
 Bagian I : menerangkan sumbu utama c, mungkin bernilai 4 / 2
 Nilai 4, dinotasikan dengan huruf ”O” (Octaheder)
 Nilai 2, dinotasikan dengan huruf ”T” (Tetraheder)
 Bagian II : menerangkan keterdapatan bidang simetri
 Bidang simetri horizontal (h), vertikal (v) dan diagonal (d),
dinotasikan huruf ”h”
 Bidang simetri horizontal (h) dan vertikal (v), dinotasikan huruf
”h”
 Bidang simetri vertikal (v) dan diagonal (d), dinotasikan huruf ”v”
 Bidang simetri diagonal (d), dinotasikan huruf ”d”
Simbol Sn
No Nama Klas
I II
1 Diploid T h
2 Gyroid O
3 Hexaoctahedron O h
4 Hexatetrahedron T d
5 Tetartoid T

2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorombik, Monoklin, dan


Triklin
 Bagian I : menerangkan nilai sumbu yang tegak lurus sumbu utama
c, yaitu
sumbu horisontal (sumbu a,b,d) atau sumbu intermediet (tambahan),
ada dua kemungkinan :
 Nilai 2, dinotasikan dengan huruf ”D” (Diedrish)
 Tidak bernilai, dinotasikan dengan huruf ”C” (Cyklich)
 Bagian II : menerangkan nilai dari sumbu c. Nilai sumbu c ini
dituliskan di sebelah kanan agak bawah dari notasi D atau C.
 Bagian III : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Jika terdapat :
 Bidang simetri horizontal (h), vertikal (v) dan diagonal (d),
dinotasikan dengan huruf ”h”
 Bidang simetri horizontal (h) dan vertikal (v), dinotasikan huruf
”h”
 Bidang simetri vertikal (v) dan diagonal (d), dinotasikan huruf ”v”
 Bidang simetri diagonal (d) saja, dinotasikan huruf ”d”
No Nama Klas Simbol Sn
1 Tetragonal Dipyramidal C4h
2 Tetragonal Disphenoidal C4
3 Tetragonal Ditetragonal Dipyramidal D4 h
4 Tetragonal Ditetragonal Pyramidal D4 h
5 Tetragonal Pyramidal C4
6 Tetragonal Scalenohedral D2 d
7 Tetragonal Trapezohedral D4
8 Hexagonal Dihexagonal Dipyramidal D6 h
9 Hexagonal Dihexagonal Pyramidal C6v
10 Hexagonal Ditrigonal Dipyramidal D3 h
11 Hexagonal Dipyramidal C6h
12 Hexagonal Pyramidal C6
13 Hexagonal Trapezohedral D6
14 Hexagonal Trigonal Dipyramidal C3h
15 Trigonal Ditrigonal Pyramidal C3h
16 Trigonal Hexagonal Scalenohedral D3 h
17 Trigonal Pyramidal C3
18 Trigonal Rhombohedral C3h
19 Trigonal Trapezohedral D3
20 Orthorombic Dipyramidal D2 h
21 Orthorombic Disphenoidal D2
22 Orthorombic Pyramidal C2v
23 Monoclin Domatic C1h
24 Monoclin Prismatic C2h
25 Monoclin Sphenoidal C2
26 Klas Triclin Pinacoidal C1
27 Klas Triclin Pedial C1
DAFTAR PUSTAKA

Sapto Heru Yuwanto, S.Si, MT. 2016. “Buku Panduan Praktikum Mineralogi”
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Noor, D. 2008. “pengantar Geologi”. Bogor : Universitas Pakuan

Anda mungkin juga menyukai